Batas usia pertanggungjawaban pidana anak dalam kitab undang-undang hukum pidana menurut tinjauan hukum islam (Analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel)

(1)

DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM

(Analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

BRINNA LISTIYANI

NIM : 1112045100003

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI JINAYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

BRINNA LISTIYANI. NIM : 1112045100003. BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel), Skripsi. Konsentrasi Jinayah, Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.

Pertanggungjawaban pidana dapat dilaksanakan jika telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana. Namun, seseorang bisa saja tidak dimintai pertanggungjawaban apabila tidak memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana misalnya anak dibawah umur. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) pertanggungjawaban pidana anak ada di Pasal 45, 46 dan 47 yang berisikan seorang anak yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun tidak dimintai pertangungjawabannya. Undang-undang tentang pidana anak beraneka ragam dalam menetapkan batas usia seseorang dikategorikan sebagai anak.

Dalam putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.sel seseorang yang berusia 17 (tujuh belas) tahun masuk dalam Sidang Anak dan dijatuhi pidana sesuai undang-undang pengadilan anak. Putusan hakim ini berbeda dengan aturan pidana bagi anak dalam KUHP. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis membandingkan beberapa undang-undang yang mengatur tentang pidana anak dengan KUHP

Sedangkan menurut hukum Islam, seorang anak yang telah masuk usia

balligh ulama’ sepakat berusia 15 (lima belas) tahun sudah dimintai

pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang dilakukannya dan dihukum atau di sanksi sesuai dengan hukuman yang diberikan kepada orang dewasa.

Penulis menggunakan pendekatan normatif yang dilakukan dengan studi pustaka (library research), yaitu dengan menelaah buku-buku, media cetak atau elektronik yang berkaitang dengan batas usia pertanggungjawaban pidana anak.

Kata Kunci : Batas Usia Anak, Pertanngungjawaban Pidana Anak, Pembimbing : Dr. Isnawati Rais, MA


(6)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang.

Skripsi ini berjudul “BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT TUNJAUAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel) disusun sebagai salah satusyarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bpk Prof. Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Bpk Dr. Asep Saefudin Djahar,M.A,Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bpk Dr. M. Nurul Irfan, M.A, Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam dan v


(7)

Islam, yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Hj. Isnawati Rais, sebagai dosen pembimbing yang rela meluangkan waktunya dan selalu memberikan masukan, arahan dan kritikan yang konstruktif pada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku dan literature lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan. 6. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan yang

telah diberikan kepada Penulis selama masa pendidikan berlangsung.

7. Terimakasih Ayahanda Nono Sumedji dan Ibunda Rinawati, yang telah mengajarkan bahasa cinta dan kasih sayang serta doa tulus beliau yang tak henti-hentinya. Om Pahrudin Saputra dan Teh Nila Yanti yang telah memberikan dukungan baik moral dan materi kepada Penulis. Adik kandungku Najla Nurul Aini, yang rela membantu dan memberi motivasi demi kelancaran Penelitian. Terimakasih kepada

8. Rahmat Syarifudin, yang telah memberikan motivasi secara moral dan materi agar penulis tetap semangat sehingga tugas akhir skripsi ini dapat terselesaikan.

9. Terimakasih Rahmat Syarifudin, yang telah memberikan motivasi agar penulis segera menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.


(8)

11.Terimakasih Organisasi Himpunan Ikatan Mahasiswa Tebuireng (HIKMAT) dan Organisasi PMII Komfaksyahum, yang telah menjadi himpunan sebagai wadah pengetahuan dan pengalaman dalam mencari jati diri.

12.Terimakasih teman seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi ini bersama-sama, Arief Setiawan Onira, Imas Maesaroh, M. Faruq, M. Irfan Hilmy, Sevi Syophia, Nidaul Hasanah, Deni Kurniawati, Afiq Zaki Lubis, Munawaroh Halimah, Lativah Noor, Rizky Faray dan lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Terimakasih kalian telah memberikan bantuan agar penulis menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

Semoga atas segala bantuan, dukungan, motivasi dan do’a untuk Penulis mendapat balasan yang paling layak dari-Nya, dan skripsi ini berguna bagi wacana keislman, kepada-Nya kita memohon Rahmat dan Hidayah-Nya. Amin

YaRabbal’Alamin

Jakarta, 30 September 2015 M 28 Dzul-Hijjah 1437

(BRINNA LISTIYANI)


(9)

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

SURAT PERNYATAAN ...iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latarbelakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Kajian (Review) Studi Terdahulu ... 10

E. Metode Penelitian ... 11

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II :TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ... 15

A. Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Positif dan Hukum Islam ... 15

B. Alasan Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana ... 27

C. Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Hukum Islam ... 40

BAB III : BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK .. 50 A. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum


(10)

C. Perlindungan Hukum Bagi Anak Bermasalah Dengan Hukum.. 60

BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP ANALISIS PUTUSAN No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel TENTANG BATASAN USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK ... 64

A. Putusan Pengadilan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ... 64

B. Tinjauan Hukum Positif terhadap putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ... 67

C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel ... 69

BAB V : PENUTUP ... 74

A. KESIMPULAN ... 74

B. SARAN ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(11)

1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan ada aturan pidananya.1 Hukum Pidana yang berupa aturan-aturan tertulis itu disusun, dibuat dan diundangkan untuk diberlakukan. Hukum pidana yang wujudnya terdiri dari susunan kalimat-kalimat tertulis setelah diundangkan untuk diberlakukan di masyarakat, akan menjadi efektif dan dirasa mencapai keadilan serta kepastian hukumnya apabila penerapannya sesuai.2

Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik yang berisi ketentuan-ketentuan tentang ; 3

a. Aturan hukum pidana dan larangan melakukan perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman berupa sanksi pidana,

b. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkan sanksi. Berisi tentang kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban pidana akan terjadi jika seseorang telah melakukan tindak pidana.4 Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP harus memenuhi dua

1

Teguh Prasetyo,Hukum Pidana Edisi Revisi,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. 3, hlm. 4

2

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008) Cet.1, hlm.3

3

Teguh Prasetyo,Hukum Pidana Edisi Revisi,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. 3, hlm. 9

4

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tana Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Kencana, 2006 ) Cet.2, hlm. 19


(12)

unsur yaitu kemampuan fisik dan moral (pasal 44 ayat 1 dan 2).5 Dengan demikian, seseorang yang tidak memiliki kemampuan fisik dan kemampuan moral ini tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. Secara implisit yang dimaksud dengan tidak adanya kemampuan fisik adalah seseorang yang kekuatan daya dan kecerdasan akalnya terganggu atau tidak sempurna contohnya idiot, buta, tuli sejak lahir. Sedangkan yang dimaksud dengan tidak adanya kemampuan moral adalah sakit jiwa, gila dan epilepsi6.

Menurut Adami Chazawi norma dari perumusan perundang-undangan pada Pasal 44 ini jelas ada 2 penyebab tidak dibebani pertanggungjawaban pidana yaitu ;

a) karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya (idiot, buta, tuli sejak lahir) dan, b) karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit (sakit jiwa, gila dan eilepsi) .7

Kemampuan seseorang untuk membedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh untuk dilakukan ini menyebabkan ia dianggap wajib mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang melanggar aturan dalam hukum pidana.8 Kemampuan yang dapat membedakan baik dan benar adalah unsur seseorang wajib mempertanggungjawakan perbuatannya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45, 46 dan 47 seseorang yang belum berumur enam belas tahun tidak dimintai pertanggungjawaban pidana. Dengan

5

Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur,(Bandung : PT.Alumni, 2010) Cet.1, hlm 46

6

Epilepsi adalah suatu gangguan pada sistem syaraf otak manusia karena terjadinya aktivitas yang berlbihan dari sekelompok sel neuron pada otak sehingga menyebabkan berbagai reaksi pada tubuh manusia muai dari bengong sesaat, kesemutan, gangguan kesadaran, kejang-kejang dan atau kontraksi otot.

7

Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2,(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2008 ) Cet.1, hlm.20

8

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Kencana, 2006 ) Cet.2, hlm. 90


(13)

demikian, anak yang belum berusia enam belas tahun tidak dapat mintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan.

Anak sebagai calon penerus generasi bangsa yang masih dalam masa perkembangan fisik dan mental. Anak dengan segala pengertian dan definisinya memiliki perbedaan karakteristik dengan orang dewasa. Namun, seringkali anak justru dihadapkan dengan proses hukum yang berujung sampai hukuman penjara.9

Menurut seorang Psikolog Vinaya S.Psi., Msi pengertian anak dalam perspektif psikolog adalah individu yang berusia antara 3-11 tahun. Diatas usia 11 tahun individu dianggap sudah memasuki usia remaja.10 Pada tahap konkrit operasional yaitu berumur 7-11 tahun anak yang sudah dapat membedakan suatu peristiwa. Oleh sebab itu pada tahap ini sangatlah rawan jika pembentukan perilaku anak tidak diperhatikan oleh orang tua atau pendidik. Dapat menyebabkan terbentuknya perilaku yang menyimpang dan gejala kenakalan anak. 11

Pengertian Anak dalam UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1 adalah “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang di dalam kandungan.”

Anak yang dapat disidangkan kepengadilan menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 4 ayat 1 “ Batas umur anak nakal yang

9

Alghiffari Aqsa, dkk, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum,(Jakarta : LBH, 2012) Cet.1, hlm.3

10

Alghiffari Aqsa, dkk, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum,(Jakarta : LBH, 2012) Cet.1, hlm.12

11


(14)

dapat diajukan ke sidang anak adalah 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai

umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.”

Sedangkan dalam Undang-undang yang terbaru UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat 3 “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana.”

Dengan demikian, dalam perundang-undangan ini penentuan batas usia anak yang dapat diperkarakan ke persidangan anak itu tidak sama. Dengan adanya perbedaan batas usia dari perundang-undangan ini di harapkan hakim menjadikannya bahan pertimbangan penjatuhan pidananya. Penjatuhan pidana dapat berdampak buruk bagi keadaan anak maka dari itu diharapkan penjatuhan pidana ini sebagai upaya pembinaan dan perlindungan anak.12 Perundang-undangan yang terbaru dimaksudkan agar penjatuhan pidana terhadap anak dapat dipertimbangkan sesuai dengan usia anak dan bukan untuk menyiksa namun untuk membimbing anak untuk tidak melakukannya lagi.

Dalam proses persidangan pun, seorang anak yang bermasalah dengan hukum juga memiliki hak-hak yang harus dipenuhi. Dalam Konvensi Hak Anak terdapat 4 (empat) prinsip umum yag menjadi dasar dan acuan bagi para pihak khususnya Negara saat melakukan kewajibannya memenuhi, menghormati dan

12

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004) Cet.2, hlm.3


(15)

melindungi hak-hak anak, yaitu : 13 pertama,prinsip non-diskriminasi. Kedua, prinsip kepentingan terbaik anak. Ketiga, prinsip atas keberlangsungan hidup dan perkembangan. Keempat, prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam menegakkan perlindungan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, proses peradilan anak meliputi segala aktifitas pemeriksaan dan penuntutan perkara harus mendahulukan perlindungan kepentingan anak.14 Oleh karena itu proses peradilan anak bukanlah ditunjukkan pada penghukuman, melainkan perbaikan kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak yang melakukan tindak pidana.

Islam mengampuni anak yang melakukan perbuatan maksiat (dilarang agama) dan tidak meminta pertanggungjawabannya kecuali ia telah baligh. 15 Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nur [24] : 59







Artinya : “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig, Maka hendaklah

mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin….”

Menurut ayat di atas seseorang telah di mintai pertanggungjawabannya jika telah mencapai usia baligh. Seorang anak yang belum mencapai usia baligh walaupun melakukan tindak pidana tidaklah dimintai pertanggungjawaban. Selain anak kecil yang tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang

13

Restaria F Hutabarat, dkk, Memudarnya Batas Kejahatan Dan Penegakan Hukum : Situasi Pelanggaran Hak Anak Dalam Peradilan Pidana, (Jakarta : LBH Jakarta, 2012) hlm. 11-12

14

Namdang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindunga Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013) Cet.1, hlm. 101

15

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinai Fi Al-Islam diterjemahkan oleh Tim Salsilah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam II, (Jakarta : PT. Kharisma, 2007) hlm 57


(16)

dilakukannya. Adapun seseorang yang sudah dewasa dan berakal tidak dimintai mempertanggungjawabkan perbuatannya yaitu pertama,halangan alami seperti : gila, dungu, ayan, lupa. Kedua, halangan tidak alami seperti : bodoh, mabuk dan dipaksa. 16

Dalam Islam diatur tentang hak-hak anak serta kewajiban orang tua dalam pendidikan anak usia dini dalam pembentukan karakter anak. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S At-Tahrim [66] : 6





















Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang

diperintahkan.”

Ayat ini menjelaskan bahwa Orang tua memiliki kewajiban dalam memenuhi hak pendidikan anak dan melindungi anak dari hal-hal yang dilarang oleh agama yang mana dapat menjerumuskan ke dalam neraka.

Seorang anak yang lahir dan menuju kedewasaan atau usia baligh mengalami beberapa fase saat menuju usia dewasa. 17 Fase pertama, yaitu tamyiz segala perbuatannya tidak dianggap sebagai tidakan hukum. Fase kedua, yaitu fase murahiq dimana seorang anak berada di antara masa tamyiz dan baligh dan jika melakukan pelanggaran maka di hukum dengan maksud mendidik. Fase yang

16

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh SaefullahMa’shum

dkk.(Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013) Cet.XVII, hlm.514

17

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh SaefullahMa’shum


(17)

ketiga , yaitu fase mencapai usia dewasa dan taklif (dibebani hukum). Seorang anak yang telah baligh mulailah kewajiban melaksanakan semua hukum-hukum yang berlaku atas orang dewasa inilah yang disebut mukallaf.18

Fase murahiq terjadi pada tujuh tahun sampai dengan usia baligh yaitu lima belas tahun. Jika anak mencapai usia lima belas tahun, datang kepadanya pengalaman yang lain dari yang lain.19 Salah satu tanda masuknya usia baligh yaitu keluarnya mani bagi laki-laki (ihtilam) dan haid bagi wanita.

Sebenarnya tidak ada ketentuan usia yang sama saat seorang anak mengalami ihtilam ataupun haid. Fuqaha berselisih pendapat tentang usia baligh.

Menurut Imam Auza‟i, Imam Ahmad, Imam Syafi‟I, Imam Abu Yusuf dan

Muhammad jika anak telah telah genap berusia 15 tahun, dia dianggap telah baligh. Menurut para penganut Imam Malik punya tiga pendapat, pertama 17 tahun. Kedua, 18 tahun. Ketiga, 15 tahun. Menurut Imam Abu Hanifah punya dua riwayat, pertama 17 tahun, kedua 18 tahun sedangkan anak perempuan

menurutnya 17 tahun. Sedangkan menurut Imam Abu Daud tidak ada batasan usia

bagi tercapainya baligh dan pedomannya hanyalah ihtilam.20

Dalam kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Rendi Ardiansah, yang masih berumur 17 tahun dimana terdakwa melakukan penganiayaan tehadap korban bernama Dewi Nurani. Rendi Ardiansah mendapatkan tuntutan dari Jaksa karena melanggar Pasal 351 (4) KUHP . Hakim menjatuhkan pidana terhadap

18

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 431

19

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 425-426

20

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil-Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi,( Jakarta : Fikr, 2007) hlm. 427


(18)

terdakwa mempertimbangkan keadaan memberatkan dan keadaan meringankan dari terdakwa, salah satu keadaan yang meringankan karena terdakwa masih dalam kategori anak. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menetapkan terdakwa Rendi Ardiansah dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan denda sebesar Rp 2.000 (dua ribu rupiah).

Dalam kasus Rendi Ardiansah (17 tahun) Terdakwa mendapat keringanan sanksi disebabkan terdakwa masih kategori anak. Padahal jika dalam hukum Islam seseorang sudah dimintai pertanggungjawaban pidananya jika telah baligh atau telah mencapai umur 15 tahun, jumhur berbeda pendapat.

Hukum positif dan Hukum Islam memiliki persamaan bahwa seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika telah memenuhi beberapa syarat dan ketentuan salah satunya batas usia yang telah ditetapkan dari masing-masing aturan baik menurut Hukum positif atau Hukum Islam.

Namun, permasalahan batas usia dalam pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur menjadi perbincangan yang menarik untuk dibahas mengingat terjadi ketidakseragaman antara hukum Positif sendiri dan hukum Islam mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana. Maka penulis tertarik untuk mencoba meneliti dan menuangkan permasalahan ini dalam skripsi dengan judul “BATAS USIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DALAM KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) MENURUT

TINJAUAN HUKUM ISLAM (ANALISIS PUTUSAN


(19)

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah

Fokus penelitian yang akan penulis teliti ini adalah batas usia pertanggungjawaban pidana anak, melakukan penelitian dengan peninjauan

menurut hukum Islam khususnya pada putusan

No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini yaitu:

a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana anak menurut Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum Islam?

b. Berapa batas usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif dan hukum Islam?

c. Bagamaina hukum Islam meninjau tentang batas usia pertanggungjawaban pidana anak terhadap analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana anak menurut hukumpositif dan hukum Islam.

b. Untuk mengetahui batasan usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif dan hukum Islam.


(20)

c. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap analisa putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/PN.Jkt.Sel.

2. Manfaat Penelitian

a. Menambah pengetahuan bagi penulis dan masyarakat tentang pertanggungjawaban pidana anak baik menurut Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia.

b. Memberikan informasi serta menambah refrensi untuk penulis dan masyarakat mengenai batas usia pertanggungjawaban pidana anak baik menurut Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia.

c. Memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. KAJIAN (REVIEW) STUDI TERDAHULU

Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan dalam penelitian ini. Adapun kajian terdahulu yang menjadi acuan antara lain :

1. Batas Minimal Usia Cakap Hukum Dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam,

Skripsi karya Ibnu Abbas Jurusan Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. Penelitian ini membahas tentang batas minimal usia yang cakap hukum dalam UU No 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak ditinjau menurut hukum Islam.

2. Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana


(21)

Anak, Skripsi karya Maman Abdul Rahman Jurusan Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015. Penelitian ini membahas tentang Bagaimana pertanggungjawaban pidana anak menurut Hukum Islam dan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam kajian terdahulu diatas, para penulis tidak memfokuskan kajian pada batas usia anak dalam pertanggungjawaban pidana, sebagaimana yang penulis lakukan. Oleh karena itulah, perlu dilakukan kajian khusus yang membahas tentang permasalahan tersebut.

E. METODE PENELITIAN

Adapun Metode Penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat diuraikan penulis sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian bahan pustaka yang ada.21 Objek penelitiannya antara lain norma-norma, kaidah-kaidah, asas-asas dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam suatu perundang-undangan, lanasan filosofi, sosiologis dan yuridis.22

2. Jenis Pendekatan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pedekatan historis.

21

https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/ (di akses pada tanggal 20 November 2015 pukul 17.00)

22

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Atma Jaya, 2007) h.28


(22)

3. Sumber Data

Sumber data pada umumnya adalah data sekunder, yang terdiri atas bahan hukum dan bahan non-hukum.Bahan hukum mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.23

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim.24Perundang-undangan yang yang berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yang akan penulis bahas yakni adalah UU No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, UU No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No 23 Tahun 202 Tentang Perlindungan Anak, KUHP dan KUHAP, serta dalil-dalil yang ada dalam Al-qur‟an dan Hadist.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum menjelaskan mengenai bahan hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah.Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan diperoleh dari penelusuran buku-buku dan artikel-artikel yang terkait dengan penelitian ini.Seperti buku, skripsi, tesis, jurnal hukum dan lain-lain.

23

Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Atma Jaya, 2007) hlm.28

24

https://lawmetha.wordpress.com/2011/05/19/metode-penelitian-hukum-normatif/ (di akses pada tanggal 20 November 2015)


(23)

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara library research (studi pustaka) dilakukan dengan cara menelaah buku-buku yang berkaitan dengan penelitian judul skripsi ini. Baik berupa peraturan perundang-undangan ataupun berupa buku-buku.

6. Teknik Analisis Data

Metode analisis data yang biasanya digunakan adalah metode kulitatif.Data skripsi ini menggunakan analisis kualitatif yakni menarik kesimpulan secara deskriptif dan deduktif dan seluruh data yang didapatkan akan diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum sehingga mendapatkan gambaran kesimpulan yang spesifik.

7. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penulis memakai acuan dari “pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012”

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam penelitian hukum terdapat sistematika penelitian yang berguna untuk memudahkan peneliti menelaah dan mengkaji penelitian ini yang berjudul :

“Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Menurut Tinjauan Hukum Islam (Analisis Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel)”


(24)

Pada BAB I, PENDAHULUAN yang berisi tentang uraian latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Pada BAB II, Teori Pertanggungjawaban dalam Hukum Positif dan Hukum Islam yang berisi tentang definisi pertanggungjawaban pidana dalam hukum positif dan Islam, Alasan hapusnya pertanggungjawaban pidana, Pertanggungjawaban pidana anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan hukum Islam. Pada BAB III, Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak berisi tentang Batas usia pertanggungjawaban pidana anak menurut hukum positif, Batas usia pertanggungjawaban pidana anak menurut Hukum Islam Serta Perlindungan Hukum Bagi Anak Bermasalah Dengan Hukum

Pada BAB IV, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan

No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel Tentang Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak berisi tentang Putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel (Deksrisi Kasus, Dakwaan, Amar Putusan), Tinjauan Hukum Positif terhadap putusan No.229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel dan Tinjaun Hukum Islam Terhadap Putusan No. 229/Pid.B.Anak/2013/Pn.Jkt.Sel

Pada BAB V, KESIMPULAN yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian, serta member saran-saran sebagai evaluasi dari penelitian.


(25)

15

TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

A. Teori Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam

Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu dengan masyarakat atau Negara yang disebut hukum publik.1 Hukum Pidana dibagi menjadi dua bagian yaitu hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana juga di klasifikasikan lagi kepada siapa hukum pidana ini berlaku yang disebut hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.2 Tujuan dari hukum pidana dilaksanakan untuk mengatur kepentingan umum, karena sifatnya yang ditunjukkan untuk kepentingan masyarakat.

Hukum Pidana materil adalah hukum yang berisi tentang norma dan sanksinya dan bagaimana seseorang dapat dijatuhi pidana. Sedangkan hukum pidana formil adalah tata cara pelaksanaan pidana bagi seseorang yang melakukan tindak pidana bisa disebut dengan hukum acara pidana. 3 Hukum acara pidana ini sebagai hukum yang menegakkan hukum pidana materil.

Yang dimaksud dengan hukum pidana umum adalah hukum pidana yang diberlakukan kepada semua masyarakat tanpa terkecuali. Dan dalam pelasksanaannya menggunakan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

1

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm 24

2

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 52

3


(26)

(KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan hukum pidana khusus ini adalah dibuat dan diberlakukan kepada hal atau orang tertentu. Dalam pelaksanaannya pun juga mempunyai hukum acara khususnya sendiri dan berbeda dengan KUHAP.4

Hukum pidana mengatur secara seluruh hukum publik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam penerapannya haruslah berdasarkan asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana salah satunya adalah Asas Legalitas

(Principle of Legality). Asas Legalitas dalam Kitab Undang Undang Hukum

Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat 1 “tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,

sebelum perbuatan dilakukan”.

Dikutip oleh Mahrus Ali menurut Komariah Emong Sapardjaja dalam Asas Legalitas ini terdapat empat prinsip dalam penerapannya yaitu :5

1. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa udang-undang sebelumnya atau bisa disebut berlaku surut (mundur).

2. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa rumusan delik yang jelas.

3. Tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa undnag-undang yang tidak tertulis, hakim dalam menjatuhkan putusan haruslah dengan

4

Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)

Cet.VIII, hlm.3

5


(27)

undang yang tertulis bukan dengan kebiasaan yang berkembang di masyarakat.

4. Tidak diperbolehkannya menerapkan pertauran hukum pidana dengan sebuah analogi.

Asas Legalitas memiliki dua fungsi yaitu fungsi melindungi dan fungsi instrumental.6 Dengan adanya kedua fungsi ini dimakdsudkan agar pemerintah tidak menjatuhkan sanksi pidana terhadap masyarakat yang belum jelas dan tetap Undang Undangnya walaupun telah melanggar dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan menurut masyarakat.

Perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan ini belum tentu bisa dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi yang melanggar larangan tersebut.7 Perbuatan yang tidak benar yang dilakukan seseorang dapat dikenakan sanksi jika telah ada hukum yang mengaturnya dan disebut sebagai perbuatan pidana.

Perbuatan pidana yang dapat dikenakan hukuman (sanksi) perumusan undang-undang dari perbuatan itu haruslah mengandung sifat melawan hukum.8 menurut Andi Zainal Abidin, bahwa salah satu unsur delik adalah sifat melawan hukum yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu asal

6

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 71

7

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 99

8


(28)

undang pidana. Karenanya janggal jika seseorang dipidana tanpa adanya unsur yang melawan hukum.9

Sifat melawan hukum dalam hukum pidana dibagi menjadi sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang yang tertulis.10 Sedangkan sifat melawan hukum materil adalah pada hakikatnya tidak berdasarkan perundang-undangan, oleh karenanya mengambil suatu putusan tanpa dasar hukum formil merupakan suatu tindakan yang didasarkan suatu alasan pembenaran yang kuat.11

Hukum Pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan kejahatan dan aturan yang menyejahterakan masyarakat. Namun demikian, pelaksanaan pemidanaan hanya dapat dijatuhkan apabila subyek hukum telah memenuhi dua syarat, yaitu kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.

Hal ini karena azas dalam hukum pidana adalah Geen straf zonder schud atau Actus non facit reum nisi mens sir rea yang berarti Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (Asas Legalistas). Tetapi ketentuan ini tidak berlaku dalam hukum

9

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 144

10

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) Cet. III, hlm71

11

Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)


(29)

pidana fiskal. Dalam hukum pidana fiskal, pertanggungjawaban dapat dijatuhkan tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar (leer van het materiele feit). 12

Adapun Pertanggungjawaban pidana mengatur tentang subyek hukum yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum. Hal ini disebabkan tidak semua subyek hukum masuk dalam kategori cakap hukum.13 Pertanggungjawaban pidana bisa di mintai kepada perbuatan seseorang yang cakap hukum karena tidak semua orang yang itu cakap hukum.

Pertanggungjawaban pidana menurut istilah asing biasa disebut dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility. Menurut Pompee, sebagaimana dikutip Iman, pertanggungjawaban pidana mempunyai beberapa sinonim, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.14

Konsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Kesalahan adalah dapat dicelanya si pelanggar karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.15

Dikutip oleh Frans Maramis, menurut D. Simons kesalahan adalah keadaan batin (psychis) pelaku dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga berdasarkan keadaan tersebut seseorang

12

Moeljatno, Asas –Asas Hukum Pidana,(Jakarta : PT Rineka Cipta, 1993) Cet.V, hlm.153

13

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,(Yogyakarta : Liberty, 2003) Cet.I, hlm. 75

14

http://imanhsy.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html ( di akses pada tanggal 17 April 2016 pukul 12.50)

15

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 155-157


(30)

dapat dicela atas perbuatannya. Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti psikologis dan normatif. Kesalahan psikologis adalah kesalahan dari sudut keadaan psikologis yang sesungguhnya dari seseorang. Sedangkan kesalahan normatif adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain terhadap pelaku.16

Adapun unsur-unsur kesalahan ada tiga unsur, yaitu :

1. Kemampuan bertanggungjawab dari pelaku.

2. Sikap batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa adanya kesengajaan dan kealpaan.

3. Tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku.17

Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan, dimana kondisi batin normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk sesuai dengan kehendaknya.18

Berdasarkan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44 (1) seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya apabila kurang sempurnanya akal dan sakit ingatan.19 Di kutip oleh Leden Marpaung Menurut

16

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012) hlm. 114-115

17

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,) hlm. 116

18

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 171

19

Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008)


(31)

W.F.C van Hattum yang disebut dengan kurang sempurnanya akal dan sakit ingatan adalah pertumbuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit.

Pertumbuhan yang tidak sempurna tersebut haruslah diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang lebih sempurna secara biologis, bukan secara pikiran. Seperti contohnya idiot.20 Sedangkan sakit ingatan misalanya seperti gila, epilepsy dan penyakit jiwa yang lainnya.21

Unsur yang kedua dari teori kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan. Secara Yuridis formal (dalam KUHP) tidak ada satu pasal pun yang memberikan batasan atau pengertian tentang kesengajaan.22 Dikutip oleh Mahrus Ali, menurut

Memorie van Toelichting (Perumusan Kitab Undang Hukum Pidana) kesengajaan

sama dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui).23

Yang dimaksud dengan “willens en wetens” (dikendaki atau diketahui) adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.24

Kesengajaan dalam ilmu hukum pidana memiliki dua teori yaitu, teori kehendak dan teori membayangkan. Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak

20

Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 53

21

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt515e437b33751/apakah-seorang-yang -gila-bisa-dipidana (diakses pada tanggal 20 April 2016, pukul 10.52)

22

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 213

23

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 174

24

Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 13


(32)

pidana jika memiliki kehendak yang dapat memenuhi unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.25 Sedangkan Teori membayangkan, teori ini mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat namun jika akibat tersebut timbul karena membayangkan melakukan suatu tindakan maka unsur kesengajaan ada pada si pelanggar.26

Menurut para pakar pidana kesengajaan memiliki tiga bentuk yaitu : 27

1. Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk).

2. Sengaja dengan kesadaran tentang keharusan (opzet bij noodzakelijkheids-bewustzijn).

3. Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzjin).

Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens dimana pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya tersebut. Kesengajaan sebagai keharusan dimana pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang akan terjadi, namun hanya sebagai suatu kemungkinan yang pasti.28

Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak diberikan penjelasan mengenai teori kealpaan (culpa), sama seperti teori kesengaajan. Karena tidak

25

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 214

26

Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008) Cet.VIII, hlm. 14

27

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,)

hlm. 121

28

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 175


(33)

adanya penjelasan tentang teori kealpaan, maka penjelasan teori kelapaan banyak diberikan dari doktrin.29 Menurut Mahrus Ali dalam buku karangannya yang berjudul Dasar Dasar Hukum Pidana, kelapaan adalah pelaku sama sekali tidak memiliki niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum.30

Menurut H.B. Vos, unsur yang tidak dapat dilepaskan dari terbentuknya kealpaan, yaitu :

1. Pembuat dapat menduga. 2. Tidak adanya kehati-hatian.31

Maksud dari unsur pembuat dapat menduga adalah seorang pelaku harus dapat dibuktikan bahwa ia dapat menduga akibat dari perbuatannya sebelum ia benar-benar melakukannya.32 Sedangkan unsur tidak ada kehati-hatian yaitu pelaku tidak berhati-hati melakukan sesuatu yang dapat ia duga akibatnya. Walaupun sudah berhati-hati tetap saja dapat terjadi kealpaan dari perbuatannya.33

Unsur ketiga dan terakhir bagi terlaksananya pertanggungjawaban yaitu tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang tetap dimintai pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang dapat

29

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 248

30

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 175

31

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, ( Jakarta : RajaGrafindo Persada,)

hlm. 125

32

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 251

33

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), Cet.I, hlm. 176


(34)

menghapus kesalahannya.34 Menurut Tongat, dalam bukunya disebutkan empat alasan yang dapat menghapus kesalahan, yaitu :

1. Tidak mampu bertanggungjawab ( diatur dalam Pasal 44 KUHP) 2. Daya paksa ( diatur dalam Pasal 48 KUHP)

3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (diatur dalam Pasal 49 (2) KUHP) 4. Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (diatur

dalam Pasal 51 (2) KUHP).

Dalam Hukum Islam, hukum pidana merupakan terjemahan dari kata Fiqh

Jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana

atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban)35 Adapun dua syarat sah seorang mukallaf dapat dibebani kewajiban, yaitu :

1. Mukallaf dapat memahami dalil taklifi, maksudnya adalah dia dapat memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al-Qur‟an dan as -sunnah dengan langsung atau dengan perantara.

2. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.36

Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam Islam, diperlukan unsur normatif dan moral. Unsur normatif adalah aspek yang

34

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,

(Malang : UMM Press, 2012) Cet. III, hlm. 267

35

Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.1

36

Abdul wahbah Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul fiqh), (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) h, 207-210


(35)

mempunyai unsur materil dimana sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt. Sedangkan unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima seseuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Seseorang ini yang disebut Mukallaf.37

Dalam melaksanakan unsur materil tindak pidana (jarimah), pelaku bisa saja menyelesaikan ataupun tidak menyelesaikan aksinya. Hal ini bisa disebut sebagai percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) dan tindak pidana yang sempurna (al-jarimah at-tammah).

Pelaku percobaan tindak pidana (al-jarimah gair at-tammah) diberikan hukuman ta’zir. Seseorang yang melakukan percobaan tindak pidana tidak dihukum dengan qishash dan hudud karena dua hal ini mempunyai unsur dan syarat yang tidak bisa diubah oleh hakim. Sedangkan ta’zir ketentuan hukumnya bisa dipertimbangkan oleh hakim diperberat atau diperingan.38

Pelaku tindak pidana sempurna (al-jarimah at-tammah) diberikan hukuman sesuai dengan perbuatannya. Apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi maka perbuatannya sudah sempurna.39 Misalnya pelaku penganiayaan, jika seseorang melakukan penganiayaan dan telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana penganiayaan maka ia wajib dihukum sesuai dengan hukuman yang berlaku bagi penganiaya.

37

Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007)Cet.I, hlm.22

38

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 20

39

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 23


(36)

Menurut Abdul Qadir Audah, Hukuman adalah sanksi hukum yang telah ditetukan untuk kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah Syari’ (Allah SWT dan Rasul-Nya).40 Hukuman diterapkan demi mencapai kemslahatan baik bagi masyarakat ataupun pelaku sendiri. Adapun tujuan dari pelaksanaan hukuman yaitu :

1. Harus mampu menghindarkan seseorang dari berbuat maksiat. Baik mencegah perbuatanya ataupun menjerakannya pelaku untuk tidak berbuat seperti itu lagi.

2. Memberikan hukuman kepada pelaku bukan bermaksud untuk membalas dendam, tetapi untuk kemaslahatan dirinya sendiri. Allah SWT mensyariatkan hukuman sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk memberikan ihsan kepada hamba-Nya. Jadi, seseorang yang bertanggungjawab melaksanakan hukuman harus mempunyai pengetahuan bahwa pelaksanaan hukuman bukan bermaksud membalaskan dendam korban. Tetapi memberikan ihsan dan rahmat kepada.41

Seseorang yang melakukan jarimah haruslah memertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam pertanggungjawaban pidana seorang mukallaf harus bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan yang dilakukannya . Menurut Islam ada tiga dasar mukallaf wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, yaitu:

1. Perbuatan haram yang dilakukan pelaku.

40

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian III, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 19

41


(37)

2. Si pelaku memiliki pilihan (tidak dipaksa). 3. Si pelaku memiliki pengetahuan (idrak).42

Apabila ketiga dasar ini ada, maka pertanggungjawaban pidana haruslah ada. Tetapi, jika salah satunya tidak ada maka seseorang tidak dapat mempertanggungajawabkan perbuatanya. Faktor (sabab) dijadikan oleh oleh

Syar’I sebagai tanda atas hasil/ efek (musabab) dari terjadinya suatu pelanggaran (melawan hukum). Jika ada sabab namun tidak ada musabab, dan juga sebaliknya jika tidak ada sabab namun ada musabab maka tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya.43

Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalakan perbuatan yang diperintahkan oleh syara‟. Jadi sebab pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Untuk adanya pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat, yaitu adanya idrak dan ikhtiar.44

Menurut Abdul Qadir Audah teori pertanggungjawaban memiliki tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban pidana ada empat, yaitu :

1. Disengaja (Al-„Amdu), yang dimaksud dengan sengaja adalah si pelaku berniat melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Misalnya, seseorang berniat

42

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 66

43

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 74

44

http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.00)


(38)

mencuri jika ia melakukannya maka ia melakukan pencurian itu dengan sengaja.45

2. Menyerupai Disengaja (Syibhul „Amdi), Pengertian syibhul „ambdi adalah dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam tindak pidana pembunuhan, ukuran

syibhul „amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau yang

digunakan itu bukan alat yang biasa (ghalib) untuk membunuh maka perbuatan tersebut termasuk kepada perbuatan menyerupai sengaja.46

3. Kesalahan, maksudnya adalah si pelaku melakukan perbuatan tanpa maksud membuat kejahatan. Misalnya, seseorang hendak menembak seekor burung namun meleset mengenai manusia.

4. Yang dianggap tersalah, ada dua keadaan yang dapat dianggap tersalah.

Pertama, pelaku tidak bermaksud melakukan suatu perbuatan tetapi perbuatan

itu terjadi akibat kelalaiannya. Kedua, pelaku menjadi penyebab tidak langsung terjadinya perbuatan yang dilarang dan ia tidak bermaksud melakukannya.47

B. ALASAN HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

45

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 77

46

http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.15)

47

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 79


(39)

Dalam sub bab sebelumnya sudah diuraikan bahwa terlaksananya pertanggungjawaban yaitu tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang tetap dimintai pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang dapat menghapus kesalahannya.

Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar denganalasan penghapusan kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dan alasan pemaaf karena keduanya mempunyai

fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada „pembenaran‟ atas

tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan

pemaaf berdampak pada „pemaafan‟ pembuatannya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum.48

Dalam hukum positif pertanggungjawaban pidana diatur dalam Buku Kesatu Bab III Kitab Undang Undang Hukum Pidana mulai Pasal 44 sampai dengan Pasal 51. Dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, pertanggungjawaban pidana tidak dapat dijatuhkan kepada:

1. Adanya ketidakmampuan bertanggungjawab. 2. Anak-anak yang belum berusia 16 tahun. 3. Daya Paksa

4. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas. 5. Menjalankan perintah Undang undang.

48


(40)

6. Melaksanakan perintah jabatan.

Kategori yang tidak dapat dijatuhi pidana yang pertama adalah seseorang yang tidak mampu bertanggungjawab. Dikutip oleh Adam Chazawi menurut M.v.t ( Perumusan Kitab Undnag Undang Hukum Pidana ) seseorang tidak mampu bertanggungjawab harus memenuhi dua unsur yaitu:

1. Apabila si pelanggar tidak memiliki kebebasan antara memilih berbuat atau tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan dalam Undang-undang.

2. Apabila si pelanggar berada dalam satu keadaan yang mana ia tidak dapat menyadari bahwa perbuatnnya dilarang menurut Undnag Undang.49

Seorang Anak yang masih belum mencapai usia 16 tahun adalah termasuk seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana kategori kedua, dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 45, 46 dan 47. Dalam penuntutan di muka pengadilan, seorang hakim bisa mengadilinya dengan memerintahkan bahwa si anak bersalah dan dikembalikan kepada orang tua atau wali tanpa menjatuhkan hukuman kepadanya dan tidak dimintai pertanggungjawabannya dikarenakan usia yang belum mencapai 16 tahun.50

Kategori seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana yang ketiga adalah daya paksa. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) daya paksa diatur dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa “niet straafbaar is hijdie een feit

49

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm. 20

50

Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung : Refika Aditama, 2003) hlm.102


(41)

begat waartoe hij door overmacht is gedrogen” yang artinya barang siapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. 51 Dikutip oleh Mahrus ali, menurut Leden Marpaung daya paksa secara teoritis dibagi menjadi dua macam yaitu:

a. Daya Paksa Mutlak (Vis Absoluta) b. Daya Paksa Relatif (Vis Compulsiva)

Yang dimaksud dengan daya paksa mutlak adalah suatu keadaan yang dimana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri seseorang, sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu selain apa yang dipaksakan kepadanya. Sedangkan daya paksa relatif adalah daya paksa yang dimaksudkan dalam Pasal 48 KUHP. Daya paksa relatif ini suatu paksaan dan tekanan yang sedemikian rupa menekan seseorang sehingga ia berada dalam keadaan yang serba salah, yaitu suatu keadaan yang memaksanya untuk melakukan hal yang sudah pasti melanggar hukum.52

Kategori yang keempat adalah Pembelaan terpaksa yang melampaui batas

(noodweer ekses) adalah perbuatan pidana yang dilakukan sebagai pembelaan

pada saat seseorang mengalami suatu serangan atau ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari ancaman hukuman jika sifat pembelaan terseut sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu sendiri.53

51

Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2011) hlm. 181

52

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II,(Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm.30-31

53


(42)

Kategori yang kelima adalah melaksanakan perintah Undang-undang pada Pasal 50 KUHP disebutkan “ barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan pidana

untuk melaksanakan peraturan undang-undang tidak dipidana.” Sebetulnya pasal

ini ditunjukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang. Karena perbuatan yang yang menjadi wewenang berdasarkan Undang undang tidaklah mungkin diancam pidana menurut Undang-undang yang lain. 54

Kategori yang keenam dan yang terakhir adalah ketentuan mengenai perintah jabatan yang tidak sah diatur dalam Pasal 51 (2) KUHP yang berbunyi "Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintahkan dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan

wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaan.” 55

Suatu perintah jabatan yag tidak sah,dengan demikian menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Perbuatan yang dilakukannya, tetap bersifat melawan hukum hanya saja si pelaku tidak dipidana. Dan si pelaku harus memenuhi dua syarat yaitu Pertama, ia menduga bahwa perintah tersebut adalah sah yang diberikan oleh pejabat yang kompeten. Kedua, perintah masih dalam ruang lingkup pekerjaan (wewenang si pelaku). 56

Dalam Islam, seseorang wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya jika telah memenuhi tiga dasar yang telah dijelaskan di sub bab sebelumnya yaitu

54

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002) hlm.56

55

KUHP

56

I Made Widnyana, Asas Asas Hukum Pidana, ( Jakarta : Fikahati Aneska, 2010) hlm. 158


(43)

perbuatan haram yang dilakukan pelaku, pelaku memiliki pilihan (ikhtiar) dan pelaku memiliki pengetahuan (idrak). Jika tidak memiliki tiga dasar ini, maka seseorang yang melakukan suatu kejahatan tidak diwajibkan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Adapun Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak wajib dipertanggungjawabkan yaitu Sebab Pembenaran (asbab al-ibahah) atau sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang. Dan Sebab Pemaafan (asbab raf’i al

-uqubah) atau sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku tersebut.57

Dasar dari penghapusan pidana yang pertama adalah sebab pembenaran. Dengan adanya sebab pembenaran maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga mejadi legal atau boleh dan pembuatnya tidak dapat disebut pelaku tindak pidana.58Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu :

1. Pembelaan Yang Sah (Ad dafi‟ As Syar‟iyyu) 2. Pendidikan dan pengajaran (At ta‟dibu) 3. Pengobatan (At Tathbiibu)

4. Permainan olah raga (Al „aab Al Furusiyah)

5. Hapusnya jaminan keselamatan jiwa dan anggota badan (Ihdar) seseorang 6. Hak-hak dan kewajiban penguasa

57

http://vannbie.blogspot.co.id/2012/06/pertanggung-jawaban-hukum-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 07.05)

58

Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam (Bandung: Asy Syamil, 2001) Cet. II, hlm. 169


(44)

Pembelaan yang sah dibagi menjadi dua macam yaitu pembelaan khusus dan pembelaan umum. Pembelaan khusus (Difa’ Asy-Syar’I al-Khass) dalam hukum Islam maksudnya adalah kewajiban manusia menjaga dirinya atau orang lain dan untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain. Pembelaan khusus bersifat wajib bertujuan untuk menolak serangan.59 Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Baqarah [2] : 194

























Artinya : “Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang

dengan serangannya terhadapmu.”

Para fuqaha sepakat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan, dan harta benda.60

Sedangkan yang dimaksud dengan pembelaan umum (Difa’ Asy-Syar’I Al

-„Am). Pembelaan untuk kepentingan umum atau dalam istilah Amar ma’ruf nahi

munkar. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar hanya diwajibkan bagi orang yang mmpu melaksanakannya sedangkan yang lainnya tidak wajib.61 Seperti Firman Allah SWT Q.S Ali Imran [3] : 104

59

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 138

60

http://artikelkuislami.blogspot.co.id/2012/01/hukum-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 17 Mei 2016 pukul 11.03)

61

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 159


(45)







































Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang

munkar.”

Sebab pembenaran yang kedua adalah pendidikan, seorang ayah memiliki hak untuk memberikan pendidikan terhadap anaknya yang maih kecil dan baligh. Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berbeda dengan mazhab Hanafi. Mereka berpendapat bahwa pendidikan kepada anak kecil secara umum adalah hak bukan kewajiban. Adapun mazhab Hanafi memandang pendidikan terhadap anak kecil secara umum adalah wajib atau paling tidak, wajib apabila bertujuan untuk mengajarinya.62Tujuan menjatuhkan hukuman dalam mendidik anak hanyalah untuk memberikan bimbingan dan perbaikan, bukan untuk pembalasan atau kepuasan hati. Karena itu, watak dan kondisi anak harus diperhatikan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan hukuman.

Sebab pembenaran yang ketiga adalah pengobatan, kerugian yang disebabkan oleh dokter yang mempuni dan kredibel yang dilakukan tana adanya kecerobohan tidak ditanggung sama sekali oleh dokter.63 para fuqaha sepakat bahwa dokter tidak bertanggungjawab apabila pekerjaannya mengakibatkan hasil yang membahayakan si pasien.

62

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 181

63

Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Syar’iyyah fi al-Masa’il ath-Thibbiyah di Terjemahkan oleh Muhammad Syafii Maskur Fiqh Kedokteran, (Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007) hlm.123


(46)

Namun, jika ada orang yang berlaku selayaknya dokter tanpa memiiki keilmuan untuk menyembuhkan suatu penyakit yang di derita oleh pasien maka ia wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi sesuatu terhadap pasien. Rasulullah Saw bersabda.

ا ث ح

اِ ِ

نْب

راَ ع

ِشا ر

نب

ِْيِع س

ْيِ َرلا

اا ق

:

ا ث

يِل لْا

نْبا

ِ ْس

.

ا ث

نْبا

جْي ر ج

ْن ع

ِرْ ع

ِنْب

ِبْيي ع ش

ْن ع

ِيِب أ

ْن ع

ِِ ج

لا ق

:

لا ق

ل س ر

له

.

"

ْن

بَ ط ت

ل

ْ ع ي

ِ

بِط

ق

كل

ف

نِ ا ض

Artinya : “Telah menceritakan Hisyam Bin Amar dan Rasyid Bin Sa’id Al-Ramli mereka berkata : telah menceritakan Al-Walid Bin Muslim. Telah menceritakan

Ibn Juraij dari Umar Bin Syu’ab dari ayahnya dan kakeknya berkata : Rasulullah

Saw bersabda : Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak

mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.”64

Sebab pembenaran yang keempat adalah permainan kesatriaan, hukum Islam memperbolehkan segala permaninan kesatriaan yang mencari keunggulan kekuatan dan keahlian serta yang dapat bermanfaat bagi masyarakat, baik pada waktu damai ataupun perang. Seperti lomba lari, pacuan kuda, lomba berahu, balap mobil, parasut, permainan anggar, tombak, pedang, memanah, menembak, tinju, angkat besi dan lain-lain.65 Allah SWT berfirman dalam QS. al-Anfal [8]:60)























































64

Sunan Al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini Ibn Majjah, Sunan Ibnu Majjah Juz I, No. 3466, hlm. 31

65

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 187


(47)

Artinya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup

kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”

Sebab pembenaran yang kelima hapusnya jaminan keselamatan ialah bolehnya mengambil tindakan terhadap jiwa seseorang atau anggota-anggota badannya, dan oleh karena itu maka ia bisa dibunuh atau dianiaya. Tindakan tersebut bisa diadakan apabila dasar-dasar adaya keselamatan jiwa atau anggota badan telah hapus. Dasar-dasar tersebut adalah iman (Islam) dan jaminan sementara atau seumur hidup.66 Jaminan keselamatan bagi seseorang menjadi hapus apabila ia murtad dan bagi kafir ziimi menjadi hapus dengan berakhirnya masa perjanjian yang telah diberikan kepada mereka atau karena mereka melanggar (tidak menepati) ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut.

Sebab pembenaran yang keenam adalah Hak- hak penguasa menurut Islam adalah hak untuk memerintah rakyatnya. Selain memerintah penguasa juga memiliki kewajiban untuk taat terhadap hukum Allah. Penguasa tidak boleh menyuruh kepada sesuatu yang menyalahi syara’. Allah Swt berfirman dalam Q.S An-Nisa [4] : 59)



















































66 http://gubukhukum.blogspot.co.id/2012/03/pidana-dalam-hukum-pidana-islam.html (diakses pada tanggal 30 Agustus 2016 pukul 19.00)


(48)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul

(sunnahnya).”

Dasar penghapusan pidana yang kedua adalah sebab pemaafan. Dengan adanya sebab pemaafan, seseorang yang melakukan tindak pidana tetap melawan hukum namun si pembuat atau pelakunya dimaafkan karena keadaan tertentu yang ada pada diri pelaku.67 Menurut Abdul Qadir Audah adapun keadaan tertentu yang dimaksud, yaitu :

1. Paksaan (Ikrah) 2. Mabuk.

3. Orang Gila. 4. Anak-anak.

Keadaan yang pertama adalah daya paksa, fuqaha berbeda pendapat mengenai definisi paksaan. Paksaan adalah apabila suatu hukuman (ancaman) dapat dilakukan oleh si pemaksa dengan segera dan cukup mempengaruhi orang yang berakal pikiran sehat untuk mengerjakan apa yang dipaksa bahwa ancaman tersebut akan benar-benar dilakukan apabila ia menolak apa yang dipaksakan kepadanya. seperti Sabda Rasulullah Saw.68

ا ث ح

نْب َ ح

يِصْ ِحلا ىَف ص ْلا

ا ث .

يِل لا

ِ ْس نْب

.

ا ث

ال ع ِنْباِ ع ءا ط ع ْن ع يِعا ْ أا

ىِ َ لا ِن ع

.

ه إ

ع ض

ع

ْن

َ أ

ِت

لا ي

ط

أ

ِلا

يس

ِ ا

ِر تسا ا

ِي ع ا

Artinya : “Telah menceritakan Muhammad Bin Mushaffa Al-Himshiyyu. Telah

menceritakan Al-Walid Bin Muslim. Telah menceritakan Al-auza’iyyu dari’Atho.

67

Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam (Bandung: Asy Syamil, 2001) Cet. II, hlm. 169

68

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, (Jakarta : PT Kharisma, 2007) hlm. 221


(1)

diberlakukan kepada orang dewasa. Karena dalam hukum Islam ulama’ sepakat bahwa anak yang sudah berusia 15 tahun walupun belum menunjukkan tanda-tanda baligh maka ia sudah dikatakan mukallaf dan wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum Islam. Namun, dalam hukum positif usia 17 tahun dikategorikan masih dalam usia anak-anak dan di sanksi sesuai dengan undang-undang pidana anak.

B. SARAN

Atas dasar kesimpulan yang ada di atas, maka penulis mengemukakan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua kalangan. Beberapa diantaranya :

1. Dengan berkembangnya teknologi dan perubahan zaman, seseorang berlomba-lomba untuk ikut trend agar tidak dibilang kampungan. Dampaknya pun berimbas kepada tumbuh kembang anak usia dini. Banyak anak yang melakukan pelanggaran dan tak sedikit pula yang melakukan kejahatan. Anak saat ini tak segan untuk melakukan perbuatan yang jika dilakukan olehorang dewasa termasuk dalam kategori kejahatan. Orang tua yang mana berfungsi bukan hanya sebagai orang tua tetapi juga sebagai pendidik bisa lebih memperhatikan kebutuhan apa saja yang dapat membantu tumbuh kembang anak.

2. Diharapkan bagi aparatur hukum bisa mempertimbangkan batasan usia pertanggungjawaban pidana anak yang lebih baik dari saat ini. Karena anak tidak jera dengan sanksi yang diberikan oleh putusan pengadilan. Sebaiknya


(2)

77

hukuman haruslah bersifat prentive agar tidak ada yang mengulangi pelanggaran dan kejahatan tersebut.

3. Dalam hukum Islam batasan usia pertanggungjawaban pidana adalah usia balligh,yaitu sekitar 15 tahun. Di usia ini seseorang sudah wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan yang sudah ada dalam al-Qur;an dan Hadist. Alangkah baiknya aparatur hukum bisa menjadikan hukum Islam sebagai landasan utama dalam pembentukan batasan usia pertanggungjawaban pidana anak di Indonesia.


(3)

78

Terjemahkan oleh Anggota SPI Islamic Parenting Pendidikan Anak Metode Nabi. Solo : Aqwam. 2015

Al- Faruk, Assadulloh. Hukum Pidana Islam dalam Sistem Hukum Islam.Jakarta : Ghalia Indonesia.2009

Al-Jauziyah, Ibnul Qayyim. Tuhfatul-Maudud bi Ahkamil Maulud diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal, Fiqh Bayi.Jakarta : Fikr. 2007

_______Tuhfatul-Maudud fii Ahkamil Maulud, diterjemahkan Kado Menyambut si Buah Hati oleh Mahfud Hidayat, dkk., (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007)

Al-Utsaimin, Muhammad Bin shalih. Asy-syarh Al-Mumti’’Ala Zaad Al-Mustaqni diterjemahkan oleh Team Darus Sunnah. Jakarta : Darus Sunnah Press. 2010

Ali, Mahrus. Dasar Dasar Hukum Pidana.Jakarta : Sinar Grafika.2011 Ali, Zainudin. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika. 2007

Aqsa,Alghifarri, dkk. Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum. Jakarta : LBH Jakarta. 2012

As-Sa’di, Abdurrahman bin Nashir. Bahjah Qulub Al-Abrar. Beirut : Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, 1423 H

As-Sa’idan, Walid bin Rasyid. Syar’iyyah fi al-Masa’il ath-Thibbiyah di Terjemahkan oleh Muhammad Syafii Maskur Fiqh Kedokteran. Yogyakarta : Pustaka Fahima. 2007

Audah, Abdul Qadir. At-Tasyri’ Al-Jinai fi Al-Islam diterjemahkan olehTim Salsilah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam II. Jakarta: PT Kharisma. 2007

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana Bagian II. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. 2008

Djamil, M Nasir. Anak Bukan Untuk Dihukum (Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak). Jakarta : Sinar Garfika. 2013


(4)

79

Farid, Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Jakarta: Sinar Grafika. 2007

Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Bulan Bintang. 1993 Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta : Perpustakaan Nasional. 1996

Hidayat, Bunadi. Pemidanaan Anak di Bawah Umur. Bandung : PT Alumni. 2010 Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tana Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta : Kencana. 2006 Hutabarat, Restaria F, dkk. Memudarnya Batas Kejahatan Dan Penegakan

Hukum : Situasi Pelanggaran Hak Anak Dalam Peradilan Pidana. Jakarta : LBH Jakarta, 2012

Ibrahim, Abi Ishaq. Al-Muhadzab fi fiqh Al-Imam As-Syafi’i. Beirut : Darul Fikri, 633 H

Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta : RajaGrafindo Persada. 2012

Marpaung, Leden. Asas-Asas,Teori. Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. 2008

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty.2003

Moeljatno. Asas –Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT Rineka Cipta. 1993

Mulyadi, Lilik. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. Bandung : PT Alumni, 2014

Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.2012

Prodjodikoro, Wirjono. Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika Aditama. 2003

Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Atma Jaya. 2007

Rahman, Maman Abdul. Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Pidana Islam dan Undang Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Skripsi, 2015


(5)

Sambas, Nandang. Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2013

Santoso, Topo. Mengagas Hukum Pidana Islam. Bandung: Asy Syamil. 2001 Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Bandung : Refika Aditama. 2006 _________ Hukum Pidana Anak Edisi Revisi,Bandung : Refika Aditama, 2013 Tongat. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan.

Malang : UMM Press. 2012

Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika. 2004 Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung : CV. Mandar Maju, 2009) Widnyana, Made. Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta : Fikahati Aneska. 2010 Zahrah,Muhammad Abu. Ushul Fiqh di Terjemahkan oleh Saefullah Ma’shum

dkk. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2013 Internet:

file:///C:/Users/User/Downloads/434-1062-1-SM.pdf

http://arief306al-mumtaz.blogspot.co.id/2013/05/mabuk-mabukan.html http://artikelkuislami.blogspot.co.id/2012/01/hukum-pidana-islam.html

http://gotzlan-ade.blogspot.co.id/2012/03/petanggungjawaban-pidana-islam.html

http://gubukhukum.blogspot.co.id/2012/03/pidana-dalam-hukum-pidana-islam.html

http://imanhsy.blogspot.co.id/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html

http://indonesian.irib.ir/artikel/ufuk/item/52377-Ensiklopedia_IRIB_Indonesia-_Baligh

http://kompasiana.com/navia/psikologi-islami-fase perkembangan-

manusia-dalam-al-quran-sejak-dalam-rahim-hingga-hingga-pasca-kematian_553a6a6f6ea834f21ada42ce

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt515e437b33751/apakah-seorang-yang-gila-bisa-dipidana


(6)

81

http://robbinadani.blogspot.co.id/2015/05/makalah-perkembangan-anak-menurut.html

http://vannbie.blogspot.co.id/2012/06/pertanggung-jawaban-hukum-pidana-islam.html

http://www.kpai.go.id/artikel/implementasi-restorasi-justice-dalam-penanganan-anak-bermasalah-dengan-hukum/

https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/