Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Positif

Namun, apabila seorang anak melakukan tindak pidana sebelum mencapai batas minimal usia pertanggungjawaban pidana yaitu 8 delapan tahun. Maka ada tiga kemungkinan yang akan diambil oleh hakim yaitu : 4 Pasal 5 1. Dalam hal anak belum mencapai umur 8 delapan tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tesebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik 2. Apabila menurut hasil pemeriksaa, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 masih dapat dibina oleh orangtua, wali atau orangtua asuhnya, penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali atu orangtua asuhnya. 3. Apabila menurut hasil pemeriksaa, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dapat dibina oleh orang tua, wali atau orangtua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada departemen sosial setelah mendengar pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan. Sanki terhadap anak yang berperkara menurut UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak diatur dalam Pasal 23 yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. 5 Pidana pokoknya yaitu : penjara, kurungan, denda dan pengawasan. Sedangkan pidana tambahan yaitu berupa perampasan barang-barang tertentu atau 4 Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak,Bandung : Refika Aditama, 2013 hlm.25 5 Lihat UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak membayar ganti rugi. Dengan demikian, menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, seorang anak yang masih berusia 8 tahun sampai 21 tahun bisa diajukan ke Sidang Anak. Dan sanksi yang diberikan bisa berupa pidana penjara, kurangan denda ataupun pengawasan. Namun, bagi anak yang berusia dibawah 8 tahun dan melakukan tindak pidana diputuskan sesuai dengan pertimbangan dari pembimbing kemasyarakatan. Undang-undang yang membahas tentang pidana anak selain KUHP yang ketiga dan terbaru adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Menurut Pasal 1 ayat 3 “Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang berusia 12 dua belas tahun tetapi belum berusia 18 delapan belas tahun dan diduga melakukan tindak pidana.” Namun, dalam penahanan terhadap seorang anak dilakukan apabila ia telah berusia 14 empat belas tahun dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 tujuh tahun. 6 Jadi UU SPPA dalam mendifinisikan anak berbeda dengan KUHP, UU SPPA menggunakan batas usia 12 dua belas tahun sampai 18 delapan belas tahun yang menjadikan seseorang masuk dalam kategori anak. Dan menurut UU SPPA anak yang bermasalah dengan hukum bisa dilakukan penahan terhadapnya jika sudah berusia 14 empat belas tahun. Undang-undang terbaru ini diharapkan menjadi undang-undang yang mengedepankan keadilan bagi anak yang bermasalah dengan hukum. Oleh sebab 6 Lilik Mulyadi, Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia. Bandung : PT Alumni, 2014 hlm. 3 itu, dalam perumusan undang-undang ini mengembangkan konsep Restorative Justice 7 yang diwujudkan melalui Diversi. 8 Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 8 ayat 1 yang dimaksud dengan Diversi adalah “proses yang dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orangtua walinya, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial professional dan berdasarkan pendekatan restorative” Proses diversi dimaksudkan agar dalam penyelesaian perkara anak di lakukan melalui musyawarah, langkah ini dibuat untuk menghidarkan anak dari tindakan hukum berikutnya. Namun, jika tidak berhasil dalam musyawarah maka tindakan selanjutnya harus mengacu pada due process of law 9 . Sehingga hak asasi anak tetap dilindungi walaupun ia bermasalah dengan hukum. 10 Konsep diversi di Indonesia memang merupakan hal yang baru dan baru kita kenal sejak adanya Undang-Undang No. 11 Tahun tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diundangkan walupun sebenarnya istilah diversi di beberapa negara sudah lama dikenal seperti konsep diversi sudah mulai dicetuskan oleh Presiden Australia dan dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1960. 11 Dan pertama kali di terapkan oleh Negara Australia. 7 Restorative Justice atau Keadilan Restoratif adalah suatu proses dimana semuapihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang. 8 Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak,Bandung : Refika Aditama, 2013 hlm.133 9 Due Process of Law adalah penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum yang lainnya. 10 Wagiati Soetedjo dan Melani, Hukum Pidana Anak,Bandung : Refika Aditama, 2013 hlm.135 11 http:www.pn-palopo.go.idindex.phpberitaartikel163-era-baru-sistem-peradilan- pidana-anak diakses pada tanggal 10 September 2016 pukul 11.10 WIB Sebagai perbandingan dapat dilihat batas usia pertanggungjawaban pidana anak yang diatur dalam Negara-negara lainya, yaitu : 12 1. Negara Inggris, memiliki batas usia minimum 8 tahun. 2. Negara Australia, memiliki batas usia minimum 8 tahun. 3. Negara Swedia, memiliki batas usia minmum 15 tahun. 4. Negara Jepang memiliki batas usia sampai 20 tahun. 5. Negara Columbia memiliki batas usia sampai 18 tahun. 6. Negara Korea memiliki batas usia minimum 14 tahun.

B. Batas Usia Pertanggungjawaban Pidana Anak Menurut Hukum Islam

Pengertian anak dalam berbagai disiplin ilmu berbeda-beda, hukum Islam telah menetapkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seorang manusia yang telah mencapai umur tujuh tahun dan belum balligh. Sedang menurut kesepakatan para ulama, manusia dianggap balligh apabila mereka telah mencapai usia 15 tahun. 13 Baligh secara bahasa berarti sampainya seorang anak pada usia melaksanakan kewajiban agama. Sementara definisi fiqih untuk baligh itu sendiri adalah berakhirnya masa kanak-kanak seseorang dan sampai pada usia dimana ia telah memiliki kesiapan untuk melaksanakan kewajiban dan konsisten untuk melaksanakan hukum syariat. 14 12 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2013 hlm 17 13 file:C:UsersUserDownloads434-1062-1-SM.pdf diakses padatanggal 20 Mei 2016 pukul 14.06 14 http:indonesian.irib.irartikelufukitem52377-Ensiklopedia_IRIB_Indonesia-_Baligh diakses pada tanggal 20 Mei 2016 pukul 16.30 Seorang manusia tidak dikenakan kewajiban untuk melasanakan syariat Islam pembebanan hukum taklif sebelum ia cakap untuk bertindak hukum. 15 Dikutip oleh Nasrun Haroen, para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bisa dikenai pembebanan hukum taklif apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat yaitu : 1. Orang itu telah mampu memahami khitab syari’ tuntutan syara’ yang terkandung dalam al- Qur’an dan Sunnah. Baik secara langsung maupun melalui orang lain, seseorang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami khitab syari’ tidak mungkin untuk melaksanakan suatu pembebanan hukum taklif. Kemampuan taklif ini haruslah sesuai dengan perkembangan akal manusia, namun dikarenakan akal sulit diukur maka indikasi yang paling konkrit adalah balighnya seseorang. Penentuan baligh itu ditandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria. 16 Dalam syariat Islam telah ditetapkan mengenai tanda-tanda baligh dan bila terbukti ada satu dari tanda-tanda itu sudah cukup menunjukkan orang tersebut telah baligh. Sebagian dari tanda-tanda ini sama antara anak laki-laki dan perempuan dan sebagian lainnya khusus ada pada anak perempuan. 17 2. Seseorang harus cakap bertindak hukum ahliyyah maksudnya apabila seorang belum atau tidak cakap bertindak hukum. Maka seluruh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan 15 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta : Perpustakaan Nasional, 1996 hlm 305 16 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta : Perpustakaan Nasional, 1996 hlm 306 17 http:indonesian.irib.irartikelufukitem52377-Ensiklopedia_IRIB_Indonesia-_Baligh diakses pada tanggal 20 Mei 2016 pukul 17.08 akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh Syara’. Anak kecil yang belum baligh, belum cakap bertindak hukum dan tidak dikenakan tuntutan Syara’. 18 Selain usia balligh menjadi salah satu unsur pertanggungjawaban anak, dalam Bab II sudah sedikit disinggung mengenai fase-fase perkembangan berpikir yang terdiri dari tiga fase. Yaitu fase kemampuan berpikir tidak ada, fase kemampuan berpikir lemah dan kemampuan berpikir penuh. Sama halnya dengan mewajibkan seorang anak untuk melakukan shalat. Seperti hadist berikut ini : ا نبا ي عي ىسيع نب ح ا ث ح نب عيبرلا نب ِك لا ع نع ع س نب ي اربإ ا ث ح عا طل : . ه ل سر لاق: لاق ج نع يبا نع ر س ر غ ب ا ِا ِ اَصلااب َيِ َصلا ا عْ س ني ِس ني ِس ِرْ ع غ ب ا ِا ا ف ِرْض ب أ ْي ع Artinya : “ Telah menceritakan kepada kami Muhammad Bin Aysi, Ya’ni Bin Thaba’. Telah menceritakan kepada kami Ibrahim Bin Sa’di dari Abdul Malik Bin Rabi’ Bi Sabrah, dari ayah dan kakeknya berkata : Rasulullah Saw bersabda : Anak kecil diperintahkan untuk shalat berumur tujuh tahun dan dipukul jika berumur sepuluh tahun lantaran meninggalkannya shalat. 19 Fase yang pertama tidak adanya kemampuan berpikir. Bisa jadi, anak berumur tujuh tahun telah menunjukkan kemampuan berpikirnya tapi ia belum dianggap tamyiz karena yang dijadikan ukuran ialah kebanyakan orang bukan perseorangan. عْ سِل رْيِغ ص ا ِب ر ْ ي Anak kecil diperintahkan untuk shalat ketika berusia tujuh tahun setelah usianya genap tujuh tahun, maka anak kecil itu diperintahkan untuk mendirikan shalat dan melaksanakan kewajiban-kewajiban lainnya selain shalat. 20 18 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta : Perpustakaan Nasional, 1996 hlm 308 19 Abu Daud Sulaiman Ibn Al- Asy’Ast Syajtani, Sunan Abu Daud Juz I, No. 494 20 Muhammad Bin shalih Al-Utsaimin, Asy-syarh Al- Mumti’’Ala Zaad Al-Mustaqni diterjemahkan oleh Team Darus Sunnah,Jakarta : Darus Sunnah Press,2010 hlm. 51 Jadi jika seorang anak melakukan perbuatan jarimah saat usianya dibawah tujuh tahun tidak dijatuhi hukuman, baik sebagai hukuman pidana atau sebagai pengajaran. Akan tetapi anak tersebut dikenakan pertanggungjawaban secara perdata. Yang dibebankan atas harta milik pribadi yakni memberikan ganti rugi kepada orang yang telah dirugikan. 21 Fase yang kedua kemampuan berpikir lemah, رْ عِل أ ْي ع رْض ي dan dipukul jika berumur sepuluh tahun maksud dari penggalan hadist ini adalah seorang yang yang sudah masuk usia sepuluh dan tidak melaksanakan shalat yang telah di perintahkan Allah swt. Maka diperbolehkan memukulnya hanya sampai dia melaksanakan shalat. Diperbolehkannya memukul si anak dengan tujuan mendidik dan bukan menyiksanya. 22 Sama dengangan halnya memukul anak saat ia tidak melakukan shalat. Pada usia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun ini seorang anak tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana atas jarimah yang dilakukan. Akan tetapi ia bisa dijatuhi pengajaran. Pengajaran ini meskipun sebenarnya berupa hukuman akan tetapi bukan sebagai hukuman pidana. 23 Fase yang terakhir adalah kemampuan berpikir penuh. Pada masa ini seorang anak sudah mencapai usia kecerdasan yang disebut sebagai mukallaf. Allah swt berfirman Q.S Al-Baqarah [2] : 286 21 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1993 hlm. 369 22 Muhammad Bin shalih Al-Utsaimin, Asy-syarh Al- Mumti’’Ala Zaad Al-Mustaqni diterjemahkan oleh Team Darus Sunnah,Jakarta : Darus Sunnah Press,2010 hlm. 52 23 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1993 hlm. 370