ALASAN TEORI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
begat waartoe hij door overmacht is gedrogen” yang artinya barang siapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.
51
Dikutip oleh Mahrus ali, menurut Leden Marpaung daya paksa secara teoritis dibagi menjadi
dua macam yaitu: a.
Daya Paksa Mutlak Vis Absoluta b.
Daya Paksa Relatif Vis Compulsiva
Yang dimaksud dengan daya paksa mutlak adalah suatu keadaan yang dimana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri seseorang,
sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu selain apa yang dipaksakan kepadanya. Sedangkan daya paksa relatif adalah daya paksa yang dimaksudkan
dalam Pasal 48 KUHP. Daya paksa relatif ini suatu paksaan dan tekanan yang sedemikian rupa menekan seseorang sehingga ia berada dalam keadaan yang
serba salah, yaitu suatu keadaan yang memaksanya untuk melakukan hal yang sudah pasti melanggar hukum.
52
Kategori yang keempat adalah Pembelaan terpaksa yang melampaui batas noodweer ekses adalah perbuatan pidana yang dilakukan sebagai pembelaan
pada saat seseorang mengalami suatu serangan atau ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari ancaman hukuman jika sifat pembelaan terseut
sebanding dengan bobot serangan atau ancaman serangan itu sendiri.
53
51
Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011 hlm. 181
52
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II,Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002 hlm.30-31
53
Mahrus Ali, Dasar Dasar Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, 2011 hlm. 182-183
Kategori yang kelima adalah melaksanakan perintah Undang-undang pada Pasal 50 KUHP disebutkan
“ barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan pidana untuk melaksanakan peraturan undang-
undang tidak dipidana.” Sebetulnya pasal ini ditunjukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan
berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang. Karena perbuatan yang yang menjadi wewenang berdasarkan Undang undang tidaklah mungkin
diancam pidana menurut Undang-undang yang lain.
54
Kategori yang keenam dan yang terakhir adalah ketentuan mengenai perintah jabatan yang tidak sah diatur dalam Pasal 51 2 KUHP yang berbunyi
Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintahkan dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan
wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaan.”
55
Suatu perintah jabatan yag tidak sah,dengan demikian menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Perbuatan yang dilakukannya, tetap bersifat
melawan hukum hanya saja si pelaku tidak dipidana. Dan si pelaku harus memenuhi dua syarat yaitu Pertama, ia menduga bahwa perintah tersebut adalah
sah yang diberikan oleh pejabat yang kompeten. Kedua, perintah masih dalam ruang lingkup pekerjaan wewenang si pelaku.
56
Dalam Islam, seseorang wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya jika telah memenuhi tiga dasar yang telah dijelaskan di sub bab sebelumnya yaitu
54
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian II, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002 hlm.56
55
KUHP
56
I Made Widnyana, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta : Fikahati Aneska, 2010 hlm. 158
perbuatan haram yang dilakukan pelaku, pelaku memiliki pilihan ikhtiar dan pelaku memiliki pengetahuan idrak. Jika tidak memiliki tiga dasar ini, maka
seseorang yang
melakukan suatu
kejahatan tidak
diwajibkan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Adapun Sebab-sebab yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak wajib dipertanggungjawabkan yaitu Sebab Pembenaran asbab al-ibahah atau sebab
dibolehkannya perbuatan yang dilarang. Dan Sebab Pemaafan asbab raf’i al-
uqubah atau sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku tersebut.
57
Dasar dari penghapusan pidana yang pertama adalah sebab pembenaran. Dengan adanya sebab pembenaran maka suatu perbuatan kehilangan sifat
melawan hukumnya, sehingga mejadi legal atau boleh dan pembuatnya tidak dapat disebut pelaku tindak pidana.
58
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu :
1. Pembelaan Yang Sah Ad dafi‟ As Syar‟iyyu
2. Pendidikan dan pengajaran At ta‟dibu
3. Pengobatan At Tathbiibu
4. Permainan olah raga Al „aab Al Furusiyah
5. Hapusnya jaminan keselamatan jiwa dan anggota badan Ihdar seseorang
6. Hak-hak dan kewajiban penguasa
57
http:vannbie.blogspot.co.id201206pertanggung-jawaban-hukum-pidana-islam.html diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 07.05
58
Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam Bandung: Asy Syamil, 2001 Cet. II, hlm. 169
Pembelaan yang sah dibagi menjadi dua macam yaitu pembelaan khusus dan pembelaan umum. Pembelaan khusus
Difa’ Asy-Syar’I al-Khass dalam hukum Islam maksudnya adalah kewajiban manusia menjaga dirinya atau orang
lain dan untuk mempertahankan hartanya atau harta orang lain. Pembelaan khusus bersifat wajib bertujuan untuk menolak serangan.
59
Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Baqarah [2] : 194
Artinya : “Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang
dengan serangannya terhadapmu.” Para fuqaha sepakat bahwa membela diri adalah suatu jalan yang sah
untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan, dan harta benda.
60
Sedangkan yang dimaksud dengan pembelaan umum Difa’ Asy-Syar’I Al-
„Am. Pembelaan untuk kepentingan umum atau dalam istilah Amar ma’ruf nahi munkar. S
ebagian fuqaha berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar hanya diwajibkan bagi orang yang mmpu melaksanakannya sedangkan yang lainnya
tidak wajib.
61
Seperti Firman Allah SWT Q.S Ali Imran [3] : 104
59
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 138
60
http:artikelkuislami.blogspot.co.id201201hukum-pidana-islam.html diakses pada tanggal 17 Mei 2016 pukul 11.03
61
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 159
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar.”
Sebab pembenaran yang kedua adalah pendidikan, seorang ayah memiliki hak untuk memberikan pendidikan terhadap anaknya yang maih kecil dan baligh.
Menurut mazhab Maliki, Sy afi’i dan Hanbali berbeda dengan mazhab Hanafi.
Mereka berpendapat bahwa pendidikan kepada anak kecil secara umum adalah hak bukan kewajiban. Adapun mazhab Hanafi memandang pendidikan terhadap
anak kecil secara umum adalah wajib atau paling tidak, wajib apabila bertujuan untuk mengajarinya.
62
Tujuan menjatuhkan hukuman dalam mendidik anak hanyalah untuk memberikan bimbingan dan perbaikan, bukan untuk pembalasan
atau kepuasan hati. Karena itu, watak dan kondisi anak harus diperhatikan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan hukuman.
Sebab pembenaran yang ketiga adalah pengobatan, kerugian yang disebabkan oleh dokter yang mempuni dan kredibel yang dilakukan tana adanya
kecerobohan tidak ditanggung sama sekali oleh dokter.
63
para fuqaha sepakat bahwa dokter tidak bertanggungjawab apabila pekerjaannya mengakibatkan hasil
yang membahayakan si pasien.
62
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 181
63
Walid bin Rasyid as- Sa’idan, Syar’iyyah fi al-Masa’il ath-Thibbiyah di Terjemahkan
oleh Muhammad Syafii Maskur Fiqh Kedokteran, Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2007 hlm.123
Namun, jika ada orang yang berlaku selayaknya dokter tanpa memiiki keilmuan untuk menyembuhkan suatu penyakit yang di derita oleh pasien maka ia
wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi sesuatu terhadap pasien. Rasulullah Saw bersabda.
ا ث ح اِ ِ
نْب راَ ع
ِشا ر نب
ِْيِع س ْيِ َرلا
اا ق :
ا ث يِل لْا
نْبا ِ ْس
. ا ث
نْبا جْي ر ج
ْن ع ِرْ ع
ِنْب ِبْيي ع ش
ْن ع ِيِب أ
ْن ع ِِ ج
لا ق :
لا ق ل س ر
له .
ْن بَ ط ت
ل ْ ع ي
ِ بِط
ق كل
ف نِ ا ض
Artinya : “Telah menceritakan Hisyam Bin Amar dan Rasyid Bin Sa’id Al-Ramli
mereka berkata : telah menceritakan Al-Walid Bin Muslim. Telah menceritakan Ibn Juraij dari Umar Bin Syu’ab dari ayahnya dan kakeknya berkata : Rasulullah
Saw bersabda : Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.”
64
Sebab pembenaran yang keempat adalah permainan kesatriaan, hukum Islam memperbolehkan segala permaninan kesatriaan yang mencari keunggulan
kekuatan dan keahlian serta yang dapat bermanfaat bagi masyarakat, baik pada waktu damai ataupun perang. Seperti lomba lari, pacuan kuda, lomba berahu,
balap mobil, parasut, permainan anggar, tombak, pedang, memanah, menembak, tinju, angkat besi dan lain-lain.
65
Allah SWT berfirman dalam QS. al-Anfal [8]:60
64
Sunan Al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini Ibn Majjah, Sunan Ibnu Majjah Juz I, No. 3466, hlm. 31
65
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 187
Artinya : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang yang dengan persiapan itu kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup
kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya dirugikan.” Sebab pembenaran yang kelima hapusnya jaminan keselamatan ialah
bolehnya mengambil tindakan terhadap jiwa seseorang atau anggota-anggota badannya, dan oleh karena itu maka ia bisa dibunuh atau dianiaya. Tindakan
tersebut bisa diadakan apabila dasar-dasar adaya keselamatan jiwa atau anggota badan telah hapus. Dasar-dasar tersebut adalah iman Islam dan jaminan
sementara atau seumur hidup.
66
Jaminan keselamatan bagi seseorang menjadi hapus apabila ia murtad dan bagi kafir ziimi menjadi hapus dengan berakhirnya
masa perjanjian yang telah diberikan kepada mereka atau karena mereka melanggar tidak menepati ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut.
Sebab pembenaran yang keenam adalah Hak- hak penguasa menurut Islam adalah hak untuk memerintah rakyatnya. Selain memerintah penguasa juga
memiliki kewajiban untuk taat terhadap hukum Allah. Penguasa tidak boleh menyuruh kepada sesuatu yang menyalahi
syara’. Allah Swt berfirman dalam Q.S An-Nisa [4] : 59
66
http:gubukhukum.blogspot.co.id201203pidana-dalam-hukum-pidana-islam.html diakses pada tanggal 30 Agustus 2016 pukul 19.00
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul Nya, dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Quran dan Rasul
sunnahnya.” Dasar penghapusan pidana yang kedua adalah sebab pemaafan. Dengan
adanya sebab pemaafan, seseorang yang melakukan tindak pidana tetap melawan hukum namun si pembuat atau pelakunya dimaafkan karena keadaan tertentu yang
ada pada diri pelaku.
67
Menurut Abdul Qadir Audah adapun keadaan tertentu yang dimaksud, yaitu :
1. Paksaan Ikrah
2. Mabuk.
3. Orang Gila.
4. Anak-anak.
Keadaan yang pertama adalah daya paksa, fuqaha berbeda pendapat mengenai definisi paksaan. Paksaan adalah apabila suatu hukuman ancaman
dapat dilakukan oleh si pemaksa dengan segera dan cukup mempengaruhi orang yang berakal pikiran sehat untuk mengerjakan apa yang dipaksa bahwa ancaman
tersebut akan benar-benar dilakukan apabila ia menolak apa yang dipaksakan kepadanya. seperti Sabda Rasulullah Saw.
68
ا ث ح نْب َ ح
يِصْ ِحلا ىَف ص ْلا ا ث .
يِل لا ِ ْس نْب
. ا ث
ال ع ِنْباِ ع ءا ط ع ْن ع يِعا ْ أا ىِ َ لا ِن ع
. ه إ
ع ض ع
ْن َ أ
ِت لا ي
ط أ
ِلا يس
ِ ا ِر تسا ا
ِي ع ا
Artinya : “Telah menceritakan Muhammad Bin Mushaffa Al-Himshiyyu. Telah
menceritakan Al-Walid Bin Muslim. Telah menceritakan Al- auza’iyyu dari’Atho.
67
Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam Bandung: Asy Syamil, 2001 Cet. II, hlm. 169
68
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 221
Dari Ibnu Abbas r.a Bahwa sesungguhnya Nabi Saw Bersabda : Sesungguhnya Allah mengangkat
dari umatku keliru, lupa, dan sesutu yang dipaksa ”
69
Jika suatu kejahatan dilakukan dalam keadaan dipaksa tak akan ada tuntutan hukuman jika terbukti benar bahwa ia melakukan kejahatan karena
dipaksa.
70
Seseorang melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum namun ada unsur paksaan saat melakukan perbuatan tersebut. Maka seseorang itu tidak
wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Keadaan yang kedua adalah mabuk,
mabuk adalah perilaku sadar seseorang atau sekelompok orang untuk meminum minuman beralkohol atau
mengkonsumsi barang-barang yang memabukkan untuk mengurangi beban dan tekanan hidupnya dan atau sekedar untuk mencari kesenangan semata, sehingga ia
dapat melakukan tindakan yang tidak terkontrol, seperti bicara ngawur, memukul, menendang, hingga membunuh.
71
Menurut Abdul
Qadir Audah
seseorang yang
tidak dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya sebab mabuk adalah seseorang yang mabuk karena dipaksa dan keinginannya sendiri namun ia tidak tahu bahwa
minuman tersebut mengadung zat yang dapat memabukkan.
72
Topo santoso juga mengemukakan pendapat yang sama, jika seseorang mabuk hingga kesadarannya
hilang dan mabuk itu tidak disengaja misalnya karena di paksa, ditipu atau karena
69
Sunan Al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini Ibn Majjah, Sunan Ibnu Majjah Juz I, No. 204
5, hlm. 10
70
Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam Bandung: Asy Syamil, 2001 Cet. II, hlm. 173
71
http:arief306al-mumtaz.blogspot.co.id201305mabuk-mabukan.html diakses pada tanggal 12 Mei 2016 pukul 16.04
72
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 240
mengkonsumsi obat tertentu maka ia tidak wajib memepertanggungjawabkan perbuatannya.
73
Keadaan yang ketiga adalah orang gila, Secara umum dan luas gila memiliki pengertian “hilangnya akal, rusak atau lemah”. Definisi tersebut
merupakan definisi secara umum dan luas, sehingga mencakup gila junun, dungu al-
„ithu, dan semua jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilangkan idrak kemampuan berfikir.
74
Menurut Abdul Qadir Audah ada beberapa kategori yang masuk keadaan gila, yaitu :
1. Gila yang terus menerus Junun Mutbaq
2. Gila yang berselang Mutaqatti
3. Gila sebagian
4. Dungu
5. Epilepsi dan Histeria
6. Terasuki pikiran keji
7. Kepribadian ganda
8. Lemah pikiran
9. Tuli dan Bisu
10. Gerakan dalam tidur
11. Peniduran hipnotis
12. Meluapnya sentimen
73
Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam Bandung: Asy Syamil, 2001 Cet. II, hlm. 173
74
http:artikelkuislami.blogspot.co.id201201hukum-pidana-islam.html diakses pada tanngal 12 Mei 2016 pukul 18.00
Keadaan-keadaan yang masuk dalam kategori gila dan melakukan perbuatan tindak pidana membebaskan pelakunya dari hukuman karena tidak
adanya kekuatan berpikir idrak pada dirinya. Walaupun seseorang gila bukan berarti memberikan pembolehan, melainkan mengahapuskan hukumannya dari si
pelaku. Dan ketetapan ini disepakati oleh para fuqaha.
75
Keadaan kempat dan yang terakhir sebab pemaafan seseorang yang melakukan tindak pidana adalah Anak-anak. Anak-anak dan orang gila adalah
golongan yang tidak dikenai pidana atas perbuatannya, karena keduanya bukan termasuk orang yang mampu untuk bertanggungjawab.
76
Kemampuan beertanggungjawab dalam hukum Islam memiliki salah satu unsur yaitu kekuatan berpikir idrak. Anak-anak yang tidak dimintai
pertanggungjawabannya karena masih lemahnya kekuatan berpikir dan belum memasuki fase memiliki kekuatan berpikir. Seiring dengan perbedaan fase-fase
yang dilalui oleh manusia sejak lahir sampai waktu sempurna kekuatan berpikir dan pilihan.
77
Rasulullah Saw bersabda sebagai berikut.
را نْب يِز ي ا ث . ْي ش ىِب أ ِنْب ِرْ بْ ب أ ا ث ح ا ثَ ح .
ا خ نب ِ ِلا خ نْبا َ ح نب َ ح
: ااق . ى يحي نع س نب داَ ح ا ث . ِ ْ نب ِن حَرلا ع ا ث
ِد ْس أا ِن ع يِ ارْبإ ْنع داَ ح :لاق . ِه ل سر َ أ: ئا ع ْن ع
ث ا ث ْن ع قْلا عِف ر ح ِيِ َصلا ِن ع
ي ىَت غِ ْ
ىَت ح ِ ِئاَ لا ظ قْي تْس ي
ِن ع قْيِف ي ىَت ح ِ ْ ْج ْلا
Artinya : “
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Yazid Bin Harun. Telah menceritakan kepada kami
75
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 240
76
Assadulloh Al Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam Jakarta : Ghalia Indonesia, 2009 Cet. I, hlm. 87
77
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’I Al-Islamiy di Terjemahkan oleh Tim Silalahi
Ensiklopedia Hukum Pidana Islam Bagian II, Jakarta : PT Kharisma, 2007 hlm. 255-256
Muhammad Ibnu Khallid Bin Khidash, Dan Muhammad Bin Yahya, Mereka berkata : Telah menceritakan pada kami Abdurrahman Bin Muhdiyyi. Telah
menceritakan Hammad Bin Salamah, dari Hammad, Ibrahim, Aswad dan Aisyah. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : Pena diangkat dari tiga orang, dari
anak kecil hingga bermimpi baligh, dari orang tidur hingga bangun, dan dari
orang gila hingga normal kembali.”
78
Anak-anak dan orang gila adalah golongan yang tidak dikenai pidana atas perbuatannya, karena keduanya bukan termasuk orang yang mampu untuk
bertanggungjawab.
79
Karena sebab inilah seorang anak yang masih dibawah umur melakukan kejahatan tidak dimintai pertanggungjawaban pidana sebab dimaafkan
segala perbuatanya.