Analisis Produksi dan Faktor Faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang Pada Usahatani Padi

(1)

ANALISIS PRODUKSI DAN FAKTOR-FAKTOR PENENTU

ADOPSI TEKNOLOGI PEMUPUKAN BERIMBANG

PADA USAHATANI PADI

Y U L I A R M I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

ANALISIS PRODUKSI DAN FAKTOR-FAKTOR PENENTU ADOPSI TEKNOLOGI PEMUPUKAN BERIMBANG PADA USAHATANI PADI

merupakan hasil karya saya sendiri dengan bimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lainnya.

Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 24 Mei 2006

Y u l i a r m i NRP. A 545010211


(3)

ABSTRAK

YULIARMI. Analisis Produksi dan Faktor-Faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang Pada Usahatani Padi (Yusman Syaukat sebagai Ketua dan Sri Hartoyo sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Program Pemupukan Berimbang merupakan teknologi peningkatan produksi padi melalui pemakaian pupuk berimbang dan varietas unggul. Pemupukan berimbang sudah sejak dahulu dianjurkan pada usahatani padi sawah, tetapi pemakaian pupuk di tingkat petani masih belum sesuai dengan rekomendasi yang ditetapkan.

Dalam penelitian ini dianalisis tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah dengan sistem skor, faktor yang mempengaruhi keputusan petani mengadopsi teknologi pemupukan berimbang dengan model logit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah dianalisis dengan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah di Kecamatan Plered berada pada kategori sedang. Dalam upaya peningkatan penerapan teknologi usahatani padi sawah di Kecamatan Plered dari kategori sedang menjadi tinggi dapat ditingkatkan melalui komponen pupuk dan pemupukan dan perlindungan tanaman yang sesuai dengan rekomendasi yang telah ditetapkan.

Proses adopsi teknologi pemupukan berimbang di Kecamatan Plered dipengaruhi secara nyata oleh luas lahan garapan petani, biaya pupuk, dan harga gabah. Sedangkan produksi padi sawah dipengaruhi secara nyata oleh luas lahan, jumlah pupuk, dan tenaga kerja luar keluarga. Faktor pendorong bagi petani dalam menerapkan teknologi pemupukan berimbang adalah produksi yang lebih tinggi dan faktor penghambatnya adalah tidak adanya jaminan harga yang layak.

Penerapan teknologi pemupukan berimbang yang telah dilaksanakan di Kecamatan Plered secara statistik tidak signifikan dalam meningkatkan produksi padi sawah yang diperoleh petani. Hal ini disebabkan oleh berbagai permasalahan yang dihadapi di tingkat lapang, seperti ketersediaan pupuk yang tidak tepat waktu dan penggunaan pupuk yang belum sesuai dengan rekomendasi spesifik lokasi.


(4)

© Hak cipta milik Yuliarmi, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(5)

ANALISIS PRODUKSI DAN FAKTOR-FAKTOR PENENTU ADOPSI TEKNOLOGI PEMUPUKAN BERIMBANG

PADA USAHATANI PADI

Y U L I A R M I

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2006


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Analisis Produksi dan Faktor-Faktor Penentu Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang pada Usahatani Padi.

Program Pemupukan Berimbang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui pemakaian varietas unggul dan pemupukan berimbang dengan memakai pupuk majemuk NPK. Program ini dilaksanakan oleh Departemen Pertanian bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat). Daerah pelaksana program di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta.

Tesis ini dapat diselesaikan atas arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Sri Hartoyo sebagai Anggota Komisi Pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian.

Ucapan terima kasih atas dorongan dan do’a yang diberikan dengan tulus ikhlas juga penulis haturkan kepada suami dan anak penulis, orangtua, kakak-kakak dan adik-adik penulis serta teman-teman EPN yang tak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis mengikuti pendidikan.

Penulis telah berusaha menyelesaikan tesis ini sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini tak luput dari kekurangan, namun penulis berharap dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, 24 Mei 2006 Penulis


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat tanggal 24 Juli 1969. Ayah Sa’ardi dan Ibu Lismayar. Penulis adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara.

Pada tahun 1983 penulis lulus SDN 1 Simabur. Tahun 1986 lulus dari SMPN Simabur dan tahun 1989 lulus dari SMAN 2 Padang. Gelar Sarjana Pertanian diperoleh dari Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Andalas tahun 1994.

Penulis menikah pada tahun 1997 dengan Azmi dan telah dikaruniai seorang putri bernama Syafira Pritami Angelina. Pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tahun 2002 penulis diterima sebagai staf di Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, Departemen Pertanian.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Kegunaan Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA... 9

2.1. Kebijakan Perberasan Indonesia ... 9

2.2. Subsidi Pupuk ... 10

2.3. Penggunaan Pupuk dalam Menekan Biaya Produksi Padi ... 11

2.4. Intensifikasi Padi... 13

2.5. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu ... 14

III. KERANGKA TEORITIS... 17

3.1. Program Pemupukan Berimbang ... 17

3.2. Perubahan Teknologi ... 20

3.3. Pendekatan Fungsi Produksi ... 22

3.4. Proses Adopsi Teknologi ... 24

3.4.1. Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang ... 24

3.4.2. Penyuluhan Pertanian... 25

3.5. Model Pemilihan Kualitatif ... 27

IV. METODE PENELITIAN... 29

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 29


(9)

4.3. Metode Analisis ... 30

4.3.1. Pandangan Petani terhadap Program Pemupukan Berimbang dan Tingkat Penerapan Teknologi Usahatani Padi Sawah ... 30

4.3.2. Model Logit ... 32

4.3.3. Model Fungsi Produksi ... 33

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN... 35

5.1. Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Plered ... 35

5.2. Gambaran Umum Pertanian Kecamatan Plered... 36

5.3. Gambaran Umum Petani Sampel... 37

5.3.1. Karakter Petani Sampel... 37

5.3.2. Usahatani Padi Sawah... 41

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN... 52

6.1. Pandangan Petani terhadap Program Pemupukan Berimbang dan Tingkat Penerapan Teknologi Usahatani Padi Sawah... 52

6.1.1. Pandangan Petani terhadap Program Pemupukan Berimbang... 53

6.1.2. Tingkat Penerapan Teknologi Pemupukan Berimbang... 57

6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani untuk Mengadopsi Teknologi Pemupukan Berimbang... 61

6.3. Pengaruh Program Pemupukan Berimbang terhadap Produksi dan Pendapatan Petani Padi Sawah ... 64

6.3.1. Pengaruh Program Pemupukan Berimbang terhadap Produksi Padi Sawah... 64

6.3.2. Pengaruh Program Pemupukan Berimbang terhadap Pendapatan Petani Padi Sawah ... 74

VII. KESIMPULAN DAN SARAN... 78

7.1. Kesimpulan ... 78

7.2. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA... 80


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Strategi Reorientasi Penggunaan Pupuk pada Padi Sawah Akibat

Adanya Kenaikan Harga Pupuk Tanpa Subsidi... 12 2. Luas Lahan Sawah di Kecamatan Plered Tahun 2005... 36 3. Karakteristik Petani Sampel di Kecamatan Plered ... 39 4. Pandangan Petani dalam Proses Adopsi Teknologi Pemupukan

Berimbang di Kecamatan Plered ... 54 5. Tingkat Penerapan Teknologi Usahatani Padi Sawah di Kecamatan

Plered ... 59 6. Hasil Pendugaan Model Logit untuk Mengetahui Faktor-Faktor

yang Mempengaruhi Petani dalam Mengadopsi Teknologi

Pemupukan Berimbang ... 63 7. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Program Pemupukan Berimbang

di Kecamatan Plered ... 64 8. Uji Analisis Varian Fungsi Produksi Program Pemupukan

Berimbang di Kecamatan Plered ... 66 9. Penggunaan dan Rekomendasi Pupuk N, P, dan K di Kecamatan

Plered ... 68 10. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Produksi Program Pemupukan

Berimbang (Model V) di Kecamatan Plered... 71 11. Struktur Biaya dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah di


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Dampak Subsidi Pupuk terhadap Produktivitas Padi... 11


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Perkembangan Produksi Padi Tahun 1974 – 2004 ... 85 2. Komponen Penentu (Impact Point) Teknologi Padi Sawah ... 86 3. Jumlah Penduduk Kecamatan Plered Berdasarkan Jenis Kelamin ... 91 4. Ukuran Rumahtangga dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Plered 92 5. Tingkat Penerapan Teknologi Usahatani Padi Sawah di Kecamatan

Plered ... 93 6. Deskripsi Varietas Ciherang ... 94 7. Deskripsi Varietas Cigeulis... 95 8. Data Variabel Bebas (Xi) dan Variabel Terikat (Pi) Fungsi Logit

(Petani Peserta Program Pemupukan Berimbang) di Kecamatan

Plered, Tahun 2005 ... 96 9. Data Variabel Bebas (Xi) dan Variabel Terikat (Pi) Fungsi Logit

(Petani Non Peserta Program Pemupukan Berimbang) di

Kecamatan Plered ... 97 10. Hasil Pendugaan Fungsi Logit Adopsi Teknologi Pemupukan

Berimbang di Kecamatan Plered ... 98 11. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Padi Sawah Teknologi Pemupukan

Berimbang (Model I) di Kecamatan Plered ... 100 12. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Padi Sawah Teknologi Pemupukan

Berimbang (Model II) di Kecamatan Plered ... 101 13. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Padi Sawah Teknologi Pemupukan

Berimbang (Model III) di Kecamatan Plered ... 102 14. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Padi Sawah Teknologi Pemupukan

Berimbang (Model IV) di Kecamatan Plered ... 103 15. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Padi Sawah Teknologi Pemupukan

Berimbang (Model V) di Kecamatan Plered... 104 16. Rekomendasi Pupuk Kabupaten Purwakarta (Peraturan Menteri


(13)

Pertanian No. 01/Kpts/SR.130/1/2006) ... 105 17. Penggunaan Pupuk pada Petani Peserta Teknologi Pemupukan

Berimbang ... 106 18. Penggunaan Pupuk pada Petani Non Peserta Program Pemupukan

Berimbang... 107 19. Data Variabel Bebas (Xi) dan Variabel Terikat (Y) Fungsi Produksi

Padi Sawah (Petani Peserta Program Pemupukan Berimbang) di

Kecamatan Plered ... 108 20. Data Variabel Bebas (Xi) dan Variabel Terikat (Y) Fungsi Produksi

Padi Sawah (Petani Non Peserta Program Pemupukan Berimbang)

di Kecamatan Plered ... 109 21. Data Biaya, Penerimaan, Pendapatan dan Keuntungan Usahatani

Padi Sawah (Petani Peserta Program Pemupukan Berimbang)

di Kecamatan Plered ... 110 22. Data Biaya, Penerimaan, Pendapatan dan Keuntungan Usahatani

Padi Sawah (Petani Non Peserta Program Pemupukan Berimbang)


(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Padi merupakan komoditas strategis dan utama dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional. Hal ini disebabkan bahwa 95 persen rakyat Indonesia masih mengkonsumsi beras sebagai sumber bahan pangan karbohidrat (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2004).

Selain berperan penting sebagai makanan pokok, padi merupakan sumber perekonomian sebagian besar masyarakat di pedesaan. Kekurangan produksi berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Karena itu upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk tentu perlu mendapat perhatian utama dalam pembangunan pertanian (Las, 2005).

Berdasarkan hasil prediksi Japan International Cooperation Agency (JICA) tahun 1993, pada tahun 1999 konsumsi beras perkapita sebesar 152.97 kg, pada tahun 2006 sebanyak 154.14 kg dan tahun 2025 sebanyak 147.00 kg, sehingga secara berturut-turut dibutuhkan produksi beras sebanyak 35 145 000 ton pada tahun 2006 dan sebanyak 40.04 juta ton pada tahun 2025. Terlihat bahwa mulai tahun 2006 total konsumsi perkapita sudah mulai turun akan tetapi total kebutuhan masih meningkat terus sampai tahun 2025 (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2004).

Perhitungan berdasarkan kebutuhan pangan nasional, Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa memerlukan sekitar 54 ton gabah kering


(15)

giling (GKG) per tahun atau setara dengan 35 juta ton beras. Dengan luas lahan yang ada maka produktivitas padi rata-rata harus di atas 4.9 ton/ha, sedangkan hingga saat ini baru mencapai 4.6 ton/ha. Oleh karena itu, untuk mencapai ketahanan pangan yang stabil dengan laju peningkatan kebutuhan beras 2 – 3 persen per tahun, pemerintah harus terus berupaya meningkatkan produktivitas dan produksi padi secara intensif (Las, 2005).

Kebijakan pemerintah dalam penyediaan pangan, meliputi aspek (1) pengadaan pangan secara nasional dengan cara memproduksi sendiri di dalam negeri, atau impor bila diperlukan, (2) ketahanan pangan yang mampu mengatasi gejolak ketidak-pastian, baik di tingkat makro maupun mikro (desa dan rumah tangga), (3) terjaminnya kestabilan harga pangan yang mampu mengurangi laju inflasi yang tidak menguntungkan bagi perekonomian nasional, dan (4) terjaminnya mutu pangan dengan gizi seimbang dan tidak membahayakan kesehatan (Hasan, 1994).

Namun kenyataannya pengadaan beras di dalam negeri dihadapkan kepada sejumlah kendala seperti sarana produksi yang mahal dengan harga beras yang tidak menentu, sehingga petani kurang bergairah untuk menerapkan cara pengelolaan tanaman padinya secara optimal. Selain itu, adanya berbagai kendala iklim, hama, dan penyakit tanaman serta kurangnya pengetahuan tentang pemupukan berimbang akan menyebabkan turunnya produktivitas tanaman padi dan rendahnya efisiensi penggunaan pupuk atau pemborosan input/sarana produksi padi.

Usaha dalam meningkatkan produksi padi guna mencukupi kebutuhan pangan nasional yang terus meningkat, kini juga memerlukan masukan (input)


(16)

yang tepat, yaitu efisien, efektif, dan tidak mencemari lingkungan sehingga petani dapat menerima keuntungan yang layak dan lingkungan yang sehat. Menurut Makarim (2004), tujuan utama di atas dapat dicapai dengan menerapkan sistem pertanian yang berdasarkan konsep yang disebut prescription farming.

Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mempertimbangkan bahwa sistem produksi pertanian padi merupakan suatu sistem dinamik, dimana produk akhirnya (hasil padi) merupakan fungsi dari faktor iklim (radiasi surya, suhu), air, tanah (fisik dan kimia) serta tanaman dengan berbagai karakternya yang bersifat dinamik. Fluktuasi hasil dapat diterangkan sebagai akibat respon proses di dalam tanaman terhadap perubahan faktor di atas. Input (pupuk) yang diberikan merupakan pendukung terhadap kondisi tanah agar proses pertumbuhan tanaman berjalan optimal pada lingkungan tertentu. Konsep ini kemudian dikenal dengan istilah pemupukan berimbang (Makarim, 2004).

Usaha untuk meningkatkan produksi padi memerlukan sejumlah perbaikan dalam cara pengelolaan. Efektivitas input dalam menaikkan produksi tanaman, efisiensi dalam penggunaan input yang semakin langka dan mahal, serta tidak merusak lingkungan harus diutamakan. Penggunaan teknologi yang spesifik lokasi dengan menggunakan konsep agroekologi (Las, et al., 1991) dan ciri tanah (Makarim, et al., 1992) diharapkan dapat memenuhi harapan di atas.

1.2. Perumusan Masalah

Permintaan pangan terutama beras di Indonesia terus meningkat seiring peningkatan pertambahan penduduk. Pemenuhan kebutuhan pangan melalui produksi pangan dalam negeri harus tetap dilakukan. Walaupun bahan pangan yang dibutuhkan mungkin dapat diimpor dengan harga yang lebih murah,


(17)

pemenuhan kebutuhan pangan dari hasil produksi sendiri penting untuk mengurangi ketergantungan pada pasar dunia dan upaya peningkatan pendapatan petani. Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya untuk mencukupi kebutuhan pangan terutama beras dari produksi dalam negeri dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat (Rasahan, 2000).

Berbagai kebijakan dan program di bidang pertanian telah dilakukan dalam upaya peningkatan produksi padi. Kemajuan teknologi pertanian yang dikenal dengan Revolusi Hijau (Green Revolution) yang dimulai tahun 1968 merupakan program intensifikasi padi yang dipadukan dengan rekayasa sosial ekonomi (Abbas, 1997). Revolusi hijau diawali dengan ditemukannya varietas padi berdaya hasil tinggi, berumur pendek, tanggap terhadap pemupukan dengan produksi yang tinggi (Balai Penelitian Tanaman Padi, 2003). Revolusi hijau telah berhasil mengimbangi kebutuhan akan beras yang terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk di Indonesia.

Tetapi keberhasilan tersebut juga menimbulkan ancaman terhadap keberlanjutan usahatani, antara lain menurut Makarim, et al. (2004) terjadinya kemunduran kualitas lahan sawah. Kemunduran tersebut dicirikan dengan semakin meluasnya lahan kekurangan unsur hara. Di pulau Jawa, gejala kekurangan beberapa unsur hara mikro telah teridentifikasi sejak tahun 1977. Kemudian diketahui gejala tersebut telah meluas ke pulau-pulau lainnya.

Produksi padi nasional dalam dekade terakhir relatif tidak mengalami peningkatan yang berarti, bahkan pada tahun-tahun tertentu cenderung turun. (Balai Penelitian Tanaman Padi, 2002). Makarim, et al. (2004) juga menyatakan bahwa terjadinya gejala pelandaian produktivitas (levelling off) padi di


(18)

sawah-sawah yang dikelola secara intensif telah diidentifikasi antara lain disebabkan oleh menurunnya kualitas lahan. Kandungan bahan organik tanah, hara tanaman yang tersedia dalam tanah tidak seimbang dan sifat fisika tanah yang tidak bisa menopang pertumbuhan tanaman untuk mencapai produktivitas tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2006), penggunaan pupuk yang digunakan petani belum efisien, belum rasional, dan belum berimbang. Sebagian petani menggunakan pupuk tertentu dengan dosis yang berlebihan, dan sebagian petani menggunakan pupuk dengan dosis yang lebih rendah dari kebutuhan tanaman. Hal ini mengakibatkan produksi yang dihasilkan petani tidak optimal karena ketidakseimbangan hara dalam tanah.

Rekomendasi pemupukan padi sawah yang dilakukan petani sekarang masih bersifat umum untuk semua wilayah Indonesia tanpa memperhatikan status hara tanah dan kemampuan tanaman menyerap hara. Sementara status P dan K lahan sawah bervariasi dari rendah sampai tinggi. Bahkan sebagian besar lahan sawah di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Lombok dan Bali berstatus hara P dan K tinggi. Kadar P dan K yang tinggi dalam tanah akan menekan ketersediaan unsur hara mikro seperti Zn dan Cu (Agus, et al., 2004).

Pada lahan sawah intensifikasi, pupuk urea diberikan secara berlebihan 300 – 500 kg Urea/ha (Balai Penelitian Tanaman Padi, 2003) dan sebagian besar tanaman padi sudah tidak tanggap terhadap pemupukan P dan K (Agus, et al.,

2004). Hal ini akan menyebabkan produksi padi yang dihasilkan tidak sesuai dengan potensi hasil optimal yang diharapkan. Untuk itu perlu dilakukan


(19)

pemupukan sesuai dengan ketersediaan hara tanah dan kebutuhan tanaman dengan pelaksanaan pemupukan secara berimbang.

Dalam perkembangan produksi padi di Indonesia, pulau Jawa memberikan kontribusi dan memasok 60 persen produksi padi nasional. Produktivitas padi menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada daerah-daerah di luar pulau Jawa. Untuk tingkat produktivitas padi di Provinsi Jawa Barat (52.73) menunjukkan angka di atas produktivitas rata-rata nasional (45.38) (BPS, 2005). Tetapi bila memperhatikan produktivitas padi perkabupaten, maka terdapat beberapa kabupaten di Jawa Barat yang produktivitasnya masih berada di bawah rata-rata produktivitas provinsi bahkan di bawah tingkat produktivitas nasional.

Perlu diupayakan peningkatan produktivitas padi di kabupaten-kabupaten yang produktivitasnya di bawah provinsi melalui pemupukan berimbang. Dengan kondisi lahan sawah yang kelebihan/kekurangan hara tertentu, penerapan program pemupukan berimbang akan dapat meningkatkan produksi, akan diperoleh manfaat optimal dari unsur hara yang terkandung dalam pupuk dan bahkan bisa memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan pemupukan dosis tinggi yang tidak rasional. Dengan demikian tingkat pendapatan petani akan lebih baik.

Oleh karena itu, dari pelaksanaan program pemupukan berimbang di Kabupaten Purwakarta, bagaimana pandangan petani terhadap teknologi pemupukan berimbang? Sejauh mana adopsi teknologi pemupukan berimbang oleh petani dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan petani dalam penerapan teknologi pemupukan berimbang? Sejauh mana teknologi pemupukan berimbang dapat meningkatkan produksi padi dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi padi?


(20)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dilakukan pada usahatani padi sawah di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat adalah:

1. Analisis pandangan petani terhadap teknologi pemupukan berimbang dan tingkat penerapan teknologi pemupukan berimbang.

2. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengadopsi teknologi pemupukan berimbang.

3. Pendugaan fungsi produksi dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah dengan teknologi pemupukan berimbang.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi dan keputusan petani untuk mengadopsi teknologi pemupukan berimbang yang telah dilaksanakan di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta, diharapkan dapat memberikan gambaran tentang perilaku petani padi sehingga dapat disusun rekomendasi teknologi padi yang sesuai dengan agro-ekologinya dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi masyarakat.

Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak berikut:

1. Petani

Sebagai tambahan informasi bagi petani padi dalam meningkatkan produksi dan pendapatan usahatani.

2. Pemerintah

Sebagai masukan dalam perencanaan dan pelaksanaan program peningkatan produksi padi.


(21)

3. Penelitian selanjutnya

Sebagai bahan kajian dan informasi bagi penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan tujuan yang akan dicapai, maka penelitian ini terbatas pada usahatani padi sawah, baik pada petani peserta program pemupukan berimbang ataupun petani non peserta program pemupukan berimbang yang dilaksanakan di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Analisis produksi ini mencakup faktor yang mempengaruhi produksi dan penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi sawah di Kecamatan Plered.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Perberasan Indonesia

Kebijakan mengenai perberasan di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1969/1970. Kebijakan tersebut (tahun 1969/1970 s/d 1998) mencakup kebijakan harga dasar gabah (HDG) atau dikenal dengan nama floor price policy dan pembelian beras oleh pemerintah. Pada tahun 1969/1970, HDG berada pada harga Rp 20,90/kg dan pada tahun 1997 HDG berada pada harga Rp 525,00 (perkembangan harga terlampir). Pelaksanaan pembelian gabah dan beras oleh pemerintah dilakukan oleh Koperasi Unit Desa (KUD) yang membeli dengan harga di atas HDP. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membantu petani dalam peningkatan pendapatannya (Badan Bimas Ketahanan Pangan, 2005).

Kebijakan perberasan dalam Inpres No. 9 Tahun 2002 (Deputi Setnet Bidang Hukum dan Perundang-Undangan, 2002) dan Inpres No. 2 Tahun 2005 (Deputi Setnet Bidang Hukum dan Perundang-Undangan, 2005) dilaksanakan dengan mengimplementasikan kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) atau dikenal dengan nama procurement price policy. Dengan kebijakan HPP, pemerintah melalui Perum Bulog membeli gabah petani yang bertujuan untuk memberikan insentif harga kepada petani pada harga yang relatif tinggi dibanding harga pasar, dengan maksud untuk “mengangkat” harga gabah di tingkat petani terutama pada saat panen raya.

Dalam Inpres No. 9 Tahun 2002 dan Inpres No. 2 Tahun 2005 juga menetapkan kebijakan impor beras. Menurut Inpres No. 2 Tahun 2005 kebijakan impor dengan melaksanakan kebijakan pelarangan impor beras pada musim panen


(23)

raya, yaitu satu bulan sebelum panen raya dan dua bulan sesudah panen raya (Januari – Juni) untuk melindungi petani dari rendahnya harga beras. Bahkan pada tahun 2005 ini kalau memungkinkan pelarangan impor beras akan berlanjut sampai bulan Desember 2005.

2.2. Subsidi Pupuk

Dalam rangka mendukung ketahanan pangan, pemerintah telah melakukan kebijakan subsidi pupuk. Pemberian subsidi pupuk oleh pemerintah dapat dilihat dari sejarah perkembangan subsidi pupuk sebagai berikut (Ditjen Bina Sarana Pertanian, 2004):

1. Pemberian subsidi pupuk untuk sektor pertanian dimulai pada tahun 1979 dan berakhir Desember 1998.

2. Periode tahun 1998 – 2000, subsidi dan tataniaga pupuk dicabut dan distribusi pupuk diserahkan pada mekanisme pasar.

3. Periode tahun 2001 – 2002, pemerintah mengalokasikan subsudi pupuk dalam bentuk insentif gas domestic (IGD) untuk pupuk Urea.

4. Periode tahun 2003 – 2004, pemerintah mengalokasikan subsidi pupuk melalui subsidi gas untuk pupuk Urea dan subsidi harga untuk pupuk non Urea (SP-36, ZA dan NPK).

Pada periode 1979 – 1997, subsidi pupuk memberikan kontribusi pada produktivitas sehingga dicapai swasembada beras pada tahun 1984. Pada akhir Desember 1998 sampai tahun 2000, subsidi pupuk dicabut dan berakibat pada penurunan produktivitas 4.38 ton.ha menjadi 4.22 ton/ha. Pada tahun 2001 – 2002, pemerintah memberikan subsidi pupuk melalui Insentif Gas Domestik (IGD). Pada tahun 2003 – 2004, pemerintah memberikan subsidi pupuk Urea


(24)

melalui penetapan harga gas dan pupuk non Urea melalui subsidi harga, sehingga terjadi peningkatan produktivitas dari 4.22 ton/ha menjadi 4.43 ton/ha. Dampak subsidi pupuk terhadap produktivitas padi, sejak tahun 1979 sampai dengan 2003, dapat dilihat pada Gambar 1, di bawah ini:

Dampak Subsidi Pupuk

4.1 4.15 4.2 4.25 4.3 4.35 4.4 4.45

1979-1997 1998-2000 2001-2003

Tahun

P

roduk

ti

v

it

a

s

(

ton/

ha

)

Produktivitas

Sumber: Ditjen Bina Sarana Pertanian, 2004

Gambar 1. Dampak Subsidi Pupuk terhadap Produktivitas Padi Tahun 1979 – 1997, 1998 – 2000, dan Tahun 2001 – 2003

2.3. Penggunaan Pupuk dalam Menekan Biaya Produksi Padi

Walaupun harga pupuk telah disubsidi oleh pemerintah masih dirasakan harga pupuk yang dikeluarkan petani tidak seimbang dengan harga gabah yang diperoleh petani. Usaha yang dapat dilakukan petani dalam rangka memperoleh keuntungan yang lebih besar dalam usahatani padi adalah dengan menekan biaya produksi dengan pemakaian pupuk sesuai kebutuhan tanaman dan kondisi tanah. Pemborosan dalam penggunaan pupuk akan meningkatkan biaya produksi usahatani dan mengurangi keuntungan yang akan diperoleh petani.


(25)

Aspek teknis yang dapat dilakukan untuk menekan biaya produksi dalam pemakaian pupuk adalah: (1) reorientasi penggunaan pupuk, yaitu merubah proporsi pemberian pupuk urea, SP-36, dan KCl, (2) efisiensi penggunaan pupuk SP-36, (3) pemanfaatan jerami padi sebagai sumber K atau pengganti pupuk KCl, dan (4) pemanfaatan bahan organik/pupuk kandang (Ditjen Bina Sarana Pertanian, 2004).

Tabel 1. Strategi Reorientasi Penggunaan Pupuk pada Padi Sawah Akibat Adanya Kenaikan Harga Pupuk Tanpa Subsidi

Takaran pupuk tidak bersubsidi (kg/ha) Jenis pupuk Harga bersubsidi (Rp/kg)* Harga tanpa subsidi (Rp/kg)* Takaran pupuk pada umumny a (kg/ha) Modal untuk pupuk

(Rp/ha) Pilihan 1 Pilihan 2 Pilihan 3

Urea 1 250 1 500 250 312 500 250 250 250

SP36 1 500 1 750 100 150 000 93 0 46

KCl 1 500 1 750 50 75 000 0 93 46

Jumlah (Rp/ha) 537 500 537 750 537 750 537 750 Sumber: Ditjen Bina Sarana Pertanian (2004)

Keterangan:

*) Harga perkiraan yang perlu penyesuaian kembali Pilihan 1: Untuk persawahan berstatus K tinggi, P rendah

(Biaya untuk pupuk relatif tetap)

Pilihan 2: Untuk persawahan berstatus P tinggi, K rendah (Biaya untuk pupuk relatif tetap)

Pilihan 3: Untuk persawahan berstatus K sedang/rendah, P sedang/rendah (Biaya untuk pupuk relatif tetap)

Dari Tabel 1, dapat dibandingkan bahwa takaran pupuk yang berlaku secara umum lebih tinggi dalam penggunaan pupuk SP-36 (unsur P) dan KCl (unsur K) dari takaran pupuk yang sudah berdasarkan status P dan K tanah. Modal yang dibutuhkan untuk membeli pupuk (dengan takaran rekomendasi umum) adalah Rp 537 500 (dengan memakai harga pupuk bersubsidi). Takaran pupuk yang sudah berdasarkan status P dan K tanah seperti pada pilihan 1, 2, dan 3, tanpa


(26)

tergantung harga pupuk bersubsidipun biaya pupuk dapat ditekan dan penggunaan pupuk lebih efisien.

2.4. Intensifikasi Padi

Intensifikasi padi adalah program pemerintah dalam peningkatan produksi padi dengan penerapan teknologi panca usahatani/sapta usahatani yang meliputi varietas padi unggul, rekomendasi pemupukan berimbang, pengendalian hama terpadu, perbaikan cara bercocok tanam, penggunaan air secara efisien dan penanganan panen dan pasca panen. Peningkatan kemampuan petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian juga harus dilaksanakan agar mampu mengadopsi teknologi yang dianjurkan (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2002).

Selanjutnya menurut Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2002), tujuan dari kegiatan intensifikasi adalah: (1) meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani melalui peningkatan produktivitas dan pengembangan usahatani berwawasan agribisnis, (2) meningkatkan produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional, dan (3) mendorong pembangunan ekonomi pedesaan melalui pemberdayaan kelembagaantani, penguatan permodalan, dan pengembangan hubungan kemitraan.

Menurut Abbas (1997), pola intensifikasi telah diterapkan sejak adanya rencana mewujudkan swasembada beras (SSB) pada tahun 1959. Di lapangan dimulai dari Bimbingan Massal (Bimas), Inmas, Inmun, Insus, Opsus dan Supra Insus, Gema Palagung, PTT, dan Padi Hibrida. Dari pelaksanaan pola-pola


(27)

tersebut, terbukti dapat meningkatkan produksi padi. Perkembangan produksi padi dari tahun 1974 sampai dengan tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penerapan teknologi intensifikasi dalam upaya peningkatan produksi padi terdiri dari 10 unsur. Unsur tersebut yakni pengaturan pola tanam (IP>200), pengolahan tanah secara sempurna, pencapaian populasi tanam ≥ 200.000 rumpun/ha, penggunaan benih unggul, pemakaian PPC/ZPT, pengaturan tataguna air, termasuk pemupukan berimbang (Abbas, 1997).

2.5. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu

Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan adopsi teknologi telah banyak dilakukan, antara lain Buana (1997), Nahraeni (2000), Santoso, et al. (2001), Surya (2002), Noer (2002), Pribadi (2002), dan lain-lain. Untuk kasus Program Pemupukan Berimbang Padi Sawah di Provinsi Jawa Barat belum ada yang menganalisis.

Buana (1997) menganalisis tingkat adopsi teknologi budidaya padi sawah di Provinsi Sulawesi Tenggara melalui pendekatan Koefisien Korelasi Peringkat Spearman. Hasil analisisnya memberikan gambaran bahwa tingkat adopsi petani terhadap teknologi budidaya padi sawah tergolong sedang; petani telah melaksanakan budidaya padi sawah tetapi belum sesuai dengan rekomendasi penyuluh pertanian setempat. Karakteristik internal (pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan pendapatan) menunjukkan hubungan yang nyata dan bersifat positif, yang menjelaskan bahwa semakin tinggi pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan pendapatan semakin tinggi tingkat adopsi teknologinya sedangkan umur dan pengalaman berusahatani menunjukkan hubungan yang nyata dan bersifat negatif,


(28)

yang menjelaskan bahwa semakin lama berusahatani semakin menurun tingkat adopsi teknologinya.

Nahraeni (2000) dengan analisis keputusan menggunakan model logit diperoleh hasil bahwa keputusan petani untuk mengadopsi teknologi sangat terkait dengan faktor resiko, keyakinan, dan pendapatan yang tinggi dari teknologi tersebut. Upaya-upaya pembinaan langsung di lapang dan demonstrasi lapang lebih efektif dalam mendorong penerapan teknologi tabela di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Santoso, et al. (2001) mengkaji mengenai tingkat penerapan teknologi Sistem Usaha Pertanian (SUP) padi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember yang dilakukan pada tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2000 dengan analisis deskriptif memakai sistem skor. Hasil kajian menunjukkan bahwa adopsi teknologi anjuran pada sistem usahatani padi di wilayah pengkajian, belum sepenuhnya diadopsi oleh petani. Teknologi anjuran yang diadopsi oleh petani peserta di Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember sekitar 53 persen, sedangkan teknologi anjuran yang terdifusi oleh petani non peserta mencapai sekitar 47 persen. Adopsi teknologi telah berdampak terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani padi, yaitu sekitar 9 persen dan 26 persen. Agar adopsi teknologi ajuran dapat berlanjut, disarankan agar dorongan pemerintah daerah, pembinaan dan bimbingan melalui kelompok tani ditingkatkan.

Surya (2002) menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi usahatani padi metode Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan model logit. Melalui kursus PHT, petani mempunyai peluang dalam


(29)

penerapan metode PHT, Metode PHT perlu terus dikembangkan dimana dapat meningkatkan pendapatan petani dengan mengurangi biaya tunai usahatani dan

menjaga kelestarian lingkungan. Noer (2002) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ubi

kayu dengan adanya Program Ittara di Kabupaten Lampung Timur dengan model fungsi produksi Cobb-Douglas, menunjukkan bahwa produksi ubi kayu secara nyata dipengaruhi oleh lahan, bibit, pupuk, dan pestisida. Faktor produksi tenaga kerja walaupun bernilai positif tetapi tidak berpengaruh nyata pada produksi ubi kayu karena ketersediaannya yang cukup.

Pribadi (2002) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan penentu adopsi teknologi Sawit Dupa pada usahatani padi di lahan pasang surut Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa teknologi Sawit Dupa dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petani padi. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi adalah lahan, pupuk, dan tenaga kerja dalam keluarga. Proses adopsi teknologi sawit dupa di Kalimantan Selatan dipengaruhi oleh ketersediaan benih varietas unggul dan resiko produksi yang cukup besar. Teknologi Sawit Dupa pada umumnya diadopsi oleh petani yang mempunyai pendapatan rendah, dimana mereka tidak memiliki akses yang baik terhadap jenis pekerjaan lain sehingga penerapan teknologi Sawit Dupa ini memberikan kesempatan kerja yang luas dalam peningkatan pendapatan.


(30)

III. KERANGKA TEORITIS

3.1. Program Pemupukan Berimbang

Program Pemupukan Berimbang adalah suatu upaya peningkatan produktivitas padi dan kualitas gabah yang dihasilkan (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2004). Untuk memperoleh produksi gabah yang optimal dengan mutu yang baik dan memperhatikan kelestarian kesuburan lahan, maka pemupukan berimbang perlu disosialisasikan sampai ke petani sebagai pelaksana usahatani.

Yang dimaksud dengan pemupukan berimbang menurut Abbas (1997) adalah pemberian pupuk (hara) sesuai dengan kebutuhan tanaman baik dalam jumlah maupun jenis pupuk (hara) yang dikaitkan dengan sifat tanah, status hara tanah, kebutuhan tanaman serta keadaan lingkungan. Hal itu dapat dicapai tidak hanya melalui penambahan unsur hara yang kurang, tetapi juga dapat mengurangi pemberian unsur hara yang berlebihan. Ditambahkan oleh Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2004), dalam aplikasi pemupukan berimbang di lapangan, selain memperhatikan asas 6 tepat (tepat waktu, jumlah, jenis, harga, mutu, dan penggunaan) juga disesuaikan dengan kondisi wilayahnya (spesifik lokasi). Penggunaan pupuk yang tepat jumlah untuk lokasi yang spesifik menurut Makarim, et al. (2004) akan sangat menguntungkan baik secara teknis, ekonomis dan lingkungan.

Tujuan dari program peningkatan produktivitas melalui penerapan pemupukan berimbang adalah sebagai berikut:


(31)

1. Mendorong petani untuk menerapkan teknologi dengan menggunakan benih unggul bermutu dan pemupukan berimbang

2. Mendorong peningkatan produktivitas dan produksi padi dalam upaya mendukung ketahanan pangan sehingga produksi sesuai dengan kebutuhan 3. Menyiapkan sarana produksi di tingkat petani secara enam tepat

4. Mendorong terjalinnya kemitraan usaha antara petani/kelompoktani dengan penggilingan padi/stakeholders lainnya

5. Meningkatkan dan mendorong kegiatan perekonomian di pedesaan, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan mengurangi impor beras.

Program peningkatan produksi padi melalui pemupukan berimbang meliputi penerapan teknologi seperti penggunaan varietas unggul bermutu, sistem tanam, pengendalian gulma hama penyakit terpadu (PHT). Teknologi anjuran dalam Program Pemupukan Berimbang adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan varietas unggul bermutu: Varietas

a. Varietas Produksi Tinggi (IR-64, Way Apu Buru, dan lain-lain) b. Padi Tipe Baru (Fatmawati, Ciherang, Gilerang)

c. Padi Hibrida (Maro, Rokan, dan lain-lain) Benih

a. Pemakaian benih 30 kg/ha b. Umur benih muda 15 – 21 hari


(32)

2. Cara Tanam:

Tanam Pindah (Tapin)

Jarak tanam 20 cm x 20 cm, 20 cm x 25 cm, 25 cm x 25 cm 3. Pemupukan dan jenis pupuk:

Dosis pupuk a. Pupuk Tunggal

Urea 250 kg/ha SP-36 100 kg/ha KCl 75 – 100 kg/ha b. Pupuk Majemuk

NPK Kujang 400 kg/ha

NPK Phonska 300 kg/ha + Urea 150 kg/ha c. Pupuk Kandang 200 – 500 kg/ha

Jadwal pemupukan

Pemupukan I = 0 – 10 hari setelah tanam (hst) Pemupukan II = 30 – 35 hst

4. Pengendalian Gulma:

Penyiangan secara manual dilakukan 2 kali setiap 1 hari setelah pemupukan 5. Pengendalian OPT

a. Menggunakan pestisida nabati/alami

b. Menggunakan pestisida (kimiawi) bila perlu Furadan 18 – 20 kg/ha


(33)

3.2. Perubahan Teknologi

Salah satu syarat pokok pembangunan pertanian menurut Mosher (1978) adalah terjadinya perubahan teknologi. Perubahan teknologi di sektor pertanian menurut Ghatak dan Ingersent (1984) meliputi perubahan secara teknik (induced technical change) dan perubahan kelembagaan (induced institutional change). Perubahan secara teknik berhubungan dengan perubahan yang terjadi dalam cara memproduksi suatu output pada gugus pilihan yang efisien sedangkan perubahan kelembagaan berkaitan dengan cara-cara bagaimana masyarakat melakukan kerjasama, fungsi, dan tingkah lakunya sebagai pribadi dan kelompok dihubungkan dengan tingkah lakunya sendiri dan orang lain dalam proses produksi (Hutabarat, 1988).

Program Pemupukan Berimbang merupakan inovasi teknologi usahatani padi sawah dengan menggunakan teknologi baru dengan pemakaian benih unggul bermutu, pemupukan berimbang dan teknik budidaya yang dianjurkan. Benih padi yang ditanam oleh petani peserta program pemupukan berimbang adalah benih berlabel, varietasnya Ciherang dan Cigeulis yang merupakan varietas produksi tinggi. Sedangkan jenis pupuk an-organik yang digunakan adalah pupuk majemuk NPK yang mampu meningkatkan produksi padi 1.02 – 1.83 ton/ha dibandingkan dengan pupuk tunggal (Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2004). Benih dan pupuk ini disediakan oleh PT. Pertani sebagai mitra kerja petani dengan pembayaran secara yarnen dan produksi gabah petani ditampung/dibeli oleh PT. Pertani.

Pada beberapa asumsi menyatakan produksi pada keadaan teknologi tetap. Pada kenyataannya, produksi berubah setiap waktu. Petani menghasilkan padi


(34)

A TPP2 Y2

Y1’

Y2’

Y1

mengalami perubahan setiap tahun/musim tanam. Penggunaan teknologi baru dalam proses produksi akan menyebabkan peningkatan hasil (output) dari setiap kombinasi sumberdaya (input) yang digunakan (Debertin, 1986). Dampak perubahan teknologi, kurva produksi bergerak ke arah kanan luar. Kemajuan teknologi menyebabkan pertumbuhan produksi. Produksi semakin meningkat (Chisholm and McCarty, 1978).

Berdasarkan hasil penelitian Sidhu (1974), dengan penggunaan teknologi baru (penggunaan varietas baru pada komoditas gandum) telah menggeser ke atas fungsi produksi gandum. Hal ini berimplikasi bahwa dengan menggunakan varietas baru output yang dihasilkan akan lebih besar. Dengan demikian, Program Pemupukan Berimbang yang dilaksanakan di Kecamatan Plered Kabupaten Purwakarta diharapkan dapat meningkatkan produksi padi yang dihasilkan petani. Output (Y)

PX

0 Sumber: Hert (1981)

Gambar 2. Respon Output (Y) terhadap Penggunaan Input (X) 0

C 0

A

B

TPP2

TPP1

D F

MVP2

MVP1

X1 X2


(35)

Dari hasil penelitian Hert (1981) terhadap petani di Philiphina, dengan

teknologi modern dalam usahatani padi akan terjadi pergeseran fungsi produksi

yang menunjukkan respon output terhadap pemakaian input produksi. Program

Pemupukan Berimbang dengan teknologi barunya akan menggunakan input dari

X1 menjadi X2, sehingga output yang dihasilkan berubah dari Y1 menjadi Y2. Pada

saat itu nilai produk marginal sama dengan harga input (Px).

3.3. Pendekatan Fungsi Produksi

Menurut Debertin (1986) beberapa bentuk fungsi yang dapat digunakan

untuk menduga fungsi produksi, antara lain Cobb-Douglas, The Spillman Production Function, Trancendental Production Function, Fungsi Produksi

Cobb-Douglas dengan elastisitas input variabel, Modifikasi de Janvry, dan bentuk Polinomial.

Bentuk fungsi produksi yang dipakai dalam penelitian ini adalah fungsi

linier Cobb-Douglas. Dipilihnya fungsi ini mengingat menggambarkan karakteristik pola produksi komoditas padi, aplikasinya secara empiris lebih

sederhana dalam analisis, pada fungsi produksi Cobb-Douglas nilai dugaan parameternya sekaligus juga menunjukkan nilai elastisitasnya.

Fungsi produksi Cobb-Douglas digunakan untuk studi empirik pertama kali tahun 1928 dalam jurnal American Economic Riview. Fungsi produksi Cobb-Douglas yang asli menggunakan dua input produksi tenaga kerja (L) dan modal (K) dengan persamaan fungsi produksi sebagai berikut:

α

α −

= 1

L AK


(36)

dimana:

L = Tenaga kerja (labor) K = Modal (capital)

Karakteristik dari fungsi produksi di atas adalah 1) homogenous berderajat satu, 2)

diminishing MPPL dan MPPK, A menggambarkan teknologi, dan 3) mudah

diestimasi.

Bentuk umum fungsi Cobb-Douglas dapat dirumuskan seperti persamaan di bawah ini: i i n i X A

Q π β

1

=

= ………..……….………..……… (3.2)

Dapat dilakukan transformasi ke dalam bentuk logaritma natural, sebagai berikut:

µ β + =

= i k i i LnX LnQ 1 ………...………...…….. (3.3)

Dari fungsi tersebut, dapat diketahui elastisitas produksinya sebagai berikut:

[

i i

][

i i

]

i

i i X

i i

i AX X AX

Q X X

Q

E ⎟⎟= β β β =β

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ ∂ ∂ = − / 1 …………...…...…. (3.4) dimana:

EX = Elastisitas produksi

Q = Output (hasil produksi) Xi = Input (faktor produksi) ke-i

A = Intersep

βi = Parameter peubah Xi

3.4. Proses Adopsi Teknologi

3.4.1. Adopsi Teknologi Pemupukan Berimbang

Inovasi didefinisikan oleh Rogers (1983) sebagai suatu ide atau gagasan, tindakan atau barang baru oleh individu atau masyarakat. Inovasi juga diartikan oleh Lionberger dan Gwin (1982) dan Mardikanto (1996) tidak hanya sebagai


(37)

sesuatu hal yang baru yang belum banyak diketahui/diterima/diterapkan/dilaksanakan tetapi juga dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat.

Untuk memproduksi suatu inovasi, menurut Fadholi (1986) menyatakan bahwa ada empat faktor yang harus menjadi perhatian dan pertimbangan, yaitu (1) secara teknis memungkinkan, (2) secara ekonomi menguntungkan, (3) secara sosial juga memungkinkan, dan (4) sesuai dengan kebijakan pemerintah. Hal ini dilakukan agar inovasi yang telah dirancang dapat diterima dengan baik oleh masyarakat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan Rogers (1983) menjelaskan bahwa variabel yang menentukan tingkat adopsi adalah (1) sejauhmana inovasi dianggap lebih menguntungkan (relative advantage), (2) kesesuaian dengan norma dan kebutuhan yang ada (compatibility), (3) tingkat kerumitan dalam penerapannya oleh pengguna (complexity), (4) dapat dicoba oleh pengguna dengan sumberdaya yang ada (trialability), dan (5) sejauhmana manfaat penerapan inovasi dapat diketahui oleh penggunanya.

Menurut Rogers (1983), terdapat lima langkah dalam proses keputusan inovasi, yaitu (1) Pengenalan (knowledge), adanya pemahaman terhadap inovasi baru, (2) Persuasi (persuation), adanya sikap terhadap inovasi, (3) Keputusan (Decision), adanya keputusan menerima atau menolak inovasi, (4) Implementasi (Implementation), melakukan inovasi, dan (5) konfirmasi (confirmation), penguatan dari keputusan yang telah dibuat.

Dalam keputusan yang dilakukan individu terhadap inovasi, ada kemungkinan individu akan melanjutkan mengadopsi (continued adoption) atau menghentikannya (discontinuance). Bisa saja individu yang menolak inovasi terus


(38)

mencari informasi lebih lanjut dan terlambat mengadopsinya (later adoption) atau tetap menolak (continued rejecttion) sesuai dengan informasi yang diterimanya. Sesuai dengan kategorinya, Rogers (1983) mengelompokkan individu yang mengadopsi suatu inovasi (adopter) atas lima kategori sebagai berikut:

1. Innovators, kelompok kosmopolit yang berani dan gemar dengan pembaharuan.

2. Early Adopter, kelompok yang terdiri dari pemimpin informal sebagai panutan bagi adopter selanjutnya

3. Early Majority, kelompok yang biasanya menjadi anggota tetapi lebih awal mengadopsi inovasi daripada anggota kelompok lain

4. Late Majority, kelompok yang bertindak menjauhi resiko 5. Laggards, kelompok yang tradisional

3.4.2. Penyuluhan Pertanian

Pengembangan usahatani tidak terlepas dari peran kelembagaan yang terdiri dari beberapa instansi yang menyangkut penelitian maupun penyuluhan. Instansi baik pemerintah maupun swasta yang melakukan penelitian dan pengembangan pertanian merupakan tempat menghasilkan teknologi-teknologi baru yang akan diadopsi oleh petani sebagai subjek pertanian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat disampaikan kepada petani melalui peran komunikator penyuluhan (transfer alih teknologi).

Penyuluh pertanian mempunyai peran dalam proses alih teknologi sehingga dapat diadopsi oleh petani. Cepat atau lambatnya proses adopsi teknologi oleh petani tergantung pada kinerja penyuluh pertanian di lapangan.


(39)

Proses transfer alih teknologi menurut Soekartawi (1988), dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan berdasarkan kelembagaan dan pendekatan berdasarkan proses. Pendekatan berdasarkan kelembagaan melalui

lembaga penyuluhan pertanian (BPP). Di BPP, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) merencanakan dan membuat program penyuluhan yang dapat disampaikan kepada petani dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi (demplot, demfarm,

demarea) atau dengan cara lain. PPL bersama-sama dengan kelompoktani meneruskan informasi tersebut kepada petani, melalui kunjungan lapangan atau pertemuan dengan anggota kelompoktani.

Pendekatan berdasarkan proses dilakukan melalui identifikasi. Diperlukan suatu identifikasi mengenai rekomendasi yang ditetapkan dalam suatu BPP. Setelah permasalahan di wilayah BPP (WKBPP) tersebut diidentifikasi, maka

disusun program sebagai bahan penyuluhan yang dapat berupa latihan-latihan ataupun kunjungan PPL ke lapangan.

Kegiatan penyuluhan pertanian meliputi: (1) memfasilitasi proses

pembelajaran petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis, (2) memberikan rekomendasi dan mengihtiarkan akses petani dan keluarganya ke sumber-sumber informasi dan sumberdaya yang akan membantu mereka dalam

memecahkan masalah yang dihadapi, (3) membantu menciptakan iklim usaha yang menguntungkan, (4) mengembangkan organisasi petani menjadi organisasi sosial ekonomi yang tangguh, dan (5) menjadikan kelembagaan penyuluhan

sebagai lembaga mediasi dan intermediasi, terutama yang menyangkut teknologi dan kepentingan petani dan keluarganya beserta masyarakat pelaku agribisnis.


(40)

3.5. Model Pilihan Kualitatif

Model Pilihan Kualitatif (Model of Qualitative Choice) adalah suatu model dimana variabel terikat (dependent variable) Y melibatkan dua atau lebih pilihan kualitatif. Kemungkinan atau peluang yang terpilih adalah salah satu dari dua atau lebih pilihan yang tersedia. Pada Model of Qualitative Choice, variabel terikat Y digambarkan sebagai dummy variable (0,1) atau lebih dikenal dengan Model Pilihan Binary (Binary-Choice Model), dimana individu-individu dihadapkan pada suatu pilihan diantara dua alternatif dan pilihan mereka tergantung pada karakteristik masing-masing individu tersebut (Pindyck dan Rubinfeld, 1981).

Pindyck dan Rubinfeld (1981) menyatakan bahwa untuk menjawab masalah-masalah yang sifatnya binary choice terdapat empat model yang dapat digunakan, yaitu linear probability model, probit model, dan logit model. Selanjutnya menurut Pindyck dan Rubinfeld (1981) serta Simatupang (1988), model linier mempunyai kelemahan karena terdapat kemungkinan nilai peluang bersyaratnya berada di luar kisaran (0 - 1), sehingga sulit dilakukan pendugaan selanjutnya menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square). Sedangkan pada model probit dan model logit persyaratan ini selalu dipenuhi karena nilai peluangnya selalu berada pada kisaran (0 - 1), namun model probit lebih rumit perhitungannya dan sukar diduga dibandingkan model logit. Oleh karena itu, model logit lebih banyak digunakan dalam penelitian terapan seperti yang dilakukan dalam penelitian ini.

Model logit didasari oleh Fungsi Peluang Logistik Komulatif dan secara umum model ini dirumuskan sebagai berikut (Pindyck and Rubinfeid, 1981):


(41)

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + = + = = ( + ) 1 1 1 1 ) ( ) ( i i X z i i i e e X Z F

P α β α β ………...……... (3.5)

jika ruas kanan dan ruas kiri persamaan (3.5) dikalikan dengan

(

1+ezi

)

, maka

akan diperoleh:

(

1+ezi

)

Pi =1………..…... (3.6) apabila kedua ruas kanan dan ruas kiri dari persamaan (3.6) dibagi dengan Pidan kemudian dikurangi 1, maka diperoleh:

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = − i i i z P P P

e i 1 1 1 ………...…….… (3.7)

Dengan mendefinisikan ezi =1/ezi, maka diperoleh:

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = i i z P P e i

1 ……… (3.8)

jika ruas kanan dan ruas kiri di-log-kan, maka diperoleh:

⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = i i i P P Z 1

log ………..……… (3.9)

atau dari persamaan (3.5) diperoleh:

i i i

i

i X e

P P

Z ⎟⎟= + +

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ −

= α β

1

log ……….… (3.10)

dimana:

Pi = Peluang petani mengadopsi suatu teknologi (P = 1, jika

petani mengadopsi dan P=0, jika tidak mengadopsinya) 1 - Pi = Peluang petani tidak mengadopsi suatu teknologi

α = Intersep

β = Parameter peubah Xi

Xi = Vektor peubah bebas (i = 1, 2, 3, ……., n)


(42)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2005. Lokasi penelitian adalah di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dimana Kabupaten Purwakarta merupakan salah satu daerah pelaksanaan program pemupukan berimbang, tepatnya di Kecamatan Plered.

Kecamatan Plered sebagai pelaksana program pemupukan berimbang merupakan kecamatan usulan dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Purwakarta dengan pertimbangan bahwa petani padi sawah di Kecamatan Plered telah melakukan pemupukan N, P, K tetapi belum memakai pupuk secara berimbang, tidak termasuk daerah Program Peningkatan Mutu Intensifikasi (PMI) Padi dan KUT.

4.2. Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan panduan kuisioner yang telah dipersiapkan untuk petani padi sawah di Kecamatan Plered yang menjadi responden.

Responden adalah petani yang mengikuti program pemupukan berimbang (petani peserta program pemupukan berimbang) dan yang tidak mengikuti program pemupukan berimbang (petani non peserta program pemupukan berimbang). Petani peserta program pemupukan berimbang adalah petani yang mendapatkan input (benih dan pupuk) dari dana program yang disalurkan melalui PT. Pertani. Petani non peserta program pemupukan berimbang adalah petani


(43)

yang menyediakan dan membeli sendiri input produksinya Jumlah total responden adalah 55 petani, 30 petani peserta program pemupukan berimbang dan 25 petani non peserta program pemupukan berimbang. Pemilihan responden dilakukan dengan metode penarikan contoh acak sederhana (simple random sampling).

Data primer yang dikumpulkan meliputi data identitas rumahtangga, data profil petani dan luas lahan usahatani, seluruh data aktivitas produksi, hasil penjualan, biaya produksi dan pendapatan usahatani. Termasuk di dalamnya data penggunaan bibit, pupuk, pestisida dan tenaga kerja sebagai variabel yang mempengaruhi produksi. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh data yang benar-benar menggambarkan kegiatan produksi. Disamping itu juga data harga input variabel dan data harga produksi di masing-masing wilayah penelitian yang akan digunakan untuk menghitung tingkat pendapatan petani.

Data sekunder meliputi keadaan umum wilayah penelitian dan gambaran umum program pemupukan berimbang. Data ini diperoleh dengan wawancara dan pengamatan langsung terhadap instansi terkait di Kabupaten Purwakarta dan Propinsi Jawa Barat. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan gambaran umum daerah penelitian dan gambaran umum pelaksanaan program pemupukan berimbang.

4.3. Metode Analisis

4.3.1. Pandangan Petani terhadap Program Pemupukan Berimbang dan Tingkat Penerapan Teknologi Usahatani Padi Sawah

Tidak semua petani di Kecamatan Plered mau dan melaksanakan program pemupukan berimbang. Dari wawancara langsung (kuisioner) dengan petani responden, petani mempunyai alasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti


(44)

program pemupukan berimbang. Pandangan/alasan petani ini dikelompokkan sebagai faktor-faktor pendorong dan faktor-faktor penghambat bagi petani dalam mengikuti program pemupukan berimbang. Hasil wawancara dengan petani responden ini ditabulasi dan dianalisis sehingga dapat menggambarkan beberapa faktor yang mendorong dan menghambat petani dalam menerapkan teknologi program pemupukan berimbang di daerah penelitian.

Analisis tingkat penerapan teknologi usahatani padi sawah di Kecamatan Plered dilakukan untuk melihat persentase (%) tingkat penerapan teknologi pemupukan berimbang yang dilakukan oleh petani baik petani peserta program pemupukan berimbang maupun petani non peserta program pemupukan berimbang. Data yang diperoleh juga merupakan data kualitatif dari hasil wawancara langsung (kuisioner) dengan petani responden.

Dari data kualitatif yang diperoleh dianalisis dengan memakai metoda skor (dikuantitatifkan) dengan daftar komponen faktor penentu (impact point) tanaman padi (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Purwakarta, 2005). Daftar komponen faktor penentu tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.

Cara perhitungan persentase (%) tingkat penerapan teknologi pemupukan berimbang di Kecamatan Plered adalah sebagai berikut:

1. Nilai, diperoleh dari setiap butir komponen faktor penentu sesuai dengan jawaban dari masing-masing responden.

2. Nilai Total, diperoleh dari jumlah nilai pada point 1.

3. Nilai yang diharapkan, diperoleh dari skor maksimum setiap butir komponen faktor penentu.


(45)

Bentuk umum persamaan tingkat penerapan teknologi pemupukan berimbang pada usahatani padi sawah di Kecamatan Plered adalah sebagai berikut:

% 100

% x

BobotTotal NilaiTotal

TPT = ………..….... (4.1)

dimana:

% TPT = Persentase (%) Tingkat Penerapan Teknologi

Bobot total = 800

Hasil kriteria dari % TPT yang diperoleh adalah:

Tinggi, jika % TPT > 75%

Sedang, jika % TPT 60% - 75%

Rendah, jika % TPT < 60%

4.3.2. Model Logit

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi peluang petani melaksanakan usahatani dengan teknologi pemupukan berimbang, maka dilakukan analisis dengan menggunakan pendekatan fungsi logit. Model logit didasarkan pada Fungsi Peluang Logistik Kumulatif (Pyndick dan Rubinfeld, 1991), sedangkan pendugaan parameternya dilakukan dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Fungsi tersebut adalah sebagai berikut:

Ln ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜

⎝ ⎛

i i

P P

1 = α + β1X1 + β2CX3 + β3RISK + β4P + β5B + β6PR +


(46)

dimana:

Pi = Peluang petani melaksanakan program pupuk berimbang

α = Intersep

X1 = Luas lahan usahatani (ha)

CX3 = Biaya pupuk (Rp)

RISK = Resiko produksi (kg) P = Harga gabah (Rp)

B = Keuntungan usahatani (Rp) PR = Pendidikan formal petani (tahun) PUR = Pengalaman usahatani (tahun)

βi = Parameter peubah Xi

Tanda parameter yang diharapkan: β1, β4, β5, β6, β7 > 0;β2,β3 < 0

Variabel-variabel luas lahan, biaya pupuk, resiko produksi, harga gabah, keuntungan usahatani, pendidikan dan pengalaman usahatani dipilih dalam persamaan fungsi logit di atas dengan pertimbangan bahwa variabel independen yang berhubungan dengan proses adopsi suatu teknologi (Roger and Shoemaker, 1971) dipengaruhi oleh personal petani sendiri (personality variable) dan sosial ekonomi (socioeconomic status) dari petani yang akan mengadopsi suatu teknologi dalam usahataninya. Variabel pendidikan formal dan pengalaman usahatani diharapkan dapat menggambarkan sumberdaya manusia (personality variable) dan luas lahan, biaya pupuk, resiko produksi, harga gabah, dan keuntungan usahatani diharapkan dapat menggambarkan sosial ekonomi (socioeconomic varieble).

4.3.3. Model Fungsi Produksi

Untuk menduga hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi sawah di Kecamatan Plered, digunakan model fungsi produksi Cobb-Douglas. Fungsi produksi ini meliputi fungsi produksi untuk usahatani padi sawah dengan


(47)

penerapan teknologi pemupukan berimbang dan usahatani padi sawah tanpa penerapan teknologi pemupukan berimbang, terdiri dari 6 (enam) variabel bebas yaitu 5 (lima) variabel input produksi dan 1 (satu) variabel dummy. Sedangkan pendugaan parameter fungsi produksinya dilakukan dengan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square), dengan menggunakan program Statistical Analysis System/Econometric Time Series (SAS/ETS) release 9.0, dengan fungsi produksi yang dirumuskan sebagai berikut:

LnY = β0+β1LnX1+β2LnX2+β3LnX3+β4LnX4+β5LnX5+λ1D1+µ …... (4.3)

dimana: Y X1 X2 X3 X4 X5 D1 β0

βi, λi

µ = = = = = = = = = =

Produksi padi yang dihasilkan petani sampel untuk satu kali proses produksi usahatani (kg)

Luas lahan usahatani padi yang diusahakan petani (ha)

Jumlah penggunaan benih padi untuk satu kali proses produksi usahatani (kg)

Jumlah pupuk an-organik, yaitu jumlah pupuk tunggal (Urea, KCl, SP-36) dan pupuk majemuk (NPK, Phonska) yang digunakan untuk satu kali proses produksi usahatani (kg) Jumlah tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan selama satu kali proses produksi usahatani (HOK)

Jumlah tenaga kerja luar keluarga yang digunakan selama satu kali proses produksi usahatani (HOK)

Dummy program (D1 = 1, petani peserta program pemupukan

berimbang, D1 = 0 untuk petani non peserta program

pemupukan berimbang) Intersep

Parameter yang diduga Kesalahan pengganggu

Tanda paramerer yang diharapkan (hipotesis): β1, β2, β3, β4, β5, λ1 > 0

Parameter untuk semua input diharapkan bertanda positif, artinya semakin besar penggunaan input maka produksi akan semakin meningkat. Variabel dummy

program digunakan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan program pemupukan berimbang terhadap peningkatan produksi padi sawah yang dihasilkan di Kecamatan Plered.


(48)

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Plered

Kecamatan Plered merupakan salah satu kecamatan yang berada di sebelah Selatan Kabupaten Purwakarta. Jaraknya dari Ibukota Kabupaten sekitar 17 km. Luas wilayah Kecamatan Plered 3 148 hektar, yang terdiri dari luas lahan sawah 1 197 dan 1 951 hektar luas lahan bukan sawah.

Secara administratif, di sebelah Utara Kecamatan Plered berbatasan dengan Kecamatan Babakansari dan Citekokaler, sebelah Selatan dengan Kecamatan Darangdan, sebelah Barat dengan Kecamatan Citeko dan Gandamekar, di sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pasawahan. Keadaan tanah di daerah ini secara umum mempunyai pH bervariasi antara 4.5 – 5.5 dengan ketinggian 241 dari permukaan laut (dpl). Jenis tanah di Kecamatan Plered adalah podzolik. Kedalaman tanah efektif mayoritasnya lebih dari 90 cm.

Keadaan iklim di Kecamatan Plered termasuk iklim basah tipe A (Puslittanak, 2002) dengan tujuh bulan basah dan 5 bulan kering menurut Schmidt dan Ferguson dengan temperatur antara 19 - 30°C atau rata 24.5°C dan rata-rata curah hujan tahunan 2 963 mm. Pergiliran musim penghujan dan musim kemarau dalam keadaan normal musim penghujan jatuh pada bulan Oktober – Maret dan musim kemarau jatuh pada bulan April – September (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Purwakarta, 2004).

Berdasarkan data BPS (2003), jumlah penduduk di Kecamatan Plered berjumlah 60 438 orang atau 8.47 persen dibandingkan dengan jumlah penduduk Kabupaten Purwakarta yang berjumlah 713 963 orang. Jumlah rumahtangga


(49)

sebanyak 11 202 Kepala Keluarga (KK) dengan ukuran rumahtangga rata-rata 5 orang per keluarga (lihat Lampiran 3 dan 4).

5.2. Gambaran Umum Pertanian Kecamatan Plered

Kegiatan pertanian terutama untuk tanaman padi di Kecamatan Plered memanfaatkan lahan sawah seluas 1 197 ha yang terdiri dari sawah irigasi dan sawah tadah hujan, seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas Lahan Sawah di Kecamatan Plered Tahun 2005

Uraian Luas (ha) Luas (%)

Sawah Irigasi

1 Irigasi Teknis 235 19.63

2 Irigasi setengah teknis 315 26.32

3 Irigasi sederhana 188 15.71

4 Irigasi non PU 108 9.02

Sawah Tadah hujan 351 29.32

Total 1 197 100

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Purwakarta (2005)

Adapun realisasi tanam padi di Kecamatan Plered berdasarkan data Kabupaten Purwakarta Dalam Angka (2003), luas panen 2 051 ha dengan produktivitas 52.17 ku/ha sehingga menghasilkan produksi padi sebanyak 10 700 ton GKP. Tingkat produktivitas padi di Kecamatan Plered lebih tinggi dari rata-rata produktivitas padi kabupaten (50.52 ku/ha).

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang sering menyerang tanaman padi di Kecamatan Plered diantaranya tungro, hama putih, BLB, tikus, dan ulat grayak. Pengendalian hama dan penyakit tanaman (PHT) padi oleh Dinas Pertanian Kabupaten Purwakarta lebih ditekankan pada pengendalian secara alami dan ramah lingkungan. Petani di Kecamatan Plered dilatih PHT dengan pembuatan pestisida alami oleh petani sendiri dengan bahan-bahan


(50)

rempah-rempah/dedaunan yang mudah didapat di lingkungan sekitar. Selain tidak mencemarkan lingkungan juga murah harganya.

Sedangkan penggunaan pupuk di Kecamatan Plered pada umumnya menggunakan pupuk tunggal yaitu Urea Pril, TSP/SP-36, ZA dan KCl. Belakangan ada kecenderungan petani untuk menggunakan pupuk organik/kandang tetapi petani yang menggunakannya masih relatif sedikit yang tertarik dengan pertanian organik. Dengan adanya program pupuk berimbang diharapkan petani yang terbiasa menggunakan pupuk tunggal akan beralih menggunakan pupuk majemuk yang terbukti dapat meningkatkan produksi yang diperoleh petani.

5.3. Gambaran Umum Petani Sampel

Berdasarkan hasil wawancara terhadap seluruh petani sampel, diperoleh data karakteristik petani di daerah penelitian. Data ini meliputi umur, pendidikan, jumlah anggota keluarga, pengalaman usahatani, status dan luas lahan yang dimiliki.

5.3.1. Karakter Petani Sampel

Penelitian dilakukan di Kecamatan Plered dengan responden sebanyak 55 responden. Berikut ini akan disajikan karakteristik responden dan usahataninya. Pemaparan karakteristik ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi petani dan keragaan usahatani padi di Kecamatan Plered.

Petani sampel sebagian besar berumur antara 41 – 50 tahun dan di atas 50 tahun, yaitu 43.33 persen (13 orang) untuk petani peserta program pemupukan berimbang berumur antara 41 – 50 tahun dan di atas 50 tahun dan 48 persen (12


(51)

orang) untuk petani non peserta program pemupukan berimbang berumur antara 41 – 50 tahun dan 44 persen (11 orang) di atas 50 tahun. Sedangkan yang berumur antara 31 – 40 tahun jumlahnya paling sedikit, yaitu 13.33 persen (4 orang) untuk petani peserta program pemupukan berimbang dan 8 persen (2 orang) untuk petani non peserta program pemupukan berimbang.

Dari penyebaran umur petani sampel terlihat bahwa pada umumnya petani di Kecamatan Plered telah memasuki usia tua. Semakin tua umur semakin berkurang kekuatan fisiknya sehingga produktivitasnya semakin menurun. Harus ada regenerasi agar keberlanjutan pertanian khususnya usahatani padi terus berjalan dan berkesinambungan.

Umur petani akan mempengaruhi fisiknya untuk bekerja dan berfikir. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), umumnya petani yang berumur muda dan sehat mempunyai kemampuan fisik yang lebih kuat daripada petani tua. Petani muda lebih cepat menerima inovasi baru (kosmopolit = terbuka) serta lebih berani menanggung resiko dibandingkan petani tua.

Tingkat pendidikan petani responden sebagian besar tamat SD, sebagian tamat SLTP. Pada petani peserta program pemupukan berimbang sudah ada yang menduduki bangku kuliah (3.33 persen) sedangkan pada petani responden non pupuk berimbang paling tinggi pendidikan formalnya SLTA (8 persen). Dilihat dari tingkat pendidikan formalnya, petani responden masih memerlukan tambahan pendidikan baik secara formal ataupun pelatihan-pelatihan tentang inovasi teknologi padi sehingga dapat menunjang keberhasilan usahatani padi yang dilakukannya.


(52)

Petani yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih banyak menggunakan teknologi baru dibandingkan dengan yang mempunyai pendidikan rendah, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan semakin respon dalam menggunakan input-input baru. Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berfikir petani. Pendidikan yang lebih tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis.

Tabel 3. Karakteristik Petani Sampel di Kecamatan Plered

Pupuk Berimbang Non Pupuk Berimbang

Uraian Jumlah

(orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. Umur (tahun)

a. 31 – 40 tahun 4 13.33 2 8.00

b. 41 – 50 tahun 13 43.33 12 48.00

c. > 50 tahun 13 43.33 11 44.00

2. Pendidikan

a. Tidak Tamat SD 3 10.00 3 12.00

b. SD 17 56.67 16 64.00

c. SLTP 6 20.00 4 16.00

d. SLTA 3 10.00 2 8.00

e. Kuliah S1 1 3.33

3. Pengalaman Usahatani

a. < 10 tahun 2 6.67 3 12.00

b. 10 – 20 tahun 11 36.67 11 44.00

c. 21 – 30 tahun 8 26.67 7 28.00

d. 31 – 40 tahun 8 26.67 4 16.00

e. > 40 tahun 1 3.33

4. Jumlah Tanggungan

a. 1 – 2 orang 10 33.33 10 40.00

b. 3 – 4 orang 13 43.33 11 44.00

c. > 4 orang 7 23.33 4 16.00

5. Status Lahan

a. Milik Sendiri 29 96.67 23 92.00

b. Sakap 1 3.33 2 8.00

6. Luas Lahan

a. < 0,25 2 6.67 3 12.00

b. 0,25 – 0,50 18 60.00 19 76.00

c. 0,51 – 0,75 2 6.67 1 4.00

d. 0,76 – 1,00 7 23.33 1 4.00

e. > 1,00 1 3.33 1 4.00


(53)

Pada umumnya petani responden melakukan usahatani padi merupakan turun temurun, sesuai dengan kebiasaan yang telah diwariskan dari orang tua mereka. Jadi, petani responden telah mulai mengenal usahatani padi sejak kecil dan menekuninya (sebagai patokan perhitungan pengalaman usahatani) setelah berumahtangga untuk menghidupi keluarganya. Pengalaman usahatani petani responden sebagian besar berkisar 10 – 20 tahun dan sebagian 21 – 30 tahun, 31 – 40 tahun, bahkan ada yang mempunyai pengalaman di atas 40 tahun. Petani yang relatif tua mempunyai kapasitas pengelolaan usahatani yang lebih matang.

Jumlah tanggungan keluarga petani responden berkisar antara 1 – 7 orang. Jumlah tanggungan 1 – 2 orang pada petani peserta program pupuk berimbang sebanyak 10 keluarga (33.33 persen) dan pada petani non peserta program pemupukan berimbang juga sebanyak 10 keluarga (40 persen), jumlah tanggungan 3 – 4 orang pada petani peserta program pemupukan berimbang sebanyak 13 keluarga (43.33 persen)dan non peserta program pemupukan berimbang 11 keluarga (44 persen), dan di atas 4 orang pada petani peserta program pemupukan berimbang sebanyak 7 keluarga (23.33 persen) dan pada petani non peserta program pemupukan berimbang sebanyak 4 keluarga (16 persen). Anak-anak petani responden tidak dapat diharapkan sebagai tenaga kerja dalam keluarga karena mereka sebagai pelajar atau bersekolah.

Status lahan umumnya merupakan milik sendiri, yaitu pada petani peserta program pemupukan berimbang sebanyak 29 petani (96.67 persen) dan pada petani non peserta program pemupukan berimbang sebanyak 23 petani (92 persen). Status lahan dengan sistem sakap, yaitu pada petani peserta program


(54)

pemupukan berimbang sebanyak 1 petani (3.33 persen) dan pada petani non peserta program pemupukan berimbang sebanyak 2 petani (8 persen).

Luas lahan petani responden berkisar 0.1 – 1.2 hektar. Luas lahan kecil dari 0.25 ha pada petani peserta program pemupukan berimbang sebanyak 2 petani (6.67 persen) dan pada petani non peserta program pemupukan berimbang sebanyak 3 petani (12 persen). Luas lahan antara 0.25 – 0.50 ha pada petani peserta program pemupukan berimbang sebanyak 18 petani (60 persen) dan pada petani non peserta program pemupukan berimbang sebanyak 19 petani (76 persen). Luas lahan antara 0.51 – 0.75 ha pada petani peserta program pemupukan berimbang sebanyak 2 petani (6.67 persen) dan pada petani non peserta program pemupukan berimbang sebanyak 1 petani (4 persen). Luas lahan antara 0.76 – 1.00 ha ada petani peserta program pemupukan berimbang sebanyak 7 petani (23.33 persen) dan pada petani non peserta program pemupukan berimbang sebanyak 1 petani (4 persen). Luas lahan besar dari 1.00 ha masing-masing pada petani peserta program pemupukan berimbang dan petani non peserta program pemupukan berimbang sebanyak 1 petani atau 3.33 persen dan 4 persen.

5.3.2. Usahatani Padi Sawah

Usahatani padi sawah yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Plered tidak jauh berbeda dengan petani padi sawah di daerah lainnya. Indeks Pertanaman (IP) usahatani padi sawah di Kecamatan Plered dilakukan dengan 2 dan 3 kali setahun. Usahatani yang dilakukan 2 kali setahun dengan pola tanam padi-padi-bera karena ketersediaan air irigasi yang kurang mencukupi pada musim kemarau untuk usahatani padi dan petani lebih memilih lahannya untuk diberakan. Usahatani yang dilakukan 3 kali setahun dengan pola padi-padi-palawija/hortikultura.


(55)

Tanaman yang cocok ditanam pada kondisi tersebut seperti kacang-kacangan dan sayur-sayuran.

Teknik bercocok tanam di Kecamatan Plered yang dilakukan oleh petani peserta program pemupukan berimbang berbeda dengan petani non peserta program pemupukan berimbang. Pada petani padi peserta program pemupukan berimbang, jadwal penanaman dilakukan serempak pada lokasi lahan sehamparan dengan varietas Cigeulis dan Ciherang. Jadwal pemupukan pertama dilakukan pada 0 – 7 hari setelah tanam (hst) dan pemupukan kedua pada 30 – 35 hst dengan jenis pupuk majemuk NPK. Sedangkan pada petani non peserta program pemupukan berimbang, penanaman tidak serempak dengan varietas padi yang beragam, pemupukan pertama sekitar 2 minggu hst dan pemupukan kedua sama pada 30 – 35 hst dengan jenis pupuk tunggal (Urea, SP-36, dan KCl).

1. Persiapan Lahan

Kegiatan dalam persiapan lahan adalah pengolahan lahan dan pembuatan bedengan untuk persemaian benih padi.

Pengolahan Lahan

Pengolahan lahan yang dilakukan baik oleh petani peserta program pemupukan berimbang dan non peserta program pemupukan berimbang tidak ada perbedaan yang mendasar. Selain dilakukan oleh tenaga manusia juga dibantu oleh tenaga hewan/kerbau (bajak) dan tenaga mesin/traktor. Petani memakai bajak dengan alasan biaya yang dikeluarkan lebih hemat dibandingkan dengan memakai traktor. Dari 30 petani peserta program pemupukan berimbang, 10 petani (33 persen) memakai bajak dan 20 petani (67 persen) memakai traktor dan dari 25


(56)

petani non peserta program pemupukan berimbang, 9 petani (36 persen) memakai bajak dan 16 petani (64 persen) memakai traktor dalam pengolahan lahannya. Tahap-tahap pengolahan lahan adalah sebagai berikut:

1. Mojokan (perbaikan dan pembersihan pematang). Pematang sawah sebagai pembatas petak-petak sawah dan saluran air yang rusak diperbaiki dan rerumputan yang terdapat di sisi pematang dibersihkan dengan memakai cangkul dan parang.

2. Pembalikan tanah dengan memakai bajak atau traktor. Setelah sawah diari dilakukan pembalikan tanah, pemecahan bongkahan tanah menjadi lebih halus (garu) dengan bajak atau traktor. Bajak atau traktor ini merupakan tenaga kerja borongan yang biayanya disesuaikan dengan kondisi dan luas lahan yang dikerjakan.

3. Meratakan tanah. Kegiatan meratakan tanah dilakukan secara manual oleh petani dengan memakai alat yang terbuat dari kayu yang disebut sosorongan.

Persiapan lahan dilakukan dengan pengolahan tanah yang bertujuan untuk memperbaiki struktur tanah sehingga dapat menjadi media tumbuh yang baik bagi tanaman padi. Memperbaiki aerase tanah sehingga ketersediaan oksigen akan lebih terjamin dan dapat membantu menekan gulma, karena dengan pengolahan tanah gulma akan tercampur dengan tanah dan mengalami dekomposisi sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pengolahan lahan ini dimulai setelah air sudah menggenangi lahan sawah selama sekitar seminggu (Puspitasari, 2001).

Sedangkan menurut Taslim, et al. (1989), pengolahan lahan dapat dilakukan dengan memakai traktor atau dengan bajak dan dicangkul (manual). Setelah tanah


(57)

melumpur diratakan yang berguna agar distribusi air merata dan memudahkan untuk membuat jarak tanam.

Penyemaian

Persemaian yang dilakukan baik oleh petani peserta program pemupukan berimbang dan non peserta program pemupukan berimbang relatif tidak ada perbedaan. Seminggu setelah panen, persiapan benih terlebih dahulu dilakukan dengan merendam benih padi yang dianggap bagus untuk bibit dalam baskom selama 2 hari dan dimasukkan ke dalam karung juga 2 hari agar tumbuh kecambahnya (tumbuh gigi). Diinkubasi dalam karung, menurut Vergara (1995) adalah untuk mematahkan periode dormansi benih yang diperlukan untuk mempertahankan agar benih tetap hangat, meningkatkan pertumbuhan lembaga dan menghasilkan perkecambahan yang seragam (Vergara, 1995).

Sementara itu dipersiapkan tempat persemaian atau bedengan (21-24 hari sebelum tanam), biasanya di petak sawah. Dalam pembuatan bedengan dibutuhkan bahan sekam (huller), pupuk kandang, dan EM (Emulsi Mikroba = moretan (mikro organisme rekan petani). Untuk luas lahan 1 ha biasanya dipakai 200 – 250 m2 untuk bedengan dengan kebutuhan bahan sekam 4 bagian, pupuk kandang 2 bagian, dan EM 1/3 liter gratis diberikan dari Dinas Pertanian Purwakarta melalui kelompoktani. Tambahkan EM dengan 20 liter air, campurkan dengan bahan dan masukkan ke dalam karung, tutup/ikat. Setelah 3 hari karungnya dibalik dan setelah 7 hari ditaburkan ke lahan bedengan yang telah disediakan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Purwakarta, 2005).

Setelah dilakukan pembajakan/traktor, dibentuk kotakan pada lahan sawah untuk lahan persemaian benih padi. Setelah lahan persemaian ditaburi dengan


(1)

Lampiran 19. Data Variabel Bebas (Xi) dan Variabel Terikat (Y) Fungsi Produksi Padi Sawah (Petani Peserta Program Pemupukan Berimbang) di Kecamatan Plered

RS X1 X2 X3 X4 X5 Y

1 0.25 7.50 112.50 9.60 37.80 1 975 2 0.50 15.00 200.00 20.40 43.00 2 594 3 0.25 7.50 112.50 9.00 40.40 1 990 4 0.50 15.00 225.00 19.00 40.60 3 202 5 1.00 30.00 400.00 16.80 120.80 6 101 6 0.20 6.00 80.00 8.20 13.60 802 7 0.25 7.50 100.00 8.20 17.80 1 250 8 0.30 9.00 120.00 8.20 23.00 1 400 9 1.00 30.00 400.00 11.60 87.00 4 991 10 1.00 30.00 400.00 8.60 70.40 5 000 11 0.50 15.00 200.00 6.80 37.80 3 001 12 0.75 21.00 280.00 2.00 46.00 4 690 13 1.00 30.00 450.00 21.40 50.40 6 385 14 1.00 30.00 450.00 21.60 52.00 6 192 15 0.50 15.00 225.00 13.40 36.00 3 003 16 0.50 15.00 225.00 10.00 65.00 3 750 17 0.10 3.00 80.00 7.40 9.80 689 18 0.50 15.00 200.00 8.20 45.80 2 514 19 1.20 30.00 560.00 2.80 106.20 6 965 20 0.50 15.00 225.00 11.80 70.60 3 825 21 0.50 15.00 200.00 16.20 46.40 3 119 22 0.30 9.00 120.00 10.20 23.00 1 211 23 1.00 30.00 450.00 25.40 47.00 5 995 24 0.40 12.00 180.00 13.00 56.80 3 050 25 0.25 7.50 112.50 9.00 35.40 1 971 26 0.50 15.00 225.00 8.00 77.20 3 760 27 0.50 15.00 225.00 11.00 71.60 3 856 28 0.25 7.50 112.50 8.00 44.40 1 995 29 1.00 30.00 225.00 17.40 41.40 4 360 30 0.60 18.00 200.00 5.00 36.00 3 010 Keterangan:

RS = Responden X1 = Luas lahan (ha) X2 = Jumlah benih (kg)

X3 = Jumlah pupuk anorganik (kg)

X6 = Jumlah tenaga kerja dalam keluarga (HKP) X7 = Jumlah tenaga kerja luar keluarga (HKP) Y = Produksi padi sawah (kg)


(2)

Lampiran 20. Data Variabel Bebas (Xi) dan Variabel Terikat (Y) Fungsi Produksi Padi Sawah (Petani Non Peserta Program Pemupukan Berimbang) di Kecamatan Plered

RS X1 X2 X3 X4 X5 Y

1 0.40 12.00 134.00 9.20 14.60 3 211 2 0.30 10.00 100.00 8.20 13.60 1 495 3 0.50 15.00 200.00 8.60 35.00 3 010 4 0.50 15.00 120.00 18.60 29.40 2 095 5 0.25 7.50 83.00 9.20 14.60 1 197 6 0.30 9.00 100.00 9.20 74.00 1 503 7 0.50 20.00 250.00 12.00 70.40 3 975 8 0.30 10.00 100.00 10.20 19.60 1 200 9 0.20 6.00 68.00 5.60 17.00 1 000 10 0.50 15.00 185.00 9.20 33.40 2 300 11 1.00 30.00 340.00 10.00 73.20 4 000 12 0.40 12.00 140.00 9.20 17.80 2 100 13 0.30 12.00 105.00 19.00 38.40 1 735 14 0.40 12.00 130.00 8.20 17.00 2 400 15 0.20 6.00 70.00 9.20 13.60 798 16 0.50 20.00 380.00 21.60 44.00 2 850 17 0.50 15.00 200.00 11.80 54.60 2 975 18 0.20 7.00 70.00 13.80 14.00 1 075 19 0.50 15.00 200.00 13.80 37.00 2 800 10 0.30 9.00 100.00 8.40 11.20 1 250 21 0.25 8.00 73.00 9.00 35.40 975 22 0.75 25.00 350.00 2.00 46.00 2 800 23 0.25 8.00 85.00 8.40 12.20 1 149 24 0.30 10.00 100.00 10.20 18.80 1 250 25 1.20 35.00 500.00 10.00 72.00 5 150 Keterangan:

RS = Responden X1 = Luas lahan (ha) X2 = Jumlah benih (kg)

X3 = Jumlah pupuk anorganik (kg)

X6 = Jumlah tenaga kerja dalam keluarga (HKP) X7 = Jumlah tenaga kerja luar keluarga (HKP) Y = Produksi padi sawah (kg)


(3)

Lampiran 21. Data Biaya Penerimaan Pendapatan dan Keuntungan Usahatani Padi Sawah (Petani Peserta Program Pemupukan Berimbang) di Kecamatan Plered

RS BS (Rp) BDBY (Rp) BDPT (Rp) BT (Rp) Y (kg) P (Rp) R (Rp) I (Rp) B (Rp) 1 196 875 972 625 478 358 1 450 983 1 975 1 300 2 567 500 1 594 875 1 116 518 2 405 000 3 033 750 547 025 3 580 775 2 594 1 450 3 761 300 727 550 180 525 3 196 875 1 031 625 473 898 1 505 523 1 990 1 300 2 587 000 1 555 375 1 081 478 4 402 500 1 306 250 960 189 2 266 439 3 202 1 400 4 482 800 3 176 550 2 216 362 5 810 000 3 258 500 1 489 510 4 748 010 6 101 1 400 8 541 400 5 282 900 3 793 390 6 157 000 454 100 369 246 823 346 802 1 400 1 122 800 668 700 299 454 7 196 250 580 625 426 838 1 007 463 1 250 1 400 1 750 000 1 169 375 742 538 8 235 500 725 150 485 509 1 210 659 1 400 1 400 1 960 000 1 234 850 749 341 9 785 000 2 633 500 1 364 010 3 997 510 4 991 1 400 6 987 400 4 353 900 2 989 890 10 785 000 2 351 500 1 293 090 3 644 590 5 000 1 400 7 000 000 4 648 500 3 355 410 11 392 500 1 212 750 693 765 1 906 515 3 001 1 400 4 201 400 2 988 650 2 294 885 12 549 500 1 636 875 884 213 2 521 088 4 690 1 350 6 331 500 4 694 625 3 810 413 13 770 000 1 994 500 1 480 670 3 475 170 6 385 1 400 8 939 000 6 944 500 5 463 830 14 770 000 2 040 000 1 488 400 3 528 400 6 192 1 400 8 668 800 6 628 800 5 140 400 15 387 500 1 249 000 805 940 2 054 940 3 003 1 400 4 204 200 2 955 200 2 149 260 16 393 750 1 786 250 784 175 2 570 425 3 750 1 300 4 875 000 3 088 750 2 304 575 17 119 000 351 300 247 078 598 378 689 1 300 895 700 544 400 297 322 18 392 500 1 339 250 719 355 2 058 605 2 514 1 400 3 519 600 2 180 350 1 460 995 19 1 082 000 3 408 800 1 453 528 4 862 328 6 965 1 400 9 751 000 6 342 200 4 888 672


(4)

Lampiran 21. Lanjutan

20 393 750 1 701 000 810 060 2 511 060 3 825 1 300 4 972 500 3 271 500 2 461 440 21 417 500 1 438 250 869 295 2 307 545 3 119 1 400 4 366 600 2 928 350 2 059 055 22 247 500 754 650 520 279 1 274 929 1 211 1 400 1 695 400 940 750 420 471 23 770 000 1 937 500 1 552 250 3 489 750 5 995 1 400 8 393 000 6 455 500 4 903 250 24 315 000 1 375 160 716 510 2 091 670 3 050 1 300 3 965 000 2 589 840 1 873 330 25 196 875 889 500 465 370 1 354 870 1 971 1 300 2 562 300 1 672 800 1 207 430 26 393 750 1 857 000 755 420 2 612 420 3 760 1 300 4 888 000 3 031 000 2 275 580 27 393 750 1 759 000 803 540 2 562 540 3 856 1 300 5 012 800 3 253 800 2 450 260 28 196 875 1 037 500 456 250 1 493 750 1 995 1 300 2 593 500 1 556 000 1 099 750 29 446 250 1 390 750 1 386 445 2 777 195 4 360 1 400 6 104 000 4 713 250 3 326 805 30 403 000 1 266 100 765 966 2 032 066 3 010 1 400 4 214 000 2 947 900 2 181 934 Keterangan:

RS = Responden

BS = Biaya saprodi (Rp) BDBY = Biaya dibayarkan (Rp) BDPT = Biaya diperhitungkan (Rp) BT = Biaya Total (Rp)

Y = Produksi (kg) P = Harga gabah (Rp) R = Penerimaan (Rp) I = Pendapatan (Rp) B = Keuntungan (Rp)


(5)

Lampiran 22. Data Biaya Penerimaan Pendapatan dan Keuntungan Usahatani Padi Sawah (Petani Non Peserta Program Pemupukan Berimbang) di Kecamatan Plered

RS BS (Rp) BDBY (Rp) BDPT (Rp) BT (Rp) Y (kg) P (Rp) R (Rp) I (Rp) B (Rp) 1 185 200 543 400 613 604 1 157 004 3 211 1 400 4 495 400 3 952 000 3 338 396 2 138 000 465 950 486 957 952 907 1 495 1 400 2 093 000 1 627 050 1 140 093 3 335 000 1 086 250 714 175 1 800 425 3 010 1 400 4 214 000 3 127 750 2 413 575 4 129 000 761 750 919 705 1 681 455 2 095 1 400 2 933 000 2 171 250 1 251 545 5 114 400 446 775 456 307 903 082 1 197 1 400 1 675 800 1 229 025 772 719 6 156 000 575 650 491 539 1 067 189 1 503 1 400 2 104 200 1 528 550 1 037 011 7 416 500 1 849 750 826 985 2 676 735 3 975 1 600 6 360 000 4 510 250 3 683 265 8 142 000 566 650 538 999 1 105 649 1 200 1 400 1 680 000 1 113 350 574 351 9 106 400 460 500 325 630 786 130 1 000 1 400 1 400 000 939 500 613 870 10 303 000 1 057 250 720 435 1 777 685 2 300 1 400 3 220 000 2 162 750 1 442 315 11 577 000 2 178 500 1 300 710 3 479 210 4 000 1 400 5 600 000 3 421 500 2 120 790 12 220 000 624 600 594 476 1 219 076 2 100 1 400 2 940 000 2 315 400 1 720 924 13 212 000 1 089 650 691 379 1 781 029 1 735 1 500 2 602 500 1 512 850 821 471 14 202 000 744 200 583 652 1 327 852 2 400 1 400 3 360 000 2 615 800 2 032 148 15 110 000 407 100 381 426 788 526 798 1 400 1 117 200 710 100 328 674 16 604 000 3 404 500 577 270 3 981 770 2 850 1 400 3 990 000 585 500 8 230 17 392 500 1 469 750 786 185 2 255 935 2 975 1 400 4 165 000 2 695 250 1 909 065 18 112 000 419 100 455 146 874 246 1 075 1 400 1 505 000 1 085 900 630 754 19 360 000 1 156 750 803 405 1 960 155 2 800 1 400 3 920 000 2 763 250 1 959 845


(6)

Lampiran 22. Lanjutan

20 169 500 463 317 471 799 935 116 1 250 1 300 1 625 000 1 161 683 689 884 21 114 400 787 525 459 252 1 246 777 975 1 300 1 267 500 479 975 20 724 22 540 000 1 643 125 884 588 2 527 713 2 800 1 500 4 200 000 2 556 875 1 672 288 23 134 000 1 193 750 215 625 1 409 375 1 149 1 400 1 609 000 415 250 199 625 24 158 000 567 650 509 059 1 076 709 1 250 1 400 1 750 000 1 182 350 673 291 25 770 000 2 496 200 1 529 772 4 025 972 5 150 1 400 7 210 000 4 713 800 3 184 028 Keterangan:

RS = Responden BS = Biaya saprodi (Rp) BDBY = Biaya dibayarkan (Rp) BDPT = Biaya diperhitungkan (Rp) BT = Biaya Total (Rp)

Y = Produksi (kg) P = Harga gabah (Rp) R = Penerimaan (Rp) I = Pendapatan (Rp) B = Keuntungan (Rp)