Schistosoma japonicum Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata

pencernaan pada satwa liar, khususnya satwa primata di free ranging area dapat dengan mudah terjadi akibat feses yang tersebar dimana-mana. Feses dapat berasal dari spesies yang sama ataupun dari manusia. Hal ini dapat dengan mudah terjadi karena adanya habitat yang sama ataupun adanya invasi oleh manusia ke habitat satwa primata. Inang yang rentan terhadap infeksi cacing saluran pencernaan dapat dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin dan status sosial dominan, subordinate di dalam kelompok. Status fisiologis dapat pula mendukung terjadinya infeksi, misalnya betina dalam masa laktasi, gestasi dan bersiklus Morgan et al. 1960, Cowlishaw et al. 2000, Phillippi 1992, Stuart dan Strier 1995.

2.4.1 Schistosoma japonicum

Distribusi geografis Cacing ini ditemukan di Asia Timur, Asia Tenggara seperti RRC, Jepang, Filipina, Muangthai, Taiwan, Malaysia, dan Indonesia. Penyebarannya di Indonesia adalah di Sulawesi Tengah yaitu di sekitar Danau Lindu dan Lembah Napu Kusumamihardja 1995, Onggowaluyo 2001. Morfologi Cacing jantan panjangnya 9,5-20 mm dan diameternya 0,55-0,967 mm. Cacing betina panjangnya 12-26 mm dan diameternya 0,3 mm. Cacing ini memiliki batil hisap yang terletak dekat ujung anterior dan sangat berdekatan satu sama lain. Cacing dewasa kulit tubuhnya halus, pada bagian batil hisap dan gynaecophoric canal ditutupi duri-duri halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonokoristik, walaupun dalam tubuh inang sering ditemukan berpasangan cacing betina didalam gynaecophoric canal. Esofagus pada cacing dewasanya dikelilingi oleh sekelompok kelenjar dan bercabang di depan alat penghisap ventral serta bersatu kembali dalam kuartir terakhir. Testisnya terdiri dari 6-8 yang tersusun secara longitudinal, berada di belakang dari lubang genital, yang terbuka tepat di posterior dari batil hisap ventral. Ovariumnya terletak di belakang dari pertengahan tubuh dan kelenjar vitelin memenuhi seperempat bagian posterior Kusumamihardja 1995, Onggowaluyo 2001, Soulsby 1982. Telur berbentuk bulat, berwarna kuning atau kuning kecoklatan, terdapat duri kecil di bagian lateral atau bentukan seperti kait. Duri atau kait ini tidak selalu terlihat saat pemeriksaan. Hal ini dapat terjadi karena tertutup oleh kotoran tinja serta saat pemeriksaan duri atau kait ini berada di sisi yang berbeda Anonim 2008, Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo 2001. Daur Hidup Cacing dewasa terdapat pada cabang mesenterika superior usus halus manusia, sapi, kerbau, domba, anjing, tikus, dan lain-lain. Telur yang dikeluarkan cacing betina di dalam usus menembus jaringan submukosa dan mukosa kemudian masuk ke dalam lumen usus dan keluar bersama tinja. Telur yang berenang di dalam air tawar menetas dan membebaskan mirasidium yang berenang aktif. Mirasidium mencari inang antara Onchomellania hupensis yang sesuai dan menembus jaringan lunak pada siput tersebut. Mirasidium tersebut selanjutnya berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II, kemudian menjadi larva yang ekornya bercabang serkaria. Mirasidium tunggal dapat memproduksi beberapa ribu serkaria. Serkaria ini meninggalkan siput, dan berenang di air. Infeksi pada inang definitif dapat terjadi melalui penetrasi serkaria secara aktif pada kulit, yang kemudian akan menuju jaringan kapiler dan selanjutnya berturut-turut masuk ke dalam sirkulasi vena, jantung kanan, paru-paru, jantung kiri, dan ke sirkulasi sistemik viseral hingga menjadi dewasa. Infeksi pada inang dapat bertahan dalam jangka waktu lama, yaitu mencapai 27 tahun Kusumamihardja 1995, Levine 1990, Onggowaluyo 2001.

2.4.2 Hymenolepis diminuta