Penelitian Terdahulu TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model

31 masih menjadi tujuan utama bagi negara-negara berkembang. Untuk pembangunan jangka panjang, pemilihan indikator pada berbagai level harus memberikan perhatian yang sama untuk ketiga dimensi keberlanjutan tersebut. Dengan hal ini, keberlanjutan pertanian akan dapat dicapai. Tabel 4. Pemilihan Indikator Dengan Mempertimbangkan Spasial, Temporal dan Karakteristik Tiga Dimensi Keberlanjutan di Negara Berkembang Spasial Jangka Pendek 1-5 th Jangka Menengah 5-10 th Jangka Panjang 10-20 th Nasional 1 2 3 3 1 = 2 1 = 2 = 3 Regional propinsinegara bagian 1 2 3 3 1 = 2 1 = 2 = 3 Lokal kabupatenkecamatan 1 2 3 1 2 = 3 1 = 2 = 3 Keterangan: 1 = keberlanjutan ekonomi, 2 = keberlanjutan sosial, dan 3 = keberlanjutan ekologis menunjukkan prioritas Sumber: Zhen dan Routray 2003

2.4. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian tentang penyediaan dan konsumsi beras nasional telah dilakukan, namun sebagian besar dilakukan dengan pendekatan ekonometrika, dan tidak terintegrasi dengan lingkungan. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan penyediaan dan konsumsi beras diantaranya sebagai berikut : Mulyana 1998 melakukan penelitian mengenai “Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras Indonesia dan Prospek Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan meramalkan masa depan swasembada beras dan mengkaji dampak alternatif kebijakan unilateral, multilateral dan alternatif non kebijakan terhadap penawaran dan permintaan beras dan kesejahteraan pelaku ekonomi beras domestik. Peneliti menggunakan Analisis Model Ekonometrika penawaran dan permintaan beras di pasar domestik dan dunia. Produksi domestik didisagregasi menjadi lima wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia, sedangkan permintaannya secara agregat nasional. Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa secara regional areal sawah di Jawa dan Bali telah mencapai kondisi closing cultivation frontier, yaitu mencapai batas maksimal lahan subur yang layak untuk areal sawah akibat meningkatnya kompetisi penggunaan lahan. Karena itu respon areal padi terhadap harga gabah di Jawa dan Bali lebih inelastis dibandingkan wilayah 32 lainnya. Faktor lain yang berpengaruh pada areal padi di seluruh wilayah adalah curah hujan, areal irigasi, kinerja penyuluhan, target program produksi dan konversi lahan sawah di Jawa dan Bali. Secara umum hasil simulasi model menunjukkan bahwa penerapan alternatif kebijakan yang seragam secara nasional tidak selalu direspon dengan arah yang sama oleh komponen penawaran beras di setiap wilayah dan dapat berbeda dampaknya tehadap kesejahteraan petani. Implikasi penting dari hal itu adalah diperlukan penerapan kebijakan dan perbaikan kesejahteraan petani sama-sama dapat dicapai. Secara ekonomi swasembada beras periode 1984- 1996 dapat dipertahankan dengan kebijakan menaikkan harga dasar 15.38 persen, menambah areal irigasi 3.61 persen, menambah areal intensifikasi 5.25 persen atau mendevaluasi rupiah 100 persen namun dampaknya berlawanan bagi perubahan kesejahteraan petani dan konsumen. Karena itu diperlukan kombinasi kebijakan yang dapat mendorong kenaikan produksi beras sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani dan konsumen. Hasil peramalan tanpa alternatif kebijakan menunjukkan bahwa kontribusi wilayah Sumatera, Sulawesi dan sisa wilayah Indonesia akan meningkat dalam produksi beras pada masa mendatang sedangkan peranan wilayah Jawa dan Bali berangsur-angsur turun sebagai konsekuensi dari pelaksanaan liberalisasi perdagangan. Indonesia diperkirakan akan berswasembada beras secara absolut melainkan akan mencapai net ekspor beras mulai tahun 2013. Tampak bahwa potensi produksi beras Indonesia masih cukup prospektif Untuk mencapai swasembada beras dan perbaikan kesejahteraan, direkomendasikan untuk meningkatkan areal sawah irigasi dan intensifikasi di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dan memperbaiki efisiensi biaya dan teknologi usahatani padi sesuai dengan spesifikasi wilayah, perlu diefektifkan kebijakan harga dasar yang didukung dengan peningkatkan pengadaan, memperbaiki jaringan distribusi pemasaran beras dalam dan antar wilayah, meningkatkan teknologi penyimpanan berasgabah. Sistem operasi pasar beras masih tetap diperlukan dalam jangka pendek. Karena itu peran pemerintah yang saat ini dilakukan Bulog masih perlu dipertahankan dalam jangka pendek. Rachman 2001 melakukan penelitian yang berjudul “Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia KTI”. Data yang digunakan adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional Susenas tahun 33 1996 yang dikumpulkan oleh Bappenas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi beras terlihat mendominasi pola konsumsi pangan sumber karbohidrat secara keseluruhan, menurut daerah maupun menurut kelompok pendapatan, walaupun konsumsi beras rata-rata rumah tangga di KTI masih rendah dibandingkan Nasional. Hasil analisis menunjukan bahwa proyeksi produksi beras pada tahun 2005 berdasarkan data time series dari tahun 1997-2001 adalah sebesar 28.47 juta ton, kemudian tahun 2010 sebesar 28.53 juta ton dan pada tahun 2015 adalah sebesar 28.59 juta ton. Proyeksi konsumsi beras tahun 2005 dan 2010 berdasarkan standar kecukupan gizi adalah masing-masing sebesar 116.80 kgkapitatahun dan 113.15 kgkapitatahun. Sedangkan konsumsi beras tahun 2015 berdasarkan standar kecukupan gizi adalah 109.5 kgkapitatahun, sehingga proyeksi kebutuhan konsumsi beras nasional pada tahun 2005, 2010 dan 2015 menurut standar kecukupan gizi diperkirakan adalah sebesar 26.06 juta ton, 26.97 juta ton dan 27.77 juta ton. Pada tahun 2015, jika konsumsi penduduk Indonesia sesuai dengan kecukupan gizi yang diperlukan, maka dari hasil analisis diketahui bahwa produksi dalam negeri mampu untuk memenuhi permintaannya. Namun demikian perlu diwaspadai adanya peningkatan konsumsi beras per kapita sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang akan terjadi pada tahun 2015 mendatang. Sehingga kita harus selalu waspada dan selalu tetap berusaha untuk meningkatkan pertumbuhan produksi beras dalam negeri. Pergeseran pola pangan pokok yang mengarah ke beras juga ditunjukkan oleh bergesernya pola pangan pokok di provinsi-provinsi wilayah Kawasan Timur Indonesia. Pada tahun 1979 hanya provinsi Kalimantan Selatan yang berpola pangan pokok beras, namun demikian pada tahun 1996 provinsi lainnya seperti Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan menjadi provinsi-provinsi dengan pola pangan pokok beras. Beras sudah mengarah pada komoditas bergengsi yang ditunjukkan oleh meningkatnya konsumsi beras dengan makin tingginya pendapatan. Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian bekerja sama dengan Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB 2002, melakukan penelitian mengenai “Analisis Skenario Pemenuhan Kebutuhan Pangan Nasional Hingga 2015 Ditinjau dari Aspek Sosial Ekonomi Pertanian“. Penelitian 34 dilaksanakan pada tahun 2002 dengan menggunakan analisis ekonometrika. Hasil analisis menunjukkan bahwa mulai tahun 2010 ada peluang Indonesia mengalami kondisi dimana tingkat produksi akan lebih besar dari pada tingkat konsumsi. Kondisi surplus terutama tercipta oleh peningkatan produksi yang lebih cepat dari pada peningkatan konsumsi. Surplus beras akan lebih cepat tercapai apabila diterapkan kebijakan yang bersifat mendukung. Dari berbagai kebijakan yang disimulasikan, ternyata kebijakan tersebut adalah peningkatan dana irigasi dan anggaran pembangunan sektor pertanian memberikan pengaruh positif yang lebih besar dalam peningkatan produksi dibandingkan dengan skenario kebijakan lainnya, seperti kebijakan subsidi pupuk, tarif impor maupun kebijakan harga dasar. Lembaga Penelitian UI bekerja sama dengan Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian 2002 melakukan penelitian dengan judul “Analisis Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Nasional”. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linear Trend Analysis. Untuk memperkirakan kecukupan zat gizi energi dari tahun 2002 sampai dengan 2015 dilakukan analisis berdasarkan angka kecukupan Zat gizi dari Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 1979, 1988, 1993 dan 1998. Kecukupan ini diterjemahkan dalam bentuk kebutuhan pangan berdasarkan Pedoman Umum Gizi Seimbang. Saat ini masih terjadi ketidakseimbangan pola konsumsi pangan yang disebabkan oleh terlalu tingginya peran padi-padian khususnya beras di satu sisi, dan masih rendahnya peran beberapa pangan, terutama pangan hewani, sayuran dan buah serta belum tercukupinya minyak dan lemak. Berdasarkan hal itu, maka konsumsi per kapita padi-padian, khususnya beras sepanjang 2000- 2015 diproyeksikan menurun, sedangkan komoditas lain, khususnya sayuran dan buah, pangan hewani, minyak dan lemak serta kacang-kacangan diproyeksikan meningkat. Berdasarkan hasil analisis AHP, di antara berbagai fungsi yang diperkirakan mendukung ketahanan pangan, ternyata fungsi ketersediaan ditemukan sebagai yang terpenting. Sedangkan fungsi lainnya seperti distribusi, konsumsi dan kewaspadaan pangan memperoleh bobot yang jauh lebih kecil dari pada fungsi ketersediaan. Pendapat bahwa fungsi ketersediaan pangan merupakan yang terpenting didukung oleh pendapat responden di semua 35 provinsi contoh. Dengan demikian, pendekatan produksi dan availability masih menjadi tema yang dianggap mampu menjamin ketahanan pangan. Otonomi daerah yang telah diberlakukan diperkirakan akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tercapainya ketahanan pangan. Implikasinya, pemerintah daerah tingkat II memainkan peranan penting sejak dari tahapan perencanaan hingga tahapan evaluasi. Komponen-komponen yang diperlukan bagi pelaksanaan proses manajemen ketahanan pangan tersebut juga diharapkan menjadi penanggung jawab pemerintah kabupatenkota. Namun ada satu komponen penting dimana peranan pemerintah pusat diharapkan tetap menonjol. Komponen tersebut adalah pendanaan. Dengan kata lain, diharapkan sumber pendanaan utama bagi kebijakan ketahanan pangan adalah dari pemerintah pusat. Irawan 2005 melakukan penelitian “Analisis Ketersediaan Beras Nasional Suatu Kajian Simulasi Pendekatan Sistem Dinamis”. Analisis ini menggunakan data sekunder yang sumber data utamanya adalah statistik Indonesia dan Profil Pertanian Dalam Angka. Dalam penelitian ini dilakukan penyederhanaan yaitu tidak mencakup sub sistem distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat penawaran. Hasil analisis menunjukkan bahwa swasembada beras secara mandiri tidak akan tercapai apabila laju konversi lahan sawah terus berlanjut sebagaimana keadaan tahun 1992-2002 -O.77 per tahun dan penerapan teknologi budi daya padi sawah tidak beranjak dari keadaan tahun 1990-2000. Swasembada beras akan tercapai apabila laju konversi lahan di Jawa dan luar Jawa dapat ditekan masing masing sampai nol persen dan 0.72 persen per tahun mulai tahun 2010. Pada saat yang sama upaya peningkatan produktifitas padi sebesar 2.0 - 2.5 persen per tahun sebagaimana prestasi yang pernah dicapai pada saat swasembada beras 1983-1985 diperlukan. Kebijakan perluasan areal lahan sawah di luar jawa sebanyak satu juta hektar selama lima tahun tidak akan cukup untuk mencapai kondisi swasembada beras dalam 15 tahun ke depan selama laju konversi lahan sawah dan tingkat produktivitas padi tetap tidak berubah.

III. METODE PENELITIAN 3.1. Cakupan

Penelitian Penelitian indeks dan status keberlanjutan ketersediaan beras dianalisis secara makro pada tingkat regional dan nasional. Daerah tingkat regional dalam penelitian ini meliputi lima wilayah kepulauan yaitu 1 Jawa, 2 Sumatera, 3 Sulawesi, 4 Kalimantan, 5 wilayah lainnya yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Penelitian indeks dan status keberlanjutan ini dilakukan untuk menilai keberlanjutan ketersediaan beras pada existing condition periode waktu 2003 – 2004 dari lima dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, kelembagaan dan teknologi. Perhitungan ketersediaan beras tingkat nasional yang berkelanjutan dilakukan menggunakan sistem dinamis. Periode analisis adalah tahun 2005 – 2015. Data dan informasi yang terkait dengan ketersediaan beras terutama untuk keperluan analisis kebutuhan adalah data yang dikumpulkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP, di delapan provinsi yang mewakili seluruh ekosistem padi yaitu provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan peneliti mengikuti di dua provinsi yaitu Kalimantan Barat dan Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan selama 20 bulan dimulai pada bulan Maret 2005 sampai dengan bulan November 2006.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara dan diskusi dengan responden yang terkait dengan ketersediaan beras, yang terdiri dari petani padi, pedagang perantara, pengusaha penggilingan, koperasi, lembaga keuangan mikro, dolog, Dinas Pertanian, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Bapedal Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, penyuluh, peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Deptan dan perguruan tinggi IPB. Data sekunder dalam penelitian dikumpulkan dari berbagai sumber seperti laporan, dokumen dan hasil penelitian dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian antara lain Badan Pusat Statistik, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Departemen Pertanian; Pusat Penelitian dan Pengembangan