Pusat Studi Satwa Primata PSSP di Pulau Tinjil Ancylostoma duodenale old world hookworm dan Necator americanus new world hookworm

rendah, zona waru laut, zona sulatri, zona butun dan ketapang, zona pandan, dan zona bambu Lampiran 2. Menurut Asril et al. 1991, suhu rata-rata luar tajuk sebesar 27°C dengan kisaran sebesar 24,3-33 °C sedangkan suhu rata-rata dalam tajuk sebesar 26,8°C dengan kisaran sebesar 24,2-24,8°C. Kelembaban udara rata-rata di Pulau Tinjil 79 dengan kisaran 65-88.

2.1.4 Fauna

Beberapa fauna asli yang ada di Pulau Tinjil adalah dari jenis burung, reptilia, mamalia dan arthropoda. Komposisi jenis burung di Pulau Tinjil terdapat sekitar 22 jenis diantaranya kuntul karang Egretasacra, elang perut putih Haliacetus leucogaster, mas Caleonas nicobarica, raja udang kalung putih Haleyon chloris dan murung madu kuning Nectarina jugularis. Beberapa jenis reptilia di Pulau Tinjil antara lain: biawak Varanus salvator, kadal, ular sanca Phyton sp., ular tanah, dan ular hijau. Jenis satwa mamalia yang dapat di jumpai adalah tikus Rattus sp. dan kelelawar. Hewan dari filum Arthropoda yang terdapat di pulau ini antara lain: umang-umang Pangurus sp., kepiting tanah besar Cardisoma sp., dan beberapa jenis serangga Hermiati et al. 2004.

2.2 Pusat Studi Satwa Primata PSSP di Pulau Tinjil

Bibit induk breeders M. fascicularis untuk Pulau Tinjil berasal dari Sumatera Selatan, Palembang serta Jawa Barat. Sejumlah 520 ekor M. fascicularis dewasa 58 jantan dan 462 betina dilepaskan di Pulau Tinjil yang pada awalnya tidak dihuni oleh spesies ini, pada bulan Februari 1988 dan Desember 1994 Kyes et al. 1998. Semua monyet yang akan dilepaskan melalui proses karantina dan viral screening agar bebas SRV termasuk juga physical examination, pemeriksaan umur melalui erupsi pada gigi, tuberculin test serta pemeriksaan parasit intestinal Pamungkas 1994. Populasi monyet yang ada di Pulau Tinjil disensus secara periodik semenjak tahun 1990 Kyes et al. 1998. Data sensus tahun 2001 mengindikasikan ada 42 koloni yang tersebar di pulau tersebut Leeson 2001. Estimasi angka kelahiran sebanyak 60. Ukuran populasi M. fascicularis yang ada di Pulau Tinjil sekitar 1000-2000 ekor pada tahun 2008 Iskandar E 2008, komunikasi pribadi. Penangkapan keturunannya dilakukan secara periodik yang selanjutnya digunakan untuk penelitian biomedik Cawthon Lang 2006, Kyes et al. 1998. 2.3 Macaca fascicularis 2.3.1 Klasifikasi dan Penyebaran Klasifikasi monyet ekor panjang menurut Dolhinow et al. 1999 : Ordo : Primates Subordo : Anthropoidea Infraordo : Catarrhini Superfamili : Cercopithecoidea Famili : Cercopithecidae Subfamili : Cercopithecinae Genus : Macaca Spesies : M. fascicularis Raffles 1821 Di daerah Indonesia M. fascicularis tersebar di Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Bali. Satwa ini juga terdapat di Brunei, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Pulau Nicobar Jones 2004. Gambar 1 M. fascicularis jantan Gambar 2 M. fascicularis betina dan anaknya Photo by Entang Iskandar Photo by Entang Iskandar Spesies ini dapat hidup di berbagai tempat sampai dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut. Habitat mereka meliputi hutan primer, sekunder, pantai, mangrove, rawa serta daerah di sekitar aliran sungai. Spesies ini tidak takut dengan air dan merupakan perenang yang handal. M. fascicularis dapat hidup berdampingan dengan manusia dan sering menjarah hasil panen para petani Nowak 1999, Rowe 1996.

2.3.2 Morfologi

Ciri-ciri umum M. fascicularis dewasa adalah yang jantan memiliki panjang tubuh antara 49,20-55,80 cm sedangkan yang betina antara 47,90-49,50 cm. Ukuran jantannya 3,15-5,30 kg lebih besar daripada betinanya 2,80-3,62 kg. Ekornya lebih panjang daripada tubuhnya, sekitar 40-65 cm, karena itulah satwa ini juga sering disebut monyet ekor panjang Fitriani 1992. Rambut M. fascicularis dewasa baik jantan maupun betina berwarna coklat keabuan yang merata di seluruh tubuhnya dari kepala hingga ekor, kecuali pada bagian perut dan ekstremitas bagian dalam memiliki warna yang lebih terang. Rambut di atas kepala tumbuh ke arah belakang dan kadang berbentuk jambul. Kulit yang berada dibawah mata tidak berbulu berbentuk segitiga, kemudian pada bagian pipi terdapat rambut yang mengarah ke depan. Rambut pipi pada individu jantan lebih lebat dibanding betina Krisnawan 2000.

2.3.3 Pakan

Spesies ini sering disebut sebagai Crab-eating macaque, yang berarti pemakan kepiting. Monyet ekor panjang merupakan hewan omnivora, yang artinya dapat memakan berbagai macam hewan, tumbuhan dan berbagai makanan yang lain. Monyet ekor panjang yang ada di Pulau Tinjil lebih menyukai buah sebagai pakannya dibandingkan vegetasi lainnya. Hal tersebut dapat menguntungkan bagi proses regenerasi hutan, karena satwa ini mempunyai kebiasaan makan yang memungkinkan penyebaran suatu jenis vegetasi. Satwa ini selalu mengambil makanan dari suatu sumber pakan pohon pakan, kemudian membawa buah ataupun bunga ke pohon lain dan memakannya di pohon tersebut. Pohon yang satu dengan yang lain kadang-kadang letaknya berjauhan. Makanan yang dibawa biasanya disimpan terlebih dahulu di dalam kantung pipinya cheek pouch untuk dimakan kemudian. Buah atau biji yang dibawa sering jauh akibat dari gerakan yang dilakukan saat berpindah dari satu pohon ke pohon lain Bennett 1995, Romauli 1993. Pakan yang tersedia di Pulau Tinjil sangat beragam Tabel 1. Ficus ampelas merupakan vegetasi yang tersedia dan paling disukai palatabilitasnya tinggi apabila dibandingkan dengan jenis pakan lain Romauli 1993. Tabel 1 Jenis sumber pakan Macaca fascicularis yang terdapat di Pulau Tinjil Asal Pakan Jenis Pakan Alam Buah Ki-ampelas Ficus ampelas Merbau Intsia amboinensis Kalapari Pongamia pinnata Kidang Aglaia sp. Daun Peuris Antidesma montatum Bayur Pteropermum javanicum Binar Ochocarpus ovaliifolius Sulatri Callophylum soulatrii Pandan Pandanus tectorius Hanjuang Cordyline fruticosa Waru laut Hibiscus tiliaceus Butun Barringtonia asiatica Ketapang Terminalia catappa Jambu mawar Syzygium jambos Mengkudu Ixora simularensis Melinjo Gnetum gnemon Tambahan Pisang Jagung Sumber: Anggraeni 2003

2.3.4 Wilayah Jelajah dan Kepadatan Populasi

Wilayah jelajah dapat diartikan sebagai wilayah yang dikunjungi satwaliar dalam aktivitas hariannya yang normal. Wilayah jelajah dapat bervariasi sesuai dengan keadaan sumberdaya lingkungannya, semakin baik kondisi lingkungannya semakin sempit ukuran wilayah jelajahnya Alikodra 1990. Menurut Leeson 2001, kepadatan populasi Macaca fascicularis di Pulau Tinjil adalah sebesar 259 ekorkm 2 dengan kepadatan kelompok sebesar 4,7 kelompokkm 2 . Jumlah tersebut lebih tinggi daripada kepadatan populasi di hutan primer 30 ekorkm 2 dan sekunder 40 ekorkm 2 . Hal ini dapat disebabkan adanya perlakuan penambahan pakan sehingga kematian akibat persaingan dalam mendapatkan pakan dapat berkurang Fadilah 2003, Nowak 1999.

2.3.5 Tingkah Laku

Tingkah laku pada satwa primata biasanya dilihat sebagai model untuk tingkah laku manusia yang lebih sederhana. Hal ini ditunjang dengan masa hidup yang lebih singkat pada satwa primata dibandingkan dengan manusia, sehingga lebih mudah dilakukan penelitian Nelson dan Jurmain 1988. Komunikasi antara satwa primata dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu bersuara, ekspresimimik muka dan isyarat tubuh. Satwa primata yang subordinate akan menunjukkan bagian belakang tubuh kepada satwa yang dominan, sedangkan tingkah laku menggoyangkan cabang atau pohon menandakan sikap agresif Smith dan Mangkoewidjojo 1987. Wheatley 1980 mengklasifikasikan tingkah laku monyet ke dalam aktivitas makan, berpindah, istirahat, berkelahi, merawat diri groom, dan kopulasi. Makan adalah aktifitas yang meliputi memungut pakan dan prosesnya, dimulai dari mengumpulkan, mengunyah makanan yang dilakukan pada pohon yang sama dan diakhiri sampai ketika satwa berhenti makan. Istirahat adalah aktifitas selain makan dan berpindah, kadang-kadang terdapat tingkah laku merawat diri. Berkelahi adalah aktifitas yang ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang dan memburu lawannya, baku hantam dan diakhiri dengan kekalahan lawannya. Merawat diri grooming adalah tingkah laku membersihkan atau memungut sesuatu seperti kotoran-kotoran, serpihan kulit mati, dan ektoparasit, dari rambut satwa lain atau pun pada dirinya sendiri. Tingkah laku ini termasuk tingkah laku yang jarang dilakukan tetapi membutuhkan waktu cukup lama dalam aktivitasnya. Grooming seringkali dilakukan pada saat beristirahat. Perilaku ini tidak hanya untuk membersihkan badan, akan tetapi juga sebagai sarana untuk menjalin hubungan sosial antar individu dalam kelompok, misalnya induk menenangkan anaknya dengan membersihkannya serta sebagai pendahuluan dari proses perkawinan Anggraeni 2003, Iskandar 1993, Rowe 1996. Monyet jantan dewasa yang melakukan self grooming merawat diri sendiri dan allogroming merawat diri individu lain apabila mendapatkan ektoparasit maka akan diambil lalu dibuang ataupun dimakan. Pengambilan ektoparasit dapat dilakukan dengan tangan ataupun dengan mulut Anggraeni 2003, Goosen 1987.

2.4 Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata

Cacing yang dapat menginfeksi satwa primata adalah dari jenis trematoda, nematoda dan cestoda. Tabel 2 Jenis cacing saluran pencernaan satwa primata No. Jenis Cacing Parasit S Spesies Satwa Primata Sumber Trematoda 1. Schistosoma sp. Baboon 1,3 Nematoda 1. Ascaris Rhesus monkey, Lagothric lagothrica 7, 11 2. Trichuris sp. Rhesus monkey, Mandrillus sphinx, Colobus guereza 6,11,12 3. T. trichiura Simian primates 13 4. Strongyloides fulleborni Rhesus monkey, Colobines 2, 5, 6, 11, 12 5. Hookworm Cercopithecus aethiops sabaeus, Macaca nigra, Macaca tonkeana 3, 10 6. Trichostrongylus Rhesus monkey 11 7. Trypanoxyuris Allouatta pigra 14 8. Mammomonogamus Mandrillus sphinx, Orangutan 10, 12 9. Oesophagostomum Baboon, Colobines 1, 2 10. O. aculeatum Macaca 13 11. O. bifurcatum Macaca 13 12. O. stephanostomum Macaca, Gorilla, Simpanse 13 13. Enterobius sp. Baboon, Orangutan 1, 2, 9 Cestoda 1. Hymenolepis sp. Chimpanzee, Aotus vosiferans, Rhesus monkey, Squirrel monkey 4, 9 1. Appleton and Henzi 1993; 2. Chapman et al. 2005; 3. Engel et al. 2004; 4. Joslin 2003; 5. Knezevich 1998; 6. Melfi and Poyser 2007; 7. Michaud et al. 2003; 8. Muehlenbein 2005; 9. Mul et al. 2007; 10. Mutani et al. 2003; 11. Phillippi and Clarke 1992; 12. Setchell et al. 2007; 13. Soulsby 1982; 14. Vitazkova and Wade 2007 Infeksi cacing saluran pencernaan terjadi karena adanya sumber infeksi dan inang yang peka pada suatu tempat dan waktu tertentu. Infeksi cacing saluran pencernaan pada satwa liar, khususnya satwa primata di free ranging area dapat dengan mudah terjadi akibat feses yang tersebar dimana-mana. Feses dapat berasal dari spesies yang sama ataupun dari manusia. Hal ini dapat dengan mudah terjadi karena adanya habitat yang sama ataupun adanya invasi oleh manusia ke habitat satwa primata. Inang yang rentan terhadap infeksi cacing saluran pencernaan dapat dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin dan status sosial dominan, subordinate di dalam kelompok. Status fisiologis dapat pula mendukung terjadinya infeksi, misalnya betina dalam masa laktasi, gestasi dan bersiklus Morgan et al. 1960, Cowlishaw et al. 2000, Phillippi 1992, Stuart dan Strier 1995.

2.4.1 Schistosoma japonicum

Distribusi geografis Cacing ini ditemukan di Asia Timur, Asia Tenggara seperti RRC, Jepang, Filipina, Muangthai, Taiwan, Malaysia, dan Indonesia. Penyebarannya di Indonesia adalah di Sulawesi Tengah yaitu di sekitar Danau Lindu dan Lembah Napu Kusumamihardja 1995, Onggowaluyo 2001. Morfologi Cacing jantan panjangnya 9,5-20 mm dan diameternya 0,55-0,967 mm. Cacing betina panjangnya 12-26 mm dan diameternya 0,3 mm. Cacing ini memiliki batil hisap yang terletak dekat ujung anterior dan sangat berdekatan satu sama lain. Cacing dewasa kulit tubuhnya halus, pada bagian batil hisap dan gynaecophoric canal ditutupi duri-duri halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonokoristik, walaupun dalam tubuh inang sering ditemukan berpasangan cacing betina didalam gynaecophoric canal. Esofagus pada cacing dewasanya dikelilingi oleh sekelompok kelenjar dan bercabang di depan alat penghisap ventral serta bersatu kembali dalam kuartir terakhir. Testisnya terdiri dari 6-8 yang tersusun secara longitudinal, berada di belakang dari lubang genital, yang terbuka tepat di posterior dari batil hisap ventral. Ovariumnya terletak di belakang dari pertengahan tubuh dan kelenjar vitelin memenuhi seperempat bagian posterior Kusumamihardja 1995, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982. Telur berbentuk bulat, berwarna kuning atau kuning kecoklatan, terdapat duri kecil di bagian lateral atau bentukan seperti kait. Duri atau kait ini tidak selalu terlihat saat pemeriksaan. Hal ini dapat terjadi karena tertutup oleh kotoran tinja serta saat pemeriksaan duri atau kait ini berada di sisi yang berbeda Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001. Daur Hidup Cacing dewasa terdapat pada cabang mesenterika superior usus halus manusia, sapi, kerbau, domba, anjing, tikus, dan lain-lain. Telur yang dikeluarkan cacing betina di dalam usus menembus jaringan submukosa dan mukosa kemudian masuk ke dalam lumen usus dan keluar bersama tinja. Telur yang berenang di dalam air tawar menetas dan membebaskan mirasidium yang berenang aktif. Mirasidium mencari inang antara Onchomellania hupensis yang sesuai dan menembus jaringan lunak pada siput tersebut. Mirasidium tersebut selanjutnya berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II, kemudian menjadi larva yang ekornya bercabang serkaria. Mirasidium tunggal dapat memproduksi beberapa ribu serkaria. Serkaria ini meninggalkan siput, dan berenang di air. Infeksi pada inang definitif dapat terjadi melalui penetrasi serkaria secara aktif pada kulit, yang kemudian akan menuju jaringan kapiler dan selanjutnya berturut-turut masuk ke dalam sirkulasi vena, jantung kanan, paru-paru, jantung kiri, dan ke sirkulasi sistemik viseral hingga menjadi dewasa. Infeksi pada inang dapat bertahan dalam jangka waktu lama, yaitu mencapai 27 tahun Kusumamihardja 1995, Levine 1990, Onggowaluyo 2001.

2.4.2 Hymenolepis diminuta

Distribusi geografis Cacing ini tersebar di seluruh dunia kosmopolit, termasuk Indonesia Ash dan Orihel 1990. Morfologi Cacing dewasanya berukuran 10-60x0,3-0,5 cm, mempunyai 4 batil hisap berbentuk seperti gada, serta memiliki rostelum apikal yang rudimenter dan tidak berkait. Lebar proglotidnya lebih panjang daripada panjang proglotidnya. Proglotid dewasa berbentuk trapesium, mengandung tiga testes, sebuah ovarium berlobus dua dan sebuah porus genitalis pada satu sisi unilateral yang terletak di tepi lateral proglotid. Proglotid matang gravid mengandung uterus berbentuk kantong, melintang dan penuh berisi telur Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001. Telurnya berbentuk bulat atau oval dan umumnya berwarna kuning. Telur ini juga memiliki dinding luar yang tebal, dinding dalam yang transparan dan pada kedua kutubnya menebal tidak mengeluarkan filamen. Dinding dalamnya mengelilingi oncospher yang mempunyai enam kait. Ruangan antar membran umumnya terlihat halus atau sedikit bergranul Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001. Daur Hidup Telur yang terdapat dalam tinja tercerna di dalam inang antara yang berupa arthropoda. Inang antara utama adalah larva pinjal tikus dan mencit, serta kumbang tepung dewasa. Contoh inang antara lainnya adalah lipas, Myriapoda, kumbang dan Lepidoptera. Oncospher berkembang di dalam tubuh inang antara menjadi tahap larva yaitu sistiserkoid yang selanjutnya dapat menginfeksi inang definitif. Infeksi langsung terjadi akibat dari telur tanpa adanya peran inang perantara, seperti yang terjadi pada H. nana tidak mungkin terjadi. Waktu yang dibutuhkan dari tahap larva sampai menjadi cacing dewasa adalah tiga minggu Ash dan Orihel 1990.

2.4.3 Ascaris lumbricoides

Distribusi geografis Cacing ini tersebar di seluruh dunia kosmopolit. Penyebarannya terutama di daerah tropis yang tingkat kelembabannya tinggi Kusumamihardja 2002. Morfologi Cacing dewasanya berbentuk silindrik. Bagian anterior dilengkapi oleh tiga buah bibir triplet yang tumbuh dengan sempurna. Cacing betina panjangnya 20-35 cm, sedangkan yang jantan panjangnya 15-31 cm. Ujung posterior pada cacing jantan, lancip dan melengkung ke arah ventral, dilengkapi papil kecil dan dua buah spekulum berukuran 2 mm. Cacing betina memiliki ujung posterior yang membulat dan lurus, dan 13 dari anterior tubuhnya terdapat cincin kopulasi. Tubuh cacing A. lumbricoides ini berwarna putih sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula yang bergaris halus Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001. Telurnya memiliki empat bentuk, yaitu tipe dibuahi fertilized, tidak dibuahi unfertilized, matang, dan dekortikasi. Telur yang dibuahi berbentuk bulat atau ovoid, berwarna coklat atau kuning kecoklatan, memiliki dinding tebal yang terdiri dari dua lapis. Lapisan luarnya terdiri dari jaringan albuminoid, sedangkan lapisan dalamnya terlihat jernih. Lapisan luarnya memiliki tonjolan mammilated layerprominent projection yang jelas. Telur yang tidak dibuahi berbentuk lonjong terkadang ada yang berbentuk triangular atau bentuk seperti ginjal dan biasanya lebih panjang daripada tipe yang dibuahi serta memiliki dinding luar yang lebih tipis. Isi telur berupa massa sel telur. Telur matang yang berisi larva atau embrio akan menjadi infektif setelah berada ditanah kurang lebih selama tiga minggu. Telur dekortikasi adalah telur yang tidak mengalami pembuahan tetapi lapisan luarnya albumin sudah hilang Anonim 2008, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982. Daur Hidup Telur yang tidak berembrio pada tinja inang mengalami perkembangan di tanah selama dua sampai tiga minggu kemudian berkembang menjadi telur infektif mengandung larva stadium kedua. Larva dapat keluar dari telur apabila tercerna di usus halus, kemudian larva menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung menuju paru-paru. Larva di paru-paru menembus dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Larva kemudian menuju ke faring yang dapat menimbulkan iritasi. Penderita akan batuk karena adanya rangsangan larva ini. Larva di faring akan tertelan, kemudian menuju usus halus setelah mencapai ukuran 1 mm, dan menjadi dewasa. Waktu yang dibutuhkan dari mulai telur matang tertelan sampai dengan menjadi cacing dewasa adalah sekitar dua bulan Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001.

2.4.4 Enterobius vermicularis Distribusi geografis

Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia, baik di daerah tropis maupun subtropis Onggowaluyo 2001. Morfologi Panjang cacing jantan 2-5 mm dan lebarnya 0,1-0,2 mm dengan spikulum tunggal yang ramping mencapai panjang 75-80 µm. Panjang cacing betina 8-13 mm dan lebar 0,3-0,5 mm dengan ekor yang runcing dengan panjang sekitar 2 mm Ash dan Orihel 1990, Levine 1990. Telurnya berbentuk lonjong, asimetris, dan salah satu sisi dindingnya mendatar sedangkan sisi lainnya berbentuk konvek. Dinding telurnya jernih dan tipis. Telur cacing jenis ini sebagian besar telah berembrio saat dikeluarkan Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Levine 1990. Daur Hidup Cacing jantan umurnya lebih pendek daripada cacing betina karena cacing jantan akan mati setelah membuahi cacing betina. Proses kopulasi cacing jantan dan betina terjadi di daerah sekum. Cacing betina akan bergerak ke anus pada waktu malam dan bertelur di bagian perianal dan perineum. Waktu yang diperlukan dari telur yang berembrio sampai menjadi bentuk infektif adalah sekitar 4-6 jam atau sekitar 2 hari pada 24-25°C. Transmisi infeksi dari telur biasanya dapat terjadi secara langsung ke mulut oleh tangan. Parasit ini berkembang di saluran intestinal bagian bawah dan memiliki periode prepaten 36-53 hari. Cacing dewasa parasit ini biasanya dapat hidup selama beberapa bulan Ash dan Orihel 1990, Levine 1990.

2.4.5 Strongylid hookworm

Strongylid yang dapat menginfeksi satwa primata terdiri dari tiga spesies spesies cacing yaitu Ancylostoma duodenale old world hookworm, Necator americanus new world hookworm, Oesophagostomum sp.

a. Ancylostoma duodenale old world hookworm dan Necator americanus new world hookworm

Bagian anterior cacing dewasa memiliki kapsula bukal. Telur pada kedua spesies ini memiliki selubung yang tipis, tidak berwarna serta berbentuk oval atau elips Levine 1990. a1. Ancylostoma duodenale old world hookworm Distribusi geografis Cacing ini tersebar secara kosmopolitan, diantaranya ditemukan di Eropa bagian selatan, bagian utara Afrika, Cina, India, dan Jepang. Penyebarannya juga terjadi secara sporadis di beberapa daerah lain Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982. Morfologi Cacing jantan dewasa memiliki panjang 8-11 mm dan lebar 0,4-0,5 mm, terdapat bursa dengan dua spikula yang tidak menyatu pada bagian distal. Cacing betinanya berukuran 10-13x0,5-0,7 mm. Kapsula bukal berisi dua pasang gigi ventral yang berkembang baik dan sepasang gigi dorsal dikedalamannya Ash dan Orihel 1990, Levine 1990. Larvanya memiliki beberapa tahap perkembangan. Larva tahap pertama rhabditoid yang menetas dari telur, berukuran 250-350x17 µm. Larva ini mempunyai buccal canal yang panjang dan genital primordium yang berukuran kecil. Ukuran panjang larva infektif tahap ketigafilariform adalah 625-675 µm. Larva ini memiliki ujung ekor yang membengkok dan rasio panjang esofagus dibandingkan dengan panjang usus adalah 1:4 Ash dan Orihel 1990. a2. Necator americanus new world hookworm Distribusi geografis Cacing ini tersebar di belahan bumi bagian barat, Afrika Tengah dan Selatan, Asia Selatan, Pasifik Selatan, dan India Ash dan Orihel 1990. Morfologi Cacing jantan dewasa memiliki panjang 7-9 mm dan lebar 0,3 mm dan memiliki bursa dengan dua spikula yang menyatu pada bagian distal. Cacing betinanya berukuran 9-11x0,4 mm. Kapsula bukal agak bulat, dengan lempeng pemotong ventral semiluner pada tepinya, dua lancet segitiga, dan dua lanset subdorsal lateral di dalamnya. Telur ini saat dikeluarkan bersama feses biasanya baru mengalami pembelahan awal Ash dan Orihel 1990, Levine 1990. Larvanya memiliki beberapa tahap perkembangan. Larva tahap pertama rhabditoid yang menetas dari telur, berukuran 250-350x17 µm. Larva ini mempunyai buccal canal yang panjang dan genital primordium yang berukuran kecil dan sulit untuk terlihat. Ukuran panjang larva infektif tahap ketigafilariform adalah 580-620 µm. Larva ini memiliki ujung ekor yang membengkok dan rasio panjang esofagus dibandingkan dengan panjang usus adalah 1:4 Ash dan Orihel 1990. Daur Hidup Ancylostoma duodenale old world hookworm dan Necator americanus new world hookworm Telurnya akan dikeluarkan bersama feses dan berkembang di tanah yang kemudian akan berkembang menjadi embrio dan menetas selama kurang lebih sekitar 24 jam. Larva akan mencapai tahap infektif setelah 1 minggu dan dapat menginfeksi tubuh inang melalui mulut atau melalui penetrasi langsung ke kulit. Larva, saat melewati paru-paru tidak akan mengalami perkembangan. Larva akan menjadi dewasa di usus halus. Masa prepatennya adalah 5-6 minggu. Cacing dewasanya dapat hidup setidaknya selama 5-10 tahun Ash dan Orihel 1990.

b. Oesophagostomum sp. Distribusi geografis