Kebijakan Perberasan Era Sesudah Krisis Ekonomi 1998 - Sekarang

89

4.4.2. Kebijakan Perberasan Era Sesudah Krisis Ekonomi 1998 - Sekarang

Jauh sebelum krisis, kebijakan pemerintah sebenarnya sangat mendukung perberasan nasional. Instrumen yang dibentuk adalah penetapan dan pengendalian harga dasar gabah yang setiap tahun disesuaikan dengan masukan, inflasi dan faktor lainnya. Badan Urusan Logistik Bulog dibentuk untuk mengamankan harga dasar gabah dan stabilitas domestik. Bulog juga diberi hak monopoli impor mengadakan pangan sejak tahun 1970-an. Dengan kebijaksanaan ini, ekonomi perberasan dalam negeri ditangkal dari gejolak perubahan global. Sejak tahun 1998, kebijakan perberasan Indonesia mengalami perubahan drastis. Seluruh instrumen pendukung kecuali harga dasar telah dihapus oleh pemerintah. Unsur-unsur penopang yang telah hilang tersebut adalah: a insulasi pasar domestik dari pasar internasional, dengan dicabutnya monopoli impor beras yang selama ini dimiliki oleh Bulog disubstitusi dengan kebijakan tarif impor beras, b captive market bagi beras Bulog yang berupa catu beras bagi PNS, sehingga outlet bagi beras Bulog menjadi terbatas, c dihapuskannya dana KLBI bagi Bulog dan Koperasi untuk pembelian gabahberas petani, sehingga Bulog harus beroperasi dengan dana komersial dan d dihapuskannya beberapa subsidi input, terakhir adalah dicabutnya subsidi pupuk dan distribusinya diserahkan kepada mekanisme pasar Pambudy et al., 2002. Untuk memperbaiki kebijakan perberasan nasional tersebut, pemerintah menerbitkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Inpres No. 9 Tahun 2001 yang diperbaharui lagi dengan Inpres No. 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan. Isi inpres tersebut antara lain: 1 memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional, 2 memberikan dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, 3 melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh pemerintah, 4 menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan perlindungan kepada petani dan konsumen dan 5 memberikan jaminan bagi persediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan Nainggolan, 2006. 90 Seiring dengan perkembangan yang terjadi, pemerintah pun melakukan dua kali penerbitan Inpres Perberasan Nasional sepanjang tahun 2005. Inpres yang pertama adalah Inpres No. 2 Tahun 2005, yang merupakan penyempurnaan kebijakan perberasan menuju kebijakan perberasan yang lebih komprehensif dan terintegrasi. Dalam Inpres ini tidak digunakan lagi istilah harga dasar pembelian pemerintah HDPP tetapi diubah menjadi harga pembelian pemerintah HPP. Melalui Inpres ini pemerintah juga berupaya keras memperbesar volume pengadaan gabah dalam negeri melalui jalur lembaga usaha ekonomi pedesaan LUEP yang dimulai sejak 2 tahun terakhir Nainggolan, 2006. Inpres yang kedua adalah Inpres No. 13 tahun 2005, yang merupakan respon dari adanya kenaikan harga BBM yang kedua tahun 2005. Pada prinsipnya, inpres tersebut sama dengan Inpres No. 2 Tahun 2005 tetapi dengan penyesuaian harga gabah dan beras, serta penyesuaian mutu beras. Secara umum dapat dikatakan bahwa Inpres ini merupakan bentuk dukungan kebijakan untuk meningkatkan pendapatan petani padi. Inpres yang terbaru adalah Inpres No 3 Tahun 2007 yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2007. Melalui inpres ini pemerintah memutuskan menaikkan Harga Pembelian Pemerintah HPP untuk gabah dan beras. Harga gabah kering panen GKP di tingkat petani naik sebesar 17.65 persen dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.000 per kilogram gabah. Gabah kering giling GKG naik sebesar 14.4 persen dari Rp 2.250 menjadi Rp 2.575 per kilogram dan beras naik dari Rp 3.550 menjadi Rp 4.000 per kilogram di gudang Bulog Sekretariat Kabinet RI, 2007. Inpres No 3 Tahun 2007 merupakan bentuk kebijakan harga dan non harga dari pemerintah yang diharapkan menjadi salah satu instrumen mensejahterakan petani. Kebijakan non harga pada Inpres No 3 ini antara lain: 1. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan benih padi unggul bersertifikat. 2. Mendorong dan memfasilitasi penggunaan pupuk berimbang dalam usahatani padi. 3. Mendorong dan memfasilitasi pengurangan kehilangan pasca panen. 4. Memfasilitasi pengurangan penurunan luas lahan sawah irigasi teknis. 5. Memfasilitasi rehabilitasi lahan dan penghijauan daerah tangkapan air dan rehabilitasi jaringan irigasi usahatani. 91 Dalam operasionalnya, pemerintah memerlukan instrumen-instrumen kebijakan yang dirumuskan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Berikut ini operasionalisasi kebijakan sesuai dengan tujuan yang dimaksud Suryana dan Hermanto, 2004:

4.4.2.1. Peningkatan Produktivitas dan Produksi Padi

Instrumen kebijakan untuk memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan beras nasional meliputi: 1. Pengembangan infrastruktur untuk mendukung usahatani padi. Realisasinya adalah telah dialokasikannya dana sekitar Rp 2 triliun pada tahun anggaran 2003 kepada Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Dana ini digunakan untuk investasi pembangunan prasarana irigasi terutama di luar Jawa, sedangkan di Jawa kegiatan investasi pembangunan irigasi lebih diprioritaskan pada upaya rehabilitasi dan pemeliharaan sarana irigasi yang telah ada. 2. Peningkatan akses petani terhadap sarana petani dan sumber permodalan. Dalam rangka memberikan dukungan permodalan bagi petani padi, pemerintah telah meyalurkan kredit ketahanan pangan KKP, yang merupakan kredit komersial dengan plafon kredit sekitar Rp 2 triliun. 3. Peningkatan mutu intensifikasi usahatani padi dengan menggunakan teknologi maju. Untuk memberikan insentif berproduksi bagi petani dalam rangka mendukung program intensifikasi usahatani padi, pemerintah memberikan subsidi pupuk dan benih sekitar satu triliun rupiah pada tahun anggaran 2002. 4. Ekstensifikasi lahan pertanian di lahan kering, rawa, pasang surut, lebak dan daerah bukaan baru. 5. Peningkatan akses petani terhadap sarana pengolahan pascapanen dan pemasaran. Untuk menekan kehilangan pascapanen, pemerintah berupaya meningkatkan akses petani terhadap sarana dan teknologi pascapanen. Peningkatan akses ini diharapkan dapat menurunkan kehilangan hasil dan memperbaiki kualitas gabahberas dalam negeri. 92

4.4.2.2. Diversifikasi Usaha di Pedesaan

Penerapan kebijakan ini dilakukan dengan mempromosikan diversifikasi usahatani padi di pedesaan secara berkelanjutan, diantaranya melalui program diversifikasi pada tingkat usahatani on-farm diversification, diversifikasi usaha yang terkait dengan usahatani off-farm diversification dan diversifikasi menurut wilayah pengembangan agroekosistem membentuk kawasan agribisnis unggulan regional diversification. Instrumen untuk mendukung kebijakan ini adalah dengan terus menerus mengupayakan penyaluran kredit agribisnis dengan bunga bersubsidi sehingga petani dan lembaga usaha di pedesaan dapat melakukan investasi dalam bidang agribisnis dan agroindustri.

4.4.2.3. Stabilitas Harga Gabah Petani

Stabilitas harga gabah pada tingkat harga yang wajar diperlukan untuk memberikan insentif bagi petani guna meningkatkan produktivitas dan produksi padi, sehingga secara langsung ataupun tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan petani serta meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga, lokal dan nasional. Inpres No. 9 Tahun 2002, No. 2 Tahun 2005, No. 13 Tahun 2005 serta No.3 Tahun 2007 merupakan perwujudan dari keberpihakan pemerintah kepada petani. Melalui Inpres ini pemerintah menaikkan HPP untuk GKG secara periodik disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Kebijakan HPP ini bertujuan agar petani padi menerima harga gabah yang layak, sehingga mereka menerima insentif untuk meningkatkan produktivitas.

4.4.2.4. Kebijakan Impor Beras dan Tarif

Kebijakan impor beras yang dilakukan oleh Bulog ini dilakukan untuk menjaga stok pangan nasional dan stabilitas harga beras di dalam negeri. Kebijakan pengaturan impor yang dirumuskan berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 9MPPKepI2004 merupakan alternatif dari kebijakan tarif. Secara umum, keputusan tersebut mengatur: 1 pelarangan impor beras 1 bulan sebelum dan 2 bulan sesudah panen raya sehingga beras impor dilarang masuk ke wilayah Indonesia pada bulan Januari – Juni dan 2 pada periode di luar panen raya, beras impor dapat masuk dengan pengaturan jumlah, tempat pelabuhan, kualitas dan waktu. 93 Kebijakan tarif ini tercantum dalam Inpres No 9 Tahun 2002 yang dilakukan dalam rangka melindungi petani dari dampak negatif perdagangan bebas untuk komoditi beras. Dalam pelaksanaannya, Departemen Pertanian secara terus menerus berupaya untuk menyesuaikan tarif bea masuk beras hingga mencapai tarif yang paling optimal. Kebijakan penyesuaian tarif ini merupakan pilihan terbaik dari berbagai kebijakan perdagangan yang ada karena kebijakan ini tidak terlalu mendistorsi pasar dan menimbulkan dampak yang dapat diperhitungkan sebelumnya.

4.4.2.5. Kebijakan Jaminan Sosial Pangan

Kebijakan jaminan sosial pangan ini dituangkan dalam program distribusi beras murah kepada rumah tangga miskin melalui program Raskin distribusi beras bersubsidi kepada kelompok masyarakat miskin. Kebijakan untuk memberikan perlindungan bagi konsumen, terutama bagi golongan masyarakat berpendapatan rendah dan rawan pangan ini tercantum dalam Inpres No. 9 Tahun 2002 dan Inpres No 3 Tahun 2007.

4.5. Keragaan Pasar Beras Dunia