ekslusivitas dan pengecualian, hal ini tidak bagus. Budaya sekolah yang menyuburkan klik-klik tersebut akan menyuburkan diskriminasi dan .
Olweus menjelaskan bahwa kegunaan lingkaran penindas, korban dan penonton sebagai alat bantu bagi para guru, orang tua dan para siswa dalam
mendiskusikan cara-cara mengatasi dan mencegah serta cara agar anak-anak mampu berperan aktif memutuskan mata rantai bullying ini Coloroso, 2007.
2.3. The Support Group Method
Mendeteksi dan menghentikan perilaku bullying dibutuhkan kebijakan untuk mengatasi bullying. Kebijakan ini diterapkan pada guru, staf dan pihak sekolah
sebagai wujud tanggung jawab untuk mengurangi dampak pengalaman negatif dari bullying.M Salah satu pendekatan kelompok yang telah diterapkan di
sekolah-sekolah di Eropa adalah The Support Group Method, yang merupakan pendekatan ekosistem. Metode ini merupakan strategi yang mengarahkan anak
dan remaja menggunakan cara yang sesuai dalam menghadapi situasi bullying Putter, 2007. Intervensi ini melibatkan dukungan teman kelompok dalam
membantu anak yang mengalami bullying menjadi lebih berani mengungkapkan peristiwa bullying yang dialaminya. Kelompok bisa terdiri dari pelaku, korban dan
bystander penonton. Fokus pada Problem solving pemecahan masalah
,
pemberian tanggung jawab kepada grup untuk menyelesaikan masalah dan feedback setelah pertemuan Young, 1998. Maines dan Robinson merancang
sebuah intervensi bullying dengan nama The Support Group Method. Metode ini nantinya melibatkan dukungan teman kelompok dalam membantu korban bullying
Universitas Sumatera Utara
menjadi lebih berani mengungkapkan peristiwa bullying yang dialaminya. Metode ini mengikutsertakan dukungan kelompok yang bisa terdiri dari pelaku, korban
dan bystander penonton. Dalam beberapa kasus, penggunaaan metode dukungan teman sebaya
terbukti membantu korban bullying Council of Europe dalam Robinson Maines, 2008. Salah satu metode teman sebaya yang dianggap memiliki
pengaruh dan terbukti dapat meningkatkan kemampuan sosial siswa yang terkena dampak bullying adalah the support group method.
Dimana tujuan akhirnya ialah ia mampu menemukan solusi atau kepercayaan dirinya menghadapi ketika menghadapi peristiwa yang sama pada
suatu saat nanti Robinson Maine, 2008. Dengan menggunakan pendekatan Problem solving pemecahan masalah
,
pemberian tanggung jawab kepada grup untuk menyelesaikan masalah dan feedback setelah pertemuan Sue Young,
1998. Rancangan intervensi ini dilakukan dengan dua tujuan yakni; tugas pertama yang dilakukan adalah dengan membuat korban bullying terlebih dahulu
merasa aman, yang kedua adalah membuat perubahan perilaku menjadi lebih sesuai bagi pelaku bullying Robinson Maines,2008.
The support group method menawarkan tujuh langkah tahapan yang dapat digunakan oleh guru atau fasilitator. Setiap langkahnya direncanakan dengan hati-
hati dan catatannya adalah setiap langkah agar tercapai tujuannya Robinson Maines, 2008. Adapun langkah-langkah tersebut adalah:
a. Langkah pertama- berbicara dan mendengarkan korban
Adapun tujuan dari langkah ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Untuk memahami perasaan sedih atau rasa sakit dari pengalaman
korban 2.
Menjelaskan mengenai metode dan keuntungan selama prosesnya 3.
Mendiskusikan siapa yang terlibat dan menjadi mentor dalam the support group ini
4. Untuk menyetujui apa yang diceritakan dalam kelompok
Saat fasilitator menemukan perilaku bullying, dia akan berbicara kepada korban. Selama proses percakapan berlangsung penting bagi fasilitator untuk
menangkap perasaan yang dirasakan oleh korban dan juga bagi korban dimana mereka memahami apa yang sebenar mereka rasakan saat itu Robinson
Maines, 2008. Terkadang situasi tersebut membawa pada ketakutan dan kepedihan pada korban tanpa disudutkan. Adapun tujuan dalam hal ini adalah
membuat ia korban lega dan merasa sama setelah menceritakan hal tersebut. Korban akan membantu fasilitator untuk memilih anggota kelompok
dengan menanyakan siapa saja yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Mereka bisa jadi sebagai bystander, pelaku atau bahkan korban juga Robinson Maines,
2008. Sangat penting untuk membangun aturan dalam kelompok dan nantinya fasilitator seharusnya mengakhiri pertemuan dengan:
Mengecek bahwa tidak ada rahasia yang telah didiskusikan dimana tidak seharusnya diungkapkan dalam kelompok
Mengundang korban untuk mengeluarkan atau memberi ilustrasi mengenai ketidakbahagiaannya
Universitas Sumatera Utara
Menawarkan korban kesempatan untuk berbicara kembali selama proses diskusi berlangsung jika proses ini tidak berlangsung baik.
b. Langkah kedua - membuat pertemuan dengan orang-orang yang akan terlibat
dalam kelompok Fasilitator nantinya mengatur pertemuan dengan anggota kelompok yang dipilih
oleh target. Kelompok tersebut terdiri dari enam hingga delapan orang, ini sebuah kesempatan bagi fasilitator untuk menggunakan pertimbangannya untuk
membantu kelompok menemukan kekuatan dalam kelompok untuk menemukan hasil terbaik.
c. Langkah ketiga – Menjelaskan permasalahan
Fasilitator memulai dengan memberitahu mengenai permasalahan yang dialami korban, kemudian meminta kelompok untuk mendengarkan kekhawatirannya.
Kemudian fasilitator kembali menceritakan mengenai kesedihan atau kemalangan yang dialami target yang nantinya akan di diskusikan dalam kelompok.
d. Langkah keempat – berbagi tanggung jawab
Setelah pertanggungjawaban itu selesai, pendengar bisa jadi sedih atau tidak nyaman atau tidak yakin dengan alasan pertemuan ini. Beberapa mungkin terlihat
cemas dengan kemungkinan hukuman. Fasilitator disini membuat sebuah perubahan dengan pernyataan tegas mengenai:
- Tidak ada seorangpun disini yang akan dihukum
- Ini merupakan tanggung jawab fasilitator untuk menolong korban agar
menjadi merasa lebih aman dan tenang tetapi hal ini tidak bisa ia lakukan tanpa bantuan kelompok
Universitas Sumatera Utara
- Kelompok diundang dengan maksud membantu memecahkan
permasalahan ini. e.
Langkah kelima – Menanyakan setiap anggota kelompok mengenai ide-ide mereka
Setiap anggota kelompok diajak untuk menyarankan sebuah langkah dimana korban dapat terbantu untuk lebih merasa lega dan bahagia. Ide-ide dapat
dinyatakan dalam bentuk “saya” tujuan bahasa: “saya akan berjalan ke sekolah dengan dia.” “Saya akan mengajaknya untuk duduk bersama ketika makan di
kantin. ”Ide-ide yang dimiliki oleh anggota kelompok dan tidak didesak oleh fasilitator. Fasilitator akan memberikan respon yang positif tetapi dia tidak akan
melanjutkan untuk merangkum hal itu untuk meningkatkan perilaku. f.
Langkah Keenam – Leave it up kepada mereka Fasilitator mengakhiri pertemuan tersebut dengan meninggalkan tanggung jawab
kepada kelompok untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kemudian Fasilitator akan memberikan ekspresi penghargaan sebagai hasil positif dan
mengatur kembali pertemuan selanjutnya dengan mereka untuk melihat sejauhmana perkembangan yang terjadi nantinya.
g. Langkah Ketujuh– Pertemuan kembali
Setelah beberapa hari, fasilitator berdiskusi dengan setiap siswa termasuk korban, melihat bagaimana perkembangan terbaru. Hal ini membantu fasilitator
memonitor perilaku bullying dan menjaga keterlibatan para siswa atau remaja terlibat aktif dalam proses ini. Pertemuan ini nantinya bisa dilakukan secara
Universitas Sumatera Utara
individual dari setiap anggota kelompok tentang kontribusinya terhadap korban tanpa menciptakan atmosfir kompetisi diantara yang lain.
Kebijakan anti yang kuat yang dinyatakan secara jelas, dilaksanakan secara konsisten dan dikomunikasikan secara meluas. Kebijakan tersebut
memastikan adanya prosedur-prosedur dan program-program yang mendukung dan meneguhkan kebijakan yang aman dan peduli bagi para siswa. Kebijakan
yang dimiliki hanyalah satu hal yakni benar-benar berbeda untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut bukan sekedar plakat di dinding sekolah atau sebuah
kutipan tulisan yang inspirasional. Budaya sekolah dan lingkungan sosial yang diciptakan sekaligus direfleksikan oleh kebijakan-kebijakan, prosedur dari
program preventif ini.
2.4. Pengaruh Group Support Terhadap Perilaku Anak Remaja