109
Secara statistik hasil dari analisis keberlanjutan ketersediaan beras dimensi sosial budaya tingkat nasional dan regional menunjukkan nilai Stress sebesar
0.128 dan 0.137 0.25 dan koefisien determinasi R
2
sebesar 0.940 dan 0.932 yang mendekati 1 Tabel 33. Dengan demikian dari kedua parameter ini
menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan dalam analisis dimensi keberlanjutan ketersediaan beras dimensi sosial budaya di tingkat nasional dan
regional cukup baik dalam menerangkan sistem ketersediaan beras.
Dari hasil
analisis leverage dapat diketahui bahwa atribut atau faktor
dominan yang mempengaruhi dimensi sosial budaya adalah: 1 penduduk, 2 pertumbuhan konsumsi perkapita, 3 RT pertanian yang pernah mengikuti
penyuluhan pertanian, 4 persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung dan 5 perempuan berpendidikan.
Gambar 22. Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Sosial Budaya dan Faktor Sensitif Yang Mempengaruhi Keberlanjutan Sosial
Budaya Penduduk merupakan atribut yang paling sensitif dalam keberlanjutan
ketersediaan beras dimensi sosial budaya. Penduduk di Indonesia saat ini cukup
tinggi yaitu sekitar 222 juta dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.46 persen per tahun, peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan
untuk konsumsi rumah tangga dan akan mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya
ketersediaan beras. Untuk meningkatkan indeks keberlanjutan ketersediaan beras dimensi
sosial budaya di berbagai wilayah diharapkan pertumbuhan penduduk ini dapat diturunkan dengan diaktifkannya kembali
RAPFISH Ordination
GOOD BAD
UP
DOWN -80
-60 -40
-20 20
40 60
80
20 40
60 80
100 120
Sumbu X Setelah Rotasi: Skala Sustainability Sum
b u
Y Se te
la h
R o
ta s
i: Ska
la Sus
ta in
a b
ili ty
Titik referensi utama Titik referensi tambahan
5 3
4 2
1
Analisis Leverage Dimensi Sosial Budaya
1.81 2.85
4.50 5.34
3.96 4.82
5.07 4.05
0.94 1.75
1 2
3 4
5 6
tingkat partisipasi konsumsi beras kota
tingkat partisipasi konsumsi beras desa
desa tdk punya akses penghubung
penduduk Rt petani padi
Rt pert yg pernah mengikuti penyuluhan pert
pertumbuhan kons per kapita perempuan berpendidkan
pendidikan formal desa yg sbgn besar pnddknya
bekerja disektor tnmn pangan
Perubahan RMS Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan
110
BKKBN secara optimal. Menurut kepala BKKBN
3
partisipasi keluarga berencana untuk golongan yang kurang mampu dan tidak berpendidikan sebesar 3 persen,
lebih besar dibandingkan golongan yang mampu dan berpendidikan yaitu sebesar 2.2 persen. Untuk itu diperlukan political will dari pemerintah untuk
pengendalian dan menekan pertumbuhan penduduk. Peran pemerintah diperlukan dengan menjalin kemitraan dengan berbagai lembaga seperti Ikatan
Kebidanan, Ikatan kedokteran yaitu Ikatan Dokter Indonesia IDI, TNI, PKK, Posyandu dan segenap masyarakat yang dapat digunakan sebagai relawan
untuk melakukan penyuluhan Keluarga Berencana KB ke semua daerah terutama kepada penduduk yang kurang mampu dan tidak berpendidikan. Selain
melakukan kemitraan dan melakukan penyuluhan juga diharapkan pemerintah membagi IUD gratis kepada masyarakat yang kurang mampu agar pertumbuhan
penduduk dapat ditekan. Pertumbuhan konsumsi per kapita yang meningkat akan menyebabkan
peningkatan pada konsumsi total beras RT oleh karena itu diversifikasi pangan perlu ditingkatkan. Variabel lain yang sensitif terhadap keberlanjutan
ketersediaan beras dimensi sosial budaya adalah RT pertanian yang pernah mengikuti penyuluhan pertanian, karena penyuluhan pertanian berperan penting
dalam keberhasilan petani dalam menjalankan agribisnis padinya terutama membantu petani mengatasi masalah masalah teknis dalam sarana produksi
benih, proses produksi, pemasaran dan memperoleh informasi teknologi baru dalam pengelolaan agribisnisnya. Hal ini akan mempegaruhi keberlanjutan
ketersediaan beras pada dimensi sosial budaya karena petani mendapatkan pengetahuan mengenai sistem agribisnis padi
.
Wilayah di Indonesia yang persentase desanya tidak memiliki akses penghubung yang memadai berturut turut adalah Kalimantan, Wilayah Lain Bali,
NTT, NTB, Maluku dan Papua, Sumatera, Sulawesi dan Jawa yang nilainya adalah 19.17, 18.92, 8.93, 6.34 dan 2.2 persen. Wilayah yang persentase
desanya tidak memiliki akses penghubung, pemenuhan kebutuhan berasnya hanya mengandalkan produksi sendiri, hal ini sangat rawan bila terjadi bencana
alam seperti kekeringan dan kebanjiran. Selain itu juga akses pasar input dan output menjadi terbatas serta arus penyampaian teknologi dan informasipun
terlambat. Oleh karena itu untuk meningkatkan keberlanjutan ketersediaan beras dimensi sosial budaya sebaiknya wilayah Kalimantan dan Wilayah lain dapat
meningkatkan aksesibilitasnya sampai ke desa-desa.
111
5.2.4. Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Kelembagaan
Hasil analisis keberlanjutan ketersediaan beras dimensi kelembagaan menghasilkan indeks keberlanjutan ketersediaan beras tingkat nasional sebesar
91.70 kategori baik karena berada pada selang 75 – 100 Tabel 34 dan Gambar 23. Di tingkat regional hasil menunjukkan adanya keragaman yang cukup besar
dengan nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras yang berkisar antara 76.15 – 33.37. Ada 3 wilayah yang mempunyai indeks keberlanjutan ketersediaan
beras dimensi kelembagaan yang lebih besar dari 50 persen yaitu wilayah Jawa, Sumatera dan wilayah lain Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, bahkan
wilayah Jawa nilainya lebih dari 75 persen atau kategori baik. Sedangkan wilayah Sulawesi dan Kalimantan masuk dalam kategori kurang berkelanjutan.
Tabel 34. Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi
Kelembagaan di Berbagai Wilayah Indonesia
Wilayah Indeks Keberlanjutan
Kategori Stress R
2
Nasional 91.70 Baik
0.124 0.951
Regional
0.137 0.919
1. Jawa 76.15
Baik 2. Sumatera
72.32 Cukup
3. Sulawesi 37.04
Kurang 4. Kalimantan
33.37 Kurang
5. Lain-lain 56.98
Cukup
Secara statistik hasil dari analisis keberlanjutan ketersediaan beras dimensi sosial budaya menunjukkan nilai Stress tingkat nasional dan regional Tabel 34
masing-masing sebesar 0.124 dan 0.137 0.25 dan koefisien determinasi R
2
sebesar 0.951 dan 0.919 mendekati 1. Dengan demikian dari kedua parameter ini menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan dalam analisis dimensi
keberlanjutan ketersediaan beras dimensi kelembagaan di tingkat nasional dan regional cukup baik
dalam menerangkan ketersediaan beras. Berdasarkan hasil analisis leverage Gambar 23 dapat diketahui bahwa
atribut atau faktor yang berpengaruh sensitif terhadap keberlanjutan ketersediaan beras dimensi kelembagaan ada 4 atribut yaitu: 1 keberadaan lembaga
pemerintah yang terkait dengan benih BPSBTPH, 2 keberadaan lembaga keuangan mikro, 3 keberadaan lembaga pemerintah BPTPH Balai Penelitian
Tanaman Pangan dan Hortikultura dan 4 keberadaan lembaga pemerintah BPTP Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
112
Gambar 23. Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Kelembagaan dan Faktor Sensitif Yang Mempengaruhi Keberlanjutan
Ketersediaan Beras Dimensi Kelembagaan Keberadaan lembaga pemerintah yang terkait dengan benih seperti Balai
Pengawasan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura BPSBTPH sangat sensitif mempengaruhi indeks keberlanjutan, hal ini mudah dipahami
karena benih merupakan faktor produksi utama, baik buruknya hasil usahatani sangat dipengaruhi oleh baik buruknya benih yang digunakan. Kelembagaan
seperti BPSBTPH mempunyai tugas dalam mengawasi benih yang dipakai dan memberikan sertifikasi benih bila benih-benih tersebut memang layak atau
pantas untuk digunakan. Keberadaan lembaga keuangan mikro perlu mendapat perhatian karena
memang sangat diperlukan oleh petani sehingga petani tidak lagi terbebani oleh keterbatasan modal untuk menjalankan usahataninya. Lembaga keuangan mikro
ini dapat menyalurkan kredit seperti kredit agribisnis dan kredit ketahahan pangan.
Keberadaan lembaga Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura BPTPH juga merupakan lembaga yang penting untuk diperhatikan dan
dioptimalkan. Selama ini BPTPH bertugas mengawasi dinamika serangan hama penyakit di suatu daerah sampai ambang batas tertentu untuk melakukan
pemberantasan agar produksi dapat terselamatkan, dengan adanya lembaga ini diharapkan keberlanjutan sistem ketersediaan beras dapat dipertahankan.
Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian merupakan balai yang berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian BPTP yang tersebar di
Titik referensi utama Titik referensi tambahan
GOO D
-20 10
120
4 5
DOWN UP
BAD 20
40 60
80
RAPRICE Ordination
-60 -40
20 40
60 80
Sumbu X Setelah Rotasi: Skala Sustainability Su
m b
u Y Se te
la h Rot
a s
i: Sk
a la
Sus ta
ina bi
lit y
3 2
1
Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan
1 2
3 4
5 6
7 8
perkembangan KUD
kelembagaan STPP
SPP BPTP
BPSBTPH BPTPH
LKM Rumah tangga
KUP kelompok taruna
tani kelompok wanita
tani
At ri
but
Perubahan RMS Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan
1,53 3,49
3,85 6,21
6,14 7,46
5,30 3,81
2,14 3,06
113
30 provinsi di Indonesia. Balai ini merupakan balai yang penting dioptimalkan keberadaannya karena tugasnya adalah untuk melakukan segala upaya agar
inovasi yang telah dihasilkan oleh para pakar dan peneliti Badan Litbang Pertanian serta lembaga penelitian nasional dan internasional lainnya tidak saja
hanya diketahui oleh para pakar, peneliti, akademisi atau penentu kebijakan saja tetapi juga dapat dimanfaatkan secara luas dan tepat guna serta langsung oleh
pelaku agribisnis khususnya petani yang berada di berbagai wilayah di Indonesia. BPTP ini diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan penghubung
langsung antara penghasil inovasi pertanian dengan lembaga penyampaian delivery system kepada pelaku agribisnis sebagai pengguna inovasi. BPTP
selain berfungsi sebagai wahana diseminasi teknologi yang dapat mempercepat penyampaian informasi dan penyebaran inovasi teknologi pertanian juga
berfungsi sebagai wahana pengkajian partisipatif yang dapat memberikan umpan balik bagi penelitian, pengembangan dan pembangunan pertanian regional serta
nasional di masa yang akan datang. Penyuluhan juga berperan penting dalam keberhasilan petani dalam
menjalankan agribisnis padinya terutama membantu petani mengatasi masalah masalah teknis dalam sarana produksi benih, proses produksi, pemasaran dan
memperoleh informasi teknologi baru dalam pengelolaan agribisnisnya sehingga keberadaan lembaga seperti BPTPH, BPSBTPH dan BPTP di setiap wilayah
perlu ditingkatkan dan perlu diberdayakan seoptimal mungkin. Lembaga ini merupakan lembaga pemerintah yang bersifat sebagai fasilitator untuk
menggerakkan dan mendorong tumbuh kembangnya serta berjalannya fungsi- fungsi kelembagaan di wilayah masing-masing baik kelembagaan petani,
kelembagaan usaha maupun kelembagaan pemerintah lainnya. Penguatan kelembagaan ini sangat diperlukan untuk pembangunan ketersediaan beras yang
berkelanjutan.
5.2.5. Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Teknologi
Berdasarkan Tabel 35 dan Gambar 24 menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan ketersediaan beras untuk dimensi teknologi di beberapa wilayah di
Indonesia berkisar antara 81.04 sampai 17.59. Bila dilihat dari kisaran nilai ternyata keragaman teknologi yang digunakan dalam perberasan antar wilayah
relatif tinggi.
114
Tabel 35. Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi
Teknologi di Berbagai Wilayah Indonesia
Wilayah Indeks Keberlanjutan Kategori
Stress R
2
Nasional
77.09 Baik 0.128
0.946
Regional 0.133
0.939 1. Jawa
81.04 Baik
2. Sumatera 55.39
Cukup 3. Sulawesi
36.81 Kurang
4. Kalimantan 17.56
Tidak 5. Lain-lain
30.39 Kurang
Wilayah Jawa mempunyai nilai tertinggi yaitu 81.04 dengan kategori baik, Sumatera 55.39 kategori cukup, sedangkan Sulawesi 36.81 dan Wilayah lain
30.39 kategori kurang, dan yang paling kecil nilainya adalah Kalimantan hanya 17.56 dengan kategori tidak berkelanjutan.
Secara statistik hasil dari analisis keberlanjutan ketersediaan beras dimensi teknologi tingkat nasional dan regional menunjukkan nilai Stress sebesar 0.128
dan 0.133 0.25 dan koefisien determinasi R
2
sebesar 0.946 dan 0.939 mendekati 1. Dengan demikian dari kedua parameter ini menunjukkan bahwa
seluruh atribut yang digunakan dalam analisis dimensi keberlanjutan ketersediaan beras dimensi teknologi di tingkat nasional dan regional cukup baik
dalam menerangkan ketersediaan beras.
Gambar 24. Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Teknologi dan Faktor Sensitif Yang Mempengaruhi Keberlanjutan Ketersediaan
Beras Dimensi Teknologi
Titik referensi utama Titik referensi tambahan
RAPFISH Ordination
DOWN UP
BAD GOOD
-60 -40
-20 20
40 60
20 40
60 80
100 120
Sumbu X Setelah Rotasi: Skala Sustainability 4
2 3
1 5
Analisis Leverage Dimensi Teknologi
0.70 0.71
1.79 2.87
2.47 1.57
2.08 3.55
3.31 1.81
1.71 1.19
0.89
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
mesin pengolah lahan jumlah alat pemupukan
mesin pemberantas jasad pengganggu mesin perontok padi
mesin pembersih gabah mesin penggiling padi
mecin pemecah kulit gabah
A tr
ibut
Perubahan RMS Ordinasi Jika Salah Satu Atribut Dihilangkan
RMU Mesin penyosoh beras
Mesin pengering gabah Mesin pemberantas pengganggu jenis
emposan tikus Pompa air
Jumlah alat penanaman
115
Berdasarkan hasil analisis leverage sebagaimana terlihat pada Gambar 24, ada 4 atribut yang paling sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks
keberlanjutan dimensi teknologi ketersediaan beras, yaitu 1 Mesin pengering gabah, 2 mesin pembersih gabah, 3 pompa air dan 4 mesin pemberantas
jasad pengganggu. Mesin pengering gabah dan mesin pembersih gabah merupakan atribut
yang harus diperhatikan pada keberlanjutan teknologi dalam ketersediaan beras, karena kedua mesin ini dapat meningkatkan kualitas beras yang dihasilkan
sehingga sesuai dengan keinginan konsumen dan dapat meningkatkan harga beras. Bila dibandingkan antar wilayah di Indonesia, Jawa mempunyai nilai
indeks keberlanjutan ketersediaan beras yang tinggi, karena aplikasi teknologi yang sudah diterapkan lebih tinggi dibanding wilayah lainnya. Dengan
berkurangnya investasi dalam pembangunan irigasi dan menurunnya kualitas jaringan irigasi yang ada, maka alternatif yang dapat diajukan untuk
pengembangan sistem ketersediaan beras di Indonesia adalah penggunaan pompa air.
Pompa Air ini dapat dipakai untuk memanfaatkan air sungai atau jaringan irigasi sekitar lahan padi yang kemungkinan topografinya lebih tinggi dari aliran
sungai atau saluran irigasi tersebut, seperti yang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di Jawa Timur terutama di daerah Kediri, Madiun, Nganjuk, Ponorogo,
Bojonegoro dan Ngawi
1
pompa air tanah banyak digunakan untuk mengairi sawah dan tanaman lainnya yaitu dengan mengambil air dari sumur bor pantek
yang ada di sekitar lahan pertanian, pompa air tanah ini bisa dipindah-pindah karena masing-masing pertani mempunyai sumur bor di setiap lahannya. Pompa
air ini bisa disewa dari koperasi biasanya sekitar Rp 11 000 per jam atau Rp 300 000 per hektar
2
atau bila kelompok tani sudah punya pompa, maka petani tersebut hanya menyediakan bahan bakar.
Untuk wilayah Kalimantan nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras dimensi teknologi sebesar 17.56. Nilai ini termasuk pada kategori tidak
berkelanjutan. Keadaan ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya aplikasi teknologi pada ketersediaan beras, mulai dari aplikasi teknologi pada sarana
produksi, produksi, pengolahan dan pasca panen. Untuk itu, agar nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras dimensi teknologi dapat ditingkatkan perlu
1
Hasil wawancara dengan Prof. Dr. Ir Suyamto, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
2
Hasil wawancara dengan Dr. Ir. Hasil Sembiring Kepala Balai Penelitian Padi, Sukamandi
116
perbaikan terhadap atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi nilai indeks tersebut.
Hasil analisis ordinasi dari ke lima dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi sistem ketersediaan beras di berbagai
wilayah di Indonesia seperti yang telah disajikan pada Gambar 20, 21, 22, 23 dan 24 memperlihatkan bahwa masing-masing wilayah sangat beragam. Untuk
wilayah Jawa, memperlihatkan bahwa dari kelima dimensi yang dianalisis ternyata dimensi ekologi memiliki indeks keberlanjutan ketersediaan beras paling
rendah dibandingkan dimensi lainnya. Sedangkan untuk wilayah Kalimantan justru sebaliknya dari Jawa, yaitu mempunyai nilai indeks keberlanjutan
ketersediaan beras rendah di empat dimensi ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi tetapi mempunyai keberlanjutan ketersediaan beras
yang tinggi pada dimensi ekologi bahkan tertinggi dibanding wilayah lainnya di Indonesia dan mempunyai nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras
terendah pada dimensi teknologi, hal ini sangat jelas terlihat pada diagram layang masing-masing wilayah Gambar 25.
Bila dilihat dari gambar diagram layang, Wilayah Sumatera mempunyai pola yang sama dengan Jawa hanya dengan nilai yang lebih rendah, bahkan
untuk dimensi kelembagaan dan ekonomi nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras hampir sama, hal ini dapat dilihat dari gambar diagram layang yang sudah
berhimpit untuk kedua dimensi tersebut yaitu antara Jawa dan Sumatera. Gambar 25 memperlihatkan bahwa keberlanjutan ketersediaan beras untuk
setiap dimensi berbeda-beda di setiap wilayah dan keberlanjutan ketersediaan beras juga beragam antar wilayah. Hal ini menunjukkan dalam berbagai kondisi
wilayah memiliki prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian lebih ditingkatkan agar keberlanjutan ketersediaan beras menjadi lebih
baik. Di Tingkat Nasional untuk meningkatkan keberlanjutan ketersediaan beras di Indonesia yang harus diprioritaskan ditingkatkan berturut-turut adalah dimensi
sosial budaya, ekonomi dan ekologi.
117
Gambar 25. Diagram Layang Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras di Berbagai Wilayah Indonesia
Dalam penelitian ini dipakai Analisis Monte Carlo yang tujuannya adalah untuk menguji tingkat kepercayaan nilai indeks total keberlanjutan ketersediaan
beras maupun indeks keberlanjutan ketersediaan beras di masing-masing dimensi dari beberapa pengaruh, diantaranya adalah pengaruh kesalahan
pembuatan skor pada setiap atribut pada masing-masing dimensi, kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut serta variasi pemberian skor,
kesalahan memasukkan data, stabilitas proses analisis MDS dan nilai stress yang terlalu tinggi. Hasil analisis Monte Carlo dapat dilihat pada Tabel 36, yang
menunjukan bahwa nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras di tingkat nasional dan regional atau berbagai wilayah di Indonesia pada selang
kepercayaan 95 persen tidak banyak mengalami perbedaan antara hasil MDS dengan analisis Monte Carlo.
JAWA
76.15 81.64
67.89 70.51
48.016
25 50
75 100
Ekologi Ekonomi
Sosial Budaya Teknologi
Kelembagaan
INDONESIA
91.7
77.09 53.74
63.48 69.64
25 50
75 100
Ekologi Ekonomi
Sosial Budaya Teknologi
Kelembagaan
SUMATERA
63.57 66.86
44.31 55.39
72.31
25 50
75 100
Ekologi Ekonomi
Sosial Budaya Teknologi
Kelembagaan
SULAWESI
36.81 39.79
43.47 37.04
65.41
25 50
75 100
Ekologi Ekonomi
Sosial Budaya Teknologi
Kelembagaan
KALIMANTAN
41.02 17.56
33.37 33.53
80.08
25 50
75 100
Ekologi Ekonomi
Sosial Budaya Teknologi
Kelembagaan
WILAYAH LAINNYA
56.98 30.4
28.94 37.55
50.44
25 50
75 100
Ekologi Ekonomi
Sosial Budaya Teknologi
Kelembagaan
118
Tabel 36. Hasil Analisis Monte Carlo Multidimensi Untuk Nilai Rap-Rice Nasional dan Regional Dengan Selang Kepercayaan 95 Persen
Wilayah MDS Monte
Carlo Perbedaan
Stress R
2
Nasional 64.50775
63.5292 0.9786 0.1274 0.9567
Regional 0.1254
0.9565 1. Jawa
67.2332 66.2454
0.9878 2. Sumatera
56.1247 55.4317
0.6930 3. Sulawesi
39.3758 40.1682
0.7924 4. Kalimantan
36.7938 37.7291
0.9353 5. Lain-lain
33.3684 34.3485
0.9801
Perbedaan nilai yang tidak besar sebagaimana ditampilkan pada Tabel 36 menunjukkan bahwa analisis Rap-Rice dengan menggunakan metoda MDS
untuk menentukkan status keberlanjutan ketersediaan beras di tingkat nasional dan regional di Indonesia memiliki tingkat kepercayaan yang cukup tinggi.
Rangkuman hasil analisis keberlanjutan ketersediaan beras multi dimensi dan masing-masing dimensi baik pada tingkat nasional maupun regional secara
rinci dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Rangkuman Hasil Analisis Keberlanjutan ketersediaan beras
Multidimensi dan Masing-Masing Dimensi Regional dan Nasional
Dimensi Wilayah
Multi Dimensi
Ekologi Ekonomi Sosbud Kelembagaan Teknologi
Nasional 64.51 c
69 c 43.48 k
53.74 c 91.7 b
77.09 b Regional
Jawa 67.23 c
48 k 70.52 c
67.89 c 76.15 b
81.04 b Sumatera
56.13 c 63.6 c
66.86 c 44.32 k
72.32 c 55.39 c
Sulawesi 39.38 k
65.4 c 43.47 k
39.79 k 37.04 k
36.81 k Kalimantan
36.79 k 80.1 b
33.53 k 41.02 k
33.37 k 17.56 bu
Lain-lain 33.37 k
50.4 c 37.55 k
28.94 k 56.98 c
30.39 k
Atribut Sensitif
Ekologi Ekonomi Sosbud
Kelembagaan Teknologi
ketersediaan sistem irigasi
produktivitas usahatani
konversi sawah
kesesuaian lahan
pencetakan sawah
perubahan upah riil buruh
tani jumlah
RT pertanian
dengan luas lahan0.5ha
nilai tukar
petani jumlah
TK pertanian
produksi padi penduduk
pertumbuhan konsumsi per
kapita RT
pertanian yang pernah
mengikuti penyuluhan
pertanian persen desa yang
tidak memiliki akses
penghubung perempuan
berpendidikan Benih
BPSBPTH Keuangan
Mikro LKM
Proteksi Tanaman
BPTPH Pengkajian
Teknologi BPTP
mesin pengering
gabah mesin
pembersih gabah
pompa air mesin
pemberantas jasad
pengganggu
Keterangan: b: baik sangat berkelanjutan, c: cukup cukup berkelanjutan, k: kurang kurang berkelanjutan, bu: buruk tidak berkelanjutan
VI. PEMODELAN NERACA KETERSEDIAAN BERAS YANG BERKELANJUTAN
Pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu situasi harmoni yang tetap dan statis seperti yang sudah dikemukakan di Bab Metode Penelitian
sebelumnya, melainkan merupakan proses perubahan yang konsisten dengan pemenuhan kebutuhan pada saat ini dan kebutuhan di masa depan. Oleh karena
itu diperlukan suatu pendekatan sistem system approach yang dapat menyelesaikan persoalan yang kompleks, dinamis dan stokastik, sehingga
dengan pendekatan sistem dinamis akan diketahui pendugaan keberlanjutan di masa depan dengan faktor yang berubah menurut waktu Manetch dan Park,
1977. Pemodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktivitas pembuatan model
Eriyatno, 2003 sehingga dihasilkan model yang berfungsi sebagai perwakilan atau abstraksi dari situasi aktual sistem yang sebenarnya. Pemodelan neraca
ketersediaan beras dalam penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perilaku ketersediaan beras di masa yang akan datang sebagai pemenuhan kebutuhan
antara lain untuk konsumsi rumah tangga RT, bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan benih, pakan, stok dan ekspor. Diharapkan bahwa kebutuhan ini
sebagian besar dapat dipenuhi dari dalam negeri.
6.1. Identifikasi Faktor Kunci Yang Berpengaruh Pada Sistem
Model pengembangan neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan di Indonesia dibangun berdasarkan faktor kunci atau faktor dominan hasil analisis
pengaruh langsung antar faktor dengan menggunakan Analisis Prospektif. Untuk menentukan faktor kunci atau faktor dominan dalam neraca ketersediaan beras
di masa yang akan datang dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap yaitu: 1 faktor kunci atau dominan yang berasal dari atribut-atribut yang sensitif
mempengaruhi analisis status keberlanjutan neraca ketersediaan beras saat ini existing condition pada setiap dimensi; 2 faktor kunci yang diperoleh dari
analisis kebutuhan need analysis dari semua pihak yang berkepentingan stakeholder hasil PRA di delapan daerah ekosistem sawah di Indonesia; 3
faktor kunci atau faktor dominan yang dihasilkan dari kombinasi analisis status keberlanjutan ketersediaan beras tahap 1 dan analisis kebutuhan tahap 2.
Jadi faktor yang dihasilkan pada tahap tiga ini merupakan faktor kunci gabungan antara existing condition dan analisis kebutuhan need analysis.