Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata

menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku III KUH Perdata tersebut. Berarti hukum publik maupun hukum privat sama-sama mengandung sifat hukum yang memaksa maupun sifatnya melengkapi, tetapi umumnya sifat memaksa itu ada pada hukum publik dan sifat pelengkap itu ada pada hukum privat.

B. Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata

Berbicara soal hukum perjanjian berarti konsep hukumnya adalah berada dalam konsep hukum perdata, sebab hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata hukum privat. 90 Dalam KUH Perdata pengaturan mengenai hukum perjanjian dapat ditemukan dari sebahagian dalam buku III KUH Perdata tersebut yang secara khusus diatur di dalam mulai dari Pasal 1313 sd Pasal 1351 KUH Perdata dan di bawah sub judul besar Bab II berjudul “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak Atau Hukum perjanjian pada prinsipnya derivatif turunan dari hukum perikatan, walaupun kadang-kadang, kajiannya dibedakan antara perikatan dan perjanjian, tetapi pada prinsipnya antara hukum perjanjian dan hukum perikatan adalah sama. Ditingkat teoritis boleh dikatakan bahwa hukum perikatan berada pada tataran teoritis yang mungkin dapat disebut dengan teori kesepakatan sedangkan dalam tataran normatif terdapat di dalam KUH Perdata. 90 R. Wijono Prodjodikoro, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara Persetujuan”. Dari ketentuannya diketahui bahwa pada prinsipnya terdapat hukum perjanjian. 91 Gunawan Widjaja dalam bukunya berjudul, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, mengkaji hukum perjanjian dan hukum perikatan dalam bab-babnya secara terpisah. 92 Namun itu tidak berarti konsepnya harus berbeda, sebagaimana pada umumnya terdapat dalam karya-karya para ahli hukum, mengkaji kedua aspek ini berada dalam satu kajian, 93 Perjanjian dan perikatan menurut Handri Raharjo merupakan dua hal yang berbeda meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Handri Raharjo mengutip dari R. Subekti dan J. Satrio untuk membedakan antara perjanjian dan perikatan dapat diperhatikan dalam tabel 2 berikut ini: walaupun sedikit terdapat perbedaan. 94 Tabel 2 Perbedaan Antara Perjanjian dan Perikatan No Perjanjian Perikatan 1. Perjanjian menimbulkan atau melahirkan perikatan. Perikatan adalah isi dari perjanjian. 2. Perjanjian lebih konkrit daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar. Perikatan merupakan pengertian yang abstrak hanya dalam alam pikiran saja. 3. Pada umumnya perjanjian merupakan hubungan hukum bersegi dua, artinya akibat hukumnya dikehendaki oleh kedua belah pihak. Perikatan bersegi satu, artinya: belum tentu menimbulkan akibat hukum, sebagai contoh, perikatan alami tidak dapat dituntut di sidang pengadilan 91 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 247. 92 Ibid., hal. 247 dan hal. 309. 93 Handri Raharjo, Op. cit., hal. 39. 94 Ibid., hal. 43. Universitas Sumatera Utara Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksankan. Pihak-pihak berjumlah lebih dari atau sama dengan dua pihak sehingga bukan pernyataan sepihak, dan pernyataan itu merupakan perbuatan hukum. hutang karena judi karena pemenuhannya tidak dapat dipaksakan. Pihaknya hanya berjumlah satu sehingga ia disebut bersegi satu dan pernyataannya merupakan pernyataan sepihak serta merupakan perbuatan biasa bukan perbuatan hukum. Menurut J. Satrio, perjanjian merupakan sumber perikatan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233 KUH Perdata, yang menentukan tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian melahirkan perikatan-perikatan karena memang perjanjian seringkali bahkan kebanyakan melahirkan sekelompok perikatan. 95 Jadi sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian sebagai sumber perikatan berarti perikatan itu dikehendaki oleh para pihak yang berjanji, sedangkan undang-undang sebagai sumber perikatan berarti tanpa ada kehendak dari para pihak yang terikat. Perikatan dapat lahir karena tanpa para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu, perikatan bisa lahir karena para pihak berada dalam kondisi tertentu sesuai Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUH Perdata. 96 Sehingga penafsiran terhadap ketentuan dalam Pasal 1233 KUH Perdata tersebut sebagai sumber dari hukum perikatan berasal dari perjanjian dan undang- undang. Selain itu Abdulkadir Muhammad menambahkan pula di samping berasal 95 J. Satrio II, Op. cit., hal. 38. 96 Ibid., hal. 40. Universitas Sumatera Utara dari perjanjian dan undang-undang, sumber perikatan dapat juga berasal dari kesusilaan. 97 Sehingga dikenal pula istilah perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan di dalam undang- undang, yang secara khusus ditentukan di dalam Bab V sd XVIII Buku III KUH Perdata. 98 Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ditentukan dalam undang-undang tetapi terjadi di dalam praktik yang diperbolehkan berdasarkan asas kepantasan, kepatutan, dan kesusilaan. 99 Menurut Gunawan Widjaja, hukum perjanjian adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah perjanjian. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian tersebut, penafsiran, dan pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut. Hukum perjanjian merupakan suatu lapangan dalam hukum perdata yang lebih sempit daripada hukum perikatan. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang lebih luas cakupannya. 100 Hukum perjanjian kadang-kadang diidentikkan pula dengan hukum kontrak. Bagaimana pula perbedaan antara kedua hal ini. Beberapa literatur ditemukan membedakan kedua istilah ini tetapi makna dari kedua istilah sebenarnya sama, yakni 97 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 221. 98 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Beberapa Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hypotheek Serta Hambatan-Hambatannya Dalam Praktek, Bandung: Alumni, 1983, hal. 40. 99 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, hal. 77. 100 Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 247-248. Universitas Sumatera Utara sama-sama menyatakan suatu kesepakatan. Hanya penggunaan dalam penempatan istilahnya saja yang berbeda, tetapi hakikatnya adalah sama. Walaupun hukum perjanjian bersifat lebih luas daripada hukum kontrak, atau hukum kontrak merupakan derivatif dari hukum perjanjian, tetapi hakikatnya tetaplah sama. Hukum kontrak lahir dari kehendak para pihak yang menghendaki suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebab hingga kini tidak pernah ditemukan ada kontrak yang tidak dilaksanakan secara tertulis, atau tidak ada kontrak yang dilaksanakan dalam bentuk lisan. Perlunya perjanjian dalam bentuk tertulis dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan prestasi. Wajar saja dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan yang tentunya mudah ditemukan banyak persoalan dagang, maka perjanjian umumnya dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis inilah yang sering diidentikkan dengan kontrak. Agus Yudha Hernoko dengan tegas menentang para pendapat yang menyamakan penggunaan kedua istilah ini walaupun maksudnya sama. 101 Banyak orang mencampuradukkan kedua istilah ini dalam menafsirkan perjanjian overeenkomst dalam Buku III KUH Perdata BW, padahal sebenarnya hukum kontrak contract law merupakan bidangnya dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan. Menurut Subekti menyebutkan hukum kontrak memiliki 101 Agus Yudha Hernoko, Op. cit, hal. 13 dan hal. 15. Universitas Sumatera Utara pengertian yang lebih sempit dari hukum perjanjian. 102 Sedangkan Agus Yudha Hernoko tidak sependapat untuk membedakan kedua istilah itu, ia justru menyamakan pengertian antara perjanjian dan kontrak. 103 Sedangkan para ahli hukum yang lain seperti: Jacob Hans Niewenhuis, Hofman, J. Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo, Mathalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid Patrik, Trtodiningrat, dan Pothier, sebagaimana yang dapat dihimpun, semua menyebutkan kedua istilah ini dalam pengertian yang sama. 104 Sedangkan Peter Mahmud Marzuki sependapat dengan Subekti, dalam argumentasi kritis Peter Mahmud Marzuki ia menyebutkan untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis harus disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebutnya sebagai agreement saja. 105 Y. Sogar Simamora, juga memaknai kontrak merupakan aspek yang berada dalam lapangan bisnis. Sebagaimana disebutnya, kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun skala kecil, baik domestik maupun internasional. Fungsinya penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dalam kontrak terlaksana dan dapat dipenuhi. 106 102 R. Subekti, Op. cit, hal. 1. 103 Ibid., hal. 13. 104 Ibid., hal. 13-14. 105 Ibid. Lihat juga: Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, Jurnal Yuridika, Volume 18 Nomor 3, Mei Tahun 2003, hal. 195-196. 106 Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, Surabaya: Kantor Hukum Wins Partners dan Laksbang Justitia Surabaya, 2013, hal. 23- 25. Universitas Sumatera Utara Kemudian perbedaan itu juga dikaji secara kritis di dalam buku karangan Muhammad Syaifuddin berjudul, “Hukum Kontrak”, ia mengatakan pelaku bisnis banyak memahami kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Padahal menurutnya secara dogmatik, KUH Perdata sebagai induk hukum yang menggunakan istilah overeenkomst adalah juga istilah contract, karena titel Bukut III yang berjudul tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir Dari Kontrak Atau Perjanjian”, diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda adalah “Van Verbintenissen Die Uit Contract of Overeenkomst Geboren Worden”. 107 Berikut disebutkan oleh Peter Mahmud Marzuki, bahwa istilah kontrak lebih menunjukkan nuansa bisnis atau komersil dalam hubungan hukum yang dibentuk, 108 sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan kedua istilah ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan. 109 Berdasarkan pendekatan istilah bahasa juga kedua istilah ini pada prinsipnya memiliki maksud yang sama. Kalau di dalam kebiasaan di Indonesia dan juga di dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah perjanjian, demikian pula dalam kebiasaan di negara Eropa Barat termasuk Belanda, istilah contract kontrak sudah menjadi istilah sehari-hari untuk menyebutkan kesepakatan, apakah itu kesekapatan 107 Agus Yudha Hernoko, Loc. cit. Lihat juga: Muhammad Syaifuddin, hukum Kontrak, Memahami Kontral Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum Seri Pengayaan Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju, 2012, hal. 15. 108 Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., hal. 195. 109 R. Subekti, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara dalam kegiatan yang mendatangkan nilai ekonomis atau tidak, tetap menggunakan istilah kontrak tersebut di Eropa Barat. 110 Sehingga dengan demikian, antara istilah kontrak dan perjanjian sesungguhnya sama saja, tidak ada bedanya berdasarkan teori-teori, norma-norma, serta doktrin-doktrin yang ada. Walaupun kadang-kadang dalam praktik sering dibedakan, namun berdasarkan pendekatan sejarah lahirnya kedua istilah ini sama sekali tidak memiliki perbedaan. Bahkan di Indonesia sendiri dasar hukum keduanya tetap mendasarkan pada overeenkomst dalam KUH Perdata. Setelah dilakukan penelitian, terkait perbedaan ini disimpulkan bahwa kedua istilah antara kontrak dan perjanjian tidak ada bedanya, hanya saja hal itu menjadi berbeda karena faktor kebiasaan tradisi penggunaannya di Indonesia. Warga negara Indonesia yang berurusan dengan bisnis atau kegiatan dagang sering menggunakan istilah kontrak padahal sama maksudnya dengan perjanjian. Sedangkan istilah perjanjian di Indonesia sering ditafsirkan lebih luas, termasuk semua aspek kehidupan bisa dibuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Itulah yang membuat kedua istilah ini menjadi berbeda khususnya di Indonesia. Padahal di Eropa Barat tempat perdagangan yang sangat kompleks dan maju dari dulu hingga saat ini istilah kontrak tetap menjadi istilah yang sering dipergunakan daripada perjanjian. Di Indonesia, dapat ditelaah berdasarkan ketentuan pada Pasal 1313 KUH Perdata diperoleh bahwa pengertian perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana 110 Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 17-25. Universitas Sumatera Utara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dari istilah perjanjian ini saja pada prinsipnya sebenarnya sama dengan istilah kontrak di Eropa Barat, tetapi di Indonesia sering menggunakan istilah kontrak hanya untuk kegiatan dalam bisnis atau perdagangan, padahal tidak demikian menurut asal muasal istilah ini digunakan. Namun pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menurut Handri Raharjo memiliki kelemahan, oleh sebab itu semestinya harus diperbaiki. Beliau mengatakan kelemahan itu terdapat pada beberapa hal sebagaimana tabel 3 berikut ini. 111 Tabel 3 Kelemahan Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata No Kelemahan Seharusnya 1. Merupakan perbuatan hal ini bermakna terlalu luas. Perbuatan hukum 2. Yang mengikatkan dirinya hanya satu pihak kurang lengkap sehingga bisa disebut perjanjian sepihak. Saling mengikatkan diri atau syarat minimal pihaknya harus dua orang saja. 3. Tujuannya tidak jelas. Harus dijelaskan tujuannya untuk apa. Sementara kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata menurut Taryana Soenandar, ada empat hal dari defenisi tersebut, yaitu: 112 1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja; 2. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan, termasuk mengurus kepentingan orang lain, dan perbuatan melawan hukum; 111 Handri Raharjo, Op. cit., hal. 41. 112 Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip Unidroit, Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 105. Universitas Sumatera Utara 3. Pengertiannya terlalu luas bisa termasuk perjanjian kawin; 4. Tanpa menyebutkan tujuannya. Kebanyakan pakar hukum mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki banyak kelemahan. Menurut J. Satrio kata “perbuatan” terlalu luas dapat berupa perbuatan hukum dan perbuatan bukan hukum, juga bisa termasuk perbuatan melawan hukum. Sementara dari kalimat “mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih” dapat diartikan hanya cocok untuk perbuatan sepihak. 113 Oleh karena kelemahan tersebut, Handri Raharjo mencoba memberikan penyempurnaan, seharusnya pengertian perjanjian di dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut memiliki redaksi seperti beirkut ini: 114 Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka para pihaksubjek hukum saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum . Poin-poin penting yang digaris bawahi tersebut di atas mesti ada dalam membuat pengertian perjanjian sebagaiman dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus diharmonisasikan dengan makna tersebut, agar tidak membingungkan, syarat minimal jumlah para pihak, apakah perjanjian atau perikatan, apa bidang perjanjian dimaksud, tujuannya, kekuatan mengikatnya, kewajiban melaksanakan prestasi, dan akibat hukumnya. 113 Ibid., hal. 104. 114 Handri Raharjo, Op. cit., hal. 42. Universitas Sumatera Utara Menurut Titik Triwulan Tutik, unsur-unsur dalam perjanjian harus dipenuhi yaitu: 115 1. Ada pihak-pihak subjek, sedikitnya dua pihak; 2. Ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersifat tetap; 3. Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak; 4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan; 5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan; 6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian. Norma yang mengandung syarat-syarat perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan unsur-unsur perjanjian sebagaimana yang disebutkan oleh Titik Triwulan Tutik tersebut di atas. Agar suatu perjanjian menimbulkan perikatan sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang, maka bagi para pihak yang membuatnya haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1 kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2 kecakapan untuk membuat perjanjian, 3 sesuatu hal tertentu, dan 4 sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif. 116 Suatu perjanjian maupun kontrak tanpa memenuhi keempat syarat sah yang disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, maka perjanjiankontrak tersebut dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat subyektif yaitu: sepakat 115 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 222. 116 Yahman, Op. cit., hal. 31. Universitas Sumatera Utara mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau dapat batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat obyektif yaitu: suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. 117 Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum. 118 Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang cakap menurut hukum. 119 Unsur para pihak atau pihak-pihak inilah yang disebut sebagai subjek perjanjian yang terikat di dalam perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Syarat menjadi subjek perjanjian adalah harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum, yang dalam KUH Perdata dibagi tiga golongan yaitu: para pihak yang mengadakan perjanjian, para ahli waris dari para pihak, dan pihak ketiga. Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut objek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan. 120 Subjek perjanjian adalah orang-orang sebagai anggota masyarakat, bisa pula suatu badan hukum, atau suatu korporasi. Namun umumnya dalam KUH Perdata hanya mengenal orang perseorangan atau suatu badan hukum sebagai subjek 117 Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 111. 118 Ibid., hal. 32. 119 Subekti, Op. cit., hal. 17. 120 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 222. Universitas Sumatera Utara hukum. 121 Sedangkan subjek hukum korporasi mulai dikenal pada beberapa bidang hukum misalnya dalam hukum lingkungan hidup, dalam hukum perusahaan, dan lain- lain. 122 Subjek perjanjian merupakan pelaku yang bertindak dan sangat dipentingkan, demikian objek perjanjian juga merupakan suatu hal yang dipentingkan mengenai suatu hal yang diperlakukan oleh subjek perjanjian. Sehingga objek perjanjian harus terang dan jelas sebagai hal yang diwajibkan kepada para pihak subjek perjanjian untuk memenuhi prestasi masing-masing. 123 Sifat perjanjian merupakan salah satu unsur penting dalam perjanjian yaitu harus ada persetujuan kesepakatan antara para pihak, untuk melakukan tujuan perjanjian. Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan tidak dilarang dalam perundang-undangan. Itu sebabnya objek perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus disebutkan dalam makna yang bersifat general yaitu suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan. 124 Prestasi merupakan kewajiban yang wajib dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. 125 121 R. Wijono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 7. Hakikat dari perjanjian sesungguhnya menghendaki suatu prestasi. Tetapi jika makna perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1313 KUH Perdata sedemikian adanya, tidak menunjukkan hakikatnya 122 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 4-5. 123 R. Wijono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 223. 124 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 223. 125 Ibid. Universitas Sumatera Utara untuk menimbulkan suatu prestasi. Tujuan menimbulkan suatu prestasi hanya pada umumnya berada pada penafsiran di dalam doktrin-doktrin para ahli hukum saja, sedangkan mana yuridisinya tidak terpenuhi dalam ketentuan tersebut. 126 Bentuk perjanjian mesti pula harus ditentukan, karena ada ketentuan undang- undang yang kadang-kadang menentukan hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan sebagai bukti. Bentuk tertentu dapat berupa akta. Bentuknya dapat dibuat secara lisan kecuali jika para pihak menghendaki harus dalam bentuk tertulis. Pentingnya prestasi sebagai hakikat dari perjanjian adalah sebagai penegasan agar pihak lain tidak melakukan atau dapat sebagai sarana pencegah meminimalisir terjadinya perbuatan wanprestasi. 127

C. Perbedaan Antara Perbuatan Wanprestasi Dengan Delik Penipuan Dalam Suatu Perjanjian