tergantung harga pupuk bersubsidipun biaya pupuk dapat ditekan dan penggunaan pupuk lebih efisien.
2.4. Intensifikasi Padi
Intensifikasi padi adalah program pemerintah dalam peningkatan produksi padi dengan penerapan teknologi panca usahatanisapta usahatani yang meliputi
varietas padi unggul, rekomendasi pemupukan berimbang, pengendalian hama terpadu, perbaikan cara bercocok tanam, penggunaan air secara efisien dan
penanganan panen dan pasca panen. Peningkatan kemampuan petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian juga harus dilaksanakan agar mampu
mengadopsi teknologi yang dianjurkan Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2002.
Selanjutnya menurut Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan 2002, tujuan dari kegiatan intensifikasi adalah: 1 meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
petani melalui peningkatan produktivitas dan pengembangan usahatani berwawasan agribisnis, 2 meningkatkan produksi pangan untuk memenuhi
kebutuhan pangan di dalam negeri dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional, dan 3 mendorong pembangunan ekonomi pedesaan melalui
pemberdayaan kelembagaantani, penguatan permodalan, dan pengembangan hubungan kemitraan.
Menurut Abbas 1997, pola intensifikasi telah diterapkan sejak adanya rencana mewujudkan swasembada beras SSB pada tahun 1959. Di lapangan
dimulai dari Bimbingan Massal Bimas, Inmas, Inmun, Insus, Opsus dan Supra Insus, Gema Palagung, PTT, dan Padi Hibrida. Dari pelaksanaan pola-pola
tersebut, terbukti dapat meningkatkan produksi padi. Perkembangan produksi padi dari tahun 1974 sampai dengan tahun 2004 dapat dilihat pada Lampiran 1.
Penerapan teknologi intensifikasi dalam upaya peningkatan produksi padi terdiri dari 10 unsur. Unsur tersebut yakni pengaturan pola tanam IP200,
pengolahan tanah secara sempurna, pencapaian populasi tanam ≥ 200.000
rumpunha, penggunaan benih unggul, pemakaian PPCZPT, pengaturan tataguna air, termasuk pemupukan berimbang Abbas, 1997.
2.5. Tinjauan Beberapa Studi Terdahulu
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan adopsi teknologi telah banyak dilakukan, antara lain Buana 1997, Nahraeni 2000,
Santoso, et al. 2001, Surya 2002, Noer 2002, Pribadi 2002, dan lain-lain. Untuk kasus Program Pemupukan Berimbang Padi Sawah di Provinsi Jawa Barat
belum ada yang menganalisis. Buana 1997 menganalisis tingkat adopsi teknologi budidaya padi sawah di
Provinsi Sulawesi Tenggara melalui pendekatan Koefisien Korelasi Peringkat Spearman. Hasil analisisnya memberikan gambaran bahwa tingkat adopsi petani
terhadap teknologi budidaya padi sawah tergolong sedang; petani telah melaksanakan budidaya padi sawah tetapi belum sesuai dengan rekomendasi
penyuluh pertanian setempat. Karakteristik internal pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan pendapatan menunjukkan
hubungan yang nyata dan bersifat positif, yang menjelaskan bahwa semakin tinggi pendidikan formal, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan
pendapatan semakin tinggi tingkat adopsi teknologinya sedangkan umur dan pengalaman berusahatani menunjukkan hubungan yang nyata dan bersifat negatif,
yang menjelaskan bahwa semakin lama berusahatani semakin menurun tingkat adopsi teknologinya.
Nahraeni 2000 dengan analisis keputusan menggunakan model logit diperoleh hasil bahwa keputusan petani untuk mengadopsi teknologi sangat terkait
dengan faktor resiko, keyakinan, dan pendapatan yang tinggi dari teknologi tersebut. Upaya-upaya pembinaan langsung di lapang dan demonstrasi lapang
lebih efektif dalam mendorong penerapan teknologi tabela di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Santoso, et al. 2001 mengkaji mengenai tingkat penerapan teknologi Sistem Usaha Pertanian SUP padi di wilayah Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo
dan Jember yang dilakukan pada tahun 19981999 sampai dengan tahun 2000 dengan analisis deskriptif memakai sistem skor. Hasil kajian menunjukkan bahwa
adopsi teknologi anjuran pada sistem usahatani padi di wilayah pengkajian, belum sepenuhnya diadopsi oleh petani. Teknologi anjuran yang diadopsi oleh petani
peserta di Kabupaten Bojonegoro, Sidoarjo dan Jember sekitar 53 persen, sedangkan teknologi anjuran yang terdifusi oleh petani non peserta mencapai
sekitar 47 persen. Adopsi teknologi telah berdampak terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan usahatani padi, yaitu sekitar 9 persen dan 26 persen.
Agar adopsi teknologi ajuran dapat berlanjut, disarankan agar dorongan pemerintah daerah, pembinaan dan bimbingan melalui kelompok tani
ditingkatkan. Surya 2002 menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi petani
dalam mengadopsi usahatani padi metode Pengendalian Hama Terpadu PHT dengan model logit. Melalui kursus PHT, petani mempunyai peluang dalam
penerapan metode PHT, Metode PHT perlu terus dikembangkan dimana dapat meningkatkan pendapatan petani dengan mengurangi biaya tunai usahatani dan
menjaga kelestarian lingkungan. Noer 2002 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ubi
kayu dengan adanya Program Ittara di Kabupaten Lampung Timur dengan model fungsi produksi Cobb-Douglas, menunjukkan bahwa produksi ubi kayu secara
nyata dipengaruhi oleh lahan, bibit, pupuk, dan pestisida. Faktor produksi tenaga kerja walaupun bernilai positif tetapi tidak berpengaruh nyata pada produksi ubi
kayu karena ketersediaannya yang cukup. Pribadi 2002 menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
penentu adopsi teknologi Sawit Dupa pada usahatani padi di lahan pasang surut Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa teknologi Sawit Dupa dapat
meningkatkan produksi dan pendapatan petani padi. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi adalah lahan, pupuk, dan tenaga kerja dalam
keluarga. Proses adopsi teknologi sawit dupa di Kalimantan Selatan dipengaruhi oleh ketersediaan benih varietas unggul dan resiko produksi yang cukup besar.
Teknologi Sawit Dupa pada umumnya diadopsi oleh petani yang mempunyai pendapatan rendah, dimana mereka tidak memiliki akses yang baik terhadap jenis
pekerjaan lain sehingga penerapan teknologi Sawit Dupa ini memberikan kesempatan kerja yang luas dalam peningkatan pendapatan.
III. KERANGKA TEORITIS