rendah, zona waru laut, zona sulatri, zona butun dan ketapang, zona pandan, dan zona bambu Lampiran 2.
Menurut  Asril  et  al.  1991,  suhu  rata-rata  luar  tajuk  sebesar  27°C  dengan kisaran  sebesar  24,3-33  °C  sedangkan  suhu  rata-rata  dalam  tajuk  sebesar  26,8°C
dengan  kisaran  sebesar  24,2-24,8°C.  Kelembaban  udara  rata-rata  di  Pulau  Tinjil 79 dengan kisaran 65-88.
2.1.4 Fauna
Beberapa fauna asli yang ada di Pulau Tinjil adalah dari jenis burung, reptilia, mamalia dan arthropoda. Komposisi jenis burung di Pulau Tinjil terdapat  sekitar
22  jenis  diantaranya  kuntul  karang  Egretasacra,  elang  perut  putih  Haliacetus leucogaster,  mas  Caleonas  nicobarica,  raja  udang  kalung  putih  Haleyon
chloris dan murung madu kuning Nectarina jugularis. Beberapa jenis reptilia di Pulau Tinjil antara lain: biawak Varanus salvator, kadal, ular sanca Phyton sp.,
ular tanah, dan ular hijau. Jenis satwa mamalia yang dapat di jumpai adalah tikus Rattus  sp.  dan  kelelawar.  Hewan  dari  filum  Arthropoda  yang  terdapat  di  pulau
ini  antara  lain:  umang-umang  Pangurus  sp.,  kepiting  tanah  besar  Cardisoma sp., dan beberapa jenis serangga Hermiati et al. 2004.
2.2 Pusat Studi Satwa Primata PSSP di Pulau Tinjil
Bibit  induk  breeders  M.  fascicularis  untuk  Pulau  Tinjil  berasal  dari Sumatera Selatan, Palembang serta Jawa Barat. Sejumlah 520 ekor M. fascicularis
dewasa 58 jantan dan 462 betina dilepaskan di Pulau Tinjil yang pada awalnya tidak dihuni oleh spesies ini, pada bulan Februari 1988 dan Desember 1994 Kyes
et  al.  1998.  Semua  monyet  yang  akan  dilepaskan  melalui  proses  karantina  dan viral  screening  agar  bebas  SRV  termasuk  juga  physical  examination,
pemeriksaan  umur  melalui  erupsi  pada  gigi,  tuberculin  test  serta  pemeriksaan parasit intestinal Pamungkas 1994.
Populasi  monyet  yang  ada  di  Pulau  Tinjil  disensus  secara  periodik  semenjak tahun  1990  Kyes  et  al.  1998.  Data  sensus  tahun  2001  mengindikasikan  ada  42
koloni  yang  tersebar  di  pulau  tersebut  Leeson  2001.  Estimasi  angka  kelahiran sebanyak  60.  Ukuran  populasi  M.  fascicularis  yang  ada  di  Pulau  Tinjil  sekitar
1000-2000  ekor  pada  tahun  2008  Iskandar  E  2008,  komunikasi  pribadi. Penangkapan keturunannya dilakukan secara periodik yang selanjutnya digunakan
untuk penelitian biomedik Cawthon Lang 2006, Kyes et al. 1998.
2.3 Macaca fascicularis 2.3.1 Klasifikasi dan Penyebaran
Klasifikasi  monyet ekor panjang menurut Dolhinow et al. 1999 : Ordo
: Primates Subordo
: Anthropoidea Infraordo
: Catarrhini Superfamili
: Cercopithecoidea Famili
: Cercopithecidae Subfamili
: Cercopithecinae Genus
: Macaca Spesies
: M. fascicularis Raffles 1821 Di  daerah  Indonesia  M.  fascicularis  tersebar    di  Jawa,  Kalimantan,  Sumatra,
dan  Bali.  Satwa  ini  juga  terdapat  di  Brunei,  Kamboja,  Laos,  Malaysia,  Filipina, Thailand, Vietnam, dan Pulau Nicobar Jones 2004.
Gambar 1 M. fascicularis jantan                      Gambar 2 M. fascicularis betina  dan anaknya
Photo by Entang Iskandar Photo by Entang Iskandar
Spesies ini dapat hidup di berbagai tempat sampai dengan ketinggian 2000 m di  atas  permukaan  laut.  Habitat  mereka  meliputi  hutan  primer,  sekunder,  pantai,
mangrove,  rawa  serta  daerah  di  sekitar  aliran  sungai.  Spesies  ini  tidak  takut dengan  air  dan  merupakan  perenang  yang  handal.  M.  fascicularis  dapat  hidup
berdampingan  dengan  manusia  dan  sering  menjarah  hasil  panen  para  petani Nowak 1999, Rowe 1996.
2.3.2 Morfologi
Ciri-ciri  umum  M.  fascicularis  dewasa  adalah  yang  jantan  memiliki  panjang tubuh  antara  49,20-55,80  cm  sedangkan  yang  betina  antara  47,90-49,50  cm.
Ukuran  jantannya  3,15-5,30  kg  lebih  besar  daripada  betinanya  2,80-3,62  kg. Ekornya lebih panjang daripada tubuhnya, sekitar 40-65  cm, karena itulah satwa
ini juga sering disebut monyet ekor panjang Fitriani 1992. Rambut  M.  fascicularis  dewasa  baik  jantan  maupun  betina  berwarna  coklat
keabuan  yang  merata  di  seluruh  tubuhnya  dari  kepala  hingga  ekor,  kecuali  pada bagian  perut  dan  ekstremitas  bagian  dalam  memiliki  warna  yang  lebih  terang.
Rambut  di  atas  kepala  tumbuh  ke  arah  belakang  dan  kadang  berbentuk  jambul. Kulit  yang  berada  dibawah  mata  tidak  berbulu  berbentuk  segitiga,  kemudian
pada  bagian  pipi  terdapat  rambut  yang  mengarah  ke  depan.  Rambut  pipi  pada individu jantan lebih lebat dibanding betina Krisnawan 2000.
2.3.3 Pakan
Spesies ini sering disebut sebagai Crab-eating macaque, yang berarti pemakan kepiting.  Monyet  ekor  panjang  merupakan  hewan  omnivora,  yang  artinya  dapat
memakan  berbagai  macam  hewan,  tumbuhan  dan  berbagai  makanan  yang  lain. Monyet  ekor  panjang  yang  ada  di  Pulau  Tinjil  lebih  menyukai  buah  sebagai
pakannya dibandingkan vegetasi lainnya. Hal tersebut dapat menguntungkan bagi proses  regenerasi  hutan,  karena  satwa  ini  mempunyai  kebiasaan  makan  yang
memungkinkan  penyebaran  suatu  jenis  vegetasi.  Satwa  ini  selalu  mengambil makanan  dari  suatu  sumber  pakan  pohon  pakan,  kemudian  membawa  buah
ataupun  bunga  ke  pohon  lain  dan  memakannya  di  pohon  tersebut.  Pohon  yang satu dengan yang lain kadang-kadang letaknya berjauhan. Makanan yang dibawa
biasanya disimpan terlebih dahulu di dalam kantung pipinya cheek pouch untuk dimakan  kemudian.  Buah  atau  biji  yang  dibawa  sering  jauh  akibat  dari  gerakan
yang  dilakukan  saat  berpindah  dari  satu  pohon  ke  pohon  lain  Bennett  1995, Romauli 1993.
Pakan yang tersedia di Pulau Tinjil sangat beragam Tabel 1. Ficus ampelas merupakan  vegetasi  yang  tersedia  dan  paling  disukai  palatabilitasnya  tinggi
apabila dibandingkan dengan jenis pakan lain Romauli 1993. Tabel 1 Jenis sumber pakan Macaca fascicularis
yang terdapat di Pulau Tinjil
Asal Pakan Jenis Pakan
Alam Buah Ki-ampelas Ficus ampelas
Merbau Intsia amboinensis Kalapari Pongamia pinnata
Kidang Aglaia sp. Daun Peuris Antidesma montatum
Bayur Pteropermum javanicum Binar Ochocarpus ovaliifolius
Sulatri Callophylum soulatrii Pandan Pandanus tectorius
Hanjuang Cordyline fruticosa Waru laut Hibiscus tiliaceus
Butun Barringtonia asiatica Ketapang Terminalia catappa
Jambu mawar Syzygium jambos Mengkudu Ixora simularensis
Melinjo Gnetum gnemon Tambahan
Pisang Jagung
Sumber: Anggraeni 2003
2.3.4 Wilayah Jelajah dan Kepadatan Populasi
Wilayah  jelajah  dapat  diartikan  sebagai  wilayah  yang  dikunjungi  satwaliar dalam  aktivitas  hariannya  yang  normal.  Wilayah  jelajah  dapat  bervariasi  sesuai
dengan keadaan sumberdaya lingkungannya, semakin baik kondisi lingkungannya semakin sempit ukuran wilayah jelajahnya Alikodra 1990.
Menurut  Leeson  2001,  kepadatan  populasi  Macaca  fascicularis  di  Pulau Tinjil  adalah  sebesar  259  ekorkm
2
dengan  kepadatan  kelompok  sebesar  4,7 kelompokkm
2
. Jumlah tersebut lebih tinggi daripada kepadatan populasi di hutan primer  30  ekorkm
2
dan  sekunder  40  ekorkm
2
.  Hal  ini  dapat  disebabkan
adanya perlakuan penambahan pakan sehingga kematian akibat persaingan dalam mendapatkan pakan dapat berkurang Fadilah 2003, Nowak 1999.
2.3.5 Tingkah Laku
Tingkah  laku  pada  satwa  primata  biasanya  dilihat  sebagai  model  untuk tingkah laku manusia yang lebih sederhana. Hal ini ditunjang dengan masa hidup
yang  lebih  singkat  pada  satwa  primata  dibandingkan  dengan  manusia,  sehingga lebih mudah dilakukan penelitian Nelson dan Jurmain 1988. Komunikasi antara
satwa  primata  dapat  dilakukan  dengan  berbagai  cara  yaitu  bersuara, ekspresimimik  muka  dan  isyarat  tubuh.  Satwa  primata  yang  subordinate  akan
menunjukkan  bagian  belakang  tubuh  kepada  satwa  yang  dominan,  sedangkan tingkah  laku  menggoyangkan  cabang  atau  pohon  menandakan  sikap  agresif
Smith dan Mangkoewidjojo 1987. Wheatley  1980  mengklasifikasikan  tingkah  laku  monyet  ke  dalam  aktivitas
makan, berpindah, istirahat, berkelahi, merawat diri groom, dan kopulasi. Makan adalah  aktifitas  yang  meliputi  memungut  pakan  dan  prosesnya,  dimulai  dari
mengumpulkan, mengunyah makanan yang dilakukan pada pohon yang sama dan diakhiri  sampai  ketika  satwa  berhenti  makan.  Istirahat  adalah  aktifitas  selain
makan  dan  berpindah,  kadang-kadang  terdapat  tingkah  laku  merawat  diri. Berkelahi  adalah  aktifitas  yang  ditandai  dengan  ancaman  mimik  muka  atau
gerakan  badan,  menyerang  dan  memburu  lawannya,  baku  hantam  dan  diakhiri dengan  kekalahan  lawannya.  Merawat  diri  grooming  adalah  tingkah  laku
membersihkan  atau  memungut  sesuatu  seperti  kotoran-kotoran,  serpihan  kulit mati,  dan  ektoparasit,  dari  rambut  satwa  lain  atau  pun  pada  dirinya  sendiri.
Tingkah  laku  ini  termasuk  tingkah  laku  yang  jarang  dilakukan  tetapi membutuhkan  waktu  cukup  lama  dalam  aktivitasnya.  Grooming  seringkali
dilakukan  pada  saat  beristirahat.  Perilaku  ini  tidak  hanya  untuk  membersihkan badan,  akan  tetapi  juga  sebagai  sarana  untuk  menjalin  hubungan  sosial  antar
individu  dalam  kelompok,  misalnya  induk  menenangkan  anaknya  dengan membersihkannya  serta  sebagai  pendahuluan  dari  proses  perkawinan  Anggraeni
2003, Iskandar 1993, Rowe 1996.
Monyet  jantan  dewasa  yang  melakukan  self  grooming  merawat  diri  sendiri dan  allogroming  merawat  diri  individu  lain  apabila  mendapatkan  ektoparasit
maka akan diambil lalu dibuang ataupun dimakan. Pengambilan ektoparasit dapat dilakukan dengan tangan ataupun dengan mulut Anggraeni 2003, Goosen 1987.
2.4 Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata
Cacing  yang  dapat  menginfeksi  satwa  primata  adalah  dari  jenis  trematoda, nematoda dan cestoda.
Tabel 2 Jenis cacing saluran pencernaan satwa primata No.   Jenis Cacing Parasit  S  Spesies Satwa Primata
Sumber Trematoda
1.  Schistosoma sp. Baboon
1,3 Nematoda
1.  Ascaris Rhesus monkey, Lagothric
lagothrica 7, 11
2.  Trichuris sp. Rhesus monkey, Mandrillus
sphinx, Colobus guereza 6,11,12
3.  T. trichiura Simian primates
13 4.  Strongyloides
fulleborni Rhesus monkey, Colobines
2, 5, 6, 11, 12
5.  Hookworm Cercopithecus aethiops sabaeus,
Macaca nigra, Macaca tonkeana 3, 10
6.  Trichostrongylus Rhesus monkey
11 7.  Trypanoxyuris
Allouatta pigra 14
8.  Mammomonogamus Mandrillus sphinx, Orangutan
10, 12 9.  Oesophagostomum
Baboon, Colobines 1, 2
10.  O. aculeatum Macaca
13 11.  O. bifurcatum
Macaca 13
12.  O. stephanostomum Macaca, Gorilla, Simpanse
13 13.  Enterobius sp.
Baboon, Orangutan 1, 2, 9
Cestoda 1.  Hymenolepis sp.
Chimpanzee, Aotus vosiferans, Rhesus monkey, Squirrel monkey
4, 9
1. Appleton and Henzi 1993; 2. Chapman et al. 2005; 3. Engel et al. 2004; 4. Joslin 2003;  5.  Knezevich  1998;  6.  Melfi  and  Poyser  2007;  7.  Michaud  et  al.  2003;
8. Muehlenbein 2005; 9. Mul et al. 2007; 10. Mutani et al. 2003; 11. Phillippi and Clarke 1992; 12. Setchell et al. 2007; 13. Soulsby 1982; 14. Vitazkova and Wade
2007
Infeksi  cacing  saluran  pencernaan  terjadi  karena  adanya  sumber  infeksi  dan inang  yang  peka  pada  suatu  tempat  dan  waktu  tertentu.  Infeksi  cacing  saluran
pencernaan pada satwa liar, khususnya satwa primata di free ranging area dapat dengan  mudah  terjadi  akibat  feses  yang  tersebar  dimana-mana.  Feses  dapat
berasal dari spesies yang sama ataupun dari manusia. Hal ini dapat dengan mudah terjadi  karena  adanya  habitat  yang  sama  ataupun  adanya  invasi  oleh  manusia  ke
habitat  satwa  primata.  Inang  yang  rentan  terhadap  infeksi  cacing  saluran pencernaan  dapat  dibedakan  berdasarkan  umur,  jenis  kelamin  dan  status  sosial
dominan,  subordinate  di  dalam  kelompok.  Status  fisiologis  dapat  pula mendukung  terjadinya  infeksi,  misalnya  betina  dalam  masa  laktasi,  gestasi  dan
bersiklus Morgan et al. 1960, Cowlishaw et al. 2000, Phillippi 1992, Stuart dan Strier 1995.
2.4.1 Schistosoma japonicum
Distribusi geografis
Cacing  ini  ditemukan  di  Asia  Timur,  Asia  Tenggara  seperti  RRC,  Jepang, Filipina,  Muangthai,  Taiwan,  Malaysia,  dan  Indonesia.  Penyebarannya  di
Indonesia adalah di Sulawesi Tengah yaitu di sekitar Danau Lindu dan Lembah Napu Kusumamihardja 1995, Onggowaluyo 2001.
Morfologi
Cacing  jantan  panjangnya  9,5-20  mm  dan  diameternya  0,55-0,967  mm. Cacing  betina  panjangnya  12-26  mm  dan  diameternya  0,3  mm.  Cacing  ini
memiliki  batil  hisap  yang  terletak  dekat  ujung  anterior  dan  sangat  berdekatan satu sama lain. Cacing dewasa kulit tubuhnya halus, pada bagian batil hisap dan
gynaecophoric  canal  ditutupi  duri-duri  halus,  tidak  mempunyai  tuberkel  dan bersifat  gonokoristik,  walaupun  dalam  tubuh  inang  sering  ditemukan
berpasangan  cacing  betina  didalam  gynaecophoric  canal.  Esofagus  pada cacing dewasanya dikelilingi oleh sekelompok kelenjar dan bercabang di depan
alat  penghisap  ventral  serta  bersatu  kembali  dalam  kuartir  terakhir.  Testisnya terdiri dari 6-8 yang tersusun secara longitudinal, berada di belakang dari lubang
genital,  yang  terbuka  tepat  di  posterior  dari  batil  hisap  ventral.  Ovariumnya terletak  di  belakang  dari  pertengahan  tubuh  dan  kelenjar  vitelin  memenuhi
seperempat  bagian  posterior  Kusumamihardja  1995,  Onggowaluyo  2001, Soulsby 1982.
Telur  berbentuk  bulat,  berwarna  kuning  atau  kuning  kecoklatan,  terdapat duri  kecil  di  bagian  lateral  atau  bentukan  seperti  kait.  Duri  atau  kait  ini  tidak
selalu  terlihat  saat  pemeriksaan.  Hal  ini  dapat  terjadi  karena  tertutup  oleh kotoran tinja serta saat pemeriksaan duri atau kait ini berada di sisi yang berbeda
Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001.
Daur Hidup
Cacing  dewasa  terdapat  pada  cabang  mesenterika  superior  usus  halus manusia,  sapi,  kerbau,  domba,  anjing,  tikus,  dan  lain-lain.  Telur  yang
dikeluarkan  cacing  betina  di  dalam  usus  menembus  jaringan  submukosa  dan mukosa kemudian masuk ke dalam lumen usus dan keluar bersama tinja. Telur
yang berenang di dalam air tawar menetas dan membebaskan mirasidium yang berenang  aktif.    Mirasidium  mencari  inang  antara  Onchomellania  hupensis
yang  sesuai  dan  menembus  jaringan  lunak  pada  siput  tersebut.  Mirasidium tersebut  selanjutnya  berkembang  menjadi  sporokista  I  dan  sporokista  II,
kemudian menjadi larva yang ekornya bercabang serkaria. Mirasidium tunggal dapat memproduksi beberapa ribu serkaria. Serkaria ini meninggalkan siput, dan
berenang  di  air.  Infeksi  pada  inang  definitif  dapat  terjadi  melalui  penetrasi serkaria  secara  aktif  pada  kulit,  yang  kemudian  akan  menuju  jaringan  kapiler
dan  selanjutnya  berturut-turut  masuk  ke  dalam  sirkulasi  vena,  jantung  kanan, paru-paru,  jantung  kiri,  dan  ke  sirkulasi  sistemik  viseral  hingga  menjadi
dewasa.  Infeksi  pada  inang  dapat  bertahan  dalam  jangka  waktu  lama,  yaitu mencapai 27 tahun Kusumamihardja 1995, Levine 1990, Onggowaluyo 2001.
2.4.2 Hymenolepis diminuta
Distribusi geografis
Cacing  ini  tersebar  di  seluruh  dunia  kosmopolit,  termasuk  Indonesia Ash dan Orihel 1990.
Morfologi
Cacing dewasanya berukuran 10-60x0,3-0,5 cm, mempunyai 4 batil hisap berbentuk  seperti  gada,  serta  memiliki  rostelum  apikal  yang  rudimenter  dan
tidak berkait.  Lebar proglotidnya lebih panjang daripada panjang proglotidnya. Proglotid dewasa berbentuk trapesium, mengandung tiga testes, sebuah ovarium
berlobus dua dan sebuah porus genitalis pada satu sisi unilateral yang terletak di  tepi  lateral  proglotid.  Proglotid  matang  gravid  mengandung  uterus
berbentuk  kantong,  melintang  dan  penuh  berisi  telur  Ash  dan  Orihel  1990, Onggowaluyo 2001.
Telurnya  berbentuk  bulat  atau  oval  dan  umumnya  berwarna  kuning.  Telur ini  juga  memiliki  dinding  luar  yang  tebal,  dinding  dalam  yang  transparan  dan
pada kedua kutubnya menebal tidak mengeluarkan filamen. Dinding dalamnya mengelilingi  oncospher  yang  mempunyai  enam  kait.  Ruangan  antar  membran
umumnya  terlihat  halus  atau  sedikit  bergranul  Anonim  2008,  Ash  dan  Orihel 1990, Onggowaluyo 2001.
Daur Hidup
Telur yang terdapat dalam tinja tercerna di dalam inang antara yang berupa arthropoda.  Inang  antara  utama  adalah  larva  pinjal  tikus  dan  mencit,  serta
kumbang tepung dewasa. Contoh inang antara lainnya adalah lipas, Myriapoda, kumbang dan Lepidoptera. Oncospher berkembang di dalam tubuh inang antara
menjadi tahap larva yaitu sistiserkoid yang selanjutnya dapat menginfeksi inang definitif.  Infeksi  langsung  terjadi  akibat  dari  telur  tanpa  adanya  peran  inang
perantara, seperti yang terjadi pada H. nana tidak mungkin terjadi. Waktu yang dibutuhkan dari tahap larva sampai menjadi cacing dewasa adalah tiga minggu
Ash dan Orihel 1990.
2.4.3 Ascaris lumbricoides
Distribusi geografis
Cacing  ini  tersebar  di  seluruh  dunia  kosmopolit.  Penyebarannya  terutama di daerah tropis yang tingkat kelembabannya tinggi Kusumamihardja 2002.
Morfologi
Cacing dewasanya berbentuk silindrik. Bagian anterior dilengkapi oleh tiga buah  bibir  triplet  yang  tumbuh  dengan  sempurna.  Cacing  betina  panjangnya
20-35  cm,  sedangkan  yang  jantan  panjangnya  15-31  cm.  Ujung  posterior  pada cacing jantan, lancip dan melengkung ke arah ventral, dilengkapi papil kecil dan
dua  buah  spekulum  berukuran  2  mm.  Cacing  betina  memiliki  ujung  posterior yang  membulat  dan  lurus,  dan  13  dari  anterior  tubuhnya  terdapat  cincin
kopulasi.  Tubuh  cacing  A.  lumbricoides  ini  berwarna  putih  sampai  kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula  yang bergaris halus Ash dan
Orihel 1990, Onggowaluyo 2001. Telurnya  memiliki  empat  bentuk,  yaitu  tipe  dibuahi  fertilized,  tidak
dibuahi  unfertilized,  matang,  dan  dekortikasi.  Telur  yang  dibuahi  berbentuk bulat  atau  ovoid,  berwarna  coklat  atau  kuning  kecoklatan,  memiliki  dinding
tebal  yang  terdiri  dari  dua  lapis.  Lapisan  luarnya  terdiri  dari  jaringan albuminoid,  sedangkan  lapisan  dalamnya  terlihat  jernih.  Lapisan  luarnya
memiliki  tonjolan  mammilated  layerprominent  projection  yang  jelas.  Telur yang tidak dibuahi berbentuk lonjong terkadang ada yang berbentuk triangular
atau  bentuk  seperti  ginjal  dan  biasanya  lebih  panjang  daripada  tipe  yang dibuahi  serta  memiliki  dinding  luar  yang  lebih  tipis.  Isi  telur  berupa  massa  sel
telur. Telur matang  yang berisi larva atau embrio akan menjadi infektif setelah berada ditanah kurang lebih selama tiga minggu. Telur dekortikasi adalah telur
yang tidak mengalami pembuahan tetapi lapisan luarnya albumin sudah hilang Anonim 2008, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982.
Daur Hidup
Telur  yang  tidak  berembrio  pada  tinja  inang  mengalami  perkembangan  di tanah  selama  dua  sampai  tiga  minggu  kemudian  berkembang  menjadi  telur
infektif  mengandung  larva  stadium  kedua.  Larva  dapat  keluar  dari  telur apabila  tercerna  di  usus  halus,  kemudian  larva  menembus  dinding  usus  halus
menuju  pembuluh  darah  atau  saluran  limpa  kemudian  terbawa  oleh  darah sampai  ke  jantung  menuju  paru-paru.  Larva  di  paru-paru  menembus  dinding
alveolus, masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Larva kemudian menuju ke  faring  yang  dapat  menimbulkan  iritasi.  Penderita  akan  batuk  karena  adanya
rangsangan larva ini. Larva di faring akan tertelan, kemudian menuju usus halus setelah  mencapai  ukuran  1  mm,  dan  menjadi  dewasa.  Waktu  yang  dibutuhkan
dari  mulai  telur  matang  tertelan  sampai  dengan  menjadi  cacing  dewasa  adalah sekitar dua bulan Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001.
2.4.4 Enterobius vermicularis Distribusi geografis
Cacing  ini  tersebar  luas  di  seluruh  dunia,  baik  di  daerah  tropis  maupun subtropis Onggowaluyo 2001.
Morfologi
Panjang  cacing  jantan  2-5  mm  dan  lebarnya  0,1-0,2  mm  dengan  spikulum tunggal yang ramping mencapai panjang 75-80 µm. Panjang cacing betina 8-13
mm dan lebar 0,3-0,5 mm dengan  ekor  yang runcing dengan panjang sekitar 2 mm Ash dan Orihel 1990, Levine 1990.
Telurnya  berbentuk  lonjong,  asimetris,  dan  salah  satu  sisi  dindingnya mendatar sedangkan sisi lainnya berbentuk konvek. Dinding telurnya jernih dan
tipis.  Telur  cacing  jenis  ini  sebagian  besar  telah  berembrio  saat  dikeluarkan Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Levine 1990.
Daur Hidup
Cacing  jantan  umurnya  lebih  pendek  daripada  cacing  betina  karena  cacing jantan akan mati setelah membuahi cacing betina. Proses kopulasi cacing jantan
dan  betina  terjadi  di  daerah  sekum.  Cacing  betina  akan  bergerak  ke  anus  pada waktu  malam  dan  bertelur  di  bagian  perianal  dan  perineum.  Waktu  yang
diperlukan  dari  telur  yang  berembrio  sampai  menjadi  bentuk  infektif  adalah sekitar  4-6  jam  atau  sekitar  2  hari  pada  24-25°C.  Transmisi  infeksi  dari  telur
biasanya  dapat  terjadi  secara  langsung  ke  mulut  oleh  tangan.  Parasit  ini berkembang  di  saluran  intestinal  bagian  bawah  dan  memiliki  periode  prepaten
36-53  hari.  Cacing  dewasa  parasit  ini  biasanya  dapat  hidup  selama  beberapa bulan Ash dan Orihel 1990, Levine 1990.
2.4.5 Strongylid hookworm
Strongylid  yang  dapat  menginfeksi  satwa  primata  terdiri  dari  tiga  spesies spesies  cacing  yaitu  Ancylostoma  duodenale  old  world  hookworm,  Necator
americanus new world hookworm, Oesophagostomum sp.
a. Ancylostoma duodenale old world hookworm dan Necator americanus  new world hookworm
Bagian  anterior  cacing  dewasa  memiliki  kapsula  bukal.  Telur  pada  kedua spesies  ini  memiliki  selubung  yang  tipis,  tidak  berwarna  serta  berbentuk  oval
atau elips Levine 1990.
a1. Ancylostoma duodenale old world hookworm Distribusi geografis
Cacing  ini  tersebar  secara  kosmopolitan,  diantaranya  ditemukan  di  Eropa bagian  selatan,  bagian  utara  Afrika,  Cina,  India,  dan  Jepang.  Penyebarannya
juga  terjadi  secara  sporadis  di  beberapa  daerah  lain  Ash  dan  Orihel  1990, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982.
Morfologi
Cacing  jantan  dewasa  memiliki  panjang  8-11  mm  dan  lebar  0,4-0,5  mm, terdapat  bursa  dengan  dua  spikula  yang  tidak  menyatu  pada  bagian  distal.
Cacing  betinanya  berukuran  10-13x0,5-0,7  mm.  Kapsula  bukal  berisi  dua pasang  gigi  ventral  yang  berkembang  baik  dan  sepasang  gigi  dorsal
dikedalamannya Ash dan Orihel 1990, Levine 1990. Larvanya  memiliki  beberapa  tahap  perkembangan.  Larva  tahap  pertama
rhabditoid  yang  menetas  dari  telur,  berukuran  250-350x17  µm.  Larva  ini mempunyai buccal canal yang panjang dan genital primordium yang berukuran
kecil.  Ukuran  panjang  larva  infektif  tahap  ketigafilariform  adalah  625-675 µm.  Larva  ini  memiliki  ujung  ekor  yang  membengkok  dan  rasio  panjang
esofagus dibandingkan dengan panjang usus adalah 1:4 Ash dan Orihel 1990.
a2. Necator americanus new world hookworm Distribusi geografis
Cacing  ini  tersebar  di  belahan  bumi  bagian  barat,  Afrika  Tengah  dan Selatan, Asia Selatan, Pasifik Selatan, dan India Ash dan Orihel 1990.
Morfologi
Cacing  jantan  dewasa  memiliki  panjang  7-9  mm  dan  lebar  0,3  mm  dan memiliki  bursa  dengan  dua  spikula  yang  menyatu  pada  bagian  distal.  Cacing
betinanya berukuran 9-11x0,4 mm. Kapsula bukal agak bulat, dengan lempeng
pemotong  ventral  semiluner  pada  tepinya,  dua  lancet  segitiga,  dan  dua  lanset subdorsal  lateral  di  dalamnya.  Telur  ini  saat  dikeluarkan  bersama  feses
biasanya  baru  mengalami  pembelahan  awal  Ash  dan  Orihel  1990,  Levine 1990.
Larvanya    memiliki  beberapa  tahap  perkembangan.  Larva  tahap  pertama rhabditoid  yang  menetas  dari  telur,  berukuran  250-350x17  µm.  Larva  ini
mempunyai buccal canal yang panjang dan genital primordium yang berukuran kecil  dan  sulit  untuk  terlihat.  Ukuran  panjang  larva  infektif  tahap
ketigafilariform  adalah  580-620  µm.  Larva  ini  memiliki  ujung  ekor  yang membengkok  dan  rasio  panjang  esofagus  dibandingkan  dengan  panjang  usus
adalah 1:4 Ash dan Orihel 1990.
Daur  Hidup  Ancylostoma  duodenale  old  world  hookworm  dan  Necator americanus new world hookworm
Telurnya  akan  dikeluarkan  bersama  feses  dan  berkembang  di  tanah  yang kemudian  akan  berkembang  menjadi  embrio  dan  menetas  selama  kurang  lebih
sekitar 24 jam. Larva akan mencapai tahap infektif setelah 1 minggu dan dapat menginfeksi tubuh inang melalui mulut atau melalui penetrasi langsung ke kulit.
Larva,  saat  melewati  paru-paru  tidak  akan  mengalami  perkembangan.  Larva akan  menjadi  dewasa  di  usus  halus.  Masa  prepatennya  adalah  5-6  minggu.
Cacing  dewasanya  dapat  hidup  setidaknya  selama  5-10  tahun  Ash  dan  Orihel 1990.
b. Oesophagostomum sp. Distribusi geografis