BAB IV Hambatan-Hambatan Dalam Penegakan Hukum
Terhadap Pungutan Liar
A. Pembagian Kewenangan Penyidikan yang Tidak Jelas
Menurut sistem peradilan pidana criminal justice system, peran aparat
penegak hukum, khususnya penyidik, sangatlah strategis. Penyidik merupakan pintu gerbang utama dimulainya tugas pencarian kebenaran materiil. Melalui proses
penyidikan upaya penegakan hukum berawal. Karena itu, kewenangan untuk melakukan penyidikan atas suatu tindak pidana perlu memperoleh kejelasan, tidak
saja terkait institusi mana yang berwenang menyidik tetapi juga seberapa luas kewenangan tersebut dilaksanakan, guna menghindari munculnya tarik menarik
kewenangan yang potensial menyebabkan terlanggarnya rasa keadilan masyarakat.
154
Kewenangan penyidikan diberikan pada institusi lain untuk terlibat langsung dalam proses penyidikan sejatinya telah memiliki dasar pijakan yuridis, baik dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP maupun undang-undang lainnya. Namun hal tersebut menimbulkan dapat menimbulkan masalah dalam
penegakan hukum di Indonesia.
155
154
Abdul Rahman Saleh. Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz: Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2008, hal. 87.
155
Kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi semakin dikukuhkan dengan adanya Undang-Undang No. 16 tahun 2004 yang mengatur kewenangan Jaksa
menyidik tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan dari undang-undang khusus selama ini, telah banyak institusi selain Kepolisian KUHAP yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan,
antara lain: 1.
Aparat kejaksaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 30 ayat 1 huruf d. Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang menyebutkan: Di
bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
2. Perwira TNI AL, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-undang
No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, khususnya Pasal 14 ayat 1 yang menyebutkan: Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia”. 3.
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Pasal 31 ayat 1 juga menunjuk Perwira Tentara Nasional Indonesia TNI AL sebagai penyidik dalam
tindak pidana di area Zone Ekonomi Eksklusif; 4.
Pejabat Bea dan Cukai sebagai penyidik berdasarkan Pasal 112 ayat 1 Undang- undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
5. Pasal 89 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang menegaskan
bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Merek.
Kewenangan pada beberapa institusi untuk melakukan penyidikan, di satu sisi akan memudahkan dalam pengungkapan suatu kasus tindak pidana mengingat
banyaknya kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas penyidikan, sehingga keterlibatan institusi tersebut dalam tugas penyidikan
dapat membantu proses penegakan hukum. Namun di sisi lain hal tersebut dapat menimbulkan kondisi disharmonis yang memicu terjadinya tarik menarik
kewenangan antar institusi, dan bermuara pada terhambatnya proses penegakan hukum.
156
Tarik-menarik kewenangan dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi sangat sering dijumpai dalam praktik penegakan hukum dewasa ini, yang
paling banyak terjadi yaitu antara Institusi Kejaksaan dengan Kepolisian.
157
Adanya, tarik menarik kewenangan ini terkadang dimanfaatkan oleh pihak yang diperiksa
tersangka kasus korupsi untuk mengambil keuntungan.
158
Contoh lainnya yaitu dalam penegakan hukum kasus pungutan liar, diberikannya kewenangan kepada aparat Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi
ini merupakan salah satu contoh pemikiran yang bersifat pragmatis, dan masih mengendap di kalangan aparat
penegak hukum tersebut.
156
O.C. Kaligis, Pengawasan terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, Op. Cit, hal. 55.
157
Lihat juga Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media, 2010, hal. 117.
158
Hasil wawancara dengan Kepala Seksi Penyidikan Bidang Pidana Khusus di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
Pemberantasan Korupsi untuk menyidik kasus korupsi ternyata tidak menyebabkan kasus korupsi semakin berkurang malahan yang muncul adalah tarik menarik
kewenangan antar intitusi yang berdampak pada terhambatnya proses penegakan hukum.
Sebagaimana yang terjadi dewasa ini, bahwa masing-masing sub sistem peradilan pidana diatur dalam undang-undang tersendiri. Setiap kali lahir undang-
undang yang mengatur salah satu sub sistem peradilan pidana, lebih berorientasi pada kemantapan eksistensi sub sistem peradilan tersebut, dan pada saat yang bersamaan
seolah-olah terjadi fragmentasi karena tidak berorientasi pada bekerjanya sistem peradilan pidana yang terintegrasi.
159
Permasalahan kewenangan penyidikan dapat menjadi polemik institusional yang patut menjadi perhatian kita semua. Soal kewenangan adalah masalah gengsi
institusional karenanya akan selalu terjadi pencegahan-pencegahan pengurangan kekuasaan atau kewenangan. Pengurangan kekuasaan dapat menimbulkan sikap
persepsi keliru dari institusi yang menerima pengurangan tersebut. Institusi dapat dianggap tidak mampu melaksanakan kekuasaan yang diberikan, tidak cakap
melaksanakan kekuasaan bahkan dianggap tidak pernah memberikan akuntabilitas memadai sesuai dengan harapan masyarakat, apalagi kewenangan ini menyangkut
159
Unsur-unsur sub sistem yang ada cenderung bekerja dengan misi mereka masing-masing tanpa menghiraukan keterkaitan dan keterpaduan di antara sesame penegak hukum sehingga
menimbulkan ketidak teraturan dalam system peradilan pidana yang ada.
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan, akibatnya yang timbul adalah arogansi sektoral sehingga akan menggangu proses integrated criminal justice system secara komprehensif.
160
Masing-masing institusi penegak hukum mempertahankan arogansi sektoral juga dapat mengakibatkan rasa keadilan masyarakat terkorbankan. Melihat
permasalahan penegakan hukum seperti ini sudah dapat dipastikan bahwa masyarakat akan meragukan tegaknya wibawa hukum di tanah air. Namun inilah gambaran
realitas penegakan hukum di negara kita.
161
Oleh sebab itu perlu adanya ketentuan yang mengatur tentang bekerjanya sistem peradilan pidana yang terintegrasi mulai
dari sub sistem penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan.
162
Hal ini dapat menyebabkan komunikasi dan koordinasi antar instansi dalam penegakan hukum pungutan liar belum sepenuhnya berjalan lancar. Akibatnya kasus-
kasus pungutan liar yang sering menuntut kerjasama erat antar instansi, tidak dapat diperjuangankan secara maksimal.
Secara umum terdapat tiga jenis kerjasama dalam penegakan hukum di indonesia, yaitu:
160
Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Jakarta: Didit Media, 2009, hal. 367.
161
Lihat juga artikel berjudul “Kabareskrim Setuju Kewenangan Penyidikan Kejaksaan Dipangkas”, diakses melalui http:www.hukumonline.comberitabacalt4db91ed80f66ckabareskrim-
setuju-kewenangan- penyidikan-kejaksaan-dipangkas pada tanggal 23 juni 2012.
162
Sebagai contohnya dengan pelayanan institusi peradilan yang cukup berbelit-belit dan tidak transparan, birokrasi panjang dan berbelit justru memberatkan para pencari keadilan dank arena
ongkosnya juga mahal, sehingga berdampak masyarakat tidak bersikap partisipatif dalam penanggulangan masalah kejahatan. Hal ini dapat memunculkan ketidak percayaan publik terhadap
penegakan hukum.
Universitas Sumatera Utara
1. kerja sama lembaga penegak hukum dengan lembaga pemerintah atau komisi
independen, seperti Kejaksaan dengan BPK, BI, PPATK, BPKP, Komisi Ombudsman Nasional, BIN, komisi Kejaksaan.
2. kerja sama lembaga penegak hukum dengan lembaga penegak hukum lainnya,
seperti Kejaksaan dengan KPK, Kepolisian, dan Kehakiman. 3.
kerja sama lainnya lebih bersifat koordinasi, misalnya dalam hal penyelesaian kasus bank bermasalah. Hal ini menuntut koordinasi antara lembaga penyidik
dan Bank Indonesia. Penegakan hukum terhadap pungutan liar memerlukan peningkatan
komunikasi dengan lembaga-lembaga yang telah terikat kerja sama dengan cara mengembangkan petunjuk teknis
163
sebagai penjabaran nota kesepahaman, penunjukan liaison officer
164
guna memperlancar komunikasi, penyelenggaraan pertemuan berkala untuk mencapai maksud dan sasaran diselenggarakan kerjasama.
B. Mekanisme Perlindungan Saksi yang Belum Jelas