Teori Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif dan Hukum

undang pidana. Karenanya janggal jika seseorang dipidana tanpa adanya unsur yang melawan hukum. 9 Sifat melawan hukum dalam hukum pidana dibagi menjadi sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang yang tertulis. 10 Sedangkan sifat melawan hukum materil adalah pada hakikatnya tidak berdasarkan perundang-undangan, oleh karenanya mengambil suatu putusan tanpa dasar hukum formil merupakan suatu tindakan yang didasarkan suatu alasan pembenaran yang kuat. 11 Hukum Pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan kejahatan dan aturan yang menyejahterakan masyarakat. Namun demikian, pelaksanaan pemidanaan hanya dapat dijatuhkan apabila subyek hukum telah memenuhi dua syarat, yaitu kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Hal ini karena azas dalam hukum pidana adalah Geen straf zonder schud atau Actus non facit reum nisi mens sir rea yang berarti Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan Asas Legalistas. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku dalam hukum 9 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 144 10 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012 Cet. III, hlm71 11 Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,Jakarta : Sinar Grafika, 2008 Cet.VIII, hlm.45 pidana fiskal. Dalam hukum pidana fiskal, pertanggungjawaban dapat dijatuhkan tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar leer van het materiele feit. 12 Adapun Pertanggungjawaban pidana mengatur tentang subyek hukum yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum. Hal ini disebabkan tidak semua subyek hukum masuk dalam kategori cakap hukum. 13 Pertanggungjawaban pidana bisa di mintai kepada perbuatan seseorang yang cakap hukum karena tidak semua orang yang itu cakap hukum. Pertanggungjawaban pidana menurut istilah asing biasa disebut dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility. Menurut Pompee, sebagaimana dikutip Iman, pertanggungjawaban pidana mempunyai beberapa sinonim, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar. 14 K onsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Kesalahan adalah dapat dicelanya si pelanggar karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut. 15 Dikutip oleh Frans Maramis, menurut D. Simons kesalahan adalah keadaan batin psychis pelaku dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga berdasarkan keadaan tersebut seseorang 12 Moeljatno, Asas –Asas Hukum Pidana,Jakarta : PT Rineka Cipta, 1993 Cet.V, hlm.153 13 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,Yogyakarta : Liberty, 2003 Cet.I, hlm. 75 14 http:imanhsy.blogspot.co.id201112pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html di akses pada tanggal 17 April 2016 pukul 12.50 15 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 155-157 dapat dicela atas perbuatannya. Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti psikologis dan normatif. Kesalahan psikologis adalah kesalahan dari sudut keadaan psikologis yang sesungguhnya dari seseorang. Sedangkan kesalahan normatif adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain terhadap pelaku. 16 Adapun unsur-unsur kesalahan ada tiga unsur, yaitu : 1. Kemampuan bertanggungjawab dari pelaku. 2. Sikap batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa adanya kesengajaan dan kealpaan. 3. Tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku. 17 Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan, dimana kondisi batin normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk sesuai dengan kehendaknya. 18 Berdasarkan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44 1 seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya apabila kurang sempurnanya akal dan sakit ingatan. 19 Di kutip oleh Leden Marpaung Menurut 16 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012 hlm. 114-115 17 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, hlm. 116 18 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 171 19 Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,Jakarta : Sinar Grafika, 2008 Cet.VIII, hlm.52 W.F.C van Hattum yang disebut dengan kurang sempurnanya akal dan sakit ingatan adalah pertumbuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit. Pertumbuhan yang tidak sempurna tersebut haruslah diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang lebih sempurna secara biologis, bukan secara pikiran. Seperti contohnya idiot. 20 Sedangkan sakit ingatan misalanya seperti gila, epilepsy dan penyakit jiwa yang lainnya. 21 Unsur yang kedua dari teori kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan. Secara Yuridis formal dalam KUHP tidak ada satu pasal pun yang memberikan batasan atau pengertian tentang kesengajaan. 22 Dikutip oleh Mahrus Ali, menurut Memorie van Toelichting Perumusan Kitab Undang Hukum Pidana kesengajaan sama dengan “willens en wetens” dikendaki atau diketahui. 23 Yang dimaksud dengan “willens en wetens” dikendaki atau diketahui adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki willen perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti weten akan akibat dari perbuatan itu. 24 Kesengajaan dalam ilmu hukum pidana memiliki dua teori yaitu, teori kehendak dan teori membayangkan. Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak 20 Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,Jakarta : Sinar Grafika, 2008 Cet.VIII, hlm. 53 21 http:m.hukumonline.comklinikdetaillt515e437b33751apakah-seorang-yang -gila- bisa-dipidana diakses pada tanggal 20 April 2016, pukul 10.52 22 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2012 Cet. III, hlm. 213 23 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 174 24 Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,Jakarta : Sinar Grafika, 2008 Cet.VIII, hlm. 13 pidana jika memiliki kehendak yang dapat memenuhi unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. 25 Sedangkan Teori membayangkan, teori ini mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat namun jika akibat tersebut timbul karena membayangkan melakukan suatu tindakan maka unsur kesengajaan ada pada si pelanggar. 26 Menurut para pakar pidana kesengajaan memiliki tiga bentuk yaitu : 27 1. Sengaja sebagai maksud opzet als oogmerk. 2. Sengaja dengan kesadaran tentang keharusan opzet bij noodzakelijkheids- bewustzijn. 3. Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan opzet bij mogelijkheids- bewustzjin. Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens dimana pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya tersebut. Kesengajaan sebagai keharusan dimana pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang akan terjadi, namun hanya sebagai suatu kemungkinan yang pasti. 28 Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak diberikan penjelasan mengenai teori kealpaan culpa, sama seperti teori kesengaajan. Karena tidak 25 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2012 Cet. III, hlm. 214 26 Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,Jakarta : Sinar Grafika, 2008 Cet.VIII, hlm. 14 27 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, hlm. 121 28 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 175 adanya penjelasan tentang teori kealpaan, maka penjelasan teori kelapaan banyak diberikan dari doktrin. 29 Menurut Mahrus Ali dalam buku karangannya yang berjudul Dasar Dasar Hukum Pidana, kelapaan adalah pelaku sama sekali tidak memiliki niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum. 30 Menurut H.B. Vos, unsur yang tidak dapat dilepaskan dari terbentuknya kealpaan, yaitu : 1. Pembuat dapat menduga. 2. Tidak adanya kehati-hatian. 31 Maksud dari unsur pembuat dapat menduga adalah seorang pelaku harus dapat dibuktikan bahwa ia dapat menduga akibat dari perbuatannya sebelum ia benar-benar melakukannya. 32 Sedangkan unsur tidak ada kehati-hatian yaitu pelaku tidak berhati-hati melakukan sesuatu yang dapat ia duga akibatnya. Walaupun sudah berhati-hati tetap saja dapat terjadi kealpaan dari perbuatannya. 33 Unsur ketiga dan terakhir bagi terlaksananya pertanggungjawaban yaitu tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang tetap dimintai pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang dapat 29 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2012 Cet. III, hlm. 248 30 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 175 31 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, hlm. 125 32 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2012 Cet. III, hlm. 251 33 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 176 menghapus kesalahannya. 34 Menurut Tongat, dalam bukunya disebutkan empat alasan yang dapat menghapus kesalahan, yaitu : 1. Tidak mampu bertanggungjawab diatur dalam Pasal 44 KUHP 2. Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP 3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas diatur dalam Pasal 49 2 KUHP 4. Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik diatur dalam Pasal 51 2 KUHP. Dalam Hukum Islam, hukum pidana merupakan terjemahan dari kata Fiqh Jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf orang yang dapat dibebani kewajiban 35 Adapun dua syarat sah seorang mukallaf dapat dibebani kewajiban, yaitu : 1. Mukallaf dapat memahami dalil taklifi, maksudnya adalah dia dapat memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al- Qur‟an dan as- sunnah dengan langsung atau dengan perantara. 2. Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. 36 Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam Islam, diperlukan unsur normatif dan moral. Unsur normatif adalah aspek yang 34 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2012 Cet. III, hlm. 267 35 Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007Cet.I, hlm.1 36 Abdul wahbah Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul fiqh, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002 h, 207-210 mempunyai unsur materil dimana sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt. Sedangkan unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima seseuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Seseorang ini yang disebut Mukallaf. 37 Dalam melaksanakan unsur materil tindak pidana jarimah, pelaku bisa saja menyelesaikan ataupun tidak menyelesaikan aksinya. Hal ini bisa disebut sebagai percobaan tindak pidana al-jarimah gair at-tammah dan tindak pidana yang sempurna al-jarimah at-tammah. Pelaku percobaan tindak pidana al-jarimah gair at-tammah diberikan hukuman ta’zir. Seseorang yang melakukan percobaan tindak pidana tidak dihukum dengan qishash dan hudud karena dua hal ini mempunyai unsur dan syarat yang tidak bisa diubah oleh hakim. Sedangkan ta’zir ketentuan hukumnya bisa dipertimbangkan oleh hakim diperberat atau diperingan. 38 Pelaku tindak pidana sempurna al-jarimah at-tammah diberikan hukuman sesuai dengan perbuatannya. Apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi maka perbuatannya sudah sempurna. 39 Misalnya pelaku penganiayaan, jika seseorang melakukan penganiayaan dan telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana penganiayaan maka ia wajib dihukum sesuai dengan hukuman yang berlaku bagi penganiaya. 37 Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007Cet.I, hlm.22 38 Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 20 39 Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 23 Menurut Abdul Qadir Audah, Hukuman adalah sanksi hukum yang telah ditetukan untuk kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah Syari’ Allah SWT dan Rasul-Nya. 40 Hukuman diterapkan demi mencapai kemslahatan baik bagi masyarakat ataupun pelaku sendiri. Adapun tujuan dari pelaksanaan hukuman yaitu : 1. Harus mampu menghindarkan seseorang dari berbuat maksiat. Baik mencegah perbuatanya ataupun menjerakannya pelaku untuk tidak berbuat seperti itu lagi. 2. Memberikan hukuman kepada pelaku bukan bermaksud untuk membalas dendam, tetapi untuk kemaslahatan dirinya sendiri. Allah SWT mensyariatkan hukuman sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk memberikan ihsan kepada hamba-Nya. Jadi, seseorang yang bertanggungjawab melaksanakan hukuman harus mempunyai pengetahuan bahwa pelaksanaan hukuman bukan bermaksud membalaskan dendam korban. Tetapi memberikan ihsan dan rahmat kepada. 41 Seseorang yang melakukan jarimah haruslah memertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam pertanggungjawaban pidana seorang mukallaf harus bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan yang dilakukannya . Menurut Islam ada tiga dasar mukallaf wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, yaitu: 1. Perbuatan haram yang dilakukan pelaku. 40 Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian III, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 19 41 H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1997 Cet.II, hlm. 26 2. Si pelaku memiliki pilihan tidak dipaksa. 3. Si pelaku memiliki pengetahuan idrak. 42 Apabila ketiga dasar ini ada, maka pertanggungjawaban pidana haruslah ada. Tetapi, jika salah satunya tidak ada maka seseorang tidak dapat mempertanggungajawabkan perbuatanya. Faktor sabab dijadikan oleh oleh Syar’I sebagai tanda atas hasil efek musabab dari terjadinya suatu pelanggaran melawan hukum. Jika ada sabab namun tidak ada musabab, dan juga sebaliknya jika tidak ada sabab namun ada musabab maka tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya. 43 Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalaka n perbuatan yang diperintahkan oleh syara‟. Jadi sebab pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Untuk adanya pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat, yaitu adanya idrak dan ikhtiar. 44 Menurut Abdul Qadir Audah teori pertanggungjawaban memiliki tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban pidana ada empat, yaitu : 1. Disengaja Al-„Amdu, yang dimaksud dengan sengaja adalah si pelaku berniat melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Misalnya, seseorang berniat 42 Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 66 43 Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 74 44 http:gotzlan-ade.blogspot.co.id201203petanggungjawaban-pidana-islam.html diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.00 mencuri jika ia melakukannya maka ia melakukan pencurian itu dengan sengaja. 45 2. Menyerupai Disengaja Syibhul „Amdi, Pengertian syibhul „ambdi adalah dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam tindak pidana pembunuhan, ukuran syibhul „amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau yang digunakan itu bukan alat yang biasa ghalib untuk membunuh maka perbuatan tersebut termasuk kepada perbuatan menyerupai sengaja. 46 3. Kesalahan, maksudnya adalah si pelaku melakukan perbuatan tanpa maksud membuat kejahatan. Misalnya, seseorang hendak menembak seekor burung namun meleset mengenai manusia. 4. Yang dianggap tersalah, ada dua keadaan yang dapat dianggap tersalah. Pertama, pelaku tidak bermaksud melakukan suatu perbuatan tetapi perbuatan itu terjadi akibat kelalaiannya. Kedua, pelaku menjadi penyebab tidak langsung terjadinya perbuatan yang dilarang dan ia tidak bermaksud melakukannya. 47

B. ALASAN

HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM 45 Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 77 46 http:gotzlan-ade.blogspot.co.id201203petanggungjawaban-pidana-islam.html diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.15 47 Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 79 Dalam sub bab sebelumnya sudah diuraikan bahwa terlaksananya pertanggungjawaban yaitu tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang tetap dimintai pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang dapat menghapus kesalahannya. Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal dengan alasan pembenar denganalasan penghapusan kesalahan atau dikenal dengan alasan pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dan alasan pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya alasan pembenar berujung pada „pembenaran‟ atas tindak pidana yang sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada „pemaafan‟ pembuatannya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang melawan hukum. 48 Dalam hukum positif pertanggungjawaban pidana diatur dalam Buku Kesatu Bab III Kitab Undang Undang Hukum Pidana mulai Pasal 44 sampai dengan Pasal 51. Dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, pertanggungjawaban pidana tidak dapat dijatuhkan kepada: 1. Adanya ketidakmampuan bertanggungjawab. 2. Anak-anak yang belum berusia 16 tahun. 3. Daya Paksa 4. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas. 5. Menjalankan perintah Undang undang. 48 Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011 hlm. 181 6. Melaksanakan perintah jabatan. Kategori yang tidak dapat dijatuhi pidana yang pertama adalah seseorang yang tidak mampu bertanggungjawab. Dikutip oleh Adam Chazawi menurut M.v.t Perumusan Kitab Undnag Undang Hukum Pidana seseorang tidak mampu bertanggungjawab harus memenuhi dua unsur yaitu: 1. Apabila si pelanggar tidak memiliki kebebasan antara memilih berbuat atau tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan dalam Undang- undang. 2. Apabila si pelanggar berada dalam satu keadaan yang mana ia tidak dapat menyadari bahwa perbuatnnya dilarang menurut Undnag Undang. 49 Seorang Anak yang masih belum mencapai usia 16 tahun adalah termasuk seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana kategori kedua, dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana KUHP Pasal 45, 46 dan 47. Dalam penuntutan di muka pengadilan, seorang hakim bisa mengadilinya dengan memerintahkan bahwa si anak bersalah dan dikembalikan kepada orang tua atau wali tanpa menjatuhkan hukuman kepadanya dan tidak dimintai pertanggungjawabannya dikarenakan usia yang belum mencapai 16 tahun. 50 Kategori seseorang yang tidak dapat dijatuhi pidana yang ketiga adalah daya paksa. Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana KUHP daya paksa diatur dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa “niet straafbaar is hijdie een feit 49 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002 hlm. 20 50 Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia Bandung : Refika Aditama, 2003 hlm.102 begat waartoe hij door overmacht is gedrogen” yang artinya barang siapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. 51 Dikutip oleh Mahrus ali, menurut Leden Marpaung daya paksa secara teoritis dibagi menjadi dua macam yaitu: a. Daya Paksa Mutlak Vis Absoluta b. Daya Paksa Relatif Vis Compulsiva Yang dimaksud dengan daya paksa mutlak adalah suatu keadaan yang dimana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri seseorang, sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu selain apa yang dipaksakan kepadanya. Sedangkan daya paksa relatif adalah daya paksa yang dimaksudkan dalam Pasal 48 KUHP. Daya paksa relatif ini suatu paksaan dan tekanan yang sedemikian rupa menekan seseorang sehingga ia berada dalam keadaan yang serba salah, yaitu suatu keadaan yang memaksanya untuk melakukan hal yang sudah pasti melanggar hukum. 52 Kategori yang keempat adalah Pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer ekses adalah perbuatan pidana yang dilakukan sebagai pembelaan pada saat seseorang mengalami suatu serangan atau ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari ancaman hukuman jika sifat pembelaan terseut sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu sendiri. 53 51 Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011 hlm. 181 52 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II,Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002 hlm.30-31 53 Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011 hlm. 182-183