Pengaruh Merendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap Kualitas Tidur Lansia di Wilayah Kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon Jawa Barat

(1)

WILAYAH KERJA PUSKESMAS ASTANALANGGAR

KECAMATAN LOSARI CIREBON JAWA BARAT

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Oleh

GILANG GUMILAR PERMADY

1111104000039

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 H / 2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Gilang Gumilar Permady

Tempat, tanggal lahir : Brebes, 24 Oktober 1993 Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status pernikahan : Belum menikah

Alamat : Blok Pahing RT 09/02 Desa Pasuruan Kec. Pabedilan Kab. Cirebon Jawa Barat

Handphone : 0821-2662-2523

Email : gilangpermady@yahoo.com / GGPermady@gmail.com

Riwayat Pendidikan

1. TK Pertiwi Losari Cirebon [ 1997-1999 ]

2. SD Negeri Randusari 03 Kec. Losari Brebes [ 1999-2005 ] 3. MTs Negeri Model Babakan Lebaksiu Tegal [ 2005-2008 ]

4. SMA Negeri 02 Brebes [ 2008-2011 ]


(7)

vii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi, 24 Juni 2015

Gilang Gumilar Permady, 1111104000039

Pengaruh Merendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap Kualitas Tidur Lansia di Wilayah Kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon Jawa Barat

xviii + 91 halaman + 11 tabel + 4 bagan + 8 lampiran

ABSTRAK

Tidur merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia. Gangguan tidur dapat mengakibatkan masalah serius bahkan menurunkan kualitas hidup. Hal ini sering terjadi pada lansia yang berdampak pada menurunnya kualitas tidur. Terapi merendam kaki dengan air hangat dapat memperbaiki mikrosirkulasi pembuluh darah dan vasodilatasi sehingga menimbulkan efek relaksasi yang dilanjutkan dengan peningkatan sekresi melatonin sehingga meningkatkan kualitas tidur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia di wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar.

Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment dengan pendekatan one group pre test-post test. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling dengan jumlah 20 responden yang telah sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Intervensi diberikan selama 5 hari berturut-turut. Pengukuran skor kualitas tidur menggunakan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index. Perbedaan skor kualitas tidur dianalisis dengan uji t berpasangan dan skor setiap komponen dianalisis menggunakan uji Wilcoxon.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh antara merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur responden sebelum dan sesudah intervensi (p=0,000; α=5%). Dari hasil tersebut dapat dikatakan terjadi peningkatan kualitas tidur setelah rendam kaki dengan air hangat. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pilihan alternative bagi perawat untuk mengaplikasikan rendam kaki dengan air hangat dalam meningkatkan kualitas tidur lansia.

Kata kunci: kualitas tidur, lanjut usia, merendam kaki dengan air hangat Daftar bacaan: 56 (2005-2014)


(8)

viii

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE SCHOOL OF NURSING

ISLAMIC STATE UNIVERSITY SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Undergraduate Thesis, 24th June 2015

Gilang Gumilar Permady, 1111104000039

The Effect of Soaking Feet in Warm Water to The Quality of Sleep of Elderly In The Region PUSKESMAS Astanalanggar Losari Cirebon West Java

xviii + 91 pages + 11 tables + 4 chart + 8 attachments

ABSTRACT

Sleep is a basic need that must be met by humans. Sleep disorders can lead to serious problems and even reduce quality of life. This often occurs in the elderly that decrease the quality of sleep. Soaking the feet in warm water can improve the microcirculation of the blood vessels and vasodilation causing a relaxing effect, followed by increased secretion of melatonin thus improving the quality of sleep. This study aimed to identify the effect of soaking feet in warm water to the quality of sleep of elderly in the region PUSKESMAS Astanalanggar.

This study uses a quasi-experimental design approach to one group pretest-posttest. The sampling technique used purposive sampling with 20 respondents who had been in accordance with the inclusion and exclusion criteria. Intervention is given for 5 consecutive days. Measurement of sleep quality scores using the Pittsburgh Sleep Quality Index questionnaire. Differences in sleep quality scores were analyzed by paired t test and the scores of each component is analyzed using the Wilcoxon test.

The results showed the influence of soaking feet in warm water for sleep quality before and after the intervention (p = 0.000; α = 5%). From these results it mean an increase in the quality of sleep after a soak feet in warm water. This study is expected to be an alternative option for nurses to apply soak feet in warm water to improve the quality of sleep of elderly.

Keywords: quality of sleep, elderly, soaking feet with warm water Bibliography: 56 (2005-2014)


(9)

ix Assalaamu ‘alaykum Wr. Wb.

Alkhamdulillaahi robbil ‘aalamiin segala puji bagi ALLAH SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Merendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap Kualitas Tidur Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon Jawa Barat” yang disusun dan diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana keperawatan. Tidak lupa sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada tauladan kita Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa syariat islam bagi kaum di seluruh dunia sehingga kita dapat hidup dalam zaman terang benderang ini. Bagi penulis, menteladani aspek kehidupan Nabi Muhammad merupakan tanda bukti cinta kita kepadanya. Dalam hal ini, salah satu aspek yang pernah Nabi Muhammad singgung adalah mengenai tidur. Inilah yang menjadi dasar penulis untuk melakukan penelitian tentang pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur.

Dalam menyusun skripsi ini, tentunya penulis jalani dengan penuh perjuangan. Kesulitan dan hambatan terus dilalui agar skripsi ini selesai tepat pada waktunya. Semua itu bukan hanya karena semangat pribadi semata, namun ada motivasi dan dorongan moril yang luar biasa dari pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengungkapkan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:


(10)

x

1. Prof. Dr. Dede Rosyada selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Maulina Handayani, S. Kp., M. SC selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan sekaligus pembimbing kedua yang telah membimbing, memotivasi, mengkoreksi serta memberi banyak saran dan masukan dalam skripsi ini.

5. Ibu Nia Damiati, S.Kp, MSN selaku pembimbing pertama sekaligus Dosen Penasehat Akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Ns. Mardiyanti, S. Kep., M. Kep., MDS selaku pembimbing yang menggantikan ibu Nia dikarenakan sedang menjalani tugas belajar. Bimbingan, arahan dan kepedulian penuh yang membuat penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini.

7. Segenap Bapak dan Ibu dosen atau Staf Pengajar Program Studi Ilmu Keperawatan yang telah memberikan tempaan ilmu pengetahuan kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan serta staf akademik Bapak Syafi’i dan Ibu Syamsiyah yang telah banyak membantu.


(11)

xi

9. Orang tua serta keluarga besar yang telah memberikan semangat serta dukungan moril dan materiil untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 10. Teman – teman angkatan 2011 yang telah memberikan semangat serta

tempat bertukar pikiran bagi penulis selama penyelesaian tugas kahir ini, khususnya Dina Setya R. K. yang selalu memberi semangat dan rela meluangkan waktunya untuk berbagi canda tawa dalam meluluhkan segala penatnya proses penulisan ini.

Akhir kata, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulisan ini menyajikan yang terbaik dan mendekati kata sempurna, karena kesempurnaan hanyalah milik ALLAH semata. Harapan penulis adalah semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam meningkatkan derajat kesehatan manusia.

Wassalaamu ‘alaykum Wr. Wb.

Jakarta, 24 Juni 2015


(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

PERNYATAAN ORISINALITAS...ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

LEMBAR PENGESAHAN...iv

LEMBAR PENGESAHAN SIDANG SKRIPSI...v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP...vi

ABSTRAK...vii ABSTRACT...viii KATA PENGANTAR...ix DAFTAR ISI...xii DAFTAR TABEL...xv DAFTAR BAGAN...xvi DAFTAR ISTILAH...xvii DAFTAR LAMPIRAN...xviii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang...1

B.Rumusan Masalah...8

C.Tujuan Penelitian...9

D.Manfaat Penelitian...10

E. Ruang Lingkup Penelitian...11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.Lanjut Usia...12

1. Definisi Lanjut Usia...12

2. Teori Menua...14

3. Aspek Fisiologik dan Patologik...17

B.Tidur...23

1. Pengertian Tidur...23

2. Fisiologi Tidur...24

3. Tahap-tahap Tidur Normal...26

4. Siklus Tidur...26

5. Fungsi Tidur...29

6. Kualitas Tidur...29

7. Perubahan Tidur pada Lanjut Usia...33

8. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia...34

9. Penatalaksanaan Gangguan Tidur...36

C.Hydrotherapy...38


(13)

xiii

D.Penelitian Terkait...42

E. Kerangka Teori...45

BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL A.Kerangka Konsep...46

B.Hipotesis...47

C.Definisi Operasional...48

BAB IV METODE PENELITIAN A.Desain Penelitian...50

B.Lokasi dan Waktu Penelitian...51

C.Populasi dan Sampel...51

D.Instrumen Penelitian...54

E. Uji Validitas dan Reliabilitas...58

F. Langkah-langkah Pengumpulan Data...60

G.Etika Penelitian...63

H.Pengolahan Data...65

I. Analisis Data...67

BAB V HASIL PENELITIAN A.Gambaran Umum Lokasi Penelitian...71

B.Analisis Univariat...72

1. Karakteristik Responden...72

2. Komponen Kualitas Tidur...73

3. Skor Total Kualitas Tidur...74

C.Analisis Bivariat...75

1. Perbedaan Rerata Skor PSQI pada pre test dan post test...75

BAB VI PEMBAHASAN A.Karakteristik Responden...79

1. Usia...79

2. Jenis Kelamin...79

B. Skor Total Kualitas Tidur...80

C. Skor Setiap Komponen Kualitas Tidur...83


(14)

xiv

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan...89 B.Saran...90

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

xv Nomor Tabel Judul Tabel

3. 1 Definisi Operasional...48

4. 1 Komponen dan Nomor Pertanyaan Kuesioner PSQI...54

4. 2 Hasil Uji Normalitas Data...68

5. 1 Distribusi Data Usia Responden...72

5. 2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Responden...73

5. 3 Rata-rata Skor Komponen Kualitas Tidur Responden...74

5. 4 Rata-rata Skor Total PSQI...75

5. 5 Pengaruh Merendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap Perbedaan Rerata Skor Kualitas Tidur Pada Pengukuran pre test post test...76

5. 6 Pengaruh Merendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap Perbedaan Setiap Skor Komponen Kualitas Tidur Responden...77


(16)

xvi

DAFTAR BAGAN

Nomor Bagan Judul Bagan

2. 1 Siklus Tidur Orang Dewasa Normal...29

2. 2 Kerangka Teori...45

3. 1 Kerangka Konsep Penelitian...46


(17)

xvii BMR : Basal Metabolic Rate BPS : Badan Pusat Statistik

BSR : Bulbar Synchronizing Regional DNA : Deoxyribose Nucleic Acid ESS : Epworth Sleepiness Scale

FIQ : Fibromyalgia Impact Questionnaire GDS : Geriatric Depression Scale

GH : Growth Hormone

NREM : Non Rapid Eye Movement

OHS : Obesity Hypoventilation Syndrome OSA : Obstructive Sleep Apnea

PLMD : Periodic Limb Movement Disorder PSQI : Pittsburgh Sleep Quality Index PTT : Pengobatan Tradisional Tiongkok RAS : Reticular Activating System RDB : REM Behavior Disorder REM : Rapid Eye Movement RLS : Rest Legs Syndrome RNA : Ribose Nucleic Acid SCN : Suprachiasmatic Nucleus SDB : Sleep Disordered Breathing SQS : Sleep Quality Scale

SSS : Stanford Sleepiness Scale

UARS : Upper Airway Resistance Syndrome UIN : Universitas Islam Negeri


(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden Lampiran 2 Lembar Pengumpulan Data

Lampiran 3 Prosedur Merendam Kaki dengan Air Hangat Lampiran 4 Hasil Penilaian GDS dan Indeks Katz

Lampiran 5 Hasil Penelitian

Lampiran 6 Daftar Urut Nomor Responden Lampiran 7 Permohonan Izin Studi Pendahuluan Lampiran 8 Permohonan Izin Penelitian


(19)

1

A.

Latar Belakang

Setiap individu akan mengalami proses perkembangan secara alami, mulai dari lahir hingga menjadi dewasa akhir atau lansia. Usia lanjut adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagaimana diketahui, manusia berkembang dari usia balita, remaja, dewasa dan lansia yang merupakan tahap akhir kehidupan. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan kehilangan tugas dan fungsinya, selanjutnya memasuki usia lanjut, kemudian mati. Bagi manusia yang normal, tentu telah siap menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya (Darmojo, 2009).

Usia lanjut dapat dimulai dari batasan umur setelah dewasa akhir. Kisaran dimulainya usia lanjut adalah sekitar 60 sampai dengan 65 tahun. Dalam bukunya Hardywinoto (2005) mengatakan yang dimaksud dengan kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Sedangkan WHO menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis atau biologis menjadi 4 kelompok yaitu usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60 dan 74 tahun, lanjut usia tua (old) usia 75 – 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) (Mubarok dkk, 2006).


(20)

2

Perkembangan lansia di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat, dengan semakin meningginya usia harapan hidup. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2000 sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23.992.553 jiwa (9,77 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia). Pada tahun 2020 diprediksikan jumlah lansia mencapai 28.822.879 jiwa (11,34 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia) (Badan Pusat Statisik Indonesia, 2012). Jumlah tersebut menempatkan Indonesia pada urutan ketiga dari negara-negara Asia dengan jumlah lansia terbesar setelah Cina dan India (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Seiring dengan banyaknya jumlah lansia di Indonesia, maka perlu perhatian khusus untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Pertambahan umur menyebabkan terjadinya perubahan dalam tahapan tidur. Pada kenyataannya, meskipun mereka mempunyai waktu yang cukup untuk tidur, tetapi terjadi penurunan kualitas tidur. Pada usia lanjut terjadi penurunan tidur tahap 3, tahap 4, tahap REM dan REM laten tetapi mengalami peningkatan tidur tahap 1 dan 2. Perubahan ini menimbulkan beberapa efek yaitu: kesulitan untuk mengawali tidur, menurunnya total sleep time, sleep efficiency, transient arousal dan bangun terlalu dini (Bliwise & Endeshaw 2006). Lansia mengalami episode tidur REM yang cenderung memendek, terdapat penurunan yang progesif pada tahap tidur NREM 3 dan 4. Beberapa lansia hampir tidak memiliki tahap 4, atau tidur yang dalam. Seorang lansia


(21)

yang terbangun lebih sering di malam hari, dan membutuhkan banyak waktu untuk jatuh tertidur (Potter & Perry, 2011).

Tidur menjadi kebutuhan setiap manusia dan merupakan suatu siklus yang rutin setiap harinya (Galimi, 2010). Setelah beraktivitas manusia membutuhkan waktu untuk mengembalikan fungsi normal tubuh, salah satunya dengan tidur. Sebagian orang mengeluhkan tidak bisa tidur dimalam hari. Kasus ini paling sering terjadi pada usia lanjut. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Anwar (2010) pada seorang lansia berusia 66 tahun dengan indikasi adanya gangguan tidur, hasilnya menunjukkan bahwa gangguan tidur yang dialami subyek sudah sangat mengganggu, bahkan obat tidur yang diminumnya dosisnya semakin tinggi. Penelitian lain oleh Hidayati dan Khasanah (2012) juga menemukan bahwa dari 97 orang lansia, 68 responden (70,1%) mempunyai kualitas tidur buruk.

Adapun gangguan masalah tidur yang sering dialami lansia berupa susah tidur pulas, sering terbangun di malam hari dan sulit memulai tidur kembali, berkurangnya waktu tidur malam, semakin panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk jatuh tidur (sleep latency), perasaan tidur yang kurang, terbangun cepat dan tidur sekejap pada siang hari (naps) sering terjadi berulang dan tidak disadari. Jumlah total waktu tidur normal pada kebutuhan tidur sewajarnya yaitu 6 jam/hari (Potter & Perry, 2011).

Perubahan pola tidur pada lansia didasari oleh berubahnya ritme sirkadian. Hal ini dikarenakan oleh aspek fisiologis dimana terjadi penurunan sistem endokrin. Salah satu contoh penurunan sistem endokrin adalah terganggunya sekresi norepinephrine dan serotonin. Keduanya berperan


(22)

4

dalam hal terjaga dan rasa kantuk. Hal inilah yang mengakibatkan gangguan tidur.

Fungsi dari sistem organ makhluk hidup diatur oleh ritme sirkadian selama 24 jam. Ritme sirkadian mengatur siklus tidur, suhu tubuh, aktivitas saraf otonom, aktivitas kardiovaskuler dan sekresi hormon. Pusat pengaturan ritme sirkadian adalah suprachiasmatic nucleus (SCN) di hipotalamus. Faktor yang mempengaruhi kerja dari SCN adalah cahaya, aktivitas sosial dan fisik (Bliwise & Endeshaw, 2006). Pada saat cahaya masuk ke retina maka neuron fotoreseptor SCN akan teraktivasi. SCN akan merangsang pineal gland untuk mensekresikan melatonin yang dapat menimbulkan rasa kantuk (Galimi, 2010). Penurunan fungsi dari SCN berkaitan dengan pertambahan umur. Pada usia lanjut yang mengalami penurunan fungsi SCN akan menyebabkan terjadinya gangguan pada ritme sirkadian (Bliwise & Endeshaw, 2006).

Kualitas tidur yang kurang berhubungan dengan adanya insomnia, Rest Legs Syndrome (RLS) dan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Colten & Altevogt (2006) menyampaikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tidur seperti faktor fisik, psikologis, sosial dan lingkungan. Adanya perubahan pada aspek-aspek tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya waktu tidur. Tidur yang kurang dapat menyebabkan beberapa gangguan pada respon imun, metabolisme tubuh dan fungsi kardiovaskular.

Penanganan gangguan tidur dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu secara farmakologi dan secara non farmakologi. Secara farmakologi yaitu dengan memberikan obat sedative hipnotik seperti golongan benzodiazepine (ativan, valium, dan diazepam) (Widya, 2010). Namun, pada lansia terjadi


(23)

perubahan farmakodinamik, farmakokinetik serta metabolisme obat dalam tubuh lansia yang menyebabkan penatalaksanaan dengan farmakologis sangat memberi risiko pada lansia. Dengan demikian penatalaksanaan secara non farmakologi adalah pilihan alternative yang lebih aman, yakni dengan cara terapi stimulus control, melakukan olah raga ringan, berjalan kaki pada pagi hari, berlari-lari kecil, senam atau sekedar peragangan otot, terapi relaksasi (Putra, 2011).

Salah satu terapi relaksasi adalah dengan menggunakan air. Hydrotherapy adalah penggunaan air untuk menyembuhkan dan meringankan berbagai keluhan. Untuk tujuan ini, air bisa digunakan dalam banyak cara dan kemampuannya sudah diakui sejak dahulu, terutama di kerajaan Yunani, kekaisaran Romawi dan Kebudayaan Turki juga oleh masyarakat Eropa dan Tiongkok kuno. Masyarakat umum juga menyadari bahwa manfaat air hangat adalah untuk membuat tubuh lebih rileks, menyingkirkan rasa pegal-pegal dan kaku di otot, dan mengantar agar tidur bisa lebih nyenyak (Sustrani, Alam, Hadibroto, 2006). Dalam pemaparan Dinkes (2014) air hangat membuat kita merasa santai, meringankan sakit dan tegang pada otot dan memperlancar peredaraan darah. Maka dari itu, berendam air hangat bisa membantu menghilangkan stres dan membuat kita tidur lebih mudah. Suhu air hangat yang dipakai berkisar 40oC.

Praktek merendam kaki dengan air hangat adalah satu metode perawatan kesehatan yang populer di kalangan masyarakat Tiongkok. Pengobatan Tradisional Tiongkok (PTT) merekomendasikan rendam kaki dengan air hangat setiap hari untuk meningkatkan sirkulasi darah dan


(24)

6

mengurangi kemungkinan demam. Terapi rendam kaki dengan air hangat mencapai serangkaian perawatan kesehatan yang efisien melalui tindakan pemanasan, tindakan mekanis dan tindakan kimia air serta efek penyembuhan dari uap obat dan medis pengasapan. Dipaparkan juga oleh Flona (2010) bahwa berendam dengan air hangat yang bersuhu 38°C selama minimal 10 menit dengan menggunakan aromatherapy mampu meredakan ketegangan otot dan menstimulus produksi kelenjar otak yang membuat tubuh terasa lebih tenang dan rileks. Raisanen (2010) juga mengungkapkan ada enam keuntungan dari air hangat yaitu mengurangi stres, mendetoksifikasi, membuat tidur nyenyak, merelaksasikan otot dan meredakan sakit dan nyeri di otot dan sendi, meningkatkan kerja jantung, melawan penyakit dan meredakan kesesakan.

Pengobatan Tradisional Tiongkok menyebut kaki adalah jantung kedua tubuh manusia, barometer yang mencerminkan kondisi kesehatan badan. Ada banyak titik akupunktur di telapak kaki. Enam meridian (hati, empedu, kandung kemih, ginjal, limpa dan perut) ada di kaki (Arnot, 2009). Hal ini didukung dengan penelitian yang telah di lakukan Khotimah (2012) bahwa terapi rendam air hangat pada kaki memperbaiki mikrosirkulasi pembuluh darah dan vasodilatasi sehingga meningkatkan kuantitas tidur. Rendam air hangat pada kaki efektif digunakan untuk meningkatkan kuantitas tidur pada lansia yang mengalami gangguan tidur.

Tidur merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia. Kurang tidur berkepanjangan dan sering terjadi dapat mengganggu kesehatan fisik maupun psikis. Kebutuhan tidur setiap orang berbeda-beda,


(25)

usia lanjut membutuhkan waktu tidur 6-7 jam per hari (Hidayat, 2008). Adanya gangguan tidur dapat mengakibatkan masalah kesehatan seperti gangguan pada metabolisme hormon, kardiovaskular dan penurunan respon imun. Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi, yakni berkisar lebih dari 60%. Gangguan tidur pada lansia memiliki dampak serius yakni mengantuk berlebihan disiang hari, gangguan atensi dan memori, mood, depresi, resiko tinggi terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya dan penurunan kualitas tidur. Untuk itu gangguan tidur pada lansia harus mendapat perhatian dan penanganan yang serius . Usia lanjut sangat rentan dalam menghadapi status kesehatannya dan kemungkinan komplikasi begitu besar. Manajemen pengelolaan terapi pada lansia harus sangat terkontrol. Kurangnya tidur dapat menimbulkan masalah yang berarti bagi lansia.

Dari data di atas, tergambar bahwa seseorang dengan usia lanjut mengalami gangguan tidur yang sangat berarti. Mereka tidak memiliki pengetahuan lebih terkait gangguan tidur dan cara mengatasinya. Oleh karena itu, pengkajian terhadap kualitas tidur dan pengaruh dari merendam kaki dengan air hangat sangat penting dilakukan sehingga nantinya klien dapat melakukan bagian dari asuhan keperawatan secara mandiri. Selain itu, perawat juga dapat mempertimbangkan cara ini sebagai metode alternatif untuk meningkatkan kualitas tidur pada lansia. Peran perawat dalam menangani masalah gangguan tidur merupakan hal yang sangat penting karena banyak sekali dampak negatif yang diakibatkan oleh gangguan tidur.

Pengkajian tentang kualitas tidur dapat dilakukan dengan salah satu instrumen yakni, the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) untuk


(26)

8

mengidentifikasi tentang kualitas tidur secara subjektif, durasi tidur, gangguan yang terjadi selama tidur, kebiasaan waktu mulai tidur, kebiasaan penggunaan obat untuk membantu tidur (Buysse et al, 1989).

Hasil studi pendahuluan dengan analisis data dan wawancara terhadap 15 lansia di Puskesmas Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon bahwa lansia mengatakan mengeluh susah tidur di malam hari, pergi tidur antara jam 8 sampai jam 9, tetapi ada juga yang tidur jam 11. Lansia mengatakan sering terbangun pada malam hari rata–rata 4-6 kali untuk ke kamar mandi dan setelah itu sulit untuk jatuh tertidur lagi. Kondisi lain yang di alami lansia sehingga terbangun pada malam hari dikarenakan merasakan susah bernapas, terbangun karena mimpi dan keadaan lingkungan yang berisik. Keluhan lain yang dialami lansia adalah merasa kurang segar setelah bangun di pagi hari, mengantuk disiang hari namun ada 7 lansia yang mengeluh tidak bisa tidur disiang hari waluapun sudah mengantuk dan ada keinginan untuk tidur. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur pada lansia”.

B. Rumusan Masalah

Prevalensi lansia diperkirakan akan terus meningkat terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk diantaranya Indonesia. Peningkatan angka lansia sangat erat kaitannya dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perbaikan sosial ekonomi berdampak pada


(27)

peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan usia harapan hidup, sehingga jumlah populasi lansia juga meningkat.

Berbagai studi mengenai kualitas tidur pada lanjut usia dan metode penanganan gangguan tidur pada lanjut usia baik yang farmakologis dan non farmakologis sudah dilakukan sebelumnya, namun penanganan secara farmakologis memiliki efek samping yang sangat beresiko terhadap kesehatan lansia. Metode relaksasi merupakan terapi yang efektif agar dapat meningkatkan kualitas tidur pada lansia. Salah satu contoh metode relaksasi yakni dengan merendam kaki menggunakan air hangat.

Beberapa penelitian terkait dengan masalah tidur dan lansia telah dilakukan namun peneliti belum menemukan penelitian yang membahas intervensi alternative khususnya penggunaan air hangat dalam meningkatkan kualitas tidur pada lansia, sehingga menurut peneliti hal tersebut perlu untuk dilakukan. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh pada kualitas tidur lansia dengan terapi merendam kaki dengan air hangat di Wilayah Kerja Puskesmas Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui adakah pengaruh setelah perlakuan merendam kaki dengan air hangat pada kualitas tidur lansia setelah di wilayah kerja Puskesmas Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon.


(28)

10

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik responden (usia dan jenis kelamin) terhadap kualitas tidur.

b. Mengidentifikasi komponen kualitas tidur (kualitas tidur subjektif, latensi tidur, lamanya tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi di siang hari) pada responden.

c. Mengidentifikasi skor kualitas tidur responden sebelum intervensi merendam kaki dengan air hangat.

d. Mengidentifikasi skor kualitas tidur responden setelah intervensi merendam kaki dengan air hangat.

e. Mengidentifikasi perbedaan rerata skor responden sebelum dan sesudah intervensi merendam kaki dengan air hangat.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Pelayanan Keperawatan

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan lansia dan dapat menjadi landasan dalam melakukan intervensi guna meningkatkan kualitas tidur pasien.

b. Menjadi aspek penting bagi perawat dalam memberikan edukasi pada lansia dengan menekankan pemenuhan kebutuhan tidur.

2. Bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat sebagai tambahan ilmu bagi profesi keperawatan dalam hal pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia dengan intervensi non-farmakologis.


(29)

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini menjadi acuan proses belajar dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan melalui proses pengumpulan data dan informasi-informasi ilmiah untuk kemudian dikaji, diteliti, dianalisis, dan disusun dalam sebuah karya tulis yang ilmiah, informatif, bermanfaat, serta menambah kekayaan intelektual.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik kuantitatif dengan desain studi pra eksperimen dengan pendekatan One-Group pre test post test. Intervensi merendam kaki sebelum tidur dilakukan selama 5 hari berturut-turut. Data yang digunakan adalah data primer dengan metode pengambilan data melalui pengisian kuisioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Subjek yang diteliti adalah lansia di wilayah kerja Puskesmas Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon. Waktu penelitian berkisar dari April sampai Mei 2015.


(30)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Lanjut Usia

1. Definisi Lanjut usia

Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Menjadi tua ditandai dengan adanya kemunduran kemampuan-kemampuan kognitif seperti mudah lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu, ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal/ide baru. Kemunduran lain yang dialami adalah kemunduran fisik antara lain kulit mulai mengendur, timbul keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lamban dan kurang lincah, serta terjadi penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul (Maryam, dkk, 2008).

Hardywinoto (2005) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Sedangkan WHO menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis atau biologis menjadi 4 kelompok yaitu usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60 dan 74 tahun, lanjut usia tua (old) usia 75 – 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) (Mubarok, dkk, 2006).

Usia lanjut dapat dikatakan usia emas, karena tidak semua orang dapat mencapai usia tersebut, maka orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan keperawatan, baik yang bersifat promotif maupun preventif, agar


(31)

ia dapat menikmati masa usia emas serta menjadi usia lanjut yang berguna dan bahagia (Maryam, dkk, 2008).

Usia lanjut dapat diklasifikasikan menjadi lima (Maryam, dkk, 2008) yaitu:

a. Pralansia (Presinilis) adalah seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. b. Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

c. Lansia risiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/ seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan. d. Lansia Potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan

pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/ jasa. e. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,

sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

Berdasarkan beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa seseorang di katakan lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun atau lebih dan dikatakan potensial apabila masih produktif yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak potensial apabila tidak produktif yang bergantung kepada orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Penduduk lanjut usia terus mengalami peningkatan yang signifikan, pada tahun 2007 jumlah penduduk lanjut usia sebesar 18,96 juta jiwa dan meningkat menjadi 20, 54 juta jiwa pada tahun 2009. Jumlah ini termasuk terbesar ke empat setelah Amerika, India, dan Tiongkok (BPS, 2012).


(32)

14

Seperti diketahui, Indonesia sekarang berada dalam transisi demografi, persentasi lansia diproyeksikan menjadi 11, 34% pada tahun 2020 yang akan datang. Struktur masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat/populasi “muda” (1971) menjadi populasi yang lebih “tua” pada tahun 2020. Pergeseran ini menuntut perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan, dengan kata lain perlu perhatian lebih dan prioritas untuk penyakit-penyakit pada usia dewasa dan lansia (Darmojo, 2009).

2. Teori Menua

Penuaan merupakan proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan terus menerus, dan berkesinambungan. Pada dasarnya ada dua faktor yang menyebabkan proses penuaan terjadi, yaitu faktor internal (radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun, dan gen) dan faktor eksternal (gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan) (Stanley & Beare, 2007). Menua (aging) juga merupakan proses yang harus terjadi secara umum pada seluruh spesies secara progresif seiring waktu yang menghasilkan perubahan yang menyebabkan disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan suatu organ atau sistem tubuh tertentu (Fatmah, 2010).

Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu teori biologi, teori psikologi, dan teori spiritual.


(33)

a. Teori biologi

1) Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi (Maryam, dkk, 2008).

2) Teori genetik dan mutasi

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi (Maryam, dkk, 2008). Teori mutasi somatik, menurut teori ini menua disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang beruntun sepanjang kehidupan akibat lingkungan yang buruk. Setelah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, terjadi kesalahan dalam proses transkripsi (DNA menjadi RNA), maupun dalam proses translasi (RNA ke protein/enzim). Kesalahan tersebut akan menyebabkan terbentuknya enzim yang salah, sehingga mengakibat penurunan fungsional sel (Darmojo, 2009).

3) Teori immunologi

Dengan bertambahnya usia, kemampuan sistem imun untuk menghancurkan bakteri, virus, dan jamur melemah. Destruksi bagian jaringan yang luas dapat terjadi sebelum respon dimulai. Disfungsi sistem imun ini diperkirakan menjadi faktor dalam


(34)

16

perkembangan penyakit kronis, seperti kanker, diabetes, dan penyakit kardiovaskuler, serta infeksi (Perry & Potter, 2011). 4) Teori stress

Proses menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh telah terpakai (Maryam, dkk, 2008).

5) Teori rantai silang

Teori ini menjelaskan bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, karbohidrat, dan asam nukleat. Reaksi kimia ini menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastis, kekacauan, dan hilangnya fungsi (Nugroho, 2008).

b. Teori psikologi

Perubahan psikologi yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya. Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada usia lanjut. Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada lingkungan.


(35)

Dengan adanya penurunan fungsi sensorik, maka akan terjadi penurunan kemampuan untuk menerima, memproses, dan merespon stimulus sehingga terkadang akan muncul aksi yang berbeda dari stimulus yang ada (Maryam, dkk, 2008).

c. Teori spiritual

Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan. Kepercayaan adalah sebagai suatu bentuk pengetahuan dan cara berhubungan dengan kehidupan akhir. Sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan antara orang dan lingkungan yang terjadi karena adanya kombinasi antara nilai-nilai dan pengetahuan (Maryam, dkk, 2008).

3. Aspek Fisiologik dan Patologik

Dengan makin lanjutnya usia seseorang, maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik (dan fungsional) atas organ-organnya makin besar (Darmojo, 2009). Proses ini menyebabkan perubahan-perubahan pada lansia diantaranya adalah:

a. Perubahan sistem panca-indra

Terdapat berbagai perubahan morfologik baik pada mata, telinga, hidung, syaraf perasa di lidah dan kulit. Perubahan yang bersifat degeneratif ini yang bersifat anatomik fungsional, memberi manifestasi pada morfologi berbagai organ panca indra tersebut baik pada fungsi melihat, mendengar, keseimbangan ataupun perasa dan perabaan. Pada


(36)

18

keadaan yang ekstrim bahkan bisa bersifat patologik, misalnya terjadinya ektropion/entropion, ulkus kornea, glaukoma dan katarak pada mata, sampai pada keadaan konfusio akibat penglihatan yang terganggu. Pada telinga dapat terjadi tuli konduktif, sindrom Meniere (Keseimbangan) (Darmojo, 2009).

b. Perubahan sistem gastro-intestinal

Kehilangan gigi penyebab utama adanya periodontal disease, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk (karies gigi) dan gizi yang buruk, serta berkurangnya kekuatan otot rahang sehingga sering kali menyebabkan lansia kelelahan pada saat mengunyah makanan. Indra pengecap menurun, adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir, atropi indra pengecap (± 80%), hilangnya sensitifitas syaraf pengecap di lidah terutama rasa manis, asin, asam dan, pahit sehingga menyebabkan penurunan nafsu makan yang dapat mengakibatkan kondisi defisiensi nutrisi pada lansia.

Esofagus mengalami kemunduran dalam melakukan gerakan peristaltik, sehingga dapat menyebabkan lansia merasa disfagia, nyeri dada, muntah. Asam lambung menurun sehingga sensitifitas rasa lapar menurun dan waktu mengosongkan lambung menurun. Perubahan pada usus halus termasuk atropi dari permukaan mukosa, menipisnya lapisan villi, dan berkurangnya jumlah dari folikel limfatik. Pada pankreas terjadi penurunan jumlah sekresi pankreatik serta pengeluaran enzim yang berkurang. Penurunan aktivitas enzim berhungan dengan


(37)

pencernaan lemak. Kemampuan peristaltik usus melemah sehingga biasanya timbul konstipasi pada lansia (Darmojo, 2009).

c. Perubahan sistem kardiovaskuler

Katup jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun, elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat (Darmojo, 2009).

d. Perubahan sistem respirasi

Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas. Semua ini berakibat menurunnya rasio ventilasi-perfusi dibagian paru yang tak bebas dan pelebaran gradient alveolar arteri untuk oksigen. Oklusi sebagian atau total saluran napas atas dapat terjadi, hal ini dapat menyebabkan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Disamping itu, terjadi penurunan refleks batuk dan refleks fisiologik lain yang menyebabkan peningkatan kemungkinan terjadinya infeksi akut pada saluran napas bawah (Darmojo, 2009).

e. Perubahan sistem endokrin

Produksi semua hormon menurun begitu pula menurunnya aktivitas tyroid, menurunnya Basal Metabolic Rate (BMR) juga menurunnya pertukaran zat dan produksi aldosteron, estrogen dan testosteron. Kematian sel merupakan hal yang mendominasi pada perubahan sistem endokrin secara fisiologis, karena kematian sel inilah perubahan sistem endokrin pada lansia ditemukan bahwa hampir semua


(38)

20

produksi hormon berkurang. Salah satu contoh penurunan sistem endokrin adalah terganggunya sekresi norepinephrine dan serotonin. Keduanya berperan dalam hal terjaga dan rasa kantuk. Hal inilah yang mengakibatkan gangguan tidur. (Darmojo, 2009).

f. Perubahan sistem muskulokeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh sehingga menyebabkan pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, begitupun dengan persendian yang menjadi kaku dan membesar. Tendon mengerut dan mengalami sklerosis, juga adanya atrofi serabut otot sehingga menyebabkan pergerakan yang lambat, otot-otot dapat mudah menjadi kram dan tremor, sehingga sering dijumpai sebagai gejala Restless Legs Syndrome (RLS), tetapi pada otot polos tidak begitu terpengaruh. Dengan bertambahnya usia, proses berpasangan (“coupling”) penulangan yaitu perusakan dan pembentukan tulang melambat, terutama pembentukannya. Hal ini selain akibat menurunnya aktivitas tubuh, juga akibat menurunnya hormon estrogen (wanita), vitamin D (terutama mereka yang kurang terkena sinar matahari) dan beberapa hormon lain, misalnya parathormon dan kalsitonin (Darmojo, 2009).

g. Perubahan sistem perkemihan

Terjadi perubahan yang signifikan pada sistem perkemihan. Banyak yang mengalami kemunduran contohnya laju filtrasi, ekskresi dan reabsorbsi oleh ginjal, hilangnya protein terus menerus dari ginjal, penurunan kapasitas kandung kemih, nokturia, peningkatan


(39)

inkontinensia urgensi, dan stres pada wanita terjadi akibat penurunan tonus otot perineal. Pada pria sering terjadi retensi urin dan sulit berkemih akibat pembesaran prostat (Potter & Perry, 2011).

h. Perubahan sistem imun

Sistem imun merupakan mekanisme yang digunakan untuk mempertahankan keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sebanyak 30% kematian pada lansia disebabkan oleh penyakit infeksi. Bagian tubuh yang bertanggung jawab dalam hal penanganan penyakit infeksi dalam tubuh adalah sistem barier tubuh. Contoh sistem barier pada tubuh adalah batuk, bersin, permukaan mukosa, kulit, sel silia, air mata dan, pH lambung. Pada lansia mekanisme pertahanan ini mengalami penurunan kemampuan, hal ini menyebabkan penurunan kemampuan tubuh dalam menghilangkan bakteri dan virus yang masuk ke dalam tubuh. Penurunan sensitivitas imun pada lansia berhubungan dengan penurunan kelenjar-kelenjar imun, seperti kelenjar timus, kelenjar limfe, dan limpa (Fatmah, 2010).

i. Perubahan sistem saraf

Berat otak pada lansia umumnya menurun 10-20%. Selain penurunan berat otak, terjadi juga penebalan meningen, kedalaman giri dan sulci berkurang pada otak lansia (Darmojo, 2009). Pada lansia, resiko sindrom Parkinson dan demensia tipe Alzheimer disebabkan oleh adanya degenerasi pigmen substansia nigra, kekusutan neurofibriler, dan juga pembentukan badan-badan hinaro. Perubahan


(40)

22

patologik pada jaringan saraf sering diikuti berbagai penyakit metabolik seperti diabetes mellitus, hipertiroid, hipotiroid, yang juga menyebabkan gangguan pada susunan saraf tepi (Fatmah, 2010).

Perubahan lain yang terjadi pada lansia yakni perubahan kognitif dan perubahan psikososial (Potter & Perry, 2011).

a. Perubahan Kognitif

Kemampuan kognitif terdiri dari intelektual atau kecerdasan, ingatan atau konsentrasi, dan bahasa. Pada lansia mengalami penurunan atau kerusakan umum fungsi intelektual yang biasa disebut dengan demensia. Lansia juga mengalami penurunan kemampuan dalam mengingat jangka pendek dan menyimpan informasi baru ke memori jangka panjang juga menurun. Perubahan kemampuan bahasa juga ikut mengalami penurunan, misalnya dapat dijumpai adanya Sindrom Wernicke (Potter & Perry, 2011).

b. Perubahan psikososial

Perubahan psikososial terus terjadi seiring dengan terjadinya penuaan. Meskipun perubahan tersebut bervariasi, tetapi beberapa perubahan biasa terjadi pada mayoritas lansia seperti; pensiun, isolasi sosial, seksualitas, dan kematian. Akibat perubahan ini, lansia dapat mengalami depresi yang beratnya tergantung pada stressor yang di dapat. Pada umumnya depresi dapat mengakibatkan gangguan tidur, berat tidaknya gangguan tidur tergantung dari depresi yang dialaminya (Potter & Perry, 2011).


(41)

B. Tidur

1. Pengertian Tidur

Tidur adalah suatu keadaan yang berulang-ulang, dimana terjadi perubahan status kesadaran dalam jangka waktu tertentu. Ketika seseorang mendapatkan tidur yang cukup, mereka merasa tenaganya telah pulih. Tidur juga merupakan metode untuk perbaikan dan pemulihan sistem tubuh. Kualitas dan kuantitas tidur yang tepat dapat memberikan kontribusi terhadap kesehatan yang optimal (Potter & Perry, 2011).

Pemaparan serupa juga disebutkan oleh Black (2008) yang mengatakan bahwa tidur merupakan keadaan normal yang ditandai dengan adanya perubahan kesadaran selama tubuh dalam periode istirahat. Penurunan kemampuan untuk merespon terhadap rangsangan yang ada di sekitarnya juga terjadi pada periode ini, namun individu dapat dibangunkan dari tidurnya kembali dengan rangsangan dari luar. Tidur merupakan suatu siklus yang ditandai adanya penurunan kesadaran dan aktivitas fisik dan proses metabolisme disertai adanya mimpi selama periode terntentu dan berulang.

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa tidur merupakan keadaan normal dan alamiah. Pada kondisi tidur, terjadi penurunan kesadaran dan aktivitas fisik. Penurunan kemampuan merespon rangsangan dari sekitar juga terjadi. Keadaan ini terjadi pada periode tertentu dan berulang-ulang.


(42)

24

2. Fisiologi Tidur

Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Pusat pengaturan tersebut terdapat pada medula oblongata (Hidayat, 2008). Pengaturan siklus tidur merupakan suatu proses yang bertujuan untuk mempertahankan keseimbangan. Mekanisme homeostasis dalam siklus tidur berhubungan dengan aktivitas sel-sel neuron dalam batang otak serta peran dari neurotransmitter yang diproduksi hipotalamus (Juddith, 2010).

Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons. Dalam keadaan sadar, neuron dalam Reticular Activating System (RAS) akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Selain itu, RAS yang dapat memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir (Hidayat, 2008). Beberapa neurohormon dan neurotransmitter juga dihubungkan dengan tidur dan terbangun. Produksi yang dihasilkan oleh dua mekanisme serebral dalam batang otak ini menghasilkan serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yang bertanggung jawab terhadap transfer impuls-impuls syaraf ke otak dan juga berperan spesifik dalam menginduksi rasa kantuk.

Saat tidur terdapat pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu Bulbar Synchronizing Regional (BSR). Sedangkan pada saat bangun bergantung dari


(43)

keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan sistem limbik. Dengan demikian, sistem pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2008). Waktu tidur dikontrol oleh Suprachiasmatic Nucleus (SCN) yang mengatur irama sirkadian. Dalam tubuh serotonin diubah menjadi melatonin. Melatonin merupakan hormon katekolamin yang diproduksi secara alami dan dapat membantu irama sirkadian pada siklus tidur bangun (Potter & Perry, 2011).

Keadaan terjaga dikendalikan oleh neurotransmitter norepinephrine, sedangkan keadaan tidur dikendalikan oleh serotonin yang diubah menjadi melatonin (Wold, 2008). Katekolamin yang dilepaskan dari neuron-neuron Reticular Activating System akan menghasilkan hormon norepinephrine yang umumnya hormon ini akan merangsang otak untuk melakukan peningkatan aktivitas. Seseorang dalam keadaan stress atau cemas, kadar hormon ini akan meningkat dalam darah yang akan merangsang sistem saraf simpatetik sehingga seseorang akan terus terjaga. Menurut Potter dan Perry (2011) seseorang tetap terjaga atau tertidur tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi seperti pikiran, reseptor sensori perifer seperti stimulus bunyi atau cahaya, dan sistem limbik seperti emosi. Orang yang mencoba tertidur maka aktivasi RAS menurun dan BSR mengambil alih kemudian seseorang bisa tertidur. Penurunan aktivitas RAS akan menurunkan aktivitas korteks serebral ditambah dengan peningkatan kadar melatonin yang membuat mengantuk dan pada akhirnya tertidur.


(44)

26

Seseorang akan terbangun dari tidurnya jika ada rangsangan dari lingkungan yang menstimulasi RAS untuk aktif.

3. Tahap-tahap Tidur Normal

Tidur yang normal dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu periode terjaga atau bangun, tidur Non Rapid Eye Movement (NREM) dan tidur Rapid Eye Movement (REM). Tidur NREM dan REM merupakan komponen utama dan penting dalam mempertahankan fungsi tubuh sehari-hari. Selama NREM seorang yang tidur mengalami kemajuan melalui empat tahapan selama 90 menit dari siklus tidurnya. Kualitas tidur semakin meningkat dari tahap 1 sampai tahap 4. Tahap 1 dan 2 merupakan tidur yang dangkal dan seseorang mudah terbangun, sedangkan tahap 3 dan 4 adalah tidur dalam dan sulit terbangun. Fase akhir dari tidur yakni REM yang kira-kira lamanya 90 menit (Potter & Perry, 2011).

Pada saat periode NREM, hormon disekresi untuk meningkatkan pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh. Sedangkan tidur REM merupakan periode yang aktif dan disertai mimpi. Periode REM yang cukup dapat berdampak pada proses mengolah informasi, menyimpan memori jangka panjang dan kemampuan konsentrasi (Caple & Grose, 2011).

4. Siklus Tidur

Siklus tidur normal dimulai dengan tahap pra tidur, yakni perubahan dari keadaan sadar sampai mengantuk, lamanya sekitar 10-30


(45)

menit. Selanjutnya, memasuki tahap tidur untuk menyelesaikan 4-6 tahap dalam siklus tidur (Potter & Perry, 2011). Adapun siklus tidur sebagai berikut:

a. Periode terjaga

Periode ini ditandai dengan mata terbuka dan beresponnya individu terhadap lingkungan sekitarnya. Seseorang juga dapat merasakan rileks pada periode ini, dan pada akhirnya merasa mengantuk. b. Periode tidur NREM (75%)

Periode tidur NREM dimulai dari tidur dangkal sampai tidur dalam. Tidur NREM berhubungan dengan fungsi aktivitas otot, penurunan pernapasan, penurunan aktivitas otak. Selama periode tidur metabolisme meningkat disertai dengan aliran darah terutama pada daerah otak (Wilson, 2008).

Tidur NREM terdiri dari 4 tahap yang menunjukkan tingkat kedalaman tidur setiap masing-masing tahapnya dengan karakteristik yang berbeda-beda. Tahap-tahap periode tidur NREM adalah sebagai berikut:

1) Tahap 1 (5% NREM)

Ditandai dengan mata mulai menutup, perasaan lebih rileks, pikiran hilang timbul dan merasa seperti melayang, pada tahap ini seseorang mudah dibangunkan. Tahap ini disebut juga tidur ringan yang ditandai dengan penurunan aktivitas fisik, tanda-tanda vital dan metabolisme (Potter & Perry, 2011; Wilson, 2008).


(46)

28

2) Tahap 2 (45% NREM)

Tahap 2 merupakan periode tidur bersuara, adanya peningkatan relaksasi dan gerakan mata mulai berkurang serta masih mudah untuk dibangunkan. Tahap ini terjadi selama 10-20 menit (Potter & Perry, 2011; Wilson, 2008).

3) Tahap 3 (12% NREM)

Tahap ini disebut sebagai awal tidur yang dalam dan berlangsung sekitar 15-30 menit. Kondisi otot pada tahap ini dalam keadaan santai penuh, tanda vital menurun tetapi tetap teratur. Biasanya pada tahap ini orang akan sulit dibangunkan dan jarang bergerak (Potter & Perry, 2011).

4) Tahap 4 (13% NREM)

Tahap ini merupakan tahap tidur yang terdalam, sangat sulit dibangunkan disertai penurunan tanda-tanda vital, berlangsung sekitar 15-30 menit. Tidur sambil berjalan dan enuresis dapat terjadi pada tahap ini (Potter & Perry, 2011).

c. Periode tidur Rapid Eye Movement (REM)

Tidur REM umumnya terjadi sekitar 90 menit setelah tertidur bersama siklus tidur NREM yang ditandai dengan gerakan mata yang cepat, kelopak mata tertutup, pernapasan lebih cepat, tidak teratur dan dangkal, denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Tahap ini juga ditandai dengan penurunan tonus otot dan peningkatan sekresi lambung. Tidur REM merupakan 20-25% dari siklus tidur (Potter & Perry, 2011).


(47)

Bagan 2. 1 Siklus tidur orang dewasa normal

Sumber: Potter & Perry, 2011

5. Fungsi Tidur

Tidur adalah waktu perbaikan dan persiapan energi untuk periode terjaga berikutnya. Periode tidur juga bagian dari proses mempertahanan fungsi fisiologis normal. Penggunaan energi sehari-hari perlu diganti dengan periode istirahat pada waktu malam hari (Potter & Perry, 2011).

Dalam siklus tidur dikenal tahap REM, tahap ini sangat penting untuk jaringan otak dan memelihara fungsi kognitif. Tidur REM menyebabkan perubahan aliran darah ke otak, peningkatan aktivitas korteks, peningkatan konsumsi oksigen dan pengeluaran ephineprine. Selain itu, tidur juga berfungsi untuk mempertahankan fungsi mental, memori, aktivitas sistem imun dan regulasi hormon (Potter & Perry, 2011).

6. Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kemampuan setiap orang untuk mempertahankan keadaan tidur dan untuk mendapatkan tahap tidur REM dan NREM yang tepat. Tidur yang berkualitas merupakan suatu keadaan


(48)

30

tidur yang dijalani seorang individu dan menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun. Kualitas tidur mencakup aspek kuantitas dari tidur seperti durasi tidur, latensi tidur dan aspek subjektif dari tidur seperti kepuasan tidur dan gangguan tidur. (Khasanah, 2012).

Pengkajian tentang kualitas tidur dapat dilakukan dengan beberapa kuesioner. Ada tiga contoh instrument untuk pengkajian kebutuhan istirahat tidur antara lain Stanford Sleepiness Scale (SSS), The Epworth Sleepiness Scale (ESS), The Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI). Dimana SSS dan ESS digunakan untuk mengukur perasaan mengantuk atau kelelahan pada waktu tertentu, tetapi ESS lebih mengukur kecenderungan tertidur dan jatuh tidur pada waktu tertentu. Selain itu ada juga Sleep Quality Scale (SQS) dimana kuesioner tersebut mempunyai enam komponen, yaitu; gejala di siang hari, kebugaran setelah tidur, masalah saat memulai tidur, mempertahankan tidur, kesulitan bangun dari tidur, dan kepuasan terhadap tidur. Sedangkan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang terdiri dari tujuh komponen meliputi latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, kebiasaan penggunaan obat tidur, gangguan saat siang hari dan kualitas tidur subjektif (Buysse, 1989; Smyth, 2012).

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur adalah:

a. Usia

Penuaan menyebabkan perubahan yang dapat mempengaruhi pola tidur. Pada usia lanjut proporsi waktu yang dihabiskan dalam tidur


(49)

tahap 3 dan tahap 4 menurun, sementara yang dihabiskan di tidur ringan tahap 1 meningkat dan tidur menjadi kurang efisien. Bertambahnya usia juga berhubungan dengan penurunan kualitas tidur malam, misalnya sekitar 30% individu mengalami insomnia. Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan irama sirkadian yang mengatur siklus tidur dan menyebabkan gangguan siklus tidur dan terjaga (Juddith, Julie, & Elizabeth, 2010; Potter & Perry, 2011). b. Penyakit fisik

Tidur dapat terganggu dengan adanya penyakit fisik yang diderita, diantaranya adalah asma, jantung koroner, hipertensi, diabetes mellitus, hipotiroid dan hipertiroid. Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik atau masalah suasana hati seperti kecemasan atau depresi dapat mempengaruhi masalah tidur. Penyakit juga memaksa klien untuk tidur dalam posisi yang tidak biasa, seperti memperoleh posisi tertentu agar mencegah komplikasi atau dalam rangka imobilisasi (Potter & Perry, 2011). c. Obat-obatan dan zat tertentu

Beberapa obat dapat menimbulkan efek samping terhadap penurunan tidur REM. Hipnotik dapat mengganggu tahap III dan IV tidur NREM, betablocker dapat menyebabkan insomnia dan mimpi buruk, sedangkan narkotik (misalnya: meperidin hidroklorida dan morfin) diketahui dapat menekan tidur REM dan menyebabkan seringnya terjaga di malam hari (Potter & Perry, 2011).


(50)

32

d. Gaya hidup

Kelelahan dapat mempengaruhi pola tidur, semakin tinggi tingkat kelelahan maka akan tidur semakin nyenyak yang menyebabkan periode tidur REM lebih pendek. Gaya hidup seseorang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman yang mengandung kafein, alkohol, dan penggunaan obat-obatan juga dapat menyebabkan masalah tidur. Selain itu faktor lain yang juga mempengaruhi pola tidur adalah akibat bekerja berat, aktivitas sosial yang larut serta perubahan pola makan waktu malam hari (Potter & Perry, 2011).

e. Stres emosional

Ansietas dan depresi sering kali mengganggu tidur seseorang. Kondisi ansietas dapat meningkatkan kadar norepinfrin darah melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya siklus tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur. Stres emosional membuat seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk tidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyababkan kebiasaan tidur yang buruk. Pensiun, gangguan fisik, kematian orang yang dicintai, dan kehilngan keamanan ekonomi merupakan contoh situasi yang membuat seseorang untuk cemas dan depresi (Hardy, 2008; Potter & Perry, 2011).


(51)

f. Lingkungan

Lingkungan tempat seseorang tidur dapat berpengaruh pada kemampuan untuk mulai tertidur dan mempertahankan waktu tidurnya. Ventilasi yang baik memberikan kenyamanan untuk tidur tenang. Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur juga mempengaruhi kualitas tidur. Selain itu, cahaya, suhu dan suara dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Klien ada yang menyukai tidur dengan lampu yang dimatikan, remang-remang atau tetap menyala. Suhu yang panas atau dingin menyebabkan klien mengalami kegelisahan (Potter & Perry, 2011).

g. Asupan makanan dan kalori

Gangguan pola tidur dapat berhubungan dengan pola makan. Makan dalam porsi besar, berat dan berbumbu pada makan malam juga menyebabkan makanan sulit dicerna sehingga dapat mengganggu tidur. Penggunaan bahan-bahan yang mengandung kafein, nikotin, alkohol dan xanthine dapat merangsang sistem saraf pusat sehingga berdampak pada perubahan pola tidur (Potter & Perry, 2011).

7. Perubahan Tidur pada Lanjut Usia

Jumlah tidur total pada umumnya tidak berubah sesuai pertambahan usia, akan tetapi kualitas tidur pada lansia kebanyakan berubah (Potter & Perry, 2011). Periode REM cenderung memendek dimana terdapat progresif pada tahap tidur NREM 3 dan NREM 4, bahkan beberapa lansia hampir tidak memiliki tahap tidur 4 atau disebut tidur


(52)

34

dalam. Selama proses penuaan, pola tidur mengalami perubahan yang khas, yang berbeda dengan orang pada umumnya/dewasa normal. Hal tersebut mencakup latensi tidur, gangguan tidur pada dini hari, dan peningkatan jumlah tidur siang serta waktu untuk tidur lebih dalam menurun.

Pada penelitian di laboratorium tidur, lansia memiliki waktu tidur dalam (delta sleep) yang pendek, justru lebih panjang pada periode tidur stadium satu dan dua. Dari hasil test dengan alat Polysomnographic ditemukan lansia mempunyai penurunan yang signifikan dalam Rapid Eye Movement (REM) dan Slow Wave Sleep. Pada lansia juga terjadi perubahan irama sirkadian tidur normal, yang mengakibatkan kurang sensitif terhadap pencahayaan terang dan gelap (Darmojo, 2009).

Normalnya irama sirkadian menjalankan peranan dalam pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Pada usia lanjut ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Hormon melatonin yang diekskresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur, menurun seiring bertambahnya usia (Darmojo, 2009).

8. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia

Sampai saat ini berbagai penelitian menunjukkan, penyebab gangguan tidur pada lanjut usia dipengaruhi oleh beberapa faktor. Darmojo (2009) menyatakan bahwa ada 3 gangguan tidur yang digolongkan sebagai gangguan tidur primer, yakni terdiri atas;


(53)

a. Gangguan tidur karena gangguan pernapasan (Sleep Disordered Breathing). Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok saat tidur dan mengatuk hebat pada siang hari. Gangguan tidur ini dibagi menjadi 3, yaitu; Upper Airway Resistance Syndrome (UARS), Obstructive Sleep Apnea (OSA), Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS). Jenis yang paling banyak ditemukan adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang terjadi karena oklusi sebagian atau total saluran napas atas. Hal ini disertai dengan penurunan tonus otot pernapasan dan jaringan pada cavum oral selama tidur.

b. Sindrom kaki kurang tenang atau Restless Legs Syndrome (RLS) dan gangguan gerakan tungkai secara periodik atau Periodic Limb Movement Disorder (PLMD). Restless Legs Syndrome (RLS) ditandai dengan rasa tidak enak pada kaki yang berlebihan selama malam saat penderita istirahat. Penderita juga merasa seperti dirayapi semut atau hewan kecil sehingga menyebabkan penderita menggerakkan kakinya, atau berjalan guna menghilangkan rasa tidak enak tersebut. Sedangkan gangguan tungkai yang periodik atau juga disebut Periodic Limb Movement Disorder (PLMD), mungkin menyertai sindrom kaki kurang tenang atau berdiri sendiri. Biasanya ditandai gerakan yang tiba-tiba dan berulang contohnya gerakan menendang, lamanya sekitar 20-40 detik. Dengan adanya kondisi seperti ini, penderita biasanya mengeluhkan rasa lelah yang berlebihan saat bangun tidur dan tidur tidak nyenyak.


(54)

36

c. Gangguan perilaku Rapid Eye Movement (REM). Gangguan ini sangat jarang terjadi, tetapi sering muncul pada usia lanjut. Proses yang mendasari gangguan ini adalah disinhibisi transmisi aktivitas motorik saat bermimpi. Pasien sering jatuh atau melompat dari tempat tidur.

9. Penatalaksanaan Gangguan Tidur

Ada dua cara dalam hal penatalaksanaan gangguan tidur, yaitu secara farmakologis dan non-farmakologis.

a. Farmakologis

Dalam penatalaksanaan farmakologis, hanya ada beberapa yang efektif untuk menangani gangguan tidur pada lanjut usia. 1) Restless Legs Syndrome (RLS) dan Periodic Limb Movement

Disorder (PLMD) dapat diberikan obat anti parkinson carbidopa-levodopa (formula 25-100 mg) dengan dosis awal 1 kali setengah tablet saat mau tidur. Pergolide dapat juga digunakan dengan dosis awal sangat rendah (0,05 mg) 2 jam sebelum tidur. Obat lain yang dapat digunakan untuk kedua gangguan tidur ini adalah benzodiazepine 1 kali saat mau tidur, atau codeine atau oxycodone (Darmojo, 2009).

2) REM Behavior Disorder (RBD) dapat diberikan obat golongan benzodiazepine kerja lama seperti klonasepam saat mau tidur sekali sehari (Darmojo, 2009).


(55)

b. Non-Farmakologis

Penanganan secara non-farmakologi sangat beragam macamnya, tergantung pada jenis gangguan tidur yang dialami. Pada kasus Obstructive Sleep Apne (OSA) dapat dilakukan posisi tidur miring, dan aktivitas/olahraga untuk penurunan berat badan. Lain halnya dengan kasus Restless Legs Syndrome (RLS) dan Periodic Limb Movement Disorder (PLMD), merendam kaki dan tungkai atas dengan air hangat serta olah raga ringan (jalan kaki) yang dikerjakan teratur dapat menghilangkan gejala kedua gangguan tidur ini (Darmojo, 2009).

Terapi non-farmakologis yang lainnya adalah terapi komplementer. Terapi komplementer ini bersifat terapi pengobatan alamiah diantaranya adalah dengan terapi herbal, terapi nutrisi, relaksasi progresif, meditasi, terapi tawa, akupuntur, akupresur, aromaterapi, refleksiologi dan hidroterapi (Sudoyo, 2006). Salah satu terapi komplementer yang dapat direkomendasikan untuk mengatasi gangguan tidur adalah dengan Hydrotherapy. Teknik yang digunakan adalah memanfaatkan air untuk menyembuhkan dan meredakan berbagai macam penyakit ringan dan air juga bisa digunakan dalam sejumlah cara yang berbeda (Sulaiman, 2009). Manfaat hydrotherapy khususnya penggunaan air hangat adalah membantu merangsang sirkulasi darah, serta menyegarkan tubuh. Hal ini berakibat pada efek peningkatan relaksasi (Handoyo, 2014).


(56)

38

C. Hydrotherapy 1. Pengertian

Hydrotherapy adalah penggunaan air untuk menyembuhkan dan meringankan berbagai keluhan. Untuk itu, air dapat digunakan dalam berbagai cara dan kemampuannya sudah diakui sejak dahulu (Sustrani, dkk, 2006). Hydrotherapi juga merupakan metode terapi dengan pendekatan “lowtech” yang mengandalkan pada respon-respon tubuh terhadap air.

The National Center on Physical Activity and Disability (2009) menyatakan bahwa hydrotherapy adalah aplikasi eksternal yang menggunakan air, baik untuk efek tekanan atau sebagai sarana menerapkan energi fisik untuk jaringan. Hydrotherapy diindikasikan untuk gangguan sensori, Range of Motion atau ROM yang terbatas, kelelahan, nyeri, masalah respirasi, masalah sirkulasi, depresi, penyakit jantung, dan obesity. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan tidur. Hydrotherapy juga merupakan sejumlah latihan fisik dengan berendam di dalam air hangat. Bentuk terapi fisik ini dapat membantu seseorang untuk mengurangi berbagai keluhan, salah satunya dengan merendam kaki. Kehangatan air membantu mengendurkan otot dan mengurangi nyeri, hal inilah yang menimbulkan rasa rileks pada tubuh (Arnot, 2009).

2. Jenis-Jenis Hydrotherapy

Hydrotherapy memiliki berbagai macam jenis, Ningrum (2012) membaginya sebagai berikut:


(57)

a. Rendaman air

Jenis terapi ini adalah dengan melakukan perendaman bagian tubuh tertentu di dalam bak atau kolam yang berisi air bersuhu tertentu selama minimal 10 menit.

b. Pusaran Air (Whirlpool)

Terapi ini menggunakan berbagai alat jet atau juga nozzle yang dapat menambah tekanan pada pompa. Alat ini dirancang khusus dengan tekanan dan suhu yang dapat diatur sesuai kebutuhan.

c. Pancuran Air

Terapi ini menggunakan pancuran air dengan tekanan dan suhu tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan.

d. Terapi air panas dan dingin (Contrast Bath)

Terapi ini menggunakan dua jenis air yang temperaturnya berbeda, yakni panas dan dingin dan dilakukan secara bergantian.

Diantara jenis-jenis Hydrotherapi di atas, perendaman menggunakan air hangat sangat efektif sebagai upaya untuk peningkatan kualitas tidur (Ebben dan Spielman, 2006). Teknik yang digunakan dapat berupa perendaman kaki dalam sebuah bak yang berisi air hangat.

3. Merendam Kaki dengan Air Hangat

Merendam kaki dengan air hangat merupakan pemberian aplikasi panas pada tubuh untuk mengurangi gejala nyeri akut maupun kronis. Terapi ini efektif untuk mengurangi nyeri yang berhubungan dengan ketegangan otot walaupun dapat juga dipergunakan untuk mengatasi


(58)

40

masalah hormonal dan kelancaran peredaran darah. Pengobatan Tradisional Tiongkok menyebut kaki adalah jantung kedua tubuh manusia, barometer yang mencerminkan kondisi kesehatan badan. Ada banyak titik akupunktur di telapak kaki. Enam meridian (hati, empedu, kandung kemih, ginjal, limpa dan perut) ada di kaki (Arnot, 2009). Panas pada fisioterapi dipergunakan untuk meningkatkan aliran darah kulit dengan jalan melebarkan pembuluh darah yang dapat meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi pada jaringan. Panas juga meningkatkan elastisitas otot sehingga mengurangi kekakuan otot (Intan A, 2010).

Beberapa negara maju menerapkan terapi stimulus control dengan menggunakan air hangat sudah banyak dilakukan. Menurut Vinencenz Priesnisz dan Pastor Sebastian Kneipp (2005), merendam kaki dengan air hangat yang bertemperatur 37°C-39°C bermanfaat dalam menurunkan kontraksi otot sehingga menimbulkan perasaan rileks yang bisa mengobati gejala kurang tidur dan infeksi.

4. Respon Tubuh Saat Merendam Kaki dengan Air Hangat

Kerja air hangat pada dasarnya adalah meningkatkan aktivitas molekuler (sel) dengan metode pengaliran energi melalaui konveksi (pengaliran lewat medium cair) (Intan A, 2010). Metode perendaman kaki dengan air hangat memberikan efek fisiologis terhadap beberapa bagian tubuh organ manusia. Berikut ini adalah beberapa organ yang mengalami perubahan fisiologis, yaitu:


(59)

a. Jantung

Tekanan hidrostatik air terhadap tubuh mendorong aliran darah dari kaki menuju ke rongga dada dan darah akan berakumulasi di pembuluh darah besar jantung. Air hangat akan mendorong pembesaran pembuluh darah kulit dan meningkatkan denyut jantung. Efek ini berlangsung cepat setelah terapi air hangat diberikan (Ningrum, 2012).

b. Jaringan otot

Air hangat dapat mengendorkan otot sekaligus memiliki efek analgesik. Tubuh yang lelah akan menjadi segar dan mengurangi rasa letih yang berlebihan. Hal ini dapat mengurangi gejala kesemutan atau Restless Legs Syndrom (RLS) pada lansia (Darmojo, 2009; Ningrum, 2012).

c. Organ Pernapasan

Aliran darah yang lancar akan membawa nutrisi dan oksigen yang cukup untuk dibawa ke rongga dada serta paru-paru. Peningkatan kapasitas paru juga dapat terjadi, hal ini dapat mengurangi gejala Sleep Disordered Breathing (SDB) (Darmojo, 2009; Ningrum, 2012).

d. Sistem Endokrin

Berendam menggunakan air hangat dapat melepaskan dan meningkatkan sekresi hormon pertumbuhan tubuh. Sirkulasi hormon kortisol misalnya, air hangat dapat meningkatkan sekresi hormon tersebut dan menimbulkan rasa “kegembiraan” bagi seseorang. Pada


(60)

42

terapi merendam kaki dengan air hangat dapat menyebabkan efek sopartifik (efek ingin tidur), hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh peningkatan sekresi hormone melatonin sebagai dampak dari rendam air hangat pada kaki sehingga seseorang yang merendam kakinya dengan air hangat dapat meningkat kualitas tidurnya (Amirta, 2007; Ningrum 2012).

e. Persyarafan

Efek merendam kaki dengan air hangat dapat menghilangkan stress (Ningrum, 2012). Tidak hanya itu, jika merendam kaki dilakukan lebih dari 5 menit akan menimbulkan relaksasi (Ebben & Spielman, 2006).

Adapun manfaat dari terapi air hangat adalah sebagai berikut : 1) Produksi perasaan rileks.

2) Merangsang ujung saraf untuk membuat perasaan segar kembali.

3) Meningkatkan sirkulasi darah. 4) Peningkatan metabolisme jaringan. 5) Penurunan kekakuan tonus otot. 6) Peningkatan migrasi leukosit. 7) Analgesik dan efek sedatif.

D. Penelitian Terkait

1. Penelitian yang dilakukan oleh Khotimah (2012) dengan judul “Pengaruh Rendam Air Hangat Pada Kaki Dalam Meningkatkan Kuantitas Tidur Lansia.” dengan jumlah responden 20 lansia yang berusia lebih dari 60 tahun. Metode penelitian yang digunakan adalah pra eksperimen dengan


(61)

pendekatan one group pre test post test desain. Pemilihan sampel dengan teknik total sampling yang terdiri dari 20 responden lansia >60 tahun. Intervensi rendam kaki dilakukan dan diobservasi sebanyak 2 kali. Kuantitas tidur responden sebelum dan sesudah intervensi diukur dengan lembar observasi. Analisis data menggunakan uji paired t test dengan tingkat kemaknaan α=0,05 lalu kemudian diuji efektitivitasnya dengan uji Anova. Hasil penelitian menunjukan adanya peningkatan kuantitas tidur (durasi tidur total) lansia setelah merendam kaki dengan air hangat. Perbedaan rata-rata kuantitas tidur lansia antara sebelum dan sesudah intervensi menunjukkan hasil analisis uji paired t test (p<0,05) dan hasil analisis uji anova menunjukkan nilai p<0,05. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara rata-rata kuantitas tidur lansia sebelum dan sesudah intervensi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kuantitas tidur lansia di Desa Mojojejer Kecamatan Mojowarno Kabupaten Jombang.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Moura Silva, Pereira Tucano, et, all (2012) mengenai efek dari hydrotherapy yang berjudul “Effect of hydrotherapy on quality of life, functional capacity and sleep quality in patients with fibromyalgia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek hydrotherapy pada fungsi dan kualitas tidur pasien dengan fibromyalgia. Metode yang digunakan adalah dengan menilai 60 pasien wanita dengan fibromyalgia yang berusia antara 30 sampai 65 tahun. Dari 60 pasien yang dinilai, 20 pasien dikeluarkan dan 10 meninggalkan penelitian karena mereka tidak bisa memenuhi jadwal waktu. Program hidrotherapi dilakukan di kolam


(62)

44

renang hangat dalam ruangan tertutup (indoor). Pelatihan tersebut dilakukan dalam dua kali seminggu selama dua bulan, dan masing-masing sesi berlangsung 60 menit. Setelah diberikan intervensi, pasien mengisi tiga kuesioner yang terdiri dari: Fibromyalgia Impact Questionnaire (FIQ), Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), Epworth Sleepiness Scale (ESS). Setelah program hydrotherapy, pasien mengalami peningkatan aspek-aspek yang dinilai dengan menggunakan Fibromyalgia Impact Questionnaire (FIQ) yakni; fungsi fisik, ketidakhadiran kerja, kemampuan untuk melakukan pekerjaan, intensitas nyeri, kelelahan, kelahan dipagi hari, kekakuan (P <0,0001), kecemasan (P = 0 ,0013), dan depresi (P <0,0001). Kualitas tidur (P <0,0001) dan kantuk di siang hari (P = 0,0003) juga meningkat. Kesimpulannya hydrotherapy meningkatkan kualitas tidur, fungsi fisik, status profesional, gangguan psikologis dan gejala fisik pada pasien dengan fibromyalgia.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Ebben & Spielman (2006) dengan judul ”The Effect of Distal Limb Warming on Sleep Latency” pada 11 responden. Dalam penelitian ini responden diberikan intervensi berupa perendaman kaki dan tangan dengan suhu 42oC selama lima menit sebelum responden jatuh tertidur. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan dalam latensi tidur (p>0,05) antara kondisi kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok perlakuan mengalami penurunan latensi tidur setelah program hidrotherapi (p<0,05), diikuti dengan kelompok kontrol setelah beberapa uji latensi tidur dilakukan.


(63)

E. Kerangka Teori

Bagan 2. 2 Kerangka teori: modifikasi dari teori Darmojo (2009), Handoyo (2014), Hidayat (2008), Juddith, dkk (2010), Maryam (2008), Potter & Perry (2011), Stanley & Beare (2007), Sudoyo (2006).

Lanjut Usia Perubahan aspek fisiologik

Perubahan pada sistem saraf dan sistem endokrin

Sekresi norepinephrine dan serotonin terganggu Perubahan pada Suprachiasmatic Nucleus Penurunan sekresi melatonin Terganggunya irama sirkadian Gangguan tidur Terapi Diet dan terapi nutrisi Kualitas tidur buruk Usia Penyakit fisik

Obat-obatan dan zat tertentu Gaya hidup

Stres emosional Lingkungan

Asupan makanan dan kalori

Non-Farmakologis Farmakologis

Relaksasi Progresif Meditasi Akupuntur

& Akupresur Hydrotherapy

(Merendam Kaki dengan Air Hangat)


(64)

46

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting (Sugiyono, 2010). Kerangka konsep dalam penelitian ini akan menjelaskan hubungan antar variabel yang akan diteliti yaitu hubungan antara variabel independen dan variabel dependen. Variabel bebas (independen) yang ingin diketahui yakni pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia, sedangkan variabel terikat (dependen) yang akan diteliti yaitu skor kualitas tidur lansia. Adapun skema kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagan 3. 1 Kerangka Konsep Penelitian

Pra intervensi Intervensi Post intervensi

Keterangan :

= Variabel terikat = Variabel bebas


(65)

Berdasarkan bagan 3. 1 di atas, variabel dalam penelitian ini adalah: a. Variabel bebas (independen) adalah merendam kaki dengan air hangat. b. Variabel terikat (dependen) adalah kualitas tidur pada lansia.

B. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep penelitian tersebut di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ho= Tidak Ada pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia di wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon Jawa Barat.

Ha= Ada pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia di wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon Jawa Barat.


(66)

48

C. Definisi Operasional

Tabel 3. 1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1. Merendam kaki dengan air hangat

Terapi nonfarmakologis dengan memberikan rangsang hangat pada kaki dengan suhu 38o -42oC yang dapat

menimbulkan rasa rileks dan tenang dalam waktu 10 menit sebelum tidur malam selama 5 hari berturut-turut.

Menggunakan lembar

observasi yang dibuat oleh peneliti dan di isi oleh responden atau keluarga dengan sejujur-jujurnya. Lembar observasi yang terdiri dari: komponen prosedur tindakan, tanggal perlakuan, jam perlakuan, keterangan tindakan, dan paraf responden. Perlakuan dikatakan berhasil jika: 1. Responden melakukan dengan baik dan benar sesuai prosedur yang diberikan peneliti. 2. Responden melakukan

perlakuan selama 5 hari berturut.

Nominal

2. Kualitas tidur Pernyataan subjektif tentang kepuasan tidur yang ditandai dengan merasakan tidak ada masalah dengan tidurnya dan durasinya cukup.

Kuesioner yang terdiri dari 7 komponen pertanyaan mengenai; kualitas tidur secara subjektif, waktu Pittburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang di buat oleh D. J Buysse, Reynolds, Monk, Berman dan Kupfer (1989), yang telah Hasil pengukuran dinyatakan dengan skor 0-21 yang merupakan skor total dari

penjumlahan tujuh komponen,

semakin tinggi skor total maka semakin buruk kualitas


(67)

mulainya tidur, lamanya tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, kebiasaan penggunaan obat-obatan dan aktivitas yang dapat mengganggu tidur serta aktivitas sehari-hari terkait dengan tidur. Skor setiap komponen adalah 0-3

diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia

tidurnya. Kesimpulannya dengan batasan skor <5 berarti kualitas tidurnya baik, ≥5 kualitas tidurnya buruk.


(68)

50

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan pendekatan studi kuantitatif dengan desain penelitian quasi eksperimen. Rancangan penelitian ini adalah one group pre test and post test design merupakan rancangan penelitian yang mengungkapkan hubungan sebab akibat yang menggunakan satu kelompok subjek dengan cara melakukan pengukuran sebelum dan setelah perlakuan. Perbedaan kedua hasil pengukuran dianggap sebagai efek perlakuan (Nursalam, 2008). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh merendam kaki dengan air hangat terhadap kualitas tidur lansia di wilayah kerja PUSKESMAS Astanalanggar Kecamatan Losari Cirebon.

Penelitian ini hanya menggunakan satu kelompok sampel tanpa menggunakan kelompok kontrol. Kelompok sampel diberi tes awal (pre test) lalu diberikan perlakuan selama lima hari secara berturut-turut dan kemudian diberikan tes akhir (post test). Pre test dan post test dilakukan dengan menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.

Bagan 4. 1 Desain Penelitian ( K )

Keterangan

K : Subjek (Lansia)

O : Observasi kualitas tidur sebelum intervensi (Pre test) I : Intervnesi (Merendam kaki dengan air hangat) OI : Observasi kualitas tidur setelah intervensi (Post test)


(1)

Ranks (Komponen 7)

N Mean Rank Sum of Ranks Disfungsi siang hari

(post) - Disfungsi siang hari (pre)

Negative Ranks 11a 6,00 66,00

Positive Ranks 0b ,00 ,00

Ties 9c

Total 20

a. Disfungsi siang hari (post) < Disfungsi siang hari (pre) b. Disfungsi siang hari (post) > Disfungsi siang hari (pre) c. Disfungsi siang hari (post) = Disfungsi siang hari (pre)

Test Statisticsa

Disfungsi siang hari (post) - Disfungsi siang hari (pre)

Z -3,317b

Asymp. Sig. (2-tailed) ,001

a. Wilcoxon Signed Ranks Test b. Based on positive ranks.

Uji Independent T test Skor PSQI antara Perempuan dan Laki-laki (pre test)

Group Statistics

Jenis kelamin N Mean Std. Deviation Std. Error Mean Skor Total Pre test Perempuan 11 15,09 2,212 ,667

Laki-laki 9 15,33 2,398 ,799

Independent Samples Test

Skor Total Pre test Equal variances assumed Equal variances not assumed Levene's Test for Equality of

Variances

F ,016

Sig. ,900

t-test for Equality of Means

T -,235 -,233

Df 18 16,584

Sig. (2-tailed) ,817 ,819

Mean Difference -,242 -,242

Std. Error Difference 1,032 1,041

95% Confidence Interval of the Difference

Lower -2,411 -2,443


(2)

Lampiran 6

Daftar Urut Nomor Responden

No.

Nama (Inisial)

Usia

Alamat

1

Bpk. So

66

Ds. Astanalanggar

2

Bpk. T

65

Ds. Astanalanggar

3

Ibu R

62

Ds. Astanalanggar

4

Bpk. Su

66

Ds. Astanalanggar

5

Ibu M

68

Ds. Astanalanggar

6

Bpk. A

65

Ds. Barisan

7

Bpk. K

61

Ds. Barisan

8

Ibu RH

62

Ds. Pasuruan

9

Ibu K

64

Ds. Astanalanggar

10 Ibu S

73

Ds. Pasuruan

11 Ibu D

79

Ds. Pasuruan

12 Ibu E

66

Ds. Pasuruan

13 Ibu A

65

Ds. Astanalanggar

14 Bpk. J

67

Ds. Barisan

15 Ibu T

68

Ds. Pasuruan

16 Bpk. D

65

Ds. Barisan

17 Ibu L

62

Ds. Barisan

18 Ibu W

70

Ds. Astanalanggar

19 Bpk. Y

65

Ds. Barisan


(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

PENGARUH MASASE KAKI DAN RENDAM AIR HANGAT PADA KAKI TERHADAP PENURUNAN Pengaruh Masase Kaki Dan Rendam Air Hangat Pada Kaki Terhadap Penurunan Insomnia Pada Lansia.

6 33 12

PENGARUH MASASE KAKI DAN RENDAM AIR HANGAT PADA KAKI TERHADAP PENURUNAN Pengaruh Masase Kaki Dan Rendam Air Hangat Pada Kaki Terhadap Penurunan Insomnia Pada Lansia.

0 22 16

PENGARUH TERAPI RENDAM AIR HANGAT PADA KAKI TERHADAP INSOMNIA PADA LANSIA DI KELURAHAN ANGGES KECAMATAN TAHUNA BARAT

0 0 8

Pengaruh Rendam Air Hangat Pada Kaki Dalam Meningkatan Kuantitas Tidur Lansia

0 0 5

View of PENGARUH RENDAM KAKI DENGAN AIR HANGAT TERHADAP KUALITAS TIDUR LANSIA DI DESA PAKUSAMBEN KECAMATAN BABAKAN KABUPATEN CIREBON

0 0 14

SKRIPSI PENGARUH RENDAM KAKI AIR HANGAT TERHADAP LATENSI DAN DURASI TIDUR LANSIA DI PANTI WERDHA SINAR ABADI SINGKAWANG, KALIMANTAN BARAT

0 0 15

PENGARUH RENDAM KAKI DENGAN AIR HANGAT TERHADAP KUALITAS TIDUR USIA LANJUT DI DUSUN MANGIRAN TRIMURTI SRANDAKAN BANTUL NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Rendam Kaki Dengan Air Hangat Terhadap Kualitas Tidur Pada Usia Lanjut di Dusun Mangiran Trimurti Srandakan

0 0 16

PENGARUH MANDI DENGAN AIR HANGAT TERHADAP KUALITAS TIDUR LANSIA DI BPSTW UNIT BUDHI LUHUR BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - PENGARUH MANDI DENGAN AIR HANGAT TERHADAP KUALITAS TIDUR LANSIA DI BPSTW UNIT BUDHI LUHUR BANTUL YOGYAKARTA - DIGILIB UNISAYOGYA

0 0 12

PENGARUH TERAPI RENDAM KAKI AIR HANGAT TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS TIDUR LANSIA DI DESA ARGOPENI KECAMATAN AYAH KABUPATEN KEBUMEN

0 0 17

STUDI KASUS Penerapan Rendam Air Hangat Pada Kaki Dalam Meningkatkan Kuantitas Tidur Pada Lansia di Puskesmas Bae

0 1 10