biasanya disimpan terlebih dahulu di dalam kantung pipinya cheek pouch untuk dimakan kemudian. Buah atau biji yang dibawa sering jauh akibat dari gerakan
yang dilakukan saat berpindah dari satu pohon ke pohon lain Bennett 1995, Romauli 1993.
Pakan yang tersedia di Pulau Tinjil sangat beragam Tabel 1. Ficus ampelas merupakan vegetasi yang tersedia dan paling disukai palatabilitasnya tinggi
apabila dibandingkan dengan jenis pakan lain Romauli 1993. Tabel 1 Jenis sumber pakan Macaca fascicularis
yang terdapat di Pulau Tinjil
Asal Pakan Jenis Pakan
Alam Buah Ki-ampelas Ficus ampelas
Merbau Intsia amboinensis Kalapari Pongamia pinnata
Kidang Aglaia sp. Daun Peuris Antidesma montatum
Bayur Pteropermum javanicum Binar Ochocarpus ovaliifolius
Sulatri Callophylum soulatrii Pandan Pandanus tectorius
Hanjuang Cordyline fruticosa Waru laut Hibiscus tiliaceus
Butun Barringtonia asiatica Ketapang Terminalia catappa
Jambu mawar Syzygium jambos Mengkudu Ixora simularensis
Melinjo Gnetum gnemon Tambahan
Pisang Jagung
Sumber: Anggraeni 2003
2.3.4 Wilayah Jelajah dan Kepadatan Populasi
Wilayah jelajah dapat diartikan sebagai wilayah yang dikunjungi satwaliar dalam aktivitas hariannya yang normal. Wilayah jelajah dapat bervariasi sesuai
dengan keadaan sumberdaya lingkungannya, semakin baik kondisi lingkungannya semakin sempit ukuran wilayah jelajahnya Alikodra 1990.
Menurut Leeson 2001, kepadatan populasi Macaca fascicularis di Pulau Tinjil adalah sebesar 259 ekorkm
2
dengan kepadatan kelompok sebesar 4,7 kelompokkm
2
. Jumlah tersebut lebih tinggi daripada kepadatan populasi di hutan primer 30 ekorkm
2
dan sekunder 40 ekorkm
2
. Hal ini dapat disebabkan
adanya perlakuan penambahan pakan sehingga kematian akibat persaingan dalam mendapatkan pakan dapat berkurang Fadilah 2003, Nowak 1999.
2.3.5 Tingkah Laku
Tingkah laku pada satwa primata biasanya dilihat sebagai model untuk tingkah laku manusia yang lebih sederhana. Hal ini ditunjang dengan masa hidup
yang lebih singkat pada satwa primata dibandingkan dengan manusia, sehingga lebih mudah dilakukan penelitian Nelson dan Jurmain 1988. Komunikasi antara
satwa primata dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu bersuara, ekspresimimik muka dan isyarat tubuh. Satwa primata yang subordinate akan
menunjukkan bagian belakang tubuh kepada satwa yang dominan, sedangkan tingkah laku menggoyangkan cabang atau pohon menandakan sikap agresif
Smith dan Mangkoewidjojo 1987. Wheatley 1980 mengklasifikasikan tingkah laku monyet ke dalam aktivitas
makan, berpindah, istirahat, berkelahi, merawat diri groom, dan kopulasi. Makan adalah aktifitas yang meliputi memungut pakan dan prosesnya, dimulai dari
mengumpulkan, mengunyah makanan yang dilakukan pada pohon yang sama dan diakhiri sampai ketika satwa berhenti makan. Istirahat adalah aktifitas selain
makan dan berpindah, kadang-kadang terdapat tingkah laku merawat diri. Berkelahi adalah aktifitas yang ditandai dengan ancaman mimik muka atau
gerakan badan, menyerang dan memburu lawannya, baku hantam dan diakhiri dengan kekalahan lawannya. Merawat diri grooming adalah tingkah laku
membersihkan atau memungut sesuatu seperti kotoran-kotoran, serpihan kulit mati, dan ektoparasit, dari rambut satwa lain atau pun pada dirinya sendiri.
Tingkah laku ini termasuk tingkah laku yang jarang dilakukan tetapi membutuhkan waktu cukup lama dalam aktivitasnya. Grooming seringkali
dilakukan pada saat beristirahat. Perilaku ini tidak hanya untuk membersihkan badan, akan tetapi juga sebagai sarana untuk menjalin hubungan sosial antar
individu dalam kelompok, misalnya induk menenangkan anaknya dengan membersihkannya serta sebagai pendahuluan dari proses perkawinan Anggraeni
2003, Iskandar 1993, Rowe 1996.
Monyet jantan dewasa yang melakukan self grooming merawat diri sendiri dan allogroming merawat diri individu lain apabila mendapatkan ektoparasit
maka akan diambil lalu dibuang ataupun dimakan. Pengambilan ektoparasit dapat dilakukan dengan tangan ataupun dengan mulut Anggraeni 2003, Goosen 1987.
2.4 Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata