Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekologi

101 regional antar wilayah dapat dilihat secara rinci pada Sub Bab 5.2.1 – 5.2.5 berikut.

5.2.1. Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekologi

Hasil analisis menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan ketersediaan beras untuk dimensi ekologi di tingkat nasional adalah 69.64 dalam skala sustainabilitas 0 – 100, dengan kategori cukup berkelanjutan. Di tingkat regional, hasil menunjukkan adanya keragaman antar wilayah kepulauan di Indonesia, indeks keberlanjutan ketersediaan beras berkisar 48.01 – 80.08 Tabel 31 dan Gambar 20, dimana Jawa mempunyai nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras yang paling rendah yaitu 48.01 dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia dan masuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan, Kalimantan mempunyai nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras yang tertinggi yaitu 80.08 dan termasuk kategori baik, sedangkan Sumatera, Sulawesi dan Wilayah lainnya termasuk kategori cukup, mengingat nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras berada pada selang 50.01 – 75.00. Dari hasil tersebut diketahui bahwa wilayah Jawa secara ekologi sudah mengkhawatirkan, hal ini disebabkan karena adanya konversi lahan sawah yang sangat tinggi dan ketersediaan sistem irigasi yang berkurang. Sementara kedua atribut ini merupakan atribut sensitif yang sangat berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan ketersediaan beras. Tabel 31. Indeks dan Status Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekologi di Berbagai Wilayah Indonesia Wilayah Indeks Keberlanjutan Kategori Stress R 2 Nasional 69.64 Cukup 0.126 0.950 Regional 0.133 0.930 1. Jawa 48.02 Kurang 2. Sumatera 63.57 Cukup 3. Sulawesi 65.41 Cukup 4. Kalimantan 80.08 Baik 5. Lain-lain 50.44 Cukup Secara statistik hasil dari analisis keberlanjutan ketersediaan beras dimensi ekologi tingkat nasional dan regional menunjukkan nilai Stress masing-masing sebesar 0.126 dan 0.133. 0.25 dan koefisien determinasi R 2 sebesar 0.950 dan 0.930 yang mendekati 1 Tabel 31. Dengan demikian dari kedua parameter ini menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan dalam analisis dimensi 102 keberlanjutan ketersediaan beras dimensi ekologi di tingkat nasional dan regional cukup baik dalam menerangkan sistem ketersediaan beras. Titik referensi utama Titik referensi tambahan Gambar 20. Analisis Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekologi dan Faktor Sensitif Yang Mempengaruhi Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekologi Seperti yang sudah diutarakan dalam Bab Metode Penelitian sebelumnya bahwa analisis Rap-Rice ini juga memungkinkan untuk menganalisis leverage sensitivitas dari pengurangan atribut terhadap skor keberlanjutan. Analisis Leverage dilakukan bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan ketersediaan beras di masing- masing dimensi. Dari hasil analisis leverage keberlanjutan ketersediaan beras dimensi ekologi seperti yang terlihat pada Gambar 20 diketahui bahwa dari 15 atribut yang dianalisis ada 5 atribut yang dominan atau sensitif dalam mempengaruhi ketersediaan beras yaitu: 1 ketersediaan lahan dengan sistem irigasi, 2 produktivitas usahatani, 3 konversi lahan sawah, 4 kesesuaian lahan dan 5 pencetakan sawah. Dengan demikian atribut tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ini meningkat di masa yang akan datang. Konversi lahan sawah di Indonesia dalam kurun waktu 1979 – 1999 mencapai 1 627 514 hektar atau 81 376 hektar per tahun Isa, 2006. Dari jumlah konversi lahan sawah selama kurun waktu tersebut, sekitar 61.57 persen 1 002 005 ha terjadi di Jawa yang lahannya paling subur dan produktif di Indonesia serta rata-rata luas pemilikan lahan paling kecil secara nasional. Penyusutan RAPRICE Ordination DOWN UP BAD GOOD -60 -20 20 40 60 20 40 60 80 100 120 Sumbu x Setelah Rotasi: Skala Sustainability S u m b u Y Se te la h Ro ta s i: Ska la Sus ta ina bi lity 5 3 1 2 4 Analisis Leverage Dimensi Ekologi 1 2 3 4 5 6 luas hutan kelas kemampuan lahan penggunaan pupuk kimia temperatur curah hujan jumlah bulan kering Kesesuaian lhan ketersediaan sistem irigasi produktivitas usahatani konversi lahan pencetakan sawah banjir kekeringan jasad pengganggu status lahan abadi pertanian Atr ib u t Perubahan RMS Ordinasi Jika Salah Satu Atribut 1,51 1,11 2,32 3,37 4,19 4,89 5,15 5,16 4,89 3,67 3,84 1,94 2,58 1,33 1,28 103 sawah di Jawa ini mencapai 50 100 hektar per tahun. Konversi lahan sawah di luar Jawa hanya mencapai sekitar 38.43 persen 625 459 ha dengan penyusutan sebesar 3 127 hektar per tahun. Bila dikaitkan dengan pencetakan sawah, laju pertumbuhan lahan sawah pada periode 1980 – 2000 menurun tapi di luar jawa pada periode yang sama meningkat dengan laju yang cukup besar dimana Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan peningkatan laju pertumbuhannya berturut-turut adalah 15.45, 18.27 dan 19.67, sedangkan wilayah lainnya adalah 7.54 persen per tahun Lampiran 11. Konversi tanah sawah kepada lahan non pertanian ini selain mengurangi tanah sawah beririgasi teknis juga dapat menutup saluran saluran irigasi yang ada untuk keperluan bangunan sehingga ketersediaan sistem irigasi terganggu. Tiga dari lima atribut yang mempengaruhi keberlanjutan ketersediaan beras dimensi ekologi mempunyai keterkaitan yang erat yaitu konversi lahan, pencetakan sawah dan ketersediaan sistem irigasi seperti yang telah dikemukakan di atas. Dari ketiga hal di atas konversi lahan perlu dikelola dengan baik karena cepatnya konversi lahan sawah ini dapat secara langsung menurunkan luas lahan sawah dan terganggunya sistem irigasi sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap penyediaan pangan pokok lokal maupun nasional, oleh karena itu fenomena konversi lahan sawah ini merupakan ancaman serius terhadap pembangunan nasional, khususnya dalam pemantapan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, sehingga pengendalian konversi lahan sawah mutlak perlu dijadikan sebagai prioritas utama agenda kebijakan nasional, salah satunya dengan status lahan abadi. Produktivitas padi di Indonesia periode 1975 - 2004 meningkat. Laju peningkatan yang relatif tinggi terjadi pada tahun 1975 – 1985. Hal ini terjadi karena adanya penerapan teknologi Revolusi Hijau, dibarengi dengan pembangunan jaringan irigasi, perluasan areal melalui pencetakan sawah, penggunaan varietas berumur pendek, kebijakan harga dan subsidi serta kebijakan makro yang mana peningkatan produktivitas ini menyebabkan Indonesia mampu berswasembada beras pada tahun 1984. Namun laju peningkatan produktivitas kemudian menurun pada periode berikutnya. Menurut Pingali et al. 1997 dalam Irawan 2004 penurunan laju pertumbuhan produktivitas terjadi di sebagian besar kawasan Asia, terutama di daerah sentra produksi padi. Gejala ini pada dasarnya terjadi akibat penggunaan bahan kimia yang intensif dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga berdampak pada 104 kelelahan lahan, yang dicirikan antara lain oleh respon pemupukan yang semakin tidak signifikan dan tanah yang semakin keras. Hal yang sama dikemukakan juga oleh Balai Penelitian Tanah 2006 bahwa dalam tiga dasawarsa terakhir penggunaan pupuk yang intensif dalam jumlah besar telah menyebabkan kejenuhan hara terutama P di tanah sawah intensifikasi, hal ini mengakibatkan hara di dalam tanah tidak seimbang sehingga pupuk yang diberikan terutama P tidak lagi meningkatkan produktivitas secara nyata. Oleh karena itu efisiensi pemupukan menjadi rendah karena suatu hara diberikan secara berlebihan, sementara unsur hara lainnya diberikan lebih rendah dari yang dibutuhkan tanaman. Pemberian pupuk yang tidak tepat dapat menurunkan produktivitas serta menyebabkan pencemaran lingkungan tanah dan perairan. Untuk mengatasi hal ini agar keberlanjutan sistem produksi dan dari sisi lingkungan menekan pencemaran lingkungan dari badan air Nitrat dan dalam tanah logam berat dari pupuk perlu pemakaian pupuk yang tepat dan berimbang, sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi. Produktivitas padi antar wilayah berbeda di Indonesia dimana Jawa tertinggi yaitu 4.943 ton per hektar, disusul oleh Sulawesi 4.245 ton per hektar. Sementara Sumatera, Kalimantan dan Wilayah lainnya berturut turut adalah 3.666, 2.922 dan 3.828 ton per hektar. Kesesuaian lahan merupakan atribut yang sensitif mempengaruhi ketersediaan padi. Oleh karena itu untuk keberlanjutan sistem yang dikaji harus memperhatikan faktor kesesuaian lahan terutama pada saat menentukan pencetakan sawah, yang secara teknis sangat mempengaruhi produktivitas padi.

5.2.2. Keberlanjutan Ketersediaan Beras Dimensi Ekonomi