Karakteristik Sarang dan Keberhasilan Berbiak Kuntul Besar (Egretta alba) dan Cangak Abu (Ardea Cinerea) Di Areal Breeding Site Desa Tanjung Rejo

(1)

(

Ardea cinerea

) DI AREAL

DESA TANJUNG

REJO

SKRIPSI

OLEH

KARINA ADELIA 100805069

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

KARAKTERISTIK SARANG DAN KEBERHASILAN

BERBIAK KUNTUL BESAR (

Egretta alba

) DAN CANGAK ABU

(

Ardea cinerea

) DI AREAL

BREEDING SITE

DESA TANJUNG

REJO

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

OLEH

KARINA ADELIA 100805069

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Karakteristik Sarang dan Keberhasilan Berbiak

Kuntul Besar (Egretta alba) dan Cangak Abu (Ardea Cinerea) Di Areal Breeding Site Desa Tanjung Rejo

Kategori : Skripsi

Nama : Karina Adelia

Program Studi : Sarjana (S1) Biologi Nomor Induk Mahasiswa : 100805069

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Disetujui di Medan, Desember 2015

Komisi Pembimbing:

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Drs. Nursal, M.Si Dr. Erni Jumilawaty, M.Si NIP: 196109031990031001 NIP: 197001021997022002

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. NIP.19630123 199003 2 001


(4)

PERNYATAAN

KARAKTERISTIK SARANG DAN KEBERHASILAN

BERBIAK KUNTUL BESAR (

Egretta alba

) DAN CANGAK ABU

(

Ardea cinerea

) DI AREAL

BREEDING SITE

DESA TANJUNG

REJO

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Desember 2015

KARINA ADELIA 100805069


(5)

PENGHARGAAN

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahma t serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Karakteristik Sarang, Keberhasilan Berbiak Kuntul Besar (Egretta alba) Dan Can gak Abu (Ardea Cinerea) Di Areal Breeding SiteDesa Tanjung Rejo”. Skripsi ini

dibuat sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sains pada Fakultas M IPA USU Medan.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Erni Jumilawaty, M.si sel aku pembimbing 1dan Bapak Drs. Nursal, M.si selaku pembimbing 2 yang telah memberi bimbingan dan banyak masukan selama pelaksanaan penelitian dan peny usunan skripsi ini.Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed dan Bapak Drs. M. Zaidun Sofyan, M.si selaku p enguji yang telah memberi banyak masukan dan arahan dalam penyempurnaan pe nulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Ibu Dr. Nurs ahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA, USU dan Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Si selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA, USU, serta S taf Pengajar Departemen Biologi, FMIPA, USU. Ibu Roslina Ginting dan Bang Er win selaku Staf Pegawai Departemen Biologi, Kak Siti dan Ibu Nurhasni Muluk s elaku laboran Departemen Biologi, FMIPA USU.

Ucapan terima kasih terbesar, penulis sampaikan kepada Ibunda tercinta K amzurni atas segala doa, dukungan, dan kasih sayang yang terus tercurahkan kepa da penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda tercinta Al m. Munawar, terima kasih untuk pesan-pesan terakhirnya yang membuat penulis b ertekad melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan. Penulis persembahkan ini sebagai kado terindah untuk alm. Ayah, semoga Ayah bahagia di sisi Allah SWT. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Abang dan Kakak penulis: A lvin Syahrin, Renia S, Balkis Andresia P, M. Adlin, dan Andre Akbar. Terima kas ih untuk dukungan doa dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidi kan.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Sutras beserta Istri, ba ng Alun, bang Fajar, Edwardman, Doni, Nasir, Jordan, Ristia, Nurhayati, dan Ren i yang sudah banyak membantu Penulis dalam melaksanakan penelitian, serta Bad an Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Balai Besar Wilayah I Med an atas bantuan data skunder kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima ka sih kepada sahabat SMA: Siti Faulina, Lisa Andria, Mutia Karaah, Z.E Simamora yang senantiasa mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan perkuliahan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat semasa perkuliahan: Nurul Alfitanisa, Anisa Rilla, Dian Lestari, Nurfithri Apriani, Mailani Quanti, Na bila Maisarah, Kiki Dian, Rahmad Jaiz, Vahnoni Lubis, Farah Dwi. Banyak hal ya ng sudah kita lewati bersama, semoga persahabatan ini tetap terjalin. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman angkatan 2010 (Biorev) yang naman ya tidak dapat disebutkan satu persatu.


(6)

Akhirnya dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengha rapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempu rnaan skripsi ini. semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan ketulusan kit a dengan balasan yang setimpal. Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Desember 2015

Penulis


(7)

KARAKTERISTIK SARANG DAN KEBERHASILAN BERBIAK KUNTUL BESAR (Egretta alba) DAN CANGAK ABU (Ardea cinerea) DI

AREAL BREEDING SITE DESA TANJUNG REJO

ABSTRAK

Karakteristik sarang dan keberhasilan berbiak Kuntul Besar (Egretta alba) dan Cangak Abu (Ardea cinerea) di tambak ikan desa Tanjung Rejo, Sumatera Utara telah selesai dilaksanakan pada Oktober 2014 - Januari 2015, dengan menggunakan metode pengamatan. Penelitian menunjukan Cangak Abu memilih 3 pohon untuk meletakkan 5 sarang (R. mucronata, A. officinalis, S. alba) dengan ketinggian pohon 6,5-9 m. Dimana bahan penyusun sarang yang dominan berukuran panjang 30,01-35,00 (13%), dan diameter 0,61-0,8 (31,50%). Untuk Kuntul Besar menggunakan 2 jenis pohon sarang (R. mucronata & C. tagal) dengan ketinggian 3,8-5,4 m. Bahan penyusun sarang dominan berukuran panjang 20,01-25,00 (23,38%) dengan diameter 0,21-0,4 (41,12%). Kedua jenis memiliki rasio telur berkisar 1,2:1-1,4:1 cm dan diklasifikasikan kedalam tipe VI. Untuk peletakan telur, berkisar dari 2 hingga 4 hari untuk Cangak Abu dan 2 hingga 6 hari untuk Kuntul Besar. Inkubasi optimum berkisar 26 hingga 29 hari untuk Cangak Abu dan 23 hingga 25 hari untuk Kuntul Besar. Keberhasilan penetasan Kuntul Besar (100%) dan angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kesuksesan penetasan Kuntul Besar (82,35%).

Kata Kunci: Cangak Abu, Kuntul Besar, Sarang, telur


(8)

NEST CHARACTERISTIC AND BREEDING SUCCESS OF GREAT EGRET (Egretta Alba) AND GREY HERON (Ardea Cinerea) IN BREEDING

SITE OF TANJUNG REJO

ABSTRACT

The nest characteristic and breeding success of Great Egret (Egretta alba) and Grey Heron (Ardea cinerea) in the fishpond area of Tanjung Rejo, Sumatera Utara has been studied from October 2014 to January 2015. The method used in this study was observation. The research revealed that Grey Heron chose 3 kinds of tree to build 5 nests (R. mucronata, A. Officinalis, S. Alba) with 6,5-9 m. While the dominant nest material were 30,01-35,00 (13%) of height and 30,01-35,00 (13%) of diameter. For Great Egret used 2 kinds of tree for nesting (R. mucronata & C.tagal) with 3,8-5,4 m. The dominant nest material were 20,01-25,00 (23,38%) of height and 0,21-0,4 (41,12%) of diameter. Both species have eggs ratio varies from 1,2:1 until 1,4:1 cm and it was classified into type VI. For egg laying, it ranges from 2 until 4 days for Grey Heron and 2 until 6 days for Great Egret. The optimum incubation were 26 until 29 days for Grey Heron, 23 until 25 days for Great Egret. The hatching success of Great Egret was (100%) and this number was higher than the hatching success rate which was (82,35%) for Grey Heron. Keywords: Grey Heron, Great Egret, Nest, Egg


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN PENGHARGAAN ABSTRAK ABSTRACT ii iii v vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Manfaat 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Kuntul besar dan Cangak abu 4 2.2 Karakteristik Burung Air 4 2.2.1 Morfologi Kuntul besar 5 2.2.2 Morfologi Cangak abu 5 2.3 Habitat Sarang Burung Air 6

2.4 Berbiak 7

2.4.1 Variasi Musim Berbiak 7 2.4.2 Mekanisme Berbiak 8 2.4.3 Telur dan Keberhasilan Tetasan 9

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat 11

3.2 Alat dan Bahan 11

3.3 Rencana Percobaan 11

3.3.1 Survey Lokasi Penelitian 11 3.3.2 Pengumpulan Data 12

3.3.2.1 Sarang

3.3.2.1.1 Pemilihan Pohon Sarang 3.3.2.1.2 Peletakan Sarang

3.3.2.1.3 Struktur Sarang

3.3.2.1.4 Komposisi Peyusun Sarang 3.3.2.2 Habitat 3.3.2.3 Telur 12 12 12 13 13 13 14 vii


(10)

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Sarang 15

4.1.1 Pemilihan Pohon Sarang 15 4.1.2 Peletakan Sarang 16 4.1.3 Struktur Sarang Cangak Abu dan Kuntul besar

4.1.4 Komposisi Penyusun Sarang 4.1.5 Profil Vegetasi Lokasi Penelitian 4.2 Telur

4.2.1 Dimensi Telur 4.2.2 Jarak Peneluran 4.2.3 Masa Inkubasi 4.2.4 Keberhasilan Tetas 4.3 Perkembangan Anakan

18 20 23 25 25 27 29 30 32 3.3.2.3.1 Dimensi Telur dan Clutch Size

3.3.2.3.2 Jarak Peneluran 3.3.2.3.3 Masa Pengeraman 3.3.2.3.4 Keberhasilan Tetas 3.3.2.4 Perkembangan Anak

14 14 14 14 14

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 40

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

40

41

LAMPIRAN 44


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

4.1 Data Pemilihan Pohon Sarang Cangak Abu dan Kuntul Besar

15

4.2 Peletakan Sarang Rataan Cangak Abu (n=5) dan Kuntul Besar (n=5)

17

4.3 Ukuran fisik (Rataan±Sd) sarang Cangak Abu (n=2) dan Kuntul Besar (n=2)

19

4.4 Panjang Ranting-Ranting Penyusun Sarang Cangak Abu (n=2) dan Kuntul Besar (n=2)

21

4.5 Diameter Ranting-Ranting Penyusun Sarang Cangak Abu (n=2) dan Kuntul Besar (n=2)

22

4.6 Bahan Penyusun Sarang Cangak Abu (n=2) dan Kuntul Besar (n=2)

22

4.7 Dimensi Telur Cangak Abu dan Kuntul Besar berdasarkan sarang

26

4.8 Jarak Peneluran Cangak Abu dan Kuntul Besar (n=5) 28 4.9 Pertumbuhan dan Perkembangan Anakan Cangak Abu 33 4.10 Pertumbuhan dan Perkembangan Anakan Kuntul Besar 34


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Morfologi Kuntul Besar 5 2.2

2.3

Morfologi Cangak Abu

Klasifikasi bentuk telur (Hogeerwerf 1949, dalam

Rukmi 2002)

5 10

3.4 Lokasi Penelitian di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

12

4.5 Sarang Cangak abu 19

4.6 Sarang Kuntul Besar 19

4.7 Profil Vegetasi Vertikal 24 4.8 Profil Vegetasi Horizontal 24 4.9 Perbandingan Masa Inkubasi Telur Cangak Abu dan

Kuntul Besar

29

4.10 Keberhasilan Tetas Berdasarkan Urutan Telur 31 4.11 Grafik Pertumbuhan Anak Pertama Cangak Abu Sarang

No 1

35

4.12 Grafik Berat Anak Pertama Cangak abu Sarang No1 35 4.13 Grafik Pertumbuhan Anak Kedua Cangak Abu Sarang

No 1

36

4.14 Grafik Berat Anak Kedua Cangak abu Sarang No1 36 4.15 Grafik Pertumbuhan Anak Ketiga Cangak Abu Sarang

No 1

37

4.16 Grafik Berat Anak Ketiga Cangak abu Sarang No 3 37 4.17 Grafik Pertumbuhan Anak Pertama Kuntul Besar

Sarang No 3

38

4.18 Grafik Berat Anak Pertama Kuntul Besar Sarang No 3 38 4.19 Grafik Pertumbuhan Anak Kedua Kuntul Besar Sarang

No 3

38

4.20 Grafik Berat Anak Kedua Kuntul Besar Sarang No 3 39


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Pemilihan Pohon Sarang (Rataan) Cangak Abu (n=5) 44

2 Pemilihan Pohon Sarang (Rataan) Kuntul Besar (n=5) 45

3 Masa Inkubasi Telur Cangak Abu dan Kuntul Besar 46

4 Keberhasilan Tetas Telur Cangak Abu (n=12) dan Kuntul Besar (n=11)

47

5 Telur Cangak Abu dan Kuntul Besar 48

6 Sarang Cangak Abu dan Kuntul Besar 49

7

8

9

10

11

12

Anakan Cangak Abu dan Kuntul Besar

Foto Pohon Sarang

Foto Kerja

Data Kecepatan Angin Rata-Rata Tahun 2014

Data Kelembaban Rata-Rata Tahun 2014

Data Curah Hujan Rata-Rata Tahun 2014

50

51

52

53

54

55


(14)

KARAKTERISTIK SARANG DAN KEBERHASILAN BERBIAK KUNTUL BESAR (Egretta alba) DAN CANGAK ABU (Ardea cinerea) DI

AREAL BREEDING SITE DESA TANJUNG REJO

ABSTRAK

Karakteristik sarang dan keberhasilan berbiak Kuntul Besar (Egretta alba) dan Cangak Abu (Ardea cinerea) di tambak ikan desa Tanjung Rejo, Sumatera Utara telah selesai dilaksanakan pada Oktober 2014 - Januari 2015, dengan menggunakan metode pengamatan. Penelitian menunjukan Cangak Abu memilih 3 pohon untuk meletakkan 5 sarang (R. mucronata, A. officinalis, S. alba) dengan ketinggian pohon 6,5-9 m. Dimana bahan penyusun sarang yang dominan berukuran panjang 30,01-35,00 (13%), dan diameter 0,61-0,8 (31,50%). Untuk Kuntul Besar menggunakan 2 jenis pohon sarang (R. mucronata & C. tagal) dengan ketinggian 3,8-5,4 m. Bahan penyusun sarang dominan berukuran panjang 20,01-25,00 (23,38%) dengan diameter 0,21-0,4 (41,12%). Kedua jenis memiliki rasio telur berkisar 1,2:1-1,4:1 cm dan diklasifikasikan kedalam tipe VI. Untuk peletakan telur, berkisar dari 2 hingga 4 hari untuk Cangak Abu dan 2 hingga 6 hari untuk Kuntul Besar. Inkubasi optimum berkisar 26 hingga 29 hari untuk Cangak Abu dan 23 hingga 25 hari untuk Kuntul Besar. Keberhasilan penetasan Kuntul Besar (100%) dan angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan kesuksesan penetasan Kuntul Besar (82,35%).

Kata Kunci: Cangak Abu, Kuntul Besar, Sarang, telur


(15)

NEST CHARACTERISTIC AND BREEDING SUCCESS OF GREAT EGRET (Egretta Alba) AND GREY HERON (Ardea Cinerea) IN BREEDING

SITE OF TANJUNG REJO

ABSTRACT

The nest characteristic and breeding success of Great Egret (Egretta alba) and Grey Heron (Ardea cinerea) in the fishpond area of Tanjung Rejo, Sumatera Utara has been studied from October 2014 to January 2015. The method used in this study was observation. The research revealed that Grey Heron chose 3 kinds of tree to build 5 nests (R. mucronata, A. Officinalis, S. Alba) with 6,5-9 m. While the dominant nest material were 30,01-35,00 (13%) of height and 30,01-35,00 (13%) of diameter. For Great Egret used 2 kinds of tree for nesting (R. mucronata & C.tagal) with 3,8-5,4 m. The dominant nest material were 20,01-25,00 (23,38%) of height and 0,21-0,4 (41,12%) of diameter. Both species have eggs ratio varies from 1,2:1 until 1,4:1 cm and it was classified into type VI. For egg laying, it ranges from 2 until 4 days for Grey Heron and 2 until 6 days for Great Egret. The optimum incubation were 26 until 29 days for Grey Heron, 23 until 25 days for Great Egret. The hatching success of Great Egret was (100%) and this number was higher than the hatching success rate which was (82,35%) for Grey Heron. Keywords: Grey Heron, Great Egret, Nest, Egg


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desa Tanjung Rejo merupakan salah satu desa yang memiliki luas areal pertambakan sekitar 147,12 Ha dari luas total 310,50 Ha tambak di Kecamatan Percut Sei Tuan. Tambak yang aktif dan tidak memiliki vegetasi mangrove didalamnya sekitar 50% dari jumlah tambak yang telah dibuka. Desa Tanjung Rejo sendiri merupakan daerah yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan pesisir dan laut, yang memiliki potensi besar di bidang perikanan, pariwisata, kawasan hutan mangrove dan sumberdaya alam lainnya termasuk dimanfaatkan oleh burung air sebagai lokasi berbiak (Breeding site). Kecamatan Percut sendiri memiliki hutan produksi terbatas (HPT) sekitar 2.192,66 Ha, hutan lindung (HL) sekitar 334,92 Ha, dan hutan konversi (HK) sekitar 936,08 Ha (BPS Deli Sedang, 2013).

Kehadiran burung air dapat dijadikan sebagai indikator keanekaragaman hayati pada kawasan hutan mangrove. Hutan mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai yang dapat mengurangi dan mencegah terjadinya pengikisan daerah pantai. Hutan ini juga berperan dalam mendukung kehidupan fauna di daerah pesisir dan lautan (Elfidasari & Junardi, 2008).

Tanaman mangrove merupakan tanaman yang digunakan oleh burung air sebagai material untuk membangun sarang. Menurut Soerianegara & Irawan, (1990) dalam Rukmi, (2002) dilihat dari komposisi jenis tanaman yang umum terlihat dari laut ke darat adalah: Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus,

Lumnitzera, dan Bruguiera. Sementara jenis vegetasi yang paling sering digunakan oleh burung air untuk tempat istirahat dan bersarang adalah bakau merah (Rhizophora mucronata), dan bakau kecil (Rhizophora stylosa) (Dharmawan, 1987 dalam Rukmi, 2002).

Kuntul besar dan Cangak membangun sarangnya secara primitif. Sarang dangkal berbentuk datar dan tipis, hanya terdiri dari beberapa lapis ranting,


(17)

sehingga telur dapat terlihat dari bagian bawah sarang. Umumnya menggunakan material sederhana seperti ranting dan daun tanaman (Rukmi, 2002).

Sarang burung Cangak biasanya merupakan tumpukan ranting yang dibuat di atas pohon bakau atau pohon lain yang sesuai. Memiliki telur dua butir berwarna biru hijau tetapi umumnya hanya satu anak burung yang bertahan. Sementara sarang burung kuntul besar merupakan tumpukan ranting yang tidak rapih, diletakkan pada tempat yang tersembunyi dibawah tajuk pohon yang berdaun lebat. Sering beberapa sarang ditemukan dalam satu pohon. Telur dua sampai empat butir berwarna biru hijau pucat (Mackinnon, 1995).

Sarang Cangak dan Kuntul merupakan sarang yang paling dikhawatirkan terserang gangguan cuaca saat burung sedang membangun sarang dan saat peletakan telur (Kim & Koo, 2009). Struktur sarang merupakan aspek yang sangat penting bagi reproduksi burung karena sarang memberikan proteksi bagi telur terhadap gangguan fisik seperti panas, dingin, atau hujan dan dari gangguan pemangsa (Pough et al, 1996).

Jumlah telur Cangak mungkin berbeda setiap tahun atau mungkin tetap. Pada Cangak dan Kuntul, keberhasilan anakan untuk terbang per letakan telur tidak berkaitan secara signifikan dengan jumlah telur, dan tingkat pertumbuhan anakan selalu berkaitan dengan keberhasilan bersarang (Kim & Koo, 2009).

Keberhasilan berbiak sangat dipengaruhi oleh sarang, pemangsa, dan lokasi. Perkembangan kelompok burung sangat ditentukan oleh kemampuan bertahan dari pemangsa. Sarang yang terletak pada populasi yang padat lebih terhalangi dari predasi (Govi & Pandav, 2011). Ada banyak jenis burung air yang mempergunakan Tanjung Rejo sebagai lokasi berbiak dengan populasi yang banyak. Hal ini diduga akan mempengaruhi keberhasilan berbiak dan karakteristik sarang yang akan dipakai oleh burung Kuntul Besar dan Cangak Abu, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk melihat karakteristik sarang dan tingkat keberhasilan berbiak Kuntul besar dan Cangak abu. Selain itu untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi keberhasilan berbiak burung tersebut, apakah ada pengaruh predator dan musim dalam keberhasilan berbiak burung tersebut.


(18)

1.2Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Mengidentifikasi material yang digunakan oleh burung Cangak Abu (Ardea cinerea) dan Kuntul Besar (Egretta alba) dalam menyusun sarang.

b. Sejauh manakah keberhasilan berbiak dua jenis burung tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Membandingkan material penyusun sarang dari kedua jenis burung tersebut. b. Mengetahui tingkat keberhasilan berbiak antara dua jenis burung tersebut.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik sarang dan keberhasilan berbiak burung Kuntul Besar dan burung Cangak Abu bagi peneliti selanjutnya.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Kuntul Besar dan Cangak Abu

Klasifikasi burung Kuntul Besar dan Cangak Abu.

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Aves

Ordo : Ciconiiformes

Famili : Ardeidae

Genus : Egretta

Spesies : Egretta alba

Genus : Ardea

Spesies : Ardea Cinerea

2.2 Karakteristik Burung Air

Ordo Ciconiiformes termasuk didalamnya spesies A. cinerea, E. alba, E. garzetta, Mycteria cinera, dan beberapa jenis lain memiliki ukuran tubuh yang relative besar, kaki yang panjang, paruh yang panjang, dan dengan kepakan sayap yang lambat. Menurut Rukmi (2002), sebagian besar burung pada ordo Ciconiiformes terlihat sangat berbeda dibandingkan burung lain yang hidup di air atau dekat air karena kakinya yang panjang. Ciconiiformes tidak dapat menggunakan kakinya untuk berlari dengan cepat, gaya berjalannya cenderung lambat tetapi teratur. Selain memiliki kaki dan leher yang panjang, untuk keberlangsungan hidupnya bergantung dari memakan hewan lain.

Genus Egretta dan Ardea merupakan subfamili yang aktif pada siang hari (day heron). Secara umum, yang memiliki ukuran medium dikategorikan dalam genus Egretta, dan ukuran yang lebih besar dikategorikan dalam genus Ardea (Rukmi, 2002).


(20)

2.2.1 Morfologi Kuntul Besar

Kuntul Besar (E. alba) berukuran besar (88 cm). Jauh lebih besar dari kuntul putih lainnya dengan paruh yang lebih berat dan leher bengkok yang merupakan ciri khasnya. Pada masa berbiak, kulit muka yang tidak berbulu berwarna biru atau hijau, paruh hitam , bagian paha yang tidak berbulu merah dan ujung kaki hitam. Sedangkan di luar musim berbiak, muka yang tidak berbulu berwarna kekuning-kuningan, paruh kuning dengan ujung berwarna gelap, kaki dan betis hitam (Gambar. 1) (Mackinnon, 1995).

Gambar 1. Morfologi Kuntul Besar

2.2.2 Morfologi Cangak Abu

Cangak Abu (A. cinerea) memiliki ukuran sekitar 100 cm, berwarna putih abu-abu dan hitam. Cangak Abu dewasa memiliki jambul dan garis mata hitam, bulu terbang hitam, lekukan sayap dan dua garis pada dada hitam. burung muda lebih abu-abu pada bagian kepala dan leher serta tidak memiliki bercak-bercak hitam. Mata kuning, paruh kuning kehijauan, kaki kehitam-hitaman (Gambar. 2) (Mackinnon,1995).


(21)

2.3 Habitat dan Sarang Burung Air

Hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa (Soerianegara, 1987 dalam Rukmi, 2002).

Mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa seperti primata, reptilia, dan burung. Jenis burung yang hidup di daerah mangrove tidak selalu sama dengan jenis jenis yang hidup di daerah hutan sekitarnya, karena sifat khas hutan mangrove (Elfidasari & Junardi, 2005).

Aktifitas burung air akan selalu berkaitan erat dengan kawasan basah agar dapat menunjang kelangsungan hidupannya. Apabila terjadi kerusakan habitat aslinya, maka burung air akan mencari lahan basah yang baru untuk tempat hidupnya. Menurut Alikodra (2002) dan Masy’ud (1989) dalam Jumilawaty et al

(2011), burung air memerlukan habitat untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain dan tempat untuk berkembang biak. Apabila keadaan habitat sudah tidak sesuai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka reaksi yang muncul adalah satwa tersebut akan berpindah mencari tempat lain yang menyediakan kebutuhannya.

Pada burung, pemilihan habitat untuk berbiak merupakan keputusan yang lebih sulit dibandingkan seleksi untuk memilih habitat lain, sebab jika burung telah meletakkan telur-telurnya, maka lokasi berbiak tersebut merupakan keputusan untuk bertahan lama di lokasi tersebut selama masa inkubasi dan setidaknya tahapan awal untuk membesarkan anaknya. Pada burung tipe altrisial, pemilihan lokasi berbiak akan bertahan sampai anakan dapat terbang, dan bahkan pada burung tipe semiprekoksial seperti black skimmers teritori tersebut tetap digunakan kembali setelah anakan dapat terbang (Burger & Gochfeld, 1990).

Sarang merupakan tempat bagi burung untuk meletakkan serta menjaga telur dan anakan hingga mereka dewasa dan dapat berdiri sendiri (Jumilawaty, 2002). Aspek ekologi burung seperti kepadatan sarang, clutch size, dan volume telur dapat dipengaruhi oleh dinamika populasi, genetika populasi, kualitas habitat/ketersediaan pangan (Chaulk et al, 2004).


(22)

Keberhasilan sarang sangat rendah pada banyak burung, khususnya pada spesies altrisial. Pada penyelidikan beberapa tahun lalu dari 170 jenis sarang burung altrisial diketahui hanya 21% menghasilkan sekurangnya satu anakan. Sensus burung tahunan menunjukan bahwa keberhasilan sarang menurun tiap harinya (Hickman et al, 2003).

Pemilihan sumber daya yang berbeda adalah salah satu faktor utama, yang memungkinkan spesies untuk tetap koeksistensi. Dalam penelitian mengenai relung ekologi, lokasi bersarang mendapatkan perhatian yang lebih sedikit dibandingkan dengan lokasi makan atau habitat, hal ini dimungkinkan karena sarang yang cocok dianggap tidak tersedia untuk sebagian besar spesies. Namun, ketika suatu spesies memiliki persyaratan khusus untuk membangun sarang, lokasi yang cocok akan sangat susah untuk didapatkan. Hal ini akan menyebabkan tumpang tindih dalam membangun sarang (Govi & Pandav, 2011)

2.4 Berbiak

2.4.1 Variasi musim berbiak

Ada 4 hal yang mempengaruhi variasi musim berbiak yaitu:

1) Posisi Geografi: ada 3 aspek posisi geografi yang telah terbukti mempengaruhi waktu musim berbiak burung yaitu lintang (Latitude), bujur (longitude) dan ketinggian (altitude).

2) Temperatur: variasi suhu sesuai dengan posisi geografis yang telah dibahas diatas, tetapi perbedaan tahunan suhu dalam suatu area juga dapat mempengaruhi musim berbiak burung. Umumnya berbiak dimulai ketika awal musim semi ketika suhu tinggi, dan diakhir musim dingin.

3) Habitat: bahkan dalam wilayah geografis yang kecil di tahun yang sama, spesies yang sama di habitat yang berbeda dapat berkembang biak pada waktu yang sedikit berbeda. Meskipun alasan ini tidak terlalu jelas, ada kemungkinan bahwa kebiasaan berkembang biak diawal berkaitan dengan pasokan makanan yang lebih banyak

4) Umur: pada banyak spesies, individu yang lebih tua berkembang biak diawal tahun daripada burung yang berkembang biak untuk pertama kalinya. (Perrins & Birkhead, 1983).


(23)

2.4.2 Mekanisme Berbiak

Salah satu faktor penting dalam indikator keanekaragaman hayati adalah kemampuan berbiak. Kepadatan populasi bersarang biasanya digunakan untuk mengestimasi ukuran populasi berbiak, dengan menghitung kemampuan reproduksi dapat digunakan sebagai indikator status populasi (Chaulk et al, 2004).

Setiap organisme memiliki kemampuan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang biak pada habitat yang sesuai dengannya. Salah satu cara untuk mempertahankan hidupnya adalah dengan mempertahankan perilaku keseharian pada saat musim berbiak (Jumilawaty et al, 2011).

Dalam musim berbiak burung harus mencari pasangan agar dapat menghasilkan keturunan selama satu musim kawin tersebut. Mencari pasangan merupakan tahapan penting yang harus dilalui oleh masing-masing individu. Menurut Welty (1982) dan Faboorg (1988), dalam Rukmi (2002), pembentukan pasangan sebagai hubungan mutual resiprokal antara dua heteroseksual, matang secara seksual, menguraangi keagresifan antar individu, dan meningkatkan interaksi seksual. Pembentukan pasangan memiliki sarana melalui pertukaran sinyal visual dan auditori diantara pasangan yang berpotensi untuk berkembangbiak.

Pembentukan pasangan dimulai dengan mempertunjukkan gerakan-gerakan mengundang pasangan oleh jantan berupa gerakan-gerakan sayap yang teratur (Wing-Waving). Selanjutnya betina akan memilih untuk menerima atau menolak jantan berdasarkan tarian yang dipertunjukkan, karena setiap gerakan yang dipertunjukkan memiliki arti khusus yang dimengerti dan dikenal oleh betina (Kortland 1995, dalam Jumilawaty 2002).

Pada burung Cangak display dilakukan dalam posisi berdiri, sebagaimana dilakukan oleh Kuntul Besar, melakukan stretch display, leher ditekuk menyerupai huruf S sambil mengatupkan paruh dan suata keras (snap display) kemudian dipanjangkan tegak lurus keatas, bulu crest tegak, surai bagian leher dikembangkan (Rukmi, 2002).

Nyanyian adalah salah satu keistimewaan dari usaha yang rumit untuk ditampilankan. Memiliki fungsi yang agak berbeda dari spesies ke spesies. Dalam


(24)

kasus yang paling sederhana display berfungsi untuk menyatukan kedua jenis kelamin, untuk mengaktifkan pengenalan dan pada tahap berikutnya sebagai stimulus untuk kopulasi. Selain itu, display burung berfungsi sebagai bagian dari stimulus untuk ovulasi (Young, 1981).

Selain mencari pasangan, salah satu perilaku harian yang terjadi pada musim berbiak adalah perilaku kontrol induk terhadap calon anakannya. Induk betina akan lebih sering mengawasi telurnya agar tidak mudah dimangsa oleh pemangsa, selain itu induk betina akan lebih sering mendekap telurnya agar tidak terjadi kegagalan sebelum menetas yang diakibatkan oleh banyak faktor lingkungan. Resiko predasi mungkin terbatas oleh clutch size jika, sebagai contoh frekuensi induk memberi makan ke sarang akan menarik perhatian pemangsa atau jika cadangan nutrisi disimpan untuk membangun sarang lagi setelah sarang rusak (Wiebe et al, 2006).

Untuk mencegah predasi biasanya selama musim berbiak, burung-burung akan memiliki daerah kekuasaan yang akan dipertahankannya. Semua pengganggu yang datang akan dihalau kecuali pasangan dan anaknya. Bagi burung-burung yang bersarang dalam satu koloni, daerah teritori tak lebih dari jangkauan paruh ketika duduk dalam sarangnya (Pettingil & Breckenridge, 1969

dalam Jumilawaty, 2002).

Sebagian besar burung yang menempati teritori tipe C, teritori ini berkaitan dengan lokasi berbiak. Lokasi berbiak yang kecil pada beberapa koloni burung laut mungkin bertentangan dalam kualitas mereka, baik dari segi inisial karakteristik fisik mereka, atau posisi mereka berada di kelompok yang relatif dibandingkan burung lain, namun mereka masih dipertahankan dengan cara yang sama dengan teritori yang lebih besar (Perrins dan Birkhead, 1983).

2.4.3 Telur Dan Keberhasilan Tetasan

Produksi telur merupakan tahapan selanjutnya setelah proses berbiak berlangsung, betina akan menghasilkan telur ketika sperma dan ovum telah mengalami koopulasi, biasanya dalam satu sarang burung betina akan menghasilkan telur sebanyak 3-4 butir tergantung oleh faktor nutrisi yang tersedia di alam. FSH yang distimulasi oleh organ reproduksi burung betina akan menyebabkan folikel-folikel dewasa mengalami pematangan, sehingga ini akan mengawali proses


(25)

perkembangan telur selanjutnya. Produksi FSH dipengaruhi oleh periode penyinaran yang kemudian akan mendorong ovari untuk dapat memproduksi hormon yang khusus dihasilkan oleh organ reproduksi betina seperti estrogen dan progesteron. Selanjutnya hormon progesteron akan merangsang produksi LH agar folikel-folikel dewasa tersebut dapat masuk ke magnum dan isthmus untuk dibentuk albumin dan putih telur. Tahap akhir dari fase ini adalah folikel dewasa masuk kedalam uterus yang kemudian akan dibungkus oleh cangkang dan segera dikeluaran melalui kloaka (Jumilawaty, 2002).

Gambar klasifikasi bentuk telur menurut Hogeerwerf (1949), dalam

Rukmi (2002) dapat dilihat pada Gambar 3.

Asimetris Simetris

Tipe I : Normal-oval Tipe IV : Lebar-oval, hampir bulat Tipe II : Panjang –oval Tipe V : Panjang-oval, ellips Tipe II : Lebar-oval Tipe VI : Normal-oval

Gambar 3. Klasifikasi bentuk telur (Hogeerwerf 1949, dalam Rukmi 2002)

Pada banyak spesies burung, betina muda cenderung menghasilkan letakan telur lebih sedikit dari yang lebih tua. Selain itu induk muda juga cenderung kurang sukses dalam membesarkan anakannya, ukuran letakan telur yang lebih kecil mungkin merupakan adaptasi terhadap kemampuan individu untuk membesarkan anakan (Perrins & Birkhead, 1983).

Suhu telur selama mengeram biasanya dijaga dalam kisaran 33-37°C. Induk burung sering memutar telur beberapa kali dalam satu jam selama inkubasi, dan masing-masing telur umumnya dibolak-balik untuk memastikan bahwa semua bagian telur memiliki suhu rata-rata yang sama (Pough et al, 1996).


(26)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 - Januari 2015 di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah camera digital, meteran kain, meteran tanah, tali rafia, karung plastik, jangka sorong, kantung kain, mistar, timbangan digital, dan teropong binokuler. Sementara bahan yang digunakan adalah data sheet, penanda, kertas grafik, alat tulis, dan buku identifikasi mangrove.

3.3. Rancangan Percobaan 3.3.1 Survey Lokasi Penelitian

Kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran umum mengenai lokasi penelitian, vegetasi tumbuhan yang ada, serta untuk menentukan lokasi pengambilan sampel. Titik Koordinat yang didapatkan dari lokasi penelitian adalah N=03°43'17.7" E=098°45'126.02" (Gambar. 4).

Gambar 4. Lokasi Penelitian di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang


(27)

3.3.2 Pengumpulan Data 3.3.2.1 Sarang

3.3.2.1.1 Pemilihan Pohon Sarang

Pohon sarang yang dipilih Kuntul Besar dan Cangak Abu untuk berbiak dicatat untuk mengetahui jenis pohon yang lebih disukai (Rukmi, 2002).

3.3.2.1.2 Peletakan Sarang

Untuk mengetahui peletakan sarang Kuntul Besar dan Cangak Abu dilakukan pencatatan dan pengukuran terhadap 5 pohon sarang untuk masing-masing spesies, adapun variabel-variabel yang diukur sebagai berikut:

a. Jenis pohon tempat bersarang dicatat nama ilmiah dan nama lokalnya.

b. Tinggi pohon (m), yaitu jarak dari permukaan tanah ke bagian tertinggi tajuk pohon.

c. Tinggi pohon dari akar (m), diukur mulai dari batang terbawah sampai ujung kanopi pohon

d. Diameter pohon (cm), dihitung setinggi dada dari permukaan tanah atau 10 cm dari akar tertinggi dan dihitung dengan meteran 1,5 m.

e. Ketinggian sarang, yaitu jarak dari permukaan tanah sampai dasar sarang bagian luar, diukur dengan menggunakan meteran 30 m dengan cara memanjat pohon dimana sarang itu diletakkan.

f. Jarak ke pohon sarang terdekat (m), jarak terdekat yang digunakan pohon untuk bersarang.

g. Jarak pohon sarang ke tepi tambak (m), yaitu jarak terdekat dari pohon tempt bersarang ke tepi bagian luar tambak.

h. Jarak pohon sarang ke tipe vegetasi berbeda yang terdekat (m), yaitu jarak terdekat dari pohon tempat bersarang ke tepi vegetasi yang berbeda

i. Jumlah sarang dalam satu pohon.

j. Diameter cabang penyangga sarang (cm), yaitu diameter cabang atau ranting terbesar yang menyangga sarang.

k. Jarak sarang terhadap batang utama (m), jarak terdekat tepi sarang ke bagian utama pohon (batang utama).

l. Jumlah cabang penyangga sarang, yaitu jumlah cabang atau ranting yang menyangga berdirinya sarang.


(28)

n. Jarak sarang ke puncak kanopi (m), yaitu jarak yang diukur mulai dari peletakan sarang hingga puncak kanopi teratas dalam satu pohon sarang (Rukmi, 2002).

3.3.2.1.3 Struktur Sarang

Dilakukan pengukuran dimensi sarang terhadap 2 sarang untuk masing-masing spesies burung, variabel-variabel yang diukur adalah sebagai berikut: a. Panjang sarang (cm), yaitu bagian sarang terpanjang.

b. Lebar sarang (cm), yaitu bagian sarang terlebar.

c. Kedalaman sarang (cm), yaitu jarak tegak lurus dari dasar bagian dalam sarang kepermukaan sarang.

d. Tinggi total sarang (cm), yaitu jarak dari bagian terbawah ke bagian tertinggi sarang.

e. Bibir sarang (cm), yaitu jarak bagian dalam sarang yang merupakan tepi sarang kebagian terluar (Rukmi, 2002).

3.3.2.1.4 Komposisi Penyusun Sarang

Untuk mengetahui komposisi sarang dilakukan pengukuran dan identifikasi jenis ranting, akar-akaran dan bahan-bahan lain yang digunakan untuk membangun sarang. Variabel yang diukur meliputi panjang (cm), lebar (cm). Sampel contoh untuk bahan pengukuran diambil masing-masing 2 sarang Kuntul Besar dan Cangak Abu yang telah ditinggalkan dan tidak digunakan lagi (Rukmi, 2002).

3.3.2.2 Habitat

Penelitian habitat dilakukan untuk mengetahui komposisi vegetasi pada lokasi penelitian. Untuk mendapatkan gambaran profil vegetasi (komponen struktur vertikal dan horisontal)

a. Ditentukan 2 petak contoh dengan ukuran 10x20 m

b. Seluruh pohon yang ada diberi nomor dan dilakukan pengukuran diameter tinggi pohon, tinggi batas kanopi, dan proyeksi kanopi pohonnya.

c. Profil vegetasi digambar dalam skala 1:100. Hasil-hasil pengukuran pohon untuk tinggi pohon dan arsitektur kanopinya diproyeksi secara vertikal dan horisontal (Rukmi, 2002).


(29)

3.3.2.3 Telur

3.3.2.3.1 Dimensi Telur dan Clutch size

Telur diidentifikasi warna dan ukurannya untuk mengetahui spesiesnya. Parameter yang diukur adalah panjang (cm), lebar (cm), dan berat (g). Dimensi telur diukur dengan menggunakan jangka sorong, sedangkan berat diukur dengan menggunakan timbangan digital. Telur diturunkan melalui kantong kain yang diikat dengan tali panjang, kemudian pengukuran dan penandaan dilakukan dibawah pohon. Sampel contoh diambil dari masing-masing 5 sarang (Rukmi, 2002).

3.3.2.3.2 Jarak Peneluran

Peletakan telur mulai diamati sejak telur pertama kali diletakkan, biasanya satu atau beberapa hari setelah sarang selesai dibuat. Pengecekan waktu peletakan telur diamati setiap 2 hari sekali. Waktu menetas telur dicatat berdasarkan pengamatan langsung terhadap telur yang dierami. Telur yang menetas dicatat waktu dan jumlah yang menetas (Rukmi, 2002).

3.3.2.3.3 Masa Pengeraman

Masa pengeraman dilakukan sejak telur pertama diletakkan hingga telur menetas (hari), telur yang diletakkan diberi nomor sebagai penanda. Pengamatan dilakukan dengan memanjat atau melihat dari bawah sarang setiap dua hari sekali (Rukmi, 2002).

3.3.2.3.4 Keberhasilan Tetas

Telur-telur yang dihasilkan Kuntul Besar dan Cangak Abu diamati mulai dari tanggal peneluran hingga tanggal penetasan (Rukmi, 2002).

3.3.2.4 Perkembangan Anak

Berat anak ditimbang setiap dua hari sekali. Anak diturunkan dengan menggunakan kantong kain. Bagian tubuh yang diukur adalah panjang tarsus, panjang ulnar (sayap), dan panjang culmen (paruh) dengan menggunakan jangka sorong. Panjang culmen dihitung mulai dari ujung paruh bagian atas hingga ke pangkalnya (Rukmi, 2002).


(30)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sarang

4.1.1 Pemilihan Pohon Sarang

Hasil penelitian pada bulan Oktober 2014 – Januari 2015 ditemukan adanya perbedaan pemilihan pohon sarang antara Cangak Abu dan Kuntul Besar, dimana pohon sarang yang digunakan oleh Cangak Abu dan Kuntul Besar memiliki perbedaan (Tabel.1). Cangak Abu memilih tiga jenis pohon untuk meletakkan lima sarang dimana dua sarang pada pohon Avicennia officinalis (40%), dua sarang pada pohon Sonneratia alba (40%), dan satu sarang dari pohon Rhizophora mucronata (20%). Sedangkan Kuntul Besar memilih dua jenis pohon untuk meletakkan lima sarang, yaitu tiga sarang pada pohon Rhizophora mucronata

(60%), dan dua sarang pada pohon Ceriops tagal (40%).

Tabel.1 Data Pemilihan Pohon Sarang Cangak Abu dan Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Spesies Jumlah

Sarang

Pohon Sarang Yang Digunakan

R. mucronata A. officinalis S. alba C. tagal

Cangak Abu 5 20% 40% 40% -

Kuntul Besar 5 60% - - 40%

Perbedaan ini disebabkan oleh populasi burung yang banyak sehingga timbul stratifikasi untuk mencegah terjadinya kompetisi. Selain itu juga dengan populasi yang padat dan kerapatan pohon yang rendah, ditemukan banyak sarang dalam satu pohon. Menurut Rukmi (2002), teritori didefinisikan sebagai area yang dipertahankan oleh suatu spesies, memiliki fungsi yang berbeda-beda untuk tiap individu burung, pasangan atau famili, koloni burung atau spesies tunggal. Secara sederhana teritori memiliki fungsi untuk mengurangi bahaya atau kerugian karena populasi yang padat.

Cangak Abu memilih pohon sarang A. officinalis dan S. alba dikarenakan kedua pohon tersebut merupakan pohon yang berukuran besar dengan diameter batang yang besar dan daun yang tidak terlalu rimbun. Sementara satu pohon R.


(31)

mucronata dipilih untuk meletakkan sarang pada posisi mendekati puncak kanopi. Sedangkan Kuntul Besar lebih memilih R. mucronata dan C. tagal dikarenakan pohon tersebut merupakan pohon yang memiliki daun yang rimbun dengan percabangan yang rapat sehingga sarang yang diletakkan akan lebih aman. Pemilihan pohon sarang yang berbeda oleh kedua jenis burung ini diduga karena adanya stratifikasi bersarang untuk menghindari kompetisi antar jenis burung dan faktor keamanan. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Rukmi (2002), maka terlihat adanya perbedaan pemilihan pohon bersarang. Perbedaan pemilihan pohon sarang oleh kedua jenis burung diduga juga mempertimbangkan jenis pohon yang ada dilokasi penelitian dan faktor keamanan. Hasil penelitian Rukmi (2002), menunjukan sarang Cangak Merah dan Kuntul besar diletakkan pada pohon R. mucronata dan C. tagal.

Pemilihan pohon bersarang yang terpenting adalah memiliki struktur pohon yang dianggap cukup aman selama musim berbiak karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan berbiak (Rukmi, 2002).

4.1.2 Peletakan Sarang

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ada perbedaan antara peletakan sarang Cangak Abu dengan Kuntul Besar (Tabel. 2), dimana Cangak Abu meletakkan sarang pada pohon dengan ketinggian 6,5 – 9 m dibandingkan Kuntul Besar 3,8 – 5,4 m, selain itu Cangak Abu memilih pohon yang memiliki diameter batang utama lebih besar dengan kisaran 14,94 – 28,63 cm dibandingkan Kuntul Besar dengan diameter kisaran 6,36 – 13,36 cm. Cangak Abu meletakkan sarang pada diameter cabang penyangga yang juga lebih besar sekitar 5,72 – 9,86 cm dibandingkan Kuntul Besar dengan diameter cabang penyangga sekitar 1,27 – 7,31 cm. Sementara Jarak sarang ke puncak kanopi Cangak Abu lebih pendek dibandingkan Kuntul Besar, ini merupakan penanda bahwa Cangak Abu meletakkan sarang dekat dengan puncak kanopi agar mempermudah Cangak Abu sewaktu hinggap di sarang.

Jika dibandingkan dengan penelitian Rukmi (2002), maka terdapat pemilihan peletakan sarang Kuntul Besar. Dimana sarang Kuntul Besar yang terdapat di Pulau Rambut diletakkan pada kisaran ketinggian 5,15-5,90 m, dengan


(32)

diameter pohon kisaran 6,65-9,65 cm. Jika dibandingkan dari ketinggian pohon maka sarang Kuntul Besar di Pulau Rambut Lebih aman.

Tabel 2. Tabel Peletakan Sarang Cangak Abu (n=5) dan Kuntul Besar (n=5) Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

No. Variabel Cangak Abu

(Rataan)

Kuntul Besar (Rataan)

1. Tinggi pohon (m) 6,5 – 9 3,8 – 5,4

2. Tinggi Pohon dari akar (m) 5,8 – 8,2 2,9 – 4,3 3. Diameter pohon (cm) 14,94 – 28,63 6,36 – 13,36 4. Jarak pohon sarang ke pohon sarang lain (m) 0,6 – 8 1 – 4,3 5. Jarak pohon sarang ke tepi tambak terdekat (m) 27 – 50 23 – 29 6. Jarak pohon sarang ke tipe vegetasi lain (m) 1,8 – 5 3 – 7,5

7. Jumlah sarang dalam 1 pohon 1 – 9 1 – 6

8. Diameter cabang penyangga (cm) 5,72 – 9,86 1,27– 7,31 9. Jarak sarang ke batang utama (m) 0,65 – 1,5 0,2 – 1,85 10. Jarak sarang ke tepi kanopi (m) 0,55 – 1 0,5 – 1,5 11. Jumlah cabang penyangga sarang 3 – 5 3 – 4 12. Jarak sarang terdekat kesarang lain dalam 1 pohon (m) 0,65 – 1,2 0,5 – 0,9 13. Jarak sarang ke puncak kanopi (m) 0,5 – 1,1 1 – 1,5

Perbedaan pemilihan pohon ini dikarenakan adanya perbedaan ukuran tubuh antara kedua jenis burung. Ukuran sayap Cangak Abu yang lebih besar membuat Cangak Abu lebih selektif memilih pohon sarang. Menurut Parejo et al.,

(1999), ukuran tubuh diartikan sebagai massa tubuh masing-masing spesies, langkah ini diambil sebagai perkiraan kompetitif kemampuan masing-masing spesies dalam menentukan keberhasilan bersarang. Menurut Rukmi (2002), ukuran tubuh burung yang besar tidak memungkinkan untuk burung dapat menyelinap di sela-sela kerapatan tajuk pohon. Menurut Martin (1986) dalam

Trisnawati et al., (2010), jika vegetasi terlalu rapat akan membuat pergerakan burung menjadi statis sehingga mengganggu jarak pandang burung untuk mencari makan ataupun waspada dalam menghindari predator yang ada seperti ular, dan biawak.

Dilihat dari Data yang didapatkan (Tabel. 2), Cangak Abu umumnya meletakkan sarang pada percabangan utama dengan cabang penyangga berjumlah 3-5 batang penyangga, sementara Kuntul Besar meletakkan sarang pada percabangan yang lebih kecil dan percabangan sedikit lebih rapat dengan cabang penyangga berkisar 3-4 batang penyangga. Semakin besar sarang maka cabang penyangga yang digunakan juga harus berukuran besar dan tidak rapuh agar dapat


(33)

menyokong sarang, dan jumlah penyangga yang digunakan lebih banyak agar dapat mempertahankan posisi sarang terutama saat angin kencang. Menurut Rukmi (2002), pemilihan tempat bersarang adalah memiliki strukur yang stabil, daun cukup rimbun, serta pohon memiliki struktur yang memungkinkan untuk terbang. Sementara menurut Kim & Koo (2009), ukuran, struktur, bentuk sarang, dan orientasi sarang sangat penting dalam menyediakan tempat tinggal dalam cuaca yang buruk, khususnya ketika angin kencang dan badai.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kerusakan sarang yang terjadi selama penelitian tidak dipengaruhi oleh angin, akan tetapi oleh penginjakan burung lain. Menurut data BMKG tahun (2014), kecepatan angin yang paling kencang berada pada bulan Februari yaitu sekitar 2.8 knot, sementara untuk bulan Oktober hanya 2.3 knot. Dapat disimpulkan bahwa kecepatan angin selama penelitian tidak terlalu berpengaruh terhadap kerusakan sarang. Faktor angin tidak memberikan pengaruh karena lokasi berbiak lebih tertutup dan ketinggian pohon mangrove dilokasi berbiak hampir sama.

4.1.3 Struktur Sarang Cangak Abu dan Kuntul Besar

Dari hasil penelitian ditemukan adanya perbedaan struktur sarang Cangak Abu dan Kuntul Besar (Tabel. 3), dimana Ukuran fisik struktur sarang Cangak Abu dan Kuntul Besar di lokasi penelitian sangat berbeda, sarang Cangak Abu terlihat lebih besar dibandingkan sarang Kuntul Besar. Dilihat dari lebar sarang, sarang Cangak Abu memiliki rataan sebesar 98,5 cm sementara sarang Kuntul Besar hanya memiliki lebar 29 cm. Perbedaan mencolok juga terlihat pada variabel tinggi total sarang, dimana sarang Cangak Abu memiliki tinggi total 35 cm berbeda jauh dengan sarang Kuntul Besar yang hanya memiliki tinggi total 16,5 cm. Perbedaan ini disebabkan karena sarang Cangak Abu yang dijumpai di lokasi penelitian umumnya berbentuk mangkuk (cekung) sementara sarang Kuntul Besar umumnya berbentuk datar. Menurut Rukmi (2002), bentuk sarang yang dangkal sangat rawan, karena telur dapat terlempar keluar hanya karena angin dan sedikit gerakan dari induknya .


(34)

Tabel 3. Ukuran fisik (Rataan±Sd) sarang Cangak Abu (n=2) dan Kuntul Besar (n=2) Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Variabel Cangak Abu (n=2) Kuntul Besar (n=2)

Lebar sarang (cm) 98,5±7,77 29±1,41

Panjang sarang (cm) 81±1,41 36,5±6,36 Kedalaman sarang (cm) 10,5±0,70 1,9±2,12 Tinggi total sarang (cm) 35±4,24 16,5±1,27

Bibir sarang (cm) 32±5,65 13±4,24

Berat (kg) 3,55±1,06 0,655±0,33

Perbedaan struktur sarang ke dua burung tersebut bisa jadi disebabkan karena ukuran tubuh burung. Burung Cangak Abu membangun sarang yang berukuran lebih besar dan lebih berat. Perbedaan stuktur ini diduga berhubungan dengan faktor keamanan dan kenyamanan dari telur dan anakan burung yang mendukung keberhasilan berbiak dan survivalnya. Jika dilihat dari data yang didapatkan sarang Kuntul Besar lebih beresiko telur terhempas keluar karena bentuk sarang yang datar.

Panjang sarang Cangak Abu yang didapatkan dari penelitian lebih besar yaitu sekitar 81 cm jika dibandingkan dengan panjang sarang Cangak Abu yang didapatkan Nedjah et al., (2014) yang berkisar 75 cm.

Gambar 5. Sarang Cangak Abu Gambar 6. Sarang Kuntul Besar

Dilihat dari Gambar. 5 dan 6, terdapat perbedaan antara sarang Cangak Abu dan sarang Kuntul Besar. Sarang Canggak Abu berbentuk mangkuk sehingga terdapat lekukan di tengah sarang yang berpengaruh pada kedalaman sarang, sementara sarang Kuntul Besar terlihat lebih datar. Menurut Kushlan (2011), Pada beberapa spesies sarang mulai dibangun oleh jantan, tapi umumnya dibangun


(35)

bersama-sama, betina memilih lokasi meletakkan sarang dan menentukan bentuk sarang, perilaku ini disebut tremble shoving. Menurut Rukmi (2002), susunan sarang umumnya menggunakan ranting yang paling besar pada bagian bawah sebagai platform, diikuti dengan ranting yang lebih kecil yang berfungsi sebagai penghangat telur.

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Rukmi (2002), panjang sarang Cangak Merah rata-rata 69,31 cm dan Kuntul Besar rata-rata 62,30 cm, kedalaman sarang Cangak Merah rata 7,23 cm dan sarang Kuntul Besar rata-rata 7,85 cm dan tinggi total sarang Cangak Merah rata-rata-rata-rata 20,69 cm dan Kuntul Besar rata-rata 20,80 cm. Sementara dari hasil penelitian Sulistiani (1991), panjang sarang Kuntul Kecil rata-rata 26,66 x 24,36 cm, kedalaman sarang 4,11 cm, dan tebal sarang 16,40 cm.

4.1.3 Komposisi Penyusun Sarang

Dari hasil penelitian ditemukan ada perbedaan bahan penyusun sarang Cangak Abu dan Kuntul Besar (Tabel. 4 dan 5), dimana Cangak Abu cenderung memilih ranting dengan panjang 30,01-35,00 (13%), 41,05-45,00 (12,50%) cm dan 45,01-50,00 cm (12,50%), serta diameter ranting 0,61-0,80 cm (31,50%). Sementara Kuntul Besar lebih memilih ranting dengan kisaran panjang 15,01-20,00 cm (20,16%), dan 20,01-25,00 cm (23,38%), serta diameter ranting paling dominan adalah kisaran 0,21-0,40 cm (41,12%).

Ukuran panjang ranting 0,01 – 10,0 cm tidak ditemukan disarang Cangak Abu dan Kuntul Besar, hal ini disebabkan karena ukuran tersebut terlalu pendek untuk membentuk sarang. Sedangkan ukuran panjang 75,0 – 115,0 cm tidak ditemukan pada sarang Kuntul Besar disebabkan karena ukuran sarang yang tidak terlalu besar sehingga tidak diperlukan ranting yang terlalu panjang. Sementara untuk ukuran diameter 1,81 – 2,0 cm tidak ditemukan pada sarang Cangak Abu dan Kuntul Besar disebabkan karena diameter ranting yang terlalu tebal memiliki tingkat kelenturan yang rendah sehingga sarang akan susah dibentuk. Menurut Collias & Collias (1984) dalam Rukmi (2002), ranting yang terlalu panjang sulit untuk dibawa, sementara ranting yang terlalu pendek tidak sulit dibawa tetapi sulit untuk dijalin. Sementara diameter ranting yang terlalu besar sulit dibawa dengan


(36)

paruh dan lebih sulit dijalin, serta energi yang digunakan untuk membawa ranting tersebut juga lebih banyak.

Tabel 4. Panjang Ranting-Ranting Penyusun Sarang Cangak Abu (n=2) dan Kuntul Besar (n=2) Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

No. Kisarang ukuran (cm) Cangak Abu (%) Kuntul Besar (%)

1. 0,01-0,5 - -

2. 0,51-10,0 - -

3. 10,1-15,00 0,50% 4,03%

4. 15,01-20,00 3% 20,16%

5. 20,01-25,00 3,50% 23,38%

6. 25,01-30,00 7% 13,70%

7. 30,01-35,00 13% 12,90%

8. 35,01-40,00 7% 10,48%

9. 40,01-45,00 12,50% 4,03%

10. 45,01-50,00 12,50% 4,83%

11. 50,01-55,00 10,50% 3,22%

12. 55,01-60,00 7,50% 1,61%

13. 60,01-65,00 8,50% 0,80%

14. 65,01-70,00 4% -

15. 70,01-75,00 6% 0,80%

16. 75,01-80,00 3% -

17. 80,01-85,00 - -

18. 85,01-90,00 0,50% -

19. 90,01-95,00 0,50% -

20. 95,01-100,00 - -

21. 100,01-105,00 - -

22. 105,01-110,00 - -

23. 110,01-115,00 0,50% -

Umumnya diameter ranting yang dipakai Cangak Abu lebih besar dibandingkan Kuntul Besar. Begitu juga dengan ukuran panjang ranting yang berbeda antara kedua jenis burung tersebut. Jika Dibandingkan penelitian Rukmi (2002), diameter ranting Cangak Merah (Ardea purpurea) yang didapatkan oleh Rukmi paling banyak (35,76%) pada kisaran 0,4-0,6 cm, Sementara diameter ranting Cangak Abu paling banyak yang didapatkan selama penelitan adalah (31,50%) pada kisaran 0,6-0,8 cm. Sedangkan diameter ranting Kuntul Besar paling banyak yang didapatkan oleh penelitian Rukmi (36,97%) adalah kisaran 0,4 – 0,6 cm, berbeda dengan diameter ranting Kuntul Besar yang didapatkan


(37)

selama penelitian (41,12%) pada kisarana 0,2-0,4 cm. Terlihat adanya perbedaan penggunaan material antar spesies burung.

Tabel 5. Diameter Ranting-Ranting Penyusun Sarang Cangak Abu (n=2) dan Kuntul Besar (n=2) Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

No. Kisaran ukuran (cm) Cangak Abu (%) Kuntul Besar (%)

1. 0,01-0,20 1,50% 12,09%

2. 0,21-0,40 4,50% 41,12%

3. 0,41-0,60 16% 24,19%

4. 0,61-0,80 31,50% 18,54%

5. 0,81-1,00 24% 2,41%

6. 1,01-1,20 13% 0,80%

7. 1,21-1,40 7,50% 0,80%

8. 1,41-1,60 1,50% -

9. 1,61-1,80 0,50% -

10. 1,81-2,0 - -

Sarang Cangak Abu tersusun atas 10 jenis material penyusun sarang (Tabel. 6) yang didominasi oleh R. mucronata (22%), R. apiculata (25,5%), dan ada satu jenis bahan penyusun sarang anorganik yaitu tali (0,5%). Sementara sarang Kuntul Besar tersusun atas 7 material penyusun sarang yang didominasi oleh R. mucronata (25%), R. apiculata (20,96%), dan S. alba (20,96%).

Tabel 6. Bahan Penyusun Sarang Cangak Abu (n=2) dan Kuntul Besar (n=2) Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

No. Nama

Indonesia Nama Latin

Cangak Abu (%)

Kuntul Besar (%)

1. Bakau merah Rhizophora mucronata 22.0% 25.0%

2. Bakau kecil Rhizophora apiculata 25.50% 20.96%

3. Pasir-Pasir Ceriops tagal 15.50% -

4. Bogem Sonneratia alba 8.50% 20.96%

5. Api-Api Avicenia officinalis 4.0% -

6. Mengkudu Morinda citrifolia 0.50% 0.80%

7. Paku Laut Acrosthicum aureum 11.0% 9.67%

8. Rumput Poace 11.5% 8.87%

9. Lidi Nypa fruticans 1.0% 13.70%

10. Tali - 0.50% -

Dilihat dari komposisi penyusun sarang, maka bahan yang digunakan adalah ranting-ranting tanaman mangrove, jarang dijumpai ranting tanaman dari


(38)

jenis tumbuhan lain selain mangrove. Hal ini berkaitan dengan lokasi bersarang, dimana lokasi bersarang kedua jenis burung tersebut merupakan kawasan tambak yang mayoritas tanamannya merupakan tumbuhan mangrove. Selain itu juga disebabkan karena ketersediaan bahan penyusun sarang yang memadai di lokasi penelitian, sehingga burung tidak perlu mencari ke lokasi lain. Menurut Collias & Collias (1984) dalam Rukmi (2002), pertimbangan material diambil disekitar lokasi berhubungan dengan efisensi penggunaan energi (energetic cost) selama pembentukan sarang. Menurut Sulistiani (1991), pemilihan jenis bahan sarang dipengaruhi oleh ketersediaan dan kelimpahan, berat dan ukuran, dan fungsi ranting. Menurut Ayas (2008), lokasi bersarang yang baik umumnya memberikan perlindungan terhadap predator, menawarkan stabilitas yang memadai dan menyediakan bahan pendukung untuk membangun sarang, serta adanya akses ke lokasi mencari makan yang dapat dijangkau.

Keamanan sarang bergantung dari pemilihan lokasi dan material yang digunakan, semakin besar ukuran tubuh maka semakin besar ranting yang digunaka. Menurut Collias dan Collias (1994) dalam Rukmi (2002), kemananan penempatan dan keamanan sarang pada sebuah pohon sangat bervariasi sesuai dengan ukuran tubuh burung dan kekuatan pohon untuk mendukung sarang tersebut. Burung dengan tubuh yang besar menggunakan ranting dan dahan yang tidak mudah diterpa oleh angin. Sedangkan burung yang berukuran sedang akan menggunakan ranting yang kecil atau semak atau keduanya. Menurut Sulistiani (1991), sementara untuk jumlah dan ukuran ranting sendiri dipengaruhi oleh posisi sarang, penginjakan oleh anakan dan induknya, dan umur (pengalaman) pembuat sarang.

4.1.5 Profil Vegetasi Lokasi Penelitian

Hasil analisis terhadap vegetasi di temukan 6 jenis pohon mangrove yang dipilih sebagai tempat meletakkan sarang oleh kedua jenis burung tersebut. Dua pohon dengan ketinggian 0-5 meter ditempati oleh jenis Kuntul Besar, sementara satu pohon pada ketinggian diatas 5 meter ditempati oleh Cangak Abu. Sedikitnya jenis pohon yang ditemukan dilokasi penelitian karena wilayah ini termasuk wilayah mangrove sekunder dan sebagian besar telah dibangun menjadi tambak.


(39)

Kerapatan pohon yang rendah menyebabkan banyak dijumpai sarang dalam satu pohon sehingga timbul stratifikasi dalam memanfaatkan pohon sarang (Gambar. 7), menurut Burger (1978), interaksi menimbulkan stratifikasi baik horisontal dan vertikal, dimana tipe vegetasi dan struktur yang ditemukan sangat penting dalam pemilihan lokasi bersarang. Seleksi dalam menentukan lokasi bersarang dan waktu yang tepat untuk inisiasi telur bagi spesies Cangak dan Kuntul dapat mempengaruhi keberhasilan berbiak.

Gambar. 7 Profil Vegetasi Vertikal Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015. Keterangan: KB: Kuntul Besar, CA: Cangak Abu.

Hasil analisis profil vegetasi menunjukkan bahwa burung Cangak Abu lebih memilih strata atas dibandingkan Kuntul Besar yang memilih strata bawah (Gambar 8).

Gambar. 8 Profil vegetasi horizontal Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015. Keterangan: KB: Kuntul Besar, CA: Cangak Abu.


(40)

Pada gambar profil vegetasi vertikal terlihat perbedaan pemanfaatan lokasi bersarang antara Cangak Abu dengan Kuntul Besar. Hal ini menunjukkan adanya stratifikasi penggunaan habitat oleh kedua jenis burung tersebut untuk menghindari adanya kompetisi dalam pemakaian habitat, walaupun jika dilihat dari stratumnya kedua jenis burung tersebut masih menempati stratum yang sama yaitu stratum C dengan ketingian 4-18 m. Sementara pada profil vegetasi horizontal, Cangak Abu cenderung meletakkan sarang dekat dengan titik tengah kanopi, sementara Kuntul Besar meletakkan sarang ke bagian kanan dari titik pusat kanopi, ini dimaksudkan agar sarang dapat terhindar dari angin kencang.

Bersadarkan strata pemanfaatan vegetasi maupun penyebaran secara horizontal pada berbagai tipe habitat, terdapat kaitan antara burung dengan pola adaptasinya misalnya dalam mencari makan. Penyebaran burung secara horizontal erat kaitannya antara burung dengan lingkungannya terutama pola adaptasi dan strategi untuk memperoleh sumber pakan. Penyebaran burung secara vertikal lebih digunakan untuk mengetahui komposisi berbagai burung dalam memanfaatkan suatu pohon secara utuh ( Hughes et al 2002, dalam Trisnawati et., al 2010).

Dalam kelompok Kuntul keberadaan stratifikasi sarang secara vertikal suatu spesies dalam sebuah koloni berkaitan dengan ukuran tubuh, spesies yang lebih besar akan bersarang pada level yang lebih tinggi. Spesies yang bersarang pada level yang lebih tinggi pada suatu pohon dianggap memperoleh teritori mereka yang dikaitkan dengan ukuran tubuh atau awal kedatangan kelompok burung (Fasola & Alieri 1992, dalam Ayas, 2008). Sedangkan menurut Burger (1978), Setelah tiba biasanya burung-burung mendirikan tempat bersarang yang dapat melindungi mereka dari predator. Spesies burung yang hadir tidak membangun sarang dalam area yang luas, tetapi hanya mendiami habitat tertentu yang dipilih saja.

4.2 Telur

4.2.1 Dimensi Telur

Dari data yang ditemukan jika dibandingkann antara telur Cangak Abu dengan telur Kuntul Besar (Tabel. 7) maka terlihat adanya perbedaan. Ukuran panjang rata telur Cangak Abu sekitar 5,46 cm, sementara Kuntul Besar panjang


(41)

rata-rata telur hanya 4,47 cm. Yang paling terlihat berbeda adalah dari ukuran berat telur, dimana telur Cangak Abu memiliki berat rata-rata 48,74 g. Berbeda jauh dengan rata-rata telur Kuntul Besar yang memiliki berat 29,28 g. Perbedaan ukuran berat telur ini disebabkan oleh ketersediaan pakan yang berlimpah dilokasi penelitian dikarenakan lokasi penelitian merupakan kawasan tambak dan pemancingan. Sehingga adanya perbedaan kandungan berat yolk dan albumin

antar spesies.

Tabel.7 Dimensi Telur Cangak Abu dan Kuntul Besar berdasarkan sarang Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Jenis Ukuran Clutch

(jlh telur/sarang) Panjang Rataan±SD Lebar Rataan±SD Berat Rataan±SD Rasio P/L Cangak Abu 1 (3) 5,73±0,128 4,31±0,791 53,88±1,478 1,32:1

2 (4) 5,45±0,160 3,80±0,08 45,56±1,445 1,43:1 3 (4) 5,27±0,173 4,00±0,044 45,7±1,937 1,31:1 4 (3) 5,04±0,252 4,09±0,148 46,14±3,193 1,23:1 5 (3) 5,84±0,195 4,31±0,628 52,44±1,930 1,35:1

Rata-rata 5,46 4,10 48,74

Kuntul Besar 1 (3) 4,95±0,257 3,35±0,013 29,08±2,573 1,48:1 2 (3) 3,97±0,555 3,44±0,083 28,04±0,892 1,15:1 3 (2) 4,49±0,254 3,51±0,056 29,15±0,070 1,28:1 4 (2) 4,59±0,091 3,32±0,162 30,08±2,432 1,33:1

5 (1) 4,35 3,50 30,06 1,24:1

Rata-rata 4,47 3,42 29,28

Perbedaan berat telur Cangak Abu dan Kuntul Besar disebabkan oleh kandungan yolk dan albumin yang berbeda. Perbedaan berat kandungan ini bisa jadi disebabkan oleh jumlah pakan (nutrisi), yang akan digunakan oleh induk burung dalam membentuk telur ketika musim berbiak dimulai. Menurut Gilbert & Mc Indone (1971) dalam Nataamijaya (2008), lebih dari 50% kandungan yolk

terdiri atas bagian padat dan mengandung 90% protein seperti lipoprotein dan Phosphoprotein. Yolk berperan penting dalam pembentukan embrio dan juga merupakan sumber nutrisi bagi embrio. Fungsi albumin adalah untuk melindungi embrio dari dehidrasi, infeksi bakteri, dan menyediakan nutrisi tambahan.

Dilihat dari rasio perbandingan panjang dan lebar (Tabel. 7) maka telur Cangak Abu dan Kuntul Besar masuk kedalam tipe VI yaitu normal-oval


(42)

berdasarkan klasifikasi rasio bentuk telur. Ukuran rata-rata panjang telur Cangak Abu yang didapatkan sekitar 5,46 cm lebih besar jika dibandingkan dengan ukuran rata-rata panjang telur yang didapatkan oleh Kim & Koo (2009) pada tahun 2000 dengan rata-rata 3,44 cm, dan lebih kecil jika dibandingkan dengan panjang telur Cangak yang didapatkan oleh Nedjah et al., (2014) pada tahun 2013 sekitar 6,09 cm. Ukuran telur yang termasuk besar bisa jadi disebabkan karena ketersediaan pakan yang berlimpah, didukung dengan kondisi lokasi bersarang yang merupakan kawasan tambak dan dekat dengan lokasi pemancingan. Menurut Rukmi (2002), burung yang meletakkan telur dengan ukuran lebih besar mempunyai kondisi fisiologis yang lebih baik karena mampu menginvestasikan energi yang lebih banyak.

Telur memiliki struktur yang berbeda, perbedaan struktur ini disebabkan karena adanya perbedaan rasio panjang dan lebar telur, selain itu juga karena adanya tekanan saat telur akan dikeluarkan. Menurut Young (1981), struktur bentuk telur burung sangat beragam, bentuk ini ditentukan oleh tekanan dari dinding oviduk yang menyebabkan munculnya bentuk tumpul pada ujung telur

4.2.2Jarak Peneluran

Interval peneluran antara Cangak Abu dan Kuntul Besar tidak terlalu berbeda (Tabel. 8), hanya saja pada Kuntul Besar terdapat jarak peneluran yang cukup lama yaitu 6 hari. Pada Cangak Abu terdapat satu sarang dengan empat telur yang tidak dapat interval penelurannya diakibatkan karena pergantian sarang sehingga tidak ditemukan lagi sarang yang masih kosong atau hanya satu telur saja. Pada Kuntul Besar interval peneluran dua, empat dan enam hari masing-masing terdapat dua butir telur, sementara pada Cangak Abu interval peneluran dua hari berjumlah dua telur, dan empat telur pada interval peneluran empat hari. Persentase keberhasilan tetas antar urutan telur hampir sama yaitu 33,33%, hanya saja pada telur Cangak Abu persentase keberhasilan tetas interval 4 hari lebih tinggi dibandingkan telur dengan interval peneluran 2 hari.


(43)

Tabel 8. Jarak Peneluran Cangak Abu dan Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Spesies Interval peneluran (hari) Jumlah telur

(butir) Persentase (%)

Cangak Abu 2

4

2 4

33,33 66,66

Kuntul Besar 2

4 6 2 2 6 33,33 33,33 33,33

Interval peneluran dipengaruhi oleh ketersediaan pakan di alam, dan pengalaman induk. Jika ketersediaan pakan berlimpah maka burung akan meletakkan telur dalam interval yang singkat, sementara jika pakan mulai berkurang maka induk akan berhenti meletakkan telur. Menurut Rukmi (2002), di daerah tropis suplai makanan relatif stabil sepanjang tahun dan clutch size selalu mendekati daya dukung habitatnya. Keadaan ini berbeda dengan daerah beriklim sedang yang kondisinya lebih bervariasi, suplai makanan sangat berlimpah, kompetisi kecil, sehingga burung dapat memperoleh makanan yang cukup untuk menghasilkan telur lebih banyak.

Dilihat dari Tabel. 7 terdapat perbedaan jumlah telur (clutch size) antara Cangak Abu dan Kuntul Besar. Cangak Abu memiliki telur 3-4 butir sedangkan Kuntul Besar 1-3 butir. Menurut Perrins & Birkhead (1983), semua jenis burung menghasilkan karakteristik jumlah telur dalam sebuah clutch. Rata-rata ukuran

clutch bervariasi mulai dari 1 telur pada banyak jenis burung laut, hingga 4 atau lebih telur pada beberapa unggas liar. Cangak dan Kuntul memiliki 3-5 telur dalam satu clutch. Sementara kepadatan populasi mempengaruhi ukuran clutch

didalam dan diantara spesies. Efek ini dipengaruhi oleh ketersediaan makanan. Adanya perbedaan kisaran jumlah telur menunjukan bahwa kondisi habitat yang berbeda berpengaruh pada kemampuan bertelur. Sebaliknya pada kondisi habitat yang sama akan menunjukan kemampuan yang relatif sama. Hal tersebut menunjukan adanya hubungan garis lintang (latitude) dengan clutch size dan adanya perbedaan variasi musiman dan produktivitas habitat (Mardiastuti, 2003).

Perbedaan jumlah telur juga dipengaruhi oleh pengalaman induk. Induk yang lebih berpengalaman dalam menghasilkan telur biasanya meletakkan telur dalam satu sarang lebih banyak dan pada tempat yang lebih aman. Menurut


(44)

Imanuddin (1999) dalam Rukmi (2002), perbedaan jumlah telur dalam satu sarang juga dipengaruhi oleh usia induk betina. Pada burung wilwo, burung-burung muda seringkali bertelur dalam jumlah yang lebih sedikit dalam satu sarang dibandingkan burung-burung betina yang lebih tua.

4.2.3 Masa inkubasi

Masa inkubasi telur Cangak Abu dan Kuntul Besar umumnya hampir sama yaitu berkisar antara 20 hingga 31 hari, namum pada data yang didapatkan masa inkubasi optimal Cangak Abu berkisar 26-29 hari, sedangkan Kuntul Besar masa inkubasi optimal sekitar 23-25 hari (Gambar. 9) berbeda dengan penelitian Rukmi (2002), dimana masa pengeraman Cangak Merah selama 27 hari dan Kuntul Besar sekitar 26-29 hari. Menurut Kushlan (1997), masa inkubasi Kuntul Besar 25 hari, sedangkan Cangak masa inkubasinya 26 hari. Menurut Rukmi (2002), pengeraman pada Kuntul Besar dan Cangak Merah dimulai ketika telur pertama diletakkan, sehingga pada akhirnya mempunyai waktu penetasan yang berbeda (asynchronus hatching). Hal ini merupakan upaya induk untuk memiliki keberhasilan yang lebih tinggi.

Gambar 9. Perbandingan Masa Inkubasi Telur Cangak Abu dan Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

17 18 20 21 23 24 25 26 27 28 29 30 31

Ju m lah t el u r (B u tir )

Lama inkubasi (hari)

Telur Cangak Abu Telur Kuntul Besar


(45)

Dari penelitian yang dilaksanakan pada Oktober 2014-Januari 2015 didapatkan data masa pengeraman telur Cangak Abu lebih lama dibandingkan penelitian Rukmi (2002) yang hanya berkisar 26-27 hari, diduga karena faktor kelembaban yang tinggi. Didukung dari data BMKG tahun 2014 bahwa kelembaban udara rata-rata yang paling tinggi berada pada bulan Oktober 2014 - Desember 2014 sebesar 87%, sedangkan kelembaban terendah berada pada bulan Juli yaitu berkisar 79%. Dapat disimpulkan bahwa masa pengeraman telur Cangak Abu di lokasi penelitian lebih lama jika dibandingkan dengan pendapat Kushlan (1997) yang hanya berkisar 26 hari karena kelembaban udara yang tinggi pada lokasi penelitian, sehingga dibutuhkan hari pengeraman yang lebih lama.

Setiap jenis burung memiliki masa inkubasi yang berbeda-beda sesuai dengan jenis, lokasi bertelur, dan faktor ekologi. Menurut Pough et al., (1996), masa inkubasi tersingkat sekitar 10 sampai 12 hari untuk beberapa spesies, sedangkan masa inkubasi terlama sekitar 60 hingga 80 hari untuk spesies lain. Pada umumnya, masa inkubasi jenis burung berukuran besar lebih lama dibandingkan jenis burung kecil, tetapi faktor ekologi juga memberikan kontribusi dalam menentukan lama masa inkubasi. Kehadiran induk juga memberikan pengaruh terhadap masa inkubasi. Periode inkubasi burung yang membangun sarang dekat dasar tanah lebih pendek dibandingkan dengan burung yang bersarang dilokasi yang lebih tinggi.

4.2.4 Keberhasilan Tetas

Dari Data yang diperoleh, keberhasilan telur Cangak Abu (81,94%) lebih rendah dibandingkan dengan telur Kuntul Besar (100%). Dari 17 butir telur Cangak Abu, hanya 14 butir yang menetas sedangkan 3 lagi gagal menetas. 2 butir telur gagal menetas akibat busuk, dan 1 butir telur hilang. Diduga 1 dari 2 telur yang gagal menetas akibat busuk adalah karena kurang hati-hati saat meurunkan telur (Human error), sementara 1 telur lagi akibat hujan dan kurangnya pengeraman oleh induk.


(46)

Gambar 10. Keberhasilan Tetas Berdasarkan Urutan Telur Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Dari 17 telur Cangak Abu hanya 14 telur yang berhasil menetas, sedangkan 3 lagi gagal menetas akibat hujan yang deras, human error dan juga disebabkan oleh kecepatan angin. Jika dilihat dari Gambar. 10, maka keberhasilan tetas telur Cangak Abu lebih baik pada telur urutan ke-1 (29,41%) dan telur urutan ke-2 (29,41%). Sedangkan untuk telur Kuntul Besar, dari 12 telur yang diamati kesemuanya berhasil menetas (100%). Menurut Jakubas (2004), angin kencang yang terjadi terutama di wilayah pesisir, menyebabkan kerugian pada telur, anak burung kecil, dan seluruh sarang.

Selama masa penelitian dari Oktober 2014-Januari 2015 diamati bahwa sarang 1 Cangak Abu merupakan sarang yang paling baik diantara sarang lain, hal ini diseabkan karena hanya terlihat induk betina yang menjaga sarang, sementara tugas induk jantan mencari ranting. Menurut Koenig (1982), telur yang dierami oleh induk betina lebih tinggi keberhasilan tetasnya jika dibandingkan dengan telur yang dierami oleh induk jantan dan betina secara bergantian. Sedangkan kelompok dengan hanya satu betina yang berbiak memiliki tingkat keberhasilan tetas yang lebih baik dibandingkan kelompok yang memiliki dua atau lebih betina yang berbiak. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan tetas adalah (1) musim. (2) usia induk, penetasan lebih tinggi pada induk yang lebih tua,

29.41 29.41

17.64 5.88 50 33.33 16.67 0 10 20 30 40 50 60

I II II IV

K eb er h as il an T et as ( % ) Telur Cangak Abu Kuntul Besar


(47)

dipengaruhi oleh pengalaman individual. (3) Clutch size, penetasan bervariasi berdasarkan jumlah telur. (4) kepadatan populasi burung yang bersarang pada kepadatan populasi yang rendah menunjukan tingkat penetasan yang rendah. (5) reperoduksi yang serentak, kesamaan berbiak antar jenis kelamin adalah yang terpenting dalam produksi gamet dan respon perilaku yang tepat.

Keberhasilan tetas sangat dipengaruhi oleh masa inkubasi. Jika suhu terlalu rendah maka inkubasi akan lama, berakibat pada busuknya telur dan kegagalan tetas. Menurut Hopkins et al., (2013), pengeraman merupakan komponen dari reproduksi burung yang paling berharga bagi induk, tetapi akan sangat mempengaruhi perkembangan dan penetasan telur. Pada tahap pengeraman menghabiskan waktu lebih lama di sarang dapat memberikan keuntungan bagi induk dalam meningkatkan keberhasilan tetas telur, dan pengalaman dalam meningkatkan temperatur embrio. Temperatur inkubasi yang lebih tinggi diketahui dapat mempercepat pertumbuhan embrionik dan mempersingkat periode pengeraman, serta menghilangkan resiko kerusakan sarang dari predasi. Suhu optimal dalam perkembangan embrio pada jenis Passerine berkisar antara 36-40° C, sementara pada jenis Megapode suhu optimal sarang berkisar 25°C dan meningkat sampai 40°C. Temperatur sarang pada banyak jenis burung berkisar antara 32°C dan 38°C.

4.3 Perkembangan Anakan

Dari Data yang telah ditemukan anakan Cangak Abu yang berhasil hidup sampai dapat meninggalkan sarang adalah anakan pada sarang 1, sementara untuk anakan yang lain mati pada kisaran usia yang berbeda (Tabel. 9 dan 10). Jika dilihat dari Ukuran berat, anakan Cangak Abu lebih besar pada anak pertama dan diikuti oleh anakan selanjutnya, kecuali pada anakan Cangak Abu sarang 1 dimana anak ke-2 lebih besar dari anak pertama. Begitu juga yang terjadi pada anakan Kuntul Besar dimana anakan nomor 1 lebih menonjol dalam ukuran berat badan dan panjang anggota tubuh, kecuali anak ke-2 sarang nomor 2 yang lebih menonjol dibanding anakan pertama.


(48)

Tabel 9. Nilai Rata-Rata Pertumbuhan dan Perkembangan Anakan Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Sarang Anak Ukuran

Culmen (cm) Tarsus (cm) Ulnar (cm) Berat (g)

1 I 3,71 16,74 14,16 402,30

II 4,03 19,40 16,54 440,27

III 3,89 18,30 14,09 385,27

2 I 2,3 8,87 6,35 63,71

II 2,55 8,36 6,1 59,12

3 I 3,77 14,18 10,38 251,14

II 2,92 12,20 8,49 212,70

III 2,79 11,04 7,84 169,37

IV 2,69 8,72 6,09 157,84

4 I 2,76 11,24 7,37 154,45

II 2,63 10,47 7,28 146,13

III 2,68 9,95 7,18 110,49

5 I 1,80 6,94 4,82 83,28

II 1,67 6,44 3,89 71,12

Jika diamati selama penelitian, berat anak pertama dari masing-maing burung lebih berat jika dibandingkan dengan anak ke-2 dan seterusnya. Induk umumnya memberi makan anak pertama lebih banyak dari anak-anak lainnya. Menurut Kim dan Koo (2009), penetasan telur yang tidak serentak (Asynchronus hatcing) pada jenis Kuntul dan Cangak akan mengakibatkan anak yang pertama lahir lebih unggul dibandingkan dengan adik-adiknya dalam hal penanganan makanan, dan interaksi agresifitas menyebabkan terjadinya kompetisi antara saudara yang dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih rendah untuk adik-adiknya. Sedangkan menurut Perins & Birkhead (1983), dijelaskan bahwa penetasan Asynchronus adalah usaha induk dalam mengantisipasi ketersedian pangan yang berfluktuasi. Jika persediaan makanan cukup berlimpah induk dapat memelihara seluruh anakan sama baiknya, namun jika persediaan makanan tiba-tiba menjadi buruk diharapkan masih ada satu anakan yang dapat dibesarkan oleh induknya.


(49)

Tabel 10. Pertumbuhan dan Perkembangan Anakan Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Sarang Anak Ukuran

Culmen (cm) Tarsus (cm) Ulnar (cm) Berat (g)

1 I 3,46 17,72 14,13 226,63

II 2,05 10,06 6,53 69,804

III 1,24 5,06 3,35 23,62

2 I 2,51 12,77 9,62 166,43

II 2,79 14,34 10,46 132,58

III 1,45 6,73 4,70 34,03

3 I 3,42 18,52 15,14 237,04

II 3,32 16,47 14,64 204,21

4 I 2,29 10,83 8,14 113,6

II 2,16 10,5 7,11 67,5

5 I 2,39 12,45 9,54 125,57

Perbedaan berat badan kedua jenis burung tersebut dapat dikaitkan dengan ukuran tubuh dan kebutuhan asumsi makanan. Semakin besar burung maka semakin banyak makanan yang dibutuhkan. Menurut Rumeu (2007), adapun makanan Cangak dan Kuntul adalah sebagai berikut, Lepidoptera dan Hymenoptera dalam jumlah kecil, Oligochaeta (31,7% pada musim semi, dan 6, 3% pada musim dingin), Odonata, (85,1%), Pisces, Amfibi, Reptil, dan Mamalia.

Seleksi makanan tidak hanya terjadi pada sesama jenis, akan tetapi juga terjadi pada jenis burung yang berbeda. Menurut Young (1981), seleksi makanan tergantung pada spesies berdasarkan pola karakteristik pergerakan dan struktur, yang penggunaannya dapat bervariasi sesuai keadaan. Biasanya ada sedikit persaingan antar spesies terhadap hal makanan, bahkan ketika mereka tinggal berdekatan.

Pertumbuhan anakan Cangak Abu sarang 1 dan Kuntul Besar sarang 3 disajikan dalam bentuk grafik (Gambar. 11 sampai 20). Grafik ditampilkan berdasarkan urutan anakan.


(50)

Gambar 11. Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Pertama Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Gambar 12. Pertumbuhan Berat Anak Pertama Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

0 5 10 15 20 25 30 35 40

1 2 3 4 5 6 7 8

P an jan g (c m ) Pengamatan (Hari) Culmen Tarsus Ulnar 0 200 400 600 800 1000 1200

1 2 3 4 5 6 7 8

B er at ( g) Pengamatan (Hari)


(51)

Gambar 13. Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Kedua Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Gambar 14. Pertumbuhan Berat Anak Kedua Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

0 5 10 15 20 25 30 35

1 2 3 4 5 6

P an jan g (c m ) Pengamatan (Hari) Culmen Tarsus Ulnar 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

1 2 3 4 5 6

B er at ( g) Pengamatan (Hari)


(52)

Gambar 15. Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Ketiga Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Gambar 16. Pertumbuhan Berat Anak Ketiga Sarang Ke-1 Cangak Abu Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

0 5 10 15 20 25 30 35

1 2 3 4 5 6

P an jan g (c m ) Pengamatan (Hari) Culmen Tarsus Ulnar 0 100 200 300 400 500 600 700 800

1 2 3 4 5 6

B er at ( g) Pengamatan (Hari)


(53)

Gambar 17. Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Pertama Sarang Ke-3 Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Gambar 18. Pertumbuhan Berat Anak Pertama Sarang Ke-3 Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Gambar 19. Pertumbuhan Tarsus, Culmen dan Ulnar Anak Kedua Sarang Ke-3 Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015 0 5 10 15 20 25 30

1 2 3 4 5

P an jan g (cm ) Pengamatan (Hari) Culmen Tarsus Ulnar 0 100 200 300 400

1 2 3 4 5

B er at ( g) Pengamatan (Hari) 0 5 10 15 20 25

1 2 3 4 5

P an jan g (c m ) Pengamatan (Hari) Culmen Tarsus Ulnar


(54)

Gambar 20. Pertumbuhan Berat Anak Kedua Sarang Ke-3 Kuntul Besar Di Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Oktober 2014-Januari 2015

Dari gambar 11 - 20 dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan tarsus dan ulnar merupakan pertumbuhan yang paling cepat dibandingkan dengan culmen, dikarenakan tarsus dan ulnar merupakan organ tubuh yang penting dalam pergerakan. Ulnar digunakan untuk terbang, sedangkan tarsus digunakan untuk berjalan mencari mangsa. Menurut Sulistiani (1991), pertumbuhan kaki (tarsus) dan sayap (ulnar) lebih cepat dibandingkan pertumbuhan paruh (culmen), hal ini berhubungan dengan fungsi kaki dan sayap yang sangat penting untuk mempertahankan diri dari predator. Sedangkan Menurut Rukmi (2002), ukuran panjang tarsus, culmen, ulnar meningkat secara serentak, hanya kemudian terjadi peningkatan yang lebih pesat pada bagian ulnar, diasumsikan berhubungan dengan kemampuan burung untuk terbang.

Dari Tabel. 9 dan 10, dijumpai beberapa anakan Kuntul Besar yang mati pada sarang satu, dua, empat, dan lima dan anakan Cangak Abu yang mati pada sarang dua, tiga, dan empat. Diduga karena pada bulan Desember 2014 sering terjadi hujan sehingga menyebabkan anakan banyak yang mati. Diperkuat dari data BMKG (2014) yang menunjukan bahwa curah hujan tertinggi berada pada bulan Desember 2014 sebesar 427 mm, dan curah hujan terendah berada pada bulan Februari 2014 sebesar 44 mm.

0 50 100 150 200 250 300 350

1 2 3 4 5

B

er

at

(

g)


(1)

Lampiran 7: Anakan Cangak Abu dan Kuntul Besar


(2)

Lampiran 8: Foto Pohon Sarang


(3)

Lampiran 9: Foto Kerja

Pengukuran Sarang Pengukuran Telur


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Karakteristik Perkembangan Anakan Kuntul Besar (Egretta alba) dan Kuntul Kecil (Egretta garzetta) Di Kawasan Tambak Tanjung Rejo Sumatera Utara

3 58 81

Karakteristik Tapak Hutan Mangrove di Desa Kayu Besar Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai

3 37 79

Perilaku Harian Kuntul Besar ( Egretta alba ) Di Kawasan Pantai Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara

4 55 51

Perilaku dan Kompetisi Interspesifik Kuntul besar (Egretta alba Linnaeus 1766) dan Cangak merah (Ardea purpurea Linnaeus 1766) di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Jakarta

1 36 330

KEMELIMPAHAN, DISTRIBUSI, DAN KARAKTERISTIK SARANG BURUNG SERAK JAWA (Tyto alba javanica) DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

0 2 15

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Karakteristik Sarang dan Keberhasilan Berbiak Kuntul Besar (Egretta alba) dan Cangak Abu (Ardea Cinerea) Di Areal Breeding Site Desa Tanjung Rejo

0 0 7

KARAKTERISTIK SARANG DAN KEBERHASILAN BERBIAK KUNTUL BESAR (Egretta alba) DAN CANGAK ABU (Ardea cinerea) DI AREAL BREEDING SITE DESA TANJUNG REJO

0 0 13

Karakteristik Perkembangan Anakan Kuntul Besar (Egretta alba) dan Kuntul Kecil (Egretta garzetta) Di Kawasan Tambak Tanjung Rejo Sumatera Utara

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Kuntul 2.1.1 Klasifikasi Burung Kuntul - Karakteristik Perkembangan Anakan Kuntul Besar (Egretta alba) dan Kuntul Kecil (Egretta garzetta) Di Kawasan Tambak Tanjung Rejo Sumatera Utara

1 4 7

KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN ANAKAN KUNTUL BESAR (Egretta alba) DAN KUNTUL KECIL (Egretta garzetta) DI KAWASAN TAMBAK TANJUNG REJO SUMATERA UTARA

0 1 14