Teori Pertanggungjawaban Pidana Menurut Hukum Positif dan Hukum
undang pidana. Karenanya janggal jika seseorang dipidana tanpa adanya unsur yang melawan hukum.
9
Sifat melawan hukum dalam hukum pidana dibagi menjadi sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formil
adalah suatu perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut sudah diatur dalam undang-undang yang tertulis.
10
Sedangkan sifat melawan hukum materil adalah pada hakikatnya tidak berdasarkan perundang-undangan, oleh karenanya
mengambil suatu putusan tanpa dasar hukum formil merupakan suatu tindakan yang didasarkan suatu alasan pembenaran yang kuat.
11
Hukum Pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan kejahatan dan aturan yang menyejahterakan masyarakat. Namun demikian,
pelaksanaan pemidanaan hanya dapat dijatuhkan apabila subyek hukum telah
memenuhi dua syarat, yaitu kesalahan dan pertanggungjawaban pidana.
Hal ini karena azas dalam hukum pidana adalah Geen straf zonder schud atau Actus non facit reum nisi mens sir rea yang berarti Tidak dipidana jika tidak
ada kesalahan Asas Legalistas. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku dalam hukum
9
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 144
10
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana,Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012 Cet. III, hlm71
11
Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,Jakarta : Sinar Grafika, 2008
Cet.VIII, hlm.45
pidana fiskal. Dalam hukum pidana fiskal, pertanggungjawaban dapat dijatuhkan tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar leer van het materiele feit.
12
Adapun Pertanggungjawaban pidana mengatur tentang subyek hukum yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum. Hal ini disebabkan tidak
semua subyek hukum masuk dalam kategori cakap hukum.
13
Pertanggungjawaban pidana bisa di mintai kepada perbuatan seseorang yang cakap hukum karena tidak
semua orang yang itu cakap hukum. Pertanggungjawaban pidana menurut istilah asing biasa disebut
dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility. Menurut Pompee, sebagaimana dikutip Iman, pertanggungjawaban pidana mempunyai beberapa
sinonim, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan toerekenbaar.
14
K onsep “pertanggungjawaban” merupakan konsep sentral yang dikenal
dengan ajaran kesalahan. Kesalahan adalah dapat dicelanya si pelanggar karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin
melakukan perbuatan tersebut.
15
Dikutip oleh Frans Maramis, menurut D. Simons kesalahan adalah keadaan batin psychis pelaku dan hubungannya dengan perbuatan yang
dilakukan sedemikian rupa, sehingga berdasarkan keadaan tersebut seseorang
12
Moeljatno, Asas –Asas Hukum Pidana,Jakarta : PT Rineka Cipta, 1993 Cet.V,
hlm.153
13
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,Yogyakarta : Liberty, 2003 Cet.I, hlm. 75
14
http:imanhsy.blogspot.co.id201112pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html di akses pada tanggal 17 April 2016 pukul 12.50
15
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 155-157
dapat dicela atas perbuatannya. Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti psikologis dan normatif. Kesalahan psikologis adalah kesalahan dari sudut
keadaan psikologis yang sesungguhnya dari seseorang. Sedangkan kesalahan normatif adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain terhadap pelaku.
16
Adapun unsur-unsur kesalahan ada tiga unsur, yaitu : 1.
Kemampuan bertanggungjawab dari pelaku. 2.
Sikap batin tertentu dari pelaku sehubungan dengan perbuatannya yang berupa adanya kesengajaan dan kealpaan.
3. Tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan atau menghapuskan
pertanggungjawaban pidana pada diri pelaku.
17
Kemampuan bertanggungjawab merupakan salah satu unsur kesalahan, dimana kondisi batin normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam
membeda-bedakan hal-hal yang baik dan yang buruk sesuai dengan kehendaknya.
18
Berdasarkan rumusan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 44 1 seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya apabila kurang
sempurnanya akal dan sakit ingatan.
19
Di kutip oleh Leden Marpaung Menurut
16
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2012 hlm. 114-115
17
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, hlm. 116
18
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 171
19
Leden Marpaung, Asas-Asas Teori Praktik Hukum Pidana,Jakarta : Sinar Grafika, 2008
Cet.VIII, hlm.52
W.F.C van Hattum yang disebut dengan kurang sempurnanya akal dan sakit ingatan adalah pertumbuhan yang tidak sempurna atau gangguan penyakit.
Pertumbuhan yang tidak sempurna tersebut haruslah diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang lebih sempurna secara biologis, bukan secara pikiran.
Seperti contohnya idiot.
20
Sedangkan sakit ingatan misalanya seperti gila, epilepsy dan penyakit jiwa yang lainnya.
21
Unsur yang kedua dari teori kesalahan yaitu kesengajaan dan kealpaan. Secara Yuridis formal dalam KUHP tidak ada satu pasal pun yang memberikan
batasan atau pengertian tentang kesengajaan.
22
Dikutip oleh Mahrus Ali, menurut Memorie van Toelichting Perumusan Kitab Undang Hukum Pidana kesengajaan
sama dengan “willens en wetens” dikendaki atau diketahui.
23
Yang dimaksud dengan “willens en wetens” dikendaki atau diketahui
adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki willen perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti weten
akan akibat dari perbuatan itu.
24
Kesengajaan dalam ilmu hukum pidana memiliki dua teori yaitu, teori kehendak dan teori membayangkan. Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak
20
Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,Jakarta : Sinar Grafika, 2008 Cet.VIII, hlm. 53
21
http:m.hukumonline.comklinikdetaillt515e437b33751apakah-seorang-yang -gila- bisa-dipidana diakses pada tanggal 20 April 2016, pukul 10.52
22
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2012 Cet. III, hlm. 213
23
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 174
24
Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,Jakarta : Sinar Grafika, 2008 Cet.VIII, hlm. 13
pidana jika memiliki kehendak yang dapat memenuhi unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.
25
Sedangkan Teori membayangkan, teori ini mengemukakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat
namun jika akibat tersebut timbul karena membayangkan melakukan suatu tindakan maka unsur kesengajaan ada pada si pelanggar.
26
Menurut para pakar pidana kesengajaan memiliki tiga bentuk yaitu :
27
1. Sengaja sebagai maksud opzet als oogmerk.
2. Sengaja dengan kesadaran tentang keharusan opzet bij noodzakelijkheids-
bewustzijn. 3.
Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan opzet bij mogelijkheids- bewustzjin.
Kesengajaan sebagai maksud mengandung unsur willes en wetens dimana pelaku mengetahui dan menghendaki akibat dan perbuatannya tersebut.
Kesengajaan sebagai keharusan dimana pelaku memandang akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang akan terjadi, namun hanya sebagai
suatu kemungkinan yang pasti.
28
Di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak diberikan penjelasan mengenai teori kealpaan culpa, sama seperti teori kesengaajan. Karena tidak
25
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2012 Cet. III, hlm. 214
26
Leden Marpaung,Asas-Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana,Jakarta : Sinar Grafika, 2008 Cet.VIII, hlm. 14
27
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada,
hlm. 121
28
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 175
adanya penjelasan tentang teori kealpaan, maka penjelasan teori kelapaan banyak diberikan dari doktrin.
29
Menurut Mahrus Ali dalam buku karangannya yang berjudul Dasar Dasar Hukum Pidana, kelapaan adalah pelaku sama sekali tidak
memiliki niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum.
30
Menurut H.B. Vos, unsur yang tidak dapat dilepaskan dari terbentuknya kealpaan, yaitu :
1. Pembuat dapat menduga.
2. Tidak adanya kehati-hatian.
31
Maksud dari unsur pembuat dapat menduga adalah seorang pelaku harus dapat dibuktikan bahwa ia dapat menduga akibat dari perbuatannya sebelum ia
benar-benar melakukannya.
32
Sedangkan unsur tidak ada kehati-hatian yaitu pelaku tidak berhati-hati melakukan sesuatu yang dapat ia duga akibatnya.
Walaupun sudah berhati-hati tetap saja dapat terjadi kealpaan dari perbuatannya.
33
Unsur ketiga dan terakhir bagi terlaksananya pertanggungjawaban yaitu tidak adanya alasan penghapusan kesalahan. Seseorang tetap dimintai
pertanggungjawabannya jika di dalam dirinya tidak ada alasan yang dapat
29
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2012 Cet. III, hlm. 248
30
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 175
31
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada,
hlm. 125
32
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2012 Cet. III, hlm. 251
33
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, Cet.I, hlm. 176
menghapus kesalahannya.
34
Menurut Tongat, dalam bukunya disebutkan empat alasan yang dapat menghapus kesalahan, yaitu :
1. Tidak mampu bertanggungjawab diatur dalam Pasal 44 KUHP
2. Daya paksa diatur dalam Pasal 48 KUHP
3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas diatur dalam Pasal 49 2 KUHP
4. Melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik diatur
dalam Pasal 51 2 KUHP. Dalam Hukum Islam, hukum pidana merupakan terjemahan dari kata Fiqh
Jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang mukallaf orang yang dapat
dibebani kewajiban
35
Adapun dua syarat sah seorang mukallaf dapat dibebani kewajiban, yaitu :
1. Mukallaf dapat memahami dalil taklifi, maksudnya adalah dia dapat
memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al- Qur‟an dan as-
sunnah dengan langsung atau dengan perantara. 2.
Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
36
Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam Islam, diperlukan unsur normatif dan moral. Unsur normatif adalah aspek yang
34
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UMM Press, 2012 Cet. III, hlm. 267
35
Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007Cet.I, hlm.1
36
Abdul wahbah Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul fiqh, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002 h, 207-210
mempunyai unsur materil dimana sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt. Sedangkan
unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima seseuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Seseorang ini yang
disebut Mukallaf.
37
Dalam melaksanakan unsur materil tindak pidana jarimah, pelaku bisa saja menyelesaikan ataupun tidak menyelesaikan aksinya. Hal ini bisa disebut
sebagai percobaan tindak pidana al-jarimah gair at-tammah dan tindak pidana yang sempurna al-jarimah at-tammah.
Pelaku percobaan tindak pidana al-jarimah gair at-tammah diberikan hukuman
ta’zir. Seseorang yang melakukan percobaan tindak pidana tidak dihukum dengan qishash dan hudud karena dua hal ini mempunyai unsur dan
syarat yang tidak bisa diubah oleh hakim. Sedangkan ta’zir ketentuan hukumnya
bisa dipertimbangkan oleh hakim diperberat atau diperingan.
38
Pelaku tindak pidana sempurna al-jarimah at-tammah diberikan hukuman sesuai dengan perbuatannya. Apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi
maka perbuatannya sudah sempurna.
39
Misalnya pelaku penganiayaan, jika seseorang melakukan penganiayaan dan telah memenuhi unsur-unsur tindak
pidana penganiayaan maka ia wajib dihukum sesuai dengan hukuman yang berlaku bagi penganiaya.
37
Zainudi Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007Cet.I, hlm.22
38
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 20
39
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 23
Menurut Abdul Qadir Audah, Hukuman adalah sanksi hukum yang telah ditetukan untuk kemaslahatan masyarakat karena melanggar perintah
Syari’ Allah SWT dan Rasul-Nya.
40
Hukuman diterapkan demi mencapai kemslahatan baik bagi masyarakat ataupun pelaku sendiri. Adapun tujuan dari pelaksanaan
hukuman yaitu : 1.
Harus mampu menghindarkan seseorang dari berbuat maksiat. Baik mencegah perbuatanya ataupun menjerakannya pelaku untuk tidak berbuat seperti itu
lagi. 2.
Memberikan hukuman kepada pelaku bukan bermaksud untuk membalas dendam, tetapi untuk kemaslahatan dirinya sendiri. Allah SWT mensyariatkan
hukuman sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk memberikan ihsan kepada hamba-Nya. Jadi, seseorang yang bertanggungjawab melaksanakan
hukuman harus mempunyai pengetahuan bahwa pelaksanaan hukuman bukan bermaksud membalaskan dendam korban. Tetapi memberikan ihsan dan
rahmat kepada.
41
Seseorang yang melakukan jarimah haruslah memertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam pertanggungjawaban pidana seorang mukallaf harus
bertanggungjawab atas akibat dari perbuatan yang dilakukannya . Menurut Islam ada tiga dasar mukallaf wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, yaitu:
1. Perbuatan haram yang dilakukan pelaku.
40
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian III, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 19
41
H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1997 Cet.II, hlm. 26
2. Si pelaku memiliki pilihan tidak dipaksa.
3. Si pelaku memiliki pengetahuan idrak.
42
Apabila ketiga dasar ini ada, maka pertanggungjawaban pidana haruslah ada. Tetapi, jika salah satunya tidak ada maka seseorang tidak dapat
mempertanggungajawabkan perbuatanya. Faktor sabab dijadikan oleh oleh Syar’I sebagai tanda atas hasil efek musabab dari terjadinya suatu pelanggaran
melawan hukum. Jika ada sabab namun tidak ada musabab, dan juga sebaliknya jika
tidak ada
sabab namun
ada musabab
maka tidak
dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya.
43
Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang atau
meninggalaka n perbuatan yang diperintahkan oleh syara‟. Jadi sebab
pertanggungjawaban pidana adalah melakukan kejahatan. Untuk adanya pertanggungjawaban ini masih diperlukan dua syarat, yaitu adanya idrak dan
ikhtiar.
44
Menurut Abdul Qadir Audah teori pertanggungjawaban memiliki tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban pidana ada empat, yaitu :
1. Disengaja Al-„Amdu, yang dimaksud dengan sengaja adalah si pelaku berniat
melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Misalnya, seseorang berniat
42
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 66
43
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 74
44
http:gotzlan-ade.blogspot.co.id201203petanggungjawaban-pidana-islam.html diakses pada tanggal 11 Mei 2016 pukul 19.00
mencuri jika ia melakukannya maka ia melakukan pencurian itu dengan sengaja.
45
2. Menyerupai Disengaja Syibhul „Amdi, Pengertian syibhul „ambdi adalah
dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum, tetapi akibat perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam tindak pidana pembunuhan, ukuran
syibhul „amdi ini dikaitkan dengan alat yang digunakan. Kalau yang digunakan itu bukan alat yang biasa ghalib untuk membunuh maka
perbuatan tersebut termasuk kepada perbuatan menyerupai sengaja.
46
3. Kesalahan, maksudnya adalah si pelaku melakukan perbuatan tanpa maksud
membuat kejahatan. Misalnya, seseorang hendak menembak seekor burung namun meleset mengenai manusia.
4. Yang dianggap tersalah, ada dua keadaan yang dapat dianggap tersalah.
Pertama, pelaku tidak bermaksud melakukan suatu perbuatan tetapi perbuatan itu terjadi akibat kelalaiannya. Kedua, pelaku menjadi penyebab tidak
langsung terjadinya perbuatan yang dilarang dan ia tidak bermaksud melakukannya.
47