Efektivitas Pelayanan dalam Penerbitan Sertifikat Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Karo

(1)

EFEKTIVITAS PELAYANAN DALAM PENERBITAN

SERTIFIKAT TANAH DI KANTOR PERTANAHAN

KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S1) Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Administrasi Negara OLEH

DEDDY PRASETYA S 100903096

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini diajukan untuk diperbanyak dan dipertahankan oleh :

Nama : Deddy Prasetya S NIM : 100903096

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Efektivitas Pelayanan dalam Penerbitan Sertifikat Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Karo

Medan, Oktober 2014 Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Ilmu Administrasi Negara

Arlina, SH, M.Hum Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si NIP. 195603041977102001 NIP. 196401081991021001

DEKAN FISIP USU

Prof. Dr. Badaruddin,M.Si NIP.196805251992031002


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesehatan, semangat dan ketekunan kepada penulis selama masa penyelesaian skripsi yang berjudul “Efektivitas Pelayanan dalam Kegiatan Pendaftaran Tanah Secara Sporadik di Kantor Pertanahan Kota Medan”. Adapun penulisan skripsi ini sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Sebagai suatu karya ilmiah, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi perbaikan skripsi ini.

Selama penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, semangat dan dorongan, baik itu secara moral maupun secara materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih sedalam-dalamnya kepada pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pengerjaan skripsi ini. Skripsi ini saya dedikasikan untuk semua pihak yang telah banyak membantu, yaitu :

1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si.

2. Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si.

3. Kepada Ibu Elita Dewi, M.SP selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU.

4. Kepada Ibu Arlina, SH, M.Hum selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu meluangkan waktu dan memberikan masukan yang membangun dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen di Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU yang telah memberikan banyak ilmu selama perkuliahan.


(4)

6. Staff administrasi di Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU, khusus untuk Kak Dian dan Kak Mega yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi.

7. Untuk Bapak Sugeng Karyono, SH selaku Kepala Penyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran Kantor Pertanahan Kota Medan yang telah bersedia meluangkan waktu dan banyak memberikan informasi kepada penulis untuk keperluan penyusunan skripsi ini.

8. Untuk kedua orang tua saya Bapak AP. Situmeang dan Ibu M. Panjaitan, terima kasih sedalam-dalamnya untuk semua doa, nasehat dan dukungan yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih untuk cinta dan kasih sayang yang kalian berikan untuk ku, Terima kasih untuk pengorbanan kalian yang tiada habis nya. Doa kalian yang mengantar ku ke jalan kesuksesan. Semoga selalu diberikan kesehatan dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa.

9. Untuk teman saya Erap Nainggolan dan Andika Raja Putra Sitorus, terimakasih sedalam-dalamnya untuk semua bantuan, dukungan, dan pengorbanan yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga selalu diberikan kesehatan, rezeki, dan perlindungan oleh Tuhan Yang Maha Esa. 10. Untuk teman-teman saya ; Dion, Deddy, Frima, Modest, Olber, Ibran, Indra

Fahmi, Jeremia, Aldemar. Terima kasih untuk semua bantuan, dukungan, saran dan masukan, selama masa perkuliahan ini.

11. Kepada seluruh teman-teman AN 2010 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih untuk semuanya . Sukses buat stambuk 2010 “AN Satu AN Jaya”.

Medan, Oktober 2014 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang ... 1

I.2 Rumusan Masalah ... 5

I.3 Tujuan Penelitian ... 5

I.4 Manfaat Penelitian ... 5

I.5 Kerangka Teori ... 6

I.5.1 Efektivitas ... 6

I.5.1.1 Pengertian Efektivitas ... 6

I.5.1.2 Pendekatan Efektivitas ... 7

I.5.2 Pelayanan Publik ... 10

I.5.2.1 Pengertian Pelayanan ... 10

I.5.2.2 Pengertian Pelayanan Publik ... 10

I.5.2.3 Asas dan Tujuan Pelayanan Publik ... 11

I.5.2.4 Kriteria Pelayanan Publik ... 15

I.5.2.5 Jenis-Jenis Pelayanan Publik ... 18

I.5.3 Sertifikat Tanah ... 20

I.5.3.1 Pengertian Sertifikat Tanah ... 20

I.5.3.2 Fungsi Sertifikat Tanah ... 21

I.5.3.3 Jenis-Jenis Sertifikat Tanah ... 22

I.5.3.4 Syarat-Syarat Untuk Mendapatkan Sertifikat Tanah ... 25

I.6 Definisi Konsep ... 25


(6)

BAB II METODE PENELITIAN

II.1 Bentuk Penelitian ... 28

II.2 Lokasi Penelitian ... 28

II.3 Informan Penelitian ... 29

II.4 Teknik Pengumpulan Data ... 30

II.4.1 Data Primer ... 30

II.4.2 Data Sekunder ... 30

II.5 Teknik Analisa Data ... 31

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN III.1 Gambaran Umum Tanah Karo ... 32

III.1.1 Sejarah ... 32

III.1.1.1 Masa Penjajahan Belanda ... 38

III.1.1.2 Masa Penjajahan Jepang... 42

III.1.1.3 Perundingan Renville ... 46

III.1.1.4 Agresi I Militer Belanda ... 47

III.1.1.5 Agresi II Militer Belanda ... 55

III.1.2 Visi dan Misi ... 60

III.1.3 Kondisi Geografis dan Demografis ... 61

III.1.3.1 Lokasi dan Keadaan Geografis ... 61

III.1.3.2 Iklim ... 64

III.1.3.3 Penduduk ... 65

III.1.4 Bentuk dan Susunan Pemerintahan ... 67

III.2 Gambaran Umum Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia... 68

III.2.1 Visi dan Misi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia ... 68

III.2.2 Agenda BPN RI ... 70

III.3 Gambaran Umum Kantor Pertanahan Kabupaten Tanah Karo ... 71

III.3.1 Visi, Misi,dan Motto Kantor Pertanahan Kabupaten Karo ... 72

III.3.2 Sumber Daya Manusia ... 73


(7)

BAB IV PENYAJIAN DATA

IV.1 Deskripsi Hasil Wawancara ... 76

IV.1.1 Prosedur ... 77

IV.1.2 Waktu ... 79

IV.1.3 Kecermatan ... 80

IV.1.4 Gaya Pemberian Layanan ... 80

IV.1.5 Hambatan ... 81

BAB V ANALISA DATA V.1 Prosedur Pelayanan ... 83

V.2 Waktu ... 87

V.3 Kecermatan ... 88

V.4 Gaya Pemberian Layanan... 89

V.5 Hambatan ... 89

BAB VI PENUTUP VI.1 Kesimpulan ... 91

VI.2 Saran ... 93


(8)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS PELAYANAN DALAM PENERBITAN SERTIFIKAT TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KARO

Nama : Deddy Prasetya S

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Arlina, SH, M.Hum

Pendaftaran Tanah Secara Sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya. Pendaftaran Tanah secara Sporadik ini merupakan perwujudan dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 agar terlaksananya tertib administrasi pertanahan. Tetapi pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan masih dipandang negatif oleh masyarakat yang keliru mengenai pelaksanaan pendaftaran tanah seperti jangka waktu penerbitan sertifikat yang lama, biaya yang mahal, dan proses yang berbelit-belit. Penelitian ini sendiri ditujukan untuk mengetahui bagaimana efektivitas pelayanan dalam kegiatan pendaftaran tanah secara sporadik di Kantor Pertanahan Kota Medan.

Dalam penelitian ini, metodologi penelitian yang dipergunakan penulis adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode analisis kualitatif, dengan maksud untuk memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan. Informan kunci penelitian adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan, sedangkan yang menjadi informan utama adalah Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah dan masyarakat yang mengurus pendaftaran tanah secara sporadik.

Kesimpulan penelitian ini adalah efektivitas pelayanan dalam kegiatan pendaftaran tanah secara sporadik di Kantor Pertanahan Kota Medan masih kurang efektif karena prosedur pelayanan yang masih belum dimengerti masyarakat dan efisiensi pelayanan yang kurang baik, dilihat dari waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pendaftaran tanah sampai penerbitan sertifikat yaitu lewat dari Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. Untuk itu diharapkan kedepannya Kantor Pertanahan Kota Medan membenahi kembali manajemen waktu yang digunakan untuk menyelesaikan proses pelayanan tersebut. Hal ini untuk mewujudkan terlaksananya tertib administrasi pertanahan.


(9)

ABSTRAK

EFEKTIVITAS PELAYANAN DALAM PENERBITAN SERTIFIKAT TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN KARO

Nama : Deddy Prasetya S

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Dosen Pembimbing : Arlina, SH, M.Hum

Pendaftaran Tanah Secara Sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya. Pendaftaran Tanah secara Sporadik ini merupakan perwujudan dari Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 agar terlaksananya tertib administrasi pertanahan. Tetapi pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan masih dipandang negatif oleh masyarakat yang keliru mengenai pelaksanaan pendaftaran tanah seperti jangka waktu penerbitan sertifikat yang lama, biaya yang mahal, dan proses yang berbelit-belit. Penelitian ini sendiri ditujukan untuk mengetahui bagaimana efektivitas pelayanan dalam kegiatan pendaftaran tanah secara sporadik di Kantor Pertanahan Kota Medan.

Dalam penelitian ini, metodologi penelitian yang dipergunakan penulis adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode analisis kualitatif, dengan maksud untuk memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan. Informan kunci penelitian adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Medan, sedangkan yang menjadi informan utama adalah Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah dan masyarakat yang mengurus pendaftaran tanah secara sporadik.

Kesimpulan penelitian ini adalah efektivitas pelayanan dalam kegiatan pendaftaran tanah secara sporadik di Kantor Pertanahan Kota Medan masih kurang efektif karena prosedur pelayanan yang masih belum dimengerti masyarakat dan efisiensi pelayanan yang kurang baik, dilihat dari waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pendaftaran tanah sampai penerbitan sertifikat yaitu lewat dari Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan. Untuk itu diharapkan kedepannya Kantor Pertanahan Kota Medan membenahi kembali manajemen waktu yang digunakan untuk menyelesaikan proses pelayanan tersebut. Hal ini untuk mewujudkan terlaksananya tertib administrasi pertanahan.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Begitu juga halnya dalam kehidupan bernegara, secara jelas tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia didirikan dengan tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dimana terkandung makna bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya atas barang dan jasa. Pemenuhan hak dasar dan kebutuhan masyarakat oleh pemerintah, juga termuat dalam sila-sila yang terkandung dalam pancasila terutama sila ke-2, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila ke-5, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konstitusi dan ideologi tersebut menjadi pedoman bagi pemerintah sebagai upaya mendukung pelayanan publik yang prima dalam sistem pemerintahan.

Secara umum saat ini penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia dapat dikategorikan “buruk”. Hal ini didasarkan oleh banyaknya keluhan dan pengaduan masyarakat terkait pelayanan, yang sering kita dengar dan baca diberbagai media cetak maupun media elektronik. Pelayanan yang terkesan berbelit-belit, lambat, mahal, melelahkan, rawan akan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta


(11)

kemampuan aparatur yang minim merupakan deretan keluhan yang menggambarkan pelayanan publik yang kian memprihatinkan.

Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dijelaskan bahwa masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.

Jenis- jenis pelayanan yang dimaksud dalam UU No. 25 Tahun 2009 yaitu pelayanan administratif, pelayanan barang, dan pelayanan jasa. Di dalam pelayanan administratif terdapat pelayanan penerbitan sertifikat tanah untuk menjamin hak milik atas tanah masyarakat.

Tanah merupakan aset yang bernilai tinggi. Selain itu, tanah merupakan kebutuhan vital bagi siapapun karena dapat dipergunakan dalam berbagai bidang, baik tempat tinggal atau pemukiman, pertanian, perkebunan, perdagangan, industri, dan penambangan dan pada saat ini juga sering dipergunakan masyarakat sebagai investasi ataupun jaminan pinjaman baik kepada pihak bank negara maupun swasta.

Untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia dan menekan konflik-konflik pertanahan yang mungkin terjadi maka pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Karena ketika terjadi sengketa tanah, maka penyelesaian secara formal mengharuskan setiap pemegang hak atas tanah bisa membuktikan


(12)

sebagai alat bukti yang kuat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA dan Pasal 32 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Namun, kondisi birokrasi yang terkesan lamban dan rumit dalam pembuatan sertifikat tanah mengakibatkan sebagian besar masyarakat menjadi malas untuk mengurus sertifikat tanah. Terlebih jika dilihat pada daerah Kabupaten Karo yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Banyak masyarakat yang memiliki letak tanah yang berada jauh dari pemukiman penduduk seperti di kaki-kaki gunung yang mengakibatkan harga tanah rendah, sehingga masyarakat merasa biaya pengurusan lebih mahal daripada harga tanahnya. Apalagi ditambah dengan pemikiran-pemikiran masyarakat yang merasa sertifikat hak tanah tidak terlalu penting karena mereka tinggal di desa. Masyarakat merasa hanya dengan memiliki saksi-saksi, akta jual beli, dan surat keputusan pemberian hak itu sudah menjadi bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa itu adalah tanah mereka. Terkecuali jika mereka akan melakukan pinjaman ke bank maka masyarakat mulai mengurus sertifikat tanahnya agar dapat dijadikan jaminan kepada pihak bank. Dan banyak masyarakat yang tidak mengurus sendiri sertifikat tanahnya karena masyarakat merasa jika mereka yang mengurus akan berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang lebih lama, sehingga masyarakat mengurus dengan menggunakan jasa Notaris agar sertifikat tanah mereka cepat selesai, padahal jika mengurus sendiri biayanya akan lebih murah karena tidak dikenakan biaya jasa Notaris.

Kesalahan batas ukur tanah yang salah juga terjadi di Kabupaten Karo, baik terjadi karena salah pengukuran batas tanah yang dilakukan oleh juru ukur Kantor Pertanahan Kabupaten Karo ataupun pihak pemilik tanah yang sengaja memberikan


(13)

batas tanah yang salah sehingga dia mendapatkan keuntungan pribadi. Tentu saja hal ini akan mengakibatkan permasalahan di kemudian hari, terjadinya sengketa antara pemilik tanah yang data tanahnya timpang tindih serta data tanah yang ada di Indonesia menjadi tumpang tindih.

Sebagai salah satu faktor penting bagi terlaksananya program pembuatan sertifikat tanah, maka tingkat kesadaran masyarakat perlu diperhatikan terutama terhadap individu yang memiliki tanah sekaligus yang berkepentingan terhadap pengelolaan tanah tersebut.Untuk itulah masyarakat perlu didekati agar timbul keinginan atau kesadaran untuk melakukan sertifikasi tanah. Oleh karenanya menjadi tugas dari Kantor Pertanahan sebagai institusi yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang pertanahan untuk selalu berupaya melakukan sosialisasi terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah di bidang pertanahan kepada masyarakat termasuk berapa lama waktu yang dibutuhkan dan tata cara pengurusan sertifikat.

Kantor Pertanahan Kabupaten Karo merupakan unsur pelaksana Pemerintahan Kabupaten Karo dalam bidang Pertanahan yang dipimpin oleh seorang kepala kantor yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah yang melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah dalam bidang pertanahan dan melaksanakan tugas pembantuan sesuai dengan bidang tugasnya.

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: "Efektivitas Pelayanan dalam Penerbitan Sertifikat Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Karo".


(14)

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana

Efektivitas Pelayanan dalam Penerbitan Sertifikat Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Karo?"

I.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui efektivitas pelayanan penerbitan sertifikat tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Karo.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam kegiatan penerbitan sertifikat tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Karo.

I.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi Universitas, dapat memberikan masukan bagi bidang studi Ilmu Administrasi Negara mengenai kajian kualitas pelayanan penerbitan sertifikat tanah.

2. Bagi Instansi, untuk dapat memberikan masukan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Karo dalam memberikan pelayanan yang sesuai untuk diterapkan dalam kegiatan penerbitan sertifikat tanah.

3. Bagi penulis, untuk mengembangkan kemampuan dalam berpikir dalam menganalisa setiap gejala dan permasalahan yang dihadapi di lapangan.


(15)

I.5 Kerangka Teori

Untuk memudahkan penelitian diperlukan pedoman dasar berpikir, yaitu kerangka teori. Sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, seorang peneliti perlu menyusun kerangka teori sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti menyoroti masalah yang telah dipilih (Nawawi; 1993:40).

I.5.1 Efektivitas

I.5.1.1 Pengertian Efektivitas

Dalam suatu organisasi dapat diukur tingkat keberhasilannya dengan mengamati efektif tidaknya organisasi tersebut dalam menjalankan tugasnya.

Menurut Stoner dalam Tjajuk Siswandoko (2011 : 196), efektivitas adalah konsep yang luas mencakup berbagai faktor didalam maupun diluar organisasi, yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran organisasi.

James L. Gibsondkk (Pasolong 2007:3), efektivitas adalah pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat pencapaian bersama menunjukkan derajat efektivitas.

Sondang P. Siagian (2002:171), efektivitas adalah tercapainya berbagai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya tepat pada waktunya dengan menggunakan sumber-sumber tertentu yang sudah dialokasikan untuk berbagai kegiatan.


(16)

yang sesuai dengan apa yang direncanakan sebelumnya tanpa mengabaikan mutu.

I.5.1.2 Pendekatan Efektivitas

Tingkat efektivitas dapat diukur dengan membandingkan antar rencana atau target yang telah direnrukan dengan hasil yang dicapai, maka usaha atau hasil pekerjaan tersebut ialah yang dikatakan efektif. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan yang dilakukan tidak tercapai sesuai dengan apa yang direncanakan maka hal itu dikatakan tidak efektif.

Untuk mengetahui efektivitas kegiatan organisasi pelayanan publik, dikenal adanya beberapa pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan sasaran (goal approach).

Pendekatan ini memusatkan perhatiannya dalam mengukur efektivitas pada aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan organisasi publik dalam mencapai tingkatan output yang direncanakan. Beberapa sasaran yang dianggap penting dalam kinerja suatu organisasi adalah efektivitas, efisiensi, produktivitas, keuntungan, pengembangan, stabilitas dan kepemimpinan.


(17)

2. Pendekatan sumber (system resource approach).

Pendekatan ini mengukur efektivitas dari sisi input, yaitu dengan mengukur keberhasilan organisasi publik dalam mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mencapai performansi yang baik. Indikator yang dipergunakan dalam pendekatan ini adalah kemampuan memanfaatkan lingkungan, menginterpretasikan lingkungan, kemampuan memelihara kegiatan organisasi dan dan kemampuan untuk bereaksi serta menyesuaikan diri dengan lingkungan,

3. Pendekatan proses (process approach).

Pendekatan ini menekankan pada aspek internal organisasi publik, yaitu dengan mengukur efektivitas layanan publik melalui berbagai indikator internal organisasi, seperti efisiensi dan iklim organisasi. Indikator yang digunakan adalah komunikasi, perhatian, kerjasama, loyalitas, desentralisasi, pengambilan keputusan, dan sebagainya.

4. Pendekatan integratif (integrative approach).

Pendekatan ini merupakan gabungan dari ketiga pendekatan diatas, yang muncul sebagai akibat adanya kelemahan dan kelebihan dari masing-masing pendekatan. Termasuk dalam pendekatan ini antara lain adalah pendekatan konstituensi, yakni pendekatan bidang sasaran dan kerangka ketergantungan. Pendekatan konstituensi memusatkan perhatiannya pada konstituensi organisasi, yaitu berbagai kelompok di dalam dan di luar


(18)

organisasi yang mempunyai kepentingan terhadap performansi organisasi, seperti karyawan, pemilik, konsumen, dan sebagainya.

S. P Siagian mengemukakan bahwa efektivitas suatu organisasi dapat diukur dari berbagai hal, yaitu kejelasan tujuan, kejelasan strategi, pencapaian tujuan, proses analisa, dan perumusan kebijakan yang mantap, tersedianya sarana dan prasarana yang efektif dan efisien, sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik.

Ada beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas kerja dari organisasi yang memberikan pelayanan, antara lain :

1. Faktor waktu.

Ketepatan waktu dan kecepatan waktu dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi layanan. Hanya saja penggunaan ukuran tentang tepat tidaknya atau cepat tidaknya pelayanan yang diberikan berbeda dari satu orang ke orang lain.

2. Faktor kecermatan.

Faktor ketelitian dari pemberi pelayanan kepada pelanggan. Pelanggan akan cenderung memberikan nilai yang tidak terlalu tinggi kepada pemberi layanan apabila terjadi banyak kesalahan dalam proses pelayanan meskipun diberikan dalam waktu singkat.


(19)

3. Faktor gaya pemberian layanan.

Faktor ini melihat cara dan kebiasaan pemberi layanan dalam memberikan jasa kepada pelanggan.

I.5.2 Pelayanan Publik I.5.2.1 Pengertian Pelayanan

Pada dasarnya, pelayanan dapat didefinisikan sebagai aktivitas seseorang, sekelompok orang dan/atau organisasi baik langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan.

Menurut Davidow (Waluyo, 2007:127), pelayanan adalah hal-hal yang jika diterapkan terhadap sesuatu produk akan meningkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan.

Menurut Kotler dalam Sinambela (2006 : 4), pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.

Monir (Pasolong, 2007:128), pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung.

Jika dihubungkan dengan administrasi publik, pelayanan adalah kualitas birokrat terhadap masyarakat (Sinambela, 2008 : 6)

I.5.2.2 Pengertian Pelayanan Publik

Sinambela (Pasolong, 2007:128) mendefinisikan pelayanan publik sebagai setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah terhadap sejunmlah manusia yang


(20)

memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasaan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.

Pelayanan publik menurut Agung Kurniawan (Pasolong, 2007:128) adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah ditetapkan.

Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Pada hakekatnya, pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur negara sebagai abdi masyarakat.

I.5.2.3 Asas dan Tujuan Pelayanan Publik

Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas pelayanan berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 (pasal 4), yaitu:

1. Kepentingan umum.

Artinya, pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan atau golongan.


(21)

2. Kepastian hukum.

Artinya, jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan.

3. Kesamaan hak.

Artinya, pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.

4. Keseimbangan hak dan kewajiban.

Artinya, pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan.

5. Keprofesionalan.

Artinya, pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.

6. Partisipatif.

Artinya, peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

7. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.


(22)

8. Keterbukaan.

Artinya, setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.

9. Akuntabilitas.

Artinya, proses penyelengaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

10. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan.

Artinya, pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.

11. Ketepatan waktu.

Artinya, penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.

12. Kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.

Artinya, setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah dan terjangkau.

Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasaan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari:


(23)

1. Transparansi.

Yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

2. Akuntabilitas.

Yaitu pelayanan yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

3. Kondisional.

Yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.

4. Partisipatif.

Yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan hak.

Yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain

6. Keseimbangan hak dan kewajiban.


(24)

I.5.2.4 Kriteria Pelayanan Publik

Menurut Zethaml & Haywood Farmer (Pasolong, 2007 : 133), ada tiga karakteristik utama tentang pelayanan, yaitu:

1. Intangibility

Pelayanan pada dasarnya bersifat performance dan hasil pengalaman dan bukan objeknya.Kebanyakan pelayanan tidak dapat dihitung, diukur, diraba atau dites sebelum disampaikan untuk menjamin kualitas. Berbeda dengan barang yang dihasilkan oleh suatu pabrik yang dapat dites kualitasnya sebelum disampaikan pada pelanggan.

2. Heterogeinity

Pemakai jasa atau klien atau pelanggan memilk kebutuhan yang sangat heterogen. Pelanggan dengan pelayanan yang sama mungkin mempunyai prioritas berbeda. Demikian pula performance sering bervariasi dari suatu prosedur ke prosedur lainnya bahkan dari waktu ke waktu.

3. Inseparability

Produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak terpisahkan. Konsekuensinya didalam industri pelayanan kualitas tidak direkayasa kedalam produksi disektor pabrik kemudian disampaikan kepada pelanggan. Kualitas terjadi selama interkasi antara klien/pelanggan dengan penyedia jasa.

Menurut Keputusan MenPAN Nomor 06/1995 tentang Pedoman Penganugerahan Piala Abdisatyabakti Bagi Unit Kerja/Kantor Pelayanan


(25)

Percontohan, sebagaimana tertera pada lampirannya diatur mengenai kriteria pelayanan masyarakat yang baik, yaitu sebagai berikut (Santosa, 2008:63):

1. Kesederhanaan.

Kriteria ini mengandung arti bahwa prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.

2. Kejelasan dan Kepastian.

Kriteria ini mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai: a. Prosedur atau tatacara pelayanan.

b. Persyaratan pelayanan.

c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan.

d. Rincian biaya atau tarif pelayanan dan tatacara pembayarannya. e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

3. Keamanan.

Kriteria ini mengandung arti bahwa proses serta hasil pelayanan dapat memberi rasa aman, kenyamanan, dan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.


(26)

4. Keterbukaan.

Kriteria ini mengandung arti bahwa prosedur, tatacara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi layanan, waktu penyelesaian, rincian biaya/tarif, serta hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan pada masyarakat agar mudah diketahui.

5. Efisien.

Kriteria ini mengandung arti:

a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan.

b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan peryaratan dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintahan lain yang terkait.

6. Ekonomis.

Kriteria ini mengandung arti bahwa biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan:

a. Nilai barang dan atau jasa pelayanan masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi diluar kewajaran.


(27)

c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Keadilan Merata.

Kriteria ini mengandung arti bahwa cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

8. Ketepatan Waktu.

Kriteria ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu telah ditentukan.

I.5.2.5 Jenis-Jenis Pelayanan Publik

Bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis pelayanan, yaitu:

1. Pelayanan administratif.

Pelayanan yang diberikan olah unit pelayanan berupa pencatatan, penelitian, dokumentasi dan kegiatan tata usaha lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk akhir berupa dokumen, misalnya sertifikat, rekomendasi, keterangan, dan lain-lain. Contoh pelayanan ini, antara lain : Sertifikat tanah, IMB, pelayanan administrasi kependudukan (KTP, akte kelahiran, akte kematian), dan lain sebagainya.


(28)

2. Pelayanan barang.

Pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan berwujud fisik termasuk distribusi termasuk penyampaiannya kepada konsumen langsung (sebagai unit/individu) dalam suatu sistem. Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda atau yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi penggunanya. Contoh pelayanan ini, antara lain: listrik, pelayanan air bersih, pelayanan telepon, dan lain sebagainya.

3. Pelayanan jasa.

Pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa sarana dan prasarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya berdasarkan suatu sistem pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan manfaat bagi penerimanya secara langsung dan habis terpakai dalam jangka waktu tertentu. Contoh pelayanan ini, antara lain : Pelayanan angkutan darat/air/udara, pelayanan kesehatan, perbankan, pos, dan lain sebagainya.

Ketiga jenis pelayanan tersebut, orientasinya adalah pelanggan atau masyarakat (publik). Artinya, kinerja pelayanan publik instansi pemerintah harus berorientasikan publik sehingga dapat mengubah paradigma aparatur dari “dilayani” menjadi “melayani”.

Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai


(29)

abdi masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kinerja pelayanan publik senantiasa menyangkut tiga unsur pokok, yaitu : unsur kelembagaan penyelenggara pelayanan, proses pelayanan serta sumber daya manusia pemberi layanan. Dalam hubungan ini maka upaya peningkatan kinerja pelayanan publik senantiasa berkenaan dengan pengembang tiga unsur tersebut (Surjadi, 2009 : 9).

1.5.3 Sertifikat Tanah

I.5.3.1 Pengertian Sertifikat Tanah

Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dijelaskan bahwa untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah maka perlu dilakukan kegiatan pendaftaran oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur.

Salah satu kegiatan pendaftaran tanah adalah pemberian tanda bukti hak. Tanda yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah adalah sertifikat. Menurut PP No. 10 Tahun 1960 disebutkan bahwa sertifikat tanah adalah salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu bersama-sama dengan kertas sampul yang bentuknya ditentukan oleh Menteri Agraria. Sedangkan dalam PP No.24 Tahun 1997, sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah , hak atas pengelolaan tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.


(30)

Berdasarkan pengertian di atas ,dapat disimpulkan bahwa sertifikat tanah terdiri atas buku tanah dan surat ukur yang asli dijahit menjadi sampul. Buku tanah yaitu dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu objek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya. Sedangkan surat ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian.

Sertifikat tanah diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Data fisik (pemetaan) meliputi letak tanah, batas-batas tanah , luas tanah dan bangunan/tanaman yang ada diatasnya. Sedangkan data yuridis berupa status tanah (jenis haknya), subjeknya, hak-hak pihak ketiga yang membebaninya dan jika terjadi peristiwa hukum atau perbuatan hukum, wajib didaftarkan. Selanjutnya, sertifikat tanah hanya boleh diserahkan kepada pihak yang namanya tercantum dalam buku tanah sebagai pemegang hak atau kepada pihak yang diberikan kuasa oleh pemegang hak.

I.5.3.2 Fungsi Sertifikat Tanah

Menurut Adrian Sutedi (2012 :57), fungsi sertifikat tanah yaitu :

1. Sertifikat tanah sebagai alat pembuktian yang kuat sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA. Seseorang atau badan hukum akan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas suatu bidang tanah. Apabila telah jelas namanya tercantum dalam sertifikat itu. Semua keterangan yang tercantum dalam sertifikat itu mempunyai kekuatan hukum dan harus


(31)

diterima sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada bukti lain yang dapat membuktikan sebaliknya.

2. Sertifikat hak atas tanah memberikan kepercayaan bagi pihak bank/kreditor untuk memberikan pinjaman uang kepada pemiliknya. Dengan demikian, apabila pemegang hak atas tanah itu seorang pengusaha akan memudahkan baginya mengembangkan usahanya karena kebutuhan akan modal mudah diperoleh.

3. Bagi pemerintah, dengan adanya sertifikat hak atas tanah membuktikan bahwa tanah yang bersangkutan telah terdaftar pada kantor agraria. Ini tentu akan membantu dalam memperbaiki administrasi pertanahan di Indonesia.

I.5.3.3 Jenis–Jenis Sertifikat Tanah

Menurut Jimmy Joses Sembiring (2010 : 5), hak atas tanah dapat diperoleh berdasarkan transaksi, perbuatan hukum atau ketentuan perundang-undangan. Perolehan hak tersebut dapat dibuktikan melalui sertifikat tanah. Berikut beberapa sertifikat hak atas tanah, yaitu :

1. Hak Milik (HM)

Hak milik merupakan hak terkuat atas suatu tanah, dalam arti hak ini bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lainnya. Defenisi berdasarkan pasal 20 ayat (1) UUPA, hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang-orang atas tanah


(32)

Dalam UUPA pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), diatur mengenai pembatasan-pembatasan terhadap kepemilikan atas tanah. Pasal tersebut menjelaskan bahwa yang berhak atas hak milik adalah warga negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah dan memenuhi syarat-syarat dapat mempunyai hak milik. Sementara itu, orang-orang wajib melepaskan hak milik atas tanah menurut pasal 21 ayat (3) dan (4) UUPA, sebagai berikut :

a. Warga negara asing.

b. Warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA ini kehilangan kewarganegaraannya.

c. Seseorang yang memiliki dua status kewarganegaraan.

2. Hak Guna Usaha (HGU)

Hak guna usaha adalah tanah diserahkan kepemilikan kepada subjek atas tanah lain untuk jangka waktu tertentu dan jika jangka waktu tersebut telah tercapai, tanah tersebut harus diserahkan kembali kepada negara. Artinya kepemilikan hak guna usaha bersifat sementara.

Ketentuan hukum mengenai hak guna usaha diatur dalam pasal 28 UUPA yang menetapkan sebagai berikut :

a. Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai negara dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29 UUPA, guna usaha pertanian, perikanan, atau peternakan.


(33)

b. Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektare dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektare atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan jaman.

c. Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan.

3. Hak Guna Bangunan (HGB)

Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas sebidang tanah dan tanah tersebut bukan kepunyaan dari pemilik bangunan dan jangka waktu kepemilikannya paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.

4. Hak Pakai (HP)

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau sesuai dengan pasal 41 ayat (1) UUPA yang mendefenisikan hak pakai yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa ketentuan undang-undang ini.


(34)

I.5.3.4 Syarat-Syarat Untuk Mendapatkan Sertifikat Tanah

Dalam Perkaban No. 1 Tahun 2010, diatur mengenai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk mendapatkan sertifikat tanah. Adapun persyaratannya, yaitu :

1. Mengisi dan menandatangani formulir permohonan (idenditas diri, luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon, pernyataan tidak sengketa dan tanah dikuasai secara fisik).

2. Surat kuasa apabila dikuasakan.

3. Fotocopy idenditas (KTP dan KK) pemohon atau kuasa apabila dikuasakan.

4. Bukti kepemilikan tanah.

5. Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan.

6. Melampirkan SPP/PPh sesuai dengan ketentuan.

I.6 Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah atau definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1989:33). Melalui konsep peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan lainnya.


(35)

Adapun definisi konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Efektivitas.

Efektivitas berarti tercapainya sasaran, target, tujuan dengan menggunakan waktu yang sesuai dengan apa yang direncanakan sebelumnya tanpa mengabaikan mutu.

Efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dengan melihat efektivitas Kantor Pertanahan Kabupaten Karo dalam penerbitan sertifikat tanah di Kabupaten Karo melalui faktor waktu, faktor kecermatan, dan faktor gaya pemberian layanan.

2. Pelayanan Publik.

Pelayanan publik adalah setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah terhadap sejunmlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasaan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Pelayanan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelayanan penerbitan sertifikat tanah di Kabupaten Karo.

3. Sertifikat Tanah.

Sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak atas tanah dan hak atas pengelolaan.


(36)

I.7 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional, dan sistematika penulisan.

BAB II METODE PENELITIAN

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini memuat tentang gambaran atau karakteristik lokasi penelitian berupa sejarah singkat, visi dan misi, dan struktur organisasi.

BAB IV PENYAJIAN DATA

Bab ini menguraikan hasil penelitian lapangan dan dokumentasi yang diperoleh yang akan dianalisis.

BAB V ANALISIS DATA

Bab ini berisikan analisa data dari setiap data yang disajikan yang diperoleh setelah melakukan penelitian di lapangan.

BAB VI PENUTUP


(37)

BAB II

METODE PENELITIAN

II.1 Bentuk Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Nawawi (2005:64) bahwa bentuk deskriptif adalah bentuk penelitian yang memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena yang bersifat aktual pada saat penelitian dilakukan dan menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana diikuti dengan interpretasi yang akurat. Dengan metode deskriptif ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas fakta-fakta yang ada dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian dan mencoba menganalisa untuk memberikan kebenaran berdasarkan data yang ada.

II.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Karo yang terletak di Jln. Letjend.Djamin Ginting No.17 Komplek Kantor Bupati Kabanjahe Kabupaten Karo Provinsi Sumatera utara.


(38)

II.3 Informan Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, tidak menggunakan istilah populasi ataupun sampel seperti dalam penelitian kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif, populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi itu (Sugiyono, 2008:297).

Informan penelitian ini meliputi dua macam, yaitu:

1. Informan kunci merupakan mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian.

2. Informan utama merupakan mereka yang terlibat langsung dalam interaksi sosial yang diteliti.

Berdasarkan uraian tersebut, maka informan penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini terdiri atas:

1. Informan kunci adalah Pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Karo. 2. Informan utama adalah masyarakat.


(39)

II.4 Tekhnik Pengumpulan Data

II.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dan berkaitan langsung dengan permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini. Pengumpulan data yang digunakan adalah:

1. Wawancara (Interview)

Teknik pengumpulan data dengan sebuah percakapan antara dua orang atau lebih, yang pertanyaannya diajukan oleh peneliti kepada subjek penelitian untuk dijawab. Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara secara terbuka dan mendalam sehingga akan tergali informasi yang berkaitan dengan efektivitas pelayanan kegiatan pendaftaran tanah secara sporadik.

2. Observasi (Pengamatan)

Observasi adalah kegiatan mengamati secara langsung dengan mencatat gejala-gejala yang ditemukan di lapangan serta menjaring data yang tidak terjangkau.

II.4.2 Data Skunder

Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data yang dilakukan adalah:


(40)

1. Penelitian Kepustakaan

Yaitu pengumpulan data-data dengan cara mempelajari, mendalami dan mengutip teori-teori dan konsep-konsep dari sejumlah literature baik buku, jurnal, majalah, koran, ataupun karya tulis lainnya yang relevan dengan topik penelitian.

2. Dokumentasi

yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan catatan-catatan atau foto-foto yang ada di lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan dengan objek penelitian.

II.5 Tekhnik Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitan ini adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh dari lapangan dari para informan. Penganalisaan ini didasarkan pada kemampuan nalar dalam menghubungkan fakta, data, dan informasi kemudian data yang diperoleh akan dianalisis sehingga diharapkan muncul gambaran yang dapat mengungkapkan permasalahan penelitian.

Jadi, teknik analisis data kualitatif yaitu dengan menyajikan data dengan melakukan analisa terhadap masalah yang ditemukan di lapangan, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti dan kemudian menarik kesimpulan.


(41)

BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

III.1 Gambaran Umum Tanah Karo

III.1.1 Sejarah

Tanah Karo terbentuk sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II setelah melalui proses yang sangat panjang dan dalam perjalanan sejarahnya Kabupaten ini telah mengalami perubahan mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang hingga zaman kemerdekaan.

Sebelum kedatangan penjajahan Belanda diawal abad XX di daerah dataran tinggi Karo, di kawasan itu hanya terdapat kampung (Kuta), yang terdiri dari satu atau lebih “kesain” (bagian dari kampung). Tiap-tiap kesain diperintah oleh seorang “Pengulu”. Menurut P. Tambun dalam bukunya “Adat Istiadat Karo”,

Balai Pustaka 1952, arti dari pengulu adalah seseorang dari marga tertentu dibantu oleh 2 orang anggotanya dari kelompok “Anak Beru” dan “Senina”.

Mereka ini disebut dengan istilah “Telu si Dalanen” atau tiga sejalanan menjadi

satu badan administrasi/pemerintahan dalam lingkungannya. Anggota ini secara turun menurun dianggap sebagai “pembentuk kesain”, sedang kekuasaan mereka


(42)

Di atas kekuasaan penghulu kesain, diakui pula kekuasaan kepala kampung asli (Perbapaan) yang menjadi kepala dari sekumpulan kampung yang asalnya dari kampung asli itu. Kumpulan kampung itu dinamai Urung. Pimpinannya disebut denganBapa Urung atau biasa juga disebut Raja Urung. Urung artinya satu kelompok kampung dimana semua pendirinya masih dalam satu marga atau dalam satu garis keturunan.

1. Menurut P. Tambun seperti di atas ada beberapa sistem atau cara penggantian perbapaan atau Raja Urung atau juga Pengulu di zaman itu, yaitu dengan memperhatikan hasil keputusan “runggun/permusyawaratan”

kaum kerabat berdasarkan kepada 2 (dua) dasar/pokok yakni: Dasar Adat “Sintua-Singuda” yang dicalonkan. Yang pertama-tama berhak menjadi

Perbapaan adalah anak tertua. Namun kalau ia berhalanagan atau karena sebab yang lain, yang paling berhak di antara saudara-saudaranya adalah jatuh kepada anak yang termuda. Dari semua calon Perbapaan maka siapa yang terkemuka atau siapa yang kuat mendapatkan dukungan, misalnya siapa yang mempunyai banyak Anak Beru dan Senina, besar kemungkinan jabatan Perbapaan/Raja Urung atau Pengulu, akan jatuh kepadanya. Jadi dengan demikian, kedudukan Perbapaan, yang disebutkan di atas harus jatuh kepada yang tertua atau yang termuda, tidaklah sepenuhnya dijalankan secara baik waktu itu. Banyak contoh terjadi dalam hal pergantian Perbapaan seperti itu, antara lain ke daerah Perbapaan Lima Senina. Lebih-lebih kejadian seperti itu terjadi setelah di daerah itu


(43)

berkuasa kaum penjajah Belanda di permulaan abad XX (1907). Belanda melakukan “intervensi” dalam hal penentuan siapa yang diangap pantas sebagai Perbapaan dari kalangan keluarga yang memerintah, walaupun ada juga selalu berdasarkan adat.

2. Dasar “Bere-bere”, yakni menurut keturunan dari pihak Ibu. Hanya dari

keturunan ibu/kemberahen tertentu saja yang pertama-tama berhak menjadi Perbapaan. Namun setelah kedatangan perjajahan Belanda sistem atau dasar “Bere-bere” ini dihapuskan.

Yang pertama-tama berhak untuk mewarisi jabatan Perbapaan Urung atau Pengulu ialah anak tertua, kalau dia berhalangan, maka yang paling berhak adalah anak yang termuda/bungsu. Sesudah kedua golongan yang berhak tadi itu, yang berhak adalah anak nomor dua yang tertua, kemudian anak nomor dua yang termuda. Orang yang berhak dan dianggap sanggup menjadi Perbapaan Urung tetapi karena sesuatu sebab menolaknya, maka dengan sendirinya hilang haknya dan berhak keturunannya yang menjadi Perbapaan/Raja Urung. Hal ini juga menurut P. Tambun dalam bukunya merupakan adat baru. Maksudnya adalah untuk menjaga supaya pemangkuan Perbapaan yang dilaksanakan oleh orang lain hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa.

Sementara itu orang yang berhak menurut adat menjadi Perbapaan/Raja, tetapi masih dalam keadaan di bawah umur ataupun belum kawin, maka jabatan itu


(44)

boleh dipangku/diwakili kepada orang lain menunggu orang yang berhak itu sudah mencukupi.

Peraturan tetap tentang memilih siapa sebagai pemangku itu tidak ada. Yang sering dilakukan ialah orang yang paling cakap diantara kaum sanak keluarga terdekat, termasuk juga Anak Beru dan marga yang seharusnya memerintah sebagai Perbapaan Raja.

Adapun jabatan pemangku itu dipilih dari kalangan Anak Beru dari lain marga dari Perbapaan/Raja. Jadi mustahillah sipemangku itu tadi berhak atas kerajaan yang dipangkunya untuk selama-lamanya, pasti disatu waktu akan dikembalikan kepada yang berhak. Sedangkan kalau jabatan sebagai Perbapaan/Raja dipegang oleh kaum keluarga dari sipemangku yang berhak, misalnya saudara satu ayah lain ibu, ada kemungkinan akan mendakwa dan mempertahankan jabatan itu di kemudian hari, terlebih kalau dia sudah bertahun-tahun sudah memangku jabatan itu, sehingga merasa segan malah menolak menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Keadaan seperti ini juga pernah terjadi, malah menimbulkan perselisihan berkepanjangan antar kerabat yang seketurunan.

Dalam pemangkuan sementara itu, diadatkan sehingga merupakan kewajiban bagi si pemangku yaitu menyerahkan 1/3 dari semua pendapatan kerajaan kepada orang yang seharusnya memangku jabatan tersebut.

Seperti diuraikan di depan, baik Perbapaan Urung/Raja Urung ataupun Pengulu yang dibantu oleh “Anak Beru-Senina”, yang merupakan “Telu


(45)

Sidalanen”, maka jabatan dari “Anak Beru-Senina” itupun juga bersifat turun temurun.

Dengan sistem ini Pemerintah Tradisional Karo telah berjalan hampir ratusan tahun. Sistem itu mengalami sedikit perubahan pada abad ke 18 ketika Karo berada dibawah pengaruh Aceh yang membentuk raja berempat di Tanah Karo.

Seiring dengan masuknya pengaruh kekuasaan Belanda ke daerah Sumatera Timur melalui Kerajaan Siak Riau maka terjadi pula perubahan penting di dareah ini karena Belanda juga ingin menguasai seluruh Tanah Karo. Di Deli waktu itu sudah mulai berkembang Perkebunan tembakau yang diusahai oleh pengusaha-pengusaha Belanda. Namun tidak selamanya kekuasaan Belanda tertanam dengan mudah di daerah Sumatera Utara terlebih-lebih di daerah dataran tinggi Karo. Dan bagi orang Karo di masa lampau, kedatangan Belanda identik dengan pengambilan tanah rakyat untuk perkebunan. Banyak penduduk di Deli dan Langkat yang kehilangan tanahnya karena Sultan memberikan tanah secara tak semena-mena untuk jangka waktu 99 tahun (kemudian konsensi 75 tahun) kepada perkebunan tanpa menghiraukan kepentingan rakyat. Kegetiran dan penderitaan penduduk melahirkan perang sunggal yang berkepanjangan (1872-1895) yang juga dikenal sebagai perang Tanduk Benua atau Batakoorlog. Dalam perang tersebut orang Melayu dan orang Karo bahu-membahu menentang Belanda, antara lain dengan membakari bangsal-bangsal tembakau.


(46)

Di satu pihak ada persoalan antara Sultan Deli dan Datuk Sunggal karena Sultan Deli memberikan konsensi kepada Maskapai Belanda untuk membuka perkebunan dan daerah Sunggal termasuk di dalamnya. Perlawanan rakyat Sunggal dipimpin oleh Datuk Kecil (Datuk Muhammad Dini), Datuk Abdul Jalil dan Datuk Sulung Barat.Bantuan dari tanah karo dipusatkan di kampung Gajah. Tokoh Karo yang sangat terkenal dalam peperangan ini adalah Langgah Surbakti, berasal dari kampung Susuk Tanah Karo dan Nabung Surbakti, dikenal sebagai Penghulu Juma Raja. Karena hebatnya serangan-serangan yang dilancarkan, pihak Belanda mengirim ekspedisi ke Sunggal sampai tiga kali. Akibat peperangan itu, di pihak tentara Belanda banyak jatuh korban. Serdadu berkebangsaan Eropah tewas 28 orang dan serdadu Bumi Putra tewas 3 orang. Yang luka-luka, serdadu Eropah 320 orang dan serdadu Bumi Putra 270 orang.

Pekabaran injil ke Tanah Karo (1894) tidak terlepas dari kerusuhan-kerusuhan perkebunan tersebut. Pihak perkebunan mengharapkan bahwa gangguan-gangguan orang Karo akan dapat dipadamkan melalui pekabaran injil, jadi yang membiayai misionari (Nederlands Zendilingsgenotschap), ke karo adalah pihak perkebunan, diprakarsai oleh J.TH Gremers, Direktur Perkebunan tembakau Deli Maatschappij pada saat itu.

Garamata yang mengadakan perlawanan pada awal abad ini (1901-1905) juga berpendapat bahwa jika Belanda dibiarkan ke Tanah karo maka tanah rakyat mungkin sekali diambil untuk perkebunan. Pikiran ini didasarkan pada pengalaman orang Karo di dataran rendah, di Deli dan Langkat. Selanjutnya dia


(47)

juga berpendapat bahwa orang Karo mempunyai cara hidupnya sendiri dan istiadatnya sendiri dan tidak perlu dicampuri oleh orang Belanda (lihat Masri Singarimbun, Garamata: Perjuangan melawan Penjajah Belanda, 1901-1905, Balai Pustaka, Jakarta, 1992). Namun kekuatan Belanda yang begitu besar tidak dapat dibendung.

Sebelumnya pembangkangan yang sangat terkenal dilakukan oleh Sibayak Pa Tolong atau Sibayak Kuta Buluh, yang melakukan pembangkangan terhadap pembayaran pajak kepada Belanda (lihat Bab VI buku Darwan Prinst dan Darwin Prinst: Sejarah dan Kebudayaan Karo, Penerbit Grama Jakarta, 1985).

III.1.1.1 Masa Penjajahan Belanda

Setelah Belanda dapat menguasai daerah Sumatera Timur melalui perjanjian dengan raja-raja yang berbentuk kontrak yang disebut dengan Lange Verklaring (Perjanjian Panjang) dan Korte Verklaring (Perjanjian Pendek) maka pada tanggal 1 Maret 1887 Belanda membentuk daerah Sumatera Timur menjadi daerah Kresidenan yang sebelumnya termasuk daerah Kresidenan Sumatera Timur yang berkedudukan di Bengkalis (Riau). Kresidenan Sumatera Timur dipimpin oleh Seorang Residen bangsa Belanda, berpusat di Medan yang terdiri atas 4 daerah afdeling yaitu: Afdeling Deli dan Serdang, Afdeling Simalungun dan Karo Landen, Afdeling Langkat, dan Afdeling Asahan.


(48)

Onderafdeling Karo Landen. Masing-masing dari onderafdeling itu dipimpin oleh Controleur (Pengawas) orang Belanda berkedudukan di Pematang Siantar dan Kabanjahe.

Di daerah administrasi Onderafdeling Karo Landen, pemerintahannya disebut dengan nama Selfbestuur, di bawah kekuasaan seorang Controleur Belanda, terdapat 5 pemerintahan swapraja pribumi tingkat kerajaan/Landschaap yang dipimpin oleh Sibayak dan 18 Kerajaan Urung yang dipimpin oleh Raja Urung yang merupakan pemerintahan pribumi bawahan atau bagian dari Kerajaan/Landschaap (Ke-Sibayaken).

Adapun kelima pemerintahan Swaja Pribumi atau Landschaap yang dipimpin oleh Sibayak itu adalah:

1. Landschaap Lingga yang berkedudukan di Kabanjahe yang membawahi enam urung yaitu Urung XII Kuta di Kabanjahe, Urung Telu Kuru di Lingga, Urung Lima Senina di Batu Karang, Urung Tiga Pancur di Tiga Pancur, Urung IV Teran di Naman dan Urung Tiganderket di Tiganderket.

2. Landschaap Kuta Buluh yang berkedudukan di Kuta Buluh membawahi dua urung yaitu Urung Namohaji di Kuta Buluh dan Urung Liang Melas di Sampe Raya.

3. Landschaap Sarinembah yang berkedudukan di Sarinembah membawahi empat urung yaitu urung XVII Kuta di Sarinembah, Urung Perbesi di Perbesi, Urung Juhar di Juhar dan Urung Kuta Bangun di Kuta Bangun.


(49)

4. Landschaap Suka membawahi empat urung yaitu urung Suka di Suka, Urung Suka Piring di Seberaya, Urung Ajinembah di Ajinembah dan Urung Tongging di Tongging.

5. Landschaap Barusjahe membawahi dua urung yaitu Urung Sipitu Kuta di Barusjahe dan Urung Sienam Kuta di Sukanalu.

Walaupun namanya Selfbestuur tapi dalam prakteknya para Raja-Raja (Sibayak) hanya sebagai alat-alat pemerintah Belanda dalam mencapai tujuan politiknya, hal ini terbukti dari kenyataan bahwa raja-raja tersebut tidak bebas menentukan kebijaksanaan pemerintahan misalnya soal pajak dan rodi, pembangunan sekolah dan lain-lain. Maka tidak heran selama Belanda berkuasa di Indonesia di Tanah Karo tidak ada satu buah pun Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Menengah Atas. Menyadari akan hal inilah maka beberapa tokoh muda mulai bergerak dalam bidang politik dengan membentuk organisasi partai politik yang sudah ada di Medan, Batavia dan Yogyakarta.

Beberapa tokoh muda yang terkenal dalam pergerakan di Tanah Karo adalah Nerus Ginting Suka, Tama Ginting, Keras Surbakti, Rakutta Sembiring, Matang Sitepu, Selamat Ginting (terkenal dengan gelar halilintar), Payung Bangun, Djamin Ginting, Kendal Keliat, disamping beberapa nama lain Mbera Barus, Tama Sebayang, Turah Perangin-angin, Tampe Malem Sinulingga, RO Sembiring, yang pada sekitar tahun 60-an menjadi pelopor angkutan darat di Jakarta.


(50)

Perjuangan melalui organisasi-organisasi politik berlangsung di kota dan di desa-desa dan hampir tiap desa mengenal adanya organisasi seperti Gerindo, PNI, Partindo, di samping organisasi-organisasi sosial dan budaya seperti aron yang sangat efektif pada saat itu.

Sebagaimana umumnya gerakan kebangsaan, terdapat adanya sikap yang keras dan lunak. Kekerasan menuju arah bentuk perlawanan dari bentuk yang sekeras-kerasnya seperti pengerusakan, pembunuhan, dan pemberontakan sampai ke sikap yang agak lunak seperti non kooperatif, sikap oposisi dan sebagainya. Gerakan ekstrim yang keras di Tanah Karo adalah gerakan komunis namun sesudah tahun 30-an, gerakan-gerakan yang keras tidak ada secara formal. Adapun Gerindo dan Perindra adalah organisasi yang bersifat kooperatif dan diberi hak oleh kaum kolonial. Begitu pula organisasi-organisasi agama yang tidak memakai garis politik. Tetapi, itu bukan berarti bahwa para pemimpinnya bekerja sama dengan kaum kolonial. Mereka tetap melakukan kegiatan-kegiatan melawan kaum kolonial, dalam pertemuan-pertemuan, selebaran dan melalui tulisan di surat-surat kabar.

Setelah Belanda menyerah kepada Jepang (1942), pemerintah militer Jepang tetap mempertahankan sistem Swaja Pribumi. Namun, jika pada zaman penjajahan Belanda administrasi Pemerintahan dipegang oleh seorang Controleur Belanda, maka di zaman penjajahan Jepang jabatan itu dipegang oleh seorang pejabat militer Jepang dengan nama Gunseibu yang berkedudukan di Berastagi, bukan di Kabanjahe.


(51)

III.1.1.2 Masa Penjajahan Jepang

Seperti yang telah diuraikan di depan pada masa pendudukan Jepang, kedudukan kerajaan-kerajaan di Sumatera Utara tidak mengalami perubahan. Di kresidenan Sumatera Timur masih terdapat pemerintahan raja-raja seperti pemerintahan Zelfbestuur-Landschap di Zaman Belanda. Raja-raja ditugaskan untuk membantu pelaksanaan politik pemerintahan Jepang. Demikian pula di Tanah Karo, pada mulanya kepala pemerintahan Jepang hanya campur tangan jika perlu saja, tetapi akhirnya segenap lapisan dan golongan masyarakat baik raja-raja, pegawai dan rakyat berangsur-angsur menuju kearah kepemimpinan Jepang. Hal itu mengakibatkan kewibawaan masyarakat makin berkurang. Badan-badan yang dibentuk Jepang untuk membantu perang Asia Timur Raya dan badan-badan perwakilan yang dipersiapkan untuk menyambut kemerdekaan Indonesia yang terdiri dari beberapa lapisan dan golongan makin lama kian besar pengaruhnya di tengah-tengah masyarakat menggantikan pengaruh raja-raja.

Beberapa diantara kebutuhan pemerintahan militer Jepang di Tanah Karo selama ia menduduki daerah itu, 1942-1945, antara lain dapat disebut berikut:

1. Pengumpulan keperluan pangan/padi dari penduduk

2. Pengumpulan sayur-sayuran melalui unit-unit distribusi disetiap desa dengan harga amat murah, malah kalau perlu dibon saja

3. Mengambil paksa dengan harga sangat murah hewan peliharaan penduduk seperti ternak babi, ayam, kuda dan lain-lain


(52)

massal kepada penduduk untuk bersiap menghadapi sekutu Inggris-Amerika (Belanda tidak masuk dalam lingkungan mereka) seperti juga menjadi anggota Keibodan (Kepolisian). Talapeta dan Kyodo Buedan. 5. Pengambilan seseorang menjadi tenaga kerja paksa/romusa, berdasar

instruksi pemerintah militer Jepang, dilakukan oleh para Penghulu Kesain di suatu kampung. Ketika itu anggota Romusha dari Tanah Karo dikirim ke Tanjung Tiram membuat garam. Siapa saja yang menjadi anggota Romusha, sekembalinya dari Tanjung Tiram, badannya persis seperti tengkorak hidup dengan pipi gemuk kena penyakit biri-biri.

Disebabkan pemerintahan militer Jepang sangat keras apalagi disertai Institusi Kempetai (Polisi Militer) yang luar biasa kejamnya terhadap siapa saja, baik kepada penduduk demikian juga kepada aparatur pemerintahan swapraja entah Sibayak, Raja Urung ataupun Pengulu, dapat dikatakan roda pemerintahan militer Jepang lancar.

Sebab siapa yang mencoba mengelak dari kebijakan Jepang, pasti Kempetai bertindak habis-habisan. Contohnya dapat dikemukakan antara lain/adalah terhadap Raja Urung Lima Senina Boncar Bangun dan terhadap para tukang sihir, tukang racun (peraji-aji).

Raja Urung Lima Senina Boncar Bangun, yang menurut laporan bersalah ditahan, lalu disiksa habis-habisan di Kabanjahe, oleh Kempetai Jepang. Diayun, dipukul karet, dipompa dengan air perutnya melalui mulut, lalu diinjak-injak dan


(53)

lain sebagainya. Menyebabkan Raja Urung yang sudah tua/uzur, meninggal dalam siksaan Kempetai Jepang tahun 1944.

Para tukang sihir, tukang racun dan pencuri kakap, ditangkapi oleh Kempetai Jepang. Juga disiksa habis-habisan antara lain juga dalam bentuk hukum jari dan kaki dicabuti dengan kakaktua, rokok menyala dimasukkan ke dalam lubang hidung, badan disayat sedikit-sedikit lalu dituang dengan air jeruk dan garam. Para penderita pasti menggelepar, lemas tak sadarkan diri, malah ada yang mati begitu saja.

Di samping itu, untuk memperkuat pemerintahan Jepang di bidang pertahanan, Jepang membentuk Talapeta (Taman Latihan Pemuda Tani), BOMPA (Badan Untuk Memenangkan Perang Asia Timur Raya), HAIHO (Pasukan Pembantu Tentara Jepang) dan GYUGUN sama dengan PETA di Jawa. Tokoh-tokoh penting disini yang dilatih sebagai Kadet adalah Djamin Ginting, Nelang Sembiring, Bom Ginting Suka, Selamat Ginting, Tampak Sebayang, Nas Sebayang, Bangsi Sermbiring, Pala Bangun, Semin Sinuraya, Basingen Bangun. Kesemua tokoh ini pada tahun 1945 telah menjadi pemimpin-pemimpin pasukan yang menonjol.

Namun badan-badan ini tidak berumur panjang sebab pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan sekutu setelah sekutu menjatuhkan bom di Hirosima dan Nagasaki. Dan dua hari setelah penyerahan Jepang, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.


(54)

Peristiwa yang cukup penting di zaman penjajahan Jepang di Tanah Karo adalah pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat kresidenan Sumatera Timur yang terdiri dari berbagai golongan yang disebut Syu Sangikai di awal 1945.Dari Tanah Karo yang ditunjuk sebagai anggota dewan adalah Djaga Bukit dan Ngerajai Meliala. Dewan ini sempat bersidang beberapa kali di Medan sebelum Jepang menyerah kepada Sekutu.

Sebelum itu, pada tanggal 15 Juni 1945 Pemerintah militer Jepang telah mengangkat Ngerajai Meliala sebagai kepala Pemerintahan kerajaan-kerajaan Pribumi di Tanah Karo. Dengan posisi itu, Ngerajai Meliala merupakan kepala Pemerintahan Tanah Karo pertama yang membawahi langsung Pemerintahan Swapraja Pribumi Landschaap (Sibayak) dalam berurusan dengan pemerintahan militer Jepang yang saat itu dipimpin oleh K. Fukuchi di Tanah Karo.

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, jabatan kepala pemerintahan di Tanah Karo masih dipegang oleh Sibayak Ngerajai Meliala. Jabatan itu baru berakhir setelah terjadi Revolusi sosial di Sumatera Timur pada tahun 1946. Revolusi sosial itu terjadi akibat desakan rakyat terhadap penghapusan sistem pemerintahan Kerajaan Sibayak Sultan yang dipimpin secara terus menerus.


(55)

III.1.1.3 Perundingan Renville

Sesudah pertempuran di Medan Area, Kabanjahe, Samura, Seberaya,Sukanalu, Suka, Barus Jahe, Sarinembah, Tiga Binanga dan beberapa tempat di Tanah Karo, maka Belanda dapat menguasai sebahagian Tanah Karo.

Tetapi keinginan Belanda untuk menguasai seluruh Tanah Karo, tetap tidak berhasil karena pertahanan yang dibuat Resimen I di Sungai (Lau Lisang), tidak dapat ditembus oleh serdadu-serdadu Belanda. Pertahanan ini sangat menguntungkan Resimen I, terletak di belakang jembatan Lau Lisang yang telah dirusakkan. Meskipun dengan persenjataan yagn serba kurang, namun akibat faktor alam yang mendukung, memberikan kemungkinan untuk bertahan dengan baik. Di sungai Lau Lisang inilah garis pertahanan pertama dan terdepan pada waktu itu hingga berakhirnya Agressi I, tetap dapat dikuasai. Lalu terdengar kabar tentang diadakannya perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda di atas kapal USA Renville di Tanjung Priok-Jakarta yang diprakarsai oleh Dewan Keamanan PBB. Perundingan yagn terkenal dengan Perundingan Renville itu ditanda tangani pada tanggal 17 Januari 1948, jam 15.00 sore, dimana pihak Indonesia menerima garis “Van Mook”. Garis yang ditentukan oleh Gubernur Jenderal Belanda Van Mook.

Konsekuensi dari perundingan Renville ini adalah; bahwa semua pasukan Indonesia yang berada dalam “Kantong-kantong” (yang ditentukan oleh garis Van Mook) harus keluar (hijrah) ke daerah yang masih dikuasai Republik Indonesia.


(56)

Di Sumatera Utara, garis damarkasi dimulai dari Gebang di Langkat sampai ke Lau Pakam (Perbatasan Tanah Karo-Aceh) menyusur Sungai Renun ke Lau Patundal (Perbatasan Tanah Karo-Dairi), ke Ajibata di tepi Danau Toba menyusur Pantai Danau Toba ke Parapat (masuk kekuasaan Belanda), ke Simpang Bolon terus ke Gunung Melayu, menyusur Sungai Asahan sampai ke Laut.

Dengan demikian semua Pasukan di daerah Tanah Karo, Deli Serdang, Simalungun, dan Asahan harus dikosongkan oleh TRI dan lasykar-lasykar, mereka harus hijrah ke daerah Aceh atau Tapanuli Utara, Labuhan Batu atau Tapanuli Selatan. Hanya TRI dan lasykar yang berada di daerah Tanah Karo saja yang terpaksa mengundurkan diri. Resimen I Divisi X di bawah Letkol Djamin Ginting telah terlebih dahulu hijrah ke Lembah Alas di Aceh, sedangkan Resimen Napindo Halilintar di bawah Mayor Selamat Ginting ke Sidikalang-Dairi bersama dengan Pasukan Barisan Harimau Liar (BHL) di bawah Pimpinan Saragih Ras dan Payung Bangun.

Daerah Simalungun dan Asahan, sebelumnya sudah dikosongkan oleh TRI dan Pasukan-pasukan lain, mereka telah berada di daerah Tapanuli dan Labuhan Batu.

III.1.1.4 Agresi I Militer Belanda

Kabar-kabar angin bahwa Belanda akan melancarkan agresi I militernya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia kian semakin santer, puncaknya, pagi tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke seluruh sektor


(57)

pertempuran Medan Area. Serangan ini mereka namakan “Polisionel Actie” yang sebenarnya suatu agresi militer terhadap Republik Indonesia yang usianya baru mendekati 2 tahun.

Pada waktu kejadian itu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Pematang Siantar dalam rencana perjalanannya ke Banda Aceh. Di Pematang Siantar beliau mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan. Dilanjutkan pada tanggal 23 Juli 1947 di Tebing Tinggi. Pada arahannya dengan para pemimpin-pemimpin perjuangan, wakil presiden memberikan semangat untuk terus bergelora melawan musuh dan memberi petunjuk dan arahan menghadapi agresi Belanda yang sudah dilancarkan 2 hari sebelumnya. Namun Wakil Presiden membatalkan perjalanan ke Aceh dan memutuskan kembali ke Bukit Tinggi, setalah mendengar jatuhnya Tebing Tinggi, pada tanggal 28 Juli 1947. Perjalanan Wakil Presiden berlangsung di tengah berkecamuknya pertempuran akibat adanya serangan-serangan dari pasukan Belanda.

Rute yang dilalui Wakil Presiden adalah Berastagi - Merek – Sidikalang -Siborong-borong – Sibolga - Padang Sidempuan dan Bukit Tinggi. Di Berastagi, Wakil Presiden masih sempat mengadakan resepsi kecil ditemani Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan, Bupati Karo Rakutta Sembiring dan dihadiri Komandan Resimen I Letkol Djamin Ginting‟s, Komandan Laskar Rakyat Napindo Halilintar Mayor Selamat Ginting, Komandan Laskar Rakyat Barisan Harimau Liar (BHL) Payung Bangun dan para pejuang lainnya, di penginapan


(58)

penjelasan tentang situasi negara secara umum dan situasi khusus serta hal-hal yang akan dihadapi Bangsa Indonesia pada masa-masa yang akan datang.

Selesai memberi petunjuk, kepada beliau ditanyakan kiranya ingin kemana, sehubungan dengan serangan Belanda yang sudah menduduki Pematang Siantar dan akan menduduki Kabanjahe dan Berastagi. Wakil Presiden selanjutnya melakukan: “Jika keadaan masih memungkinkan, saya harap supaya saudara-saudara usahakan, supaya saya dapat ke Bukit Tinggi untuk memimpin perjuangan kita dari Pusat Sumatera”.

Setelah wakil presiden mengambil keputusan untuk berangkat ke Bukit Tinggi via Merek, segera Komandan Resimen I, Komandan Napindo Halilintar dan Komandan BHL, menyiapkan Pasukan pengaman. Mengingat daerah yang dilalui adalah persimpangan Merek, sudah dianggap dalam keadaan sangat berbahaya.

Apabila Belanda dapat merebut pertahanan kita di Seribu Dolok, maka Belanda akan dengan mudah dapat mencapai Merek, oleh sebab itu kompi markas dan sisa-sisa pecahan pasukan yang datang dari Binjai, siang harinya lebih dahulu dikirim ke Merek. Komandan Resimen I Letkol Djamin, memutuskan, memerlukan Pengawalan dan pengamanan wakil presiden, maka ditetapkan satu pleton dari Batalyon II TRI Resimen I untuk memperkuat pertahanan di sekitar gunung Sipiso-piso yang menghadap ke Seribu Dolok, oleh Napindo Halilintar ditetapkan pasukan Kapten Pala Bangun dan Kapten Bangsi Sembiring.


(59)

Sesudah persiapan rampung seluruhnya selesai makan sahur, waktu itu kebetulan bulan puasa, berangkatlah wakil presiden dan rombongan antara lain: Wangsa Wijaya (Sekretaris Priadi), Ruslan Batangharis dan Williem Hutabarat (Ajudan), Gubernur Sumatera Timur Mr. TM. Hasan menuju Merek. Upacara perpisahan singkat berlangsung menjelang subuh di tengah-tengah jalan raya dalam pelukan hawa dingin yang menyusup ke tulang sum-sum.

Sedang sayup-sayup terdengar tembakan dari arah Seribu Dolok, rupanya telah terjadi tembak-menembak antara pasukan musuh / Belanda dengan pasukan-pasukan kita yang bertahan di sekitar Gunung Sipiso-piso.

Seraya memeluk Bupati Tanah Karo Rakutta Sembiring, wakil presiden mengucapkan selamat tinggal dan selamat berjuang kepada rakyat Tanah Karo. Kemudian berangkatlah wakil presiden dan rombongan, meninggalkan Merek langsung ke Sidikalang untuk selanjutnya menuju Bukit Tinggi via Tarutung, Sibolga dan Padang Sidempuan.

Sementara itu, keadaan keresidenan Sumatera Timur semakin genting, serangan pasukan Belanda semakin gencar. Akibatnya, ibu negeri yang sebelumnya berkedudukan di Medan pindah ke Tebing Tinggi.

Bupati Rakutta Sembiring, juga menjadikan kota Tiga Binanga menjadi Ibu negeri Kabupaten Karo, setelah Tentara Belanda menguasai Kabanjahe dan Berastagi, pada tanggal 1 Agustus 1947.

Namun sehari sebelum tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi, oleh pasukan bersenjata kita bersama-sama dengan rakyat telah melaksanakan


(60)

taktik bumi hangus, sehingga kota Kabanjahe dan Berastagi beserta 51 Desa di Tanah Karo menjadi lautan Api.

Taktik bumi hangus ini, sungguh merupakan pengorbanan yang luar biasa dari rakyat Karo demi mempertahankan cita-cita luhur kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat dengan sukarela membakar apa saja yang dimiliki termasuk desa dengan segala isinya.

Kenyataan itu telah menyebabkan wakil presiden mengeluarkan keputusan penting mengenai pembagian daerah dan status daerah di Sumatera Utara yang berbunyi sebagai berikut:

Dengan surat ketetapan Wakil Presiden tanggal 26 Agustus 1947 yang dikeluarkan di Bukit Tinggi, maka daerah-daerah keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, kabupaten Tanah Karo, dijadikan satu daerah pemerintahan militer dengan Teungku Mohammad Daud Beureuh sebagai Gubernur Militer. Sedangkan daerah-daerah keresidenan Tapanuli, Kabupaten Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu menjadi sebuah daerah pemerintahan Militer dengan Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer. Masing-masing Gubernur Militer itu diangkat dengan Pangkat Mayor Jenderal.

Selanjutnya melihat begitu besarnya pengorbanan rakyat karo ini, wakil presiden Drs. Mohammad Hatta menulis surat pujian kepada rakyat Karo dari Bukit Tinggi pada tanggal 1 Januari 1948. Adapun surat wakil presiden tersebut selengkapnya sebagai berikut:


(1)

Sedangkan menurut masyarakat selaku pemohon hambatan yang terjadi adalah kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat tentang syarat-syarat dalam pengurusan penerbitan sertifikat tanah.


(2)

BAB VI

PENUTUP

VI.1 Kesimpulan

1. Sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah , hak atas pengelolaan tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Dari hasil penelitian yang menggunakan indikator-indikator efektivitas yang belum terlaksana dengan baik terutama mengenai kepastian waktu serta prosedur pelayanan.

2. Efektivitas Penerbitan Sertifikat dapat dilihat dari indikator-indikator berikut: A.Prosedur

Prosedur adalah suatu urutan tugas atau pekerjaan yang saling berhubungan satu sama lain dalam rangka pencapaian tujuan dan juga prosedur memuat semua persyaratan-persyaratan untuk mencapai tujuan tersebut. Prosedur pelayanan baik dari segi kejelasan persyaratan administrasi maupun kesederhanaan alur pelayanan pertanahan dalam penerbitan sertifikat tanah belum maksimal diakibatkan kurangnya sosialisasi dari Kantor Pertanahan mengenai persyaratan dan alur pelayanan.


(3)

B. Waktu

Faktor kepastian waktu penyelesaian sertifikat tanah yang lama antara masyarakat yang mengurus sertifikat sendiri dengan masyarakat yang menggunakan jasa notaris diakibatkan oleh masih kurangnya sosialisasi dari Kantor Pertanahan sedangkan masyarakat yang menggunakan jasa notaris bisa memakan waktu yang lebih cepat karena notaris telah mengetahui dan memahami persyaratan serta prosedur yang harus dilalui dalam penerbitan sertifikat.

C.Kecermatan

Kecermatan adalah faktor ketelitian dari pemberi pelayanan kepada pelanggan. Tingkat kecermatan pegawai Kantor Pertanahan Tanah Karo sudah cukup baik tapi masih memiliki beberapa kekurangan seperti terkadang terjadi kesalahan batas ukur tanah dan penulisan identitas masyarakat.

D.Gaya Pemberian Layanan

Faktor ini melihat cara dan kebiasaan pemberi layanan dalam memberikan jasa kepada pelanggan. Gaya pemberian layanan pegawai kantor pertanahan Kabupaten Karo sudah cukup baik dapat dilihat dari keramahan saat memberikan pelayanan kepada masyarakat, yakni saat dalam menanggapi pertanyaan dan keluhan masyarakat sebagai pemohon.


(4)

E. Hambatan

Di dalam setiap lembaga pelayanan publik selalu terdapat hambatan-hambatan yang dapat mengganggu proses pelayanan publik itu sendiri. Hambatan yang sering terjadi dalam penerbitan sertifikat di Kantor Pertanahan Kabupaten Karo adalah masyarakat kurang memahami persyaratan dan prosedur yang harus dilalui dalam penerbitan sertifikat terlihat dari tidak lengkapnya persyaratan yang harus dipenuhi masyarakat dalam mengurus penerbitan sertifikat tanah dan adanya permintaan dari masyarakat untuk melakukan sertifikasi tanah yang masih dalam status sengketa.

VI.2 Saran

Adapun saran yang diberikan peneliti terhadap pelayanan penerbitan sertifikat tanah ini adalah sebagai berikut:

1. Kepada kantor pertanahan agar dapat memberikan sosialisasi dibidang pertanahan kepada masyarakat, sehingga diperoleh pemahaman dan keterangan yang lebih jelas mengenai persyaratan dan prosedur persertifikatan tanah, sehingga masyarakat dapat mempersiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan secara keseluruhan sehingga penerbitan sertifikatnya dapat selesai tepat waktu.

2. Kepada masyarakat supaya segera mensertifikatkan tanahnya, mengingat akan pentingnya sertifikat tanah sebagai bukti yang dapat memberikan kekuatan dan kepastian hukum terhadap bidang tanah yang dimilikinya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Kasim, Azhar. 1993. Pengukuran Efektivitas Organisasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Lubis, Hari. S.B. dan Martani Husaini. 1987. Teori Organisasi (Suatu Pendekatan Makro). Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia

Nawawi, Hadari. 1993. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: UGM Press Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta

Santosa, Pandji. 2008. Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance. Bandung: Refika Aditama

Siagian, S.P. 2002. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: PT Rineka Cipta Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: LP3ES

Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta

Surjadi. 2009. Pengembangan Kinerja Pelayanan Publik. Bandung: Refika Aditama Suyanto, Bagong. 2005. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana

Waluyo. 2007. Manajemen Publik (Konsep, Aplikasi dan Implementasinya dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah). Bandung: Mandar Maju

Sumber Undang-Undang:

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah


(6)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 06/1995 tentang Pedoman Penganugerahan Piala Abdisatyabakti Bagi Unit Kerja/Kantor Pelayanan Percontohan

Sumber Internet:

http://www.jurnalhukum.com/pendaftaran-tanah, diakses tanggal 13 Maret 2014 pada pukul 09.09 WIB

http://www.bpn.go.id, diakses tanggal 13 Maret 2014 pada pukul 09.25 WIB http://wawasannews.com/plt-walikota-medan-himbau-masyarakat-lakukan-sertifikasi-tanah, diakses 13 Maret 2014 pada pukul 09.55 WIB