menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku III KUH Perdata tersebut. Berarti hukum publik maupun hukum privat sama-sama mengandung sifat hukum
yang memaksa maupun sifatnya melengkapi, tetapi umumnya sifat memaksa itu ada pada hukum publik dan sifat pelengkap itu ada pada hukum privat.
B. Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata
Berbicara soal hukum perjanjian berarti konsep hukumnya adalah berada dalam konsep hukum perdata, sebab hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum
perdata hukum privat.
90
Dalam KUH Perdata pengaturan mengenai hukum perjanjian dapat ditemukan dari sebahagian dalam buku III KUH Perdata tersebut yang secara khusus diatur di
dalam mulai dari Pasal 1313 sd Pasal 1351 KUH Perdata dan di bawah sub judul besar Bab II berjudul “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak Atau
Hukum perjanjian pada prinsipnya derivatif turunan dari hukum perikatan, walaupun kadang-kadang, kajiannya dibedakan antara perikatan
dan perjanjian, tetapi pada prinsipnya antara hukum perjanjian dan hukum perikatan adalah sama. Ditingkat teoritis boleh dikatakan bahwa hukum perikatan berada pada
tataran teoritis yang mungkin dapat disebut dengan teori kesepakatan sedangkan dalam tataran normatif terdapat di dalam KUH Perdata.
90
R. Wijono Prodjodikoro, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Persetujuan”. Dari ketentuannya diketahui bahwa pada prinsipnya terdapat hukum perjanjian.
91
Gunawan Widjaja dalam bukunya berjudul, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, mengkaji hukum perjanjian dan hukum
perikatan dalam bab-babnya secara terpisah.
92
Namun itu tidak berarti konsepnya harus berbeda, sebagaimana pada umumnya terdapat dalam karya-karya para ahli
hukum, mengkaji kedua aspek ini berada dalam satu kajian,
93
Perjanjian dan perikatan menurut Handri Raharjo merupakan dua hal yang berbeda meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Handri Raharjo
mengutip dari R. Subekti dan J. Satrio untuk membedakan antara perjanjian dan perikatan dapat diperhatikan dalam tabel 2 berikut ini:
walaupun sedikit terdapat perbedaan.
94
Tabel 2 Perbedaan Antara Perjanjian dan Perikatan
No Perjanjian
Perikatan
1. Perjanjian menimbulkan atau
melahirkan perikatan. Perikatan adalah isi dari perjanjian.
2. Perjanjian lebih konkrit daripada
perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar.
Perikatan merupakan pengertian yang abstrak hanya dalam alam pikiran
saja.
3. Pada umumnya perjanjian
merupakan hubungan hukum bersegi dua, artinya akibat hukumnya
dikehendaki oleh kedua belah pihak. Perikatan bersegi satu, artinya: belum
tentu menimbulkan akibat hukum, sebagai contoh, perikatan alami tidak
dapat dituntut di sidang pengadilan
91
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 247.
92
Ibid., hal. 247 dan hal. 309.
93
Handri Raharjo, Op. cit., hal. 39.
94
Ibid., hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksankan.
Pihak-pihak berjumlah lebih dari atau sama dengan dua pihak
sehingga bukan pernyataan sepihak, dan pernyataan itu merupakan
perbuatan hukum. hutang karena judi karena
pemenuhannya tidak dapat dipaksakan. Pihaknya hanya
berjumlah satu sehingga ia disebut bersegi satu dan pernyataannya
merupakan pernyataan sepihak serta merupakan perbuatan biasa bukan
perbuatan hukum.
Menurut J. Satrio, perjanjian merupakan sumber perikatan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233 KUH Perdata, yang menentukan tiap-tiap perikatan dilahirkan,
baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang.
Perjanjian melahirkan perikatan-perikatan karena memang perjanjian seringkali bahkan kebanyakan melahirkan sekelompok perikatan.
95
Jadi sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian sebagai sumber perikatan berarti perikatan itu dikehendaki oleh para pihak yang
berjanji, sedangkan undang-undang sebagai sumber perikatan berarti tanpa ada kehendak dari para pihak yang terikat. Perikatan dapat lahir karena tanpa para pihak
melakukan suatu perbuatan tertentu, perikatan bisa lahir karena para pihak berada dalam kondisi tertentu sesuai Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUH Perdata.
96
Sehingga penafsiran terhadap ketentuan dalam Pasal 1233 KUH Perdata tersebut sebagai sumber dari hukum perikatan berasal dari perjanjian dan undang-
undang. Selain itu Abdulkadir Muhammad menambahkan pula di samping berasal
95
J. Satrio II, Op. cit., hal. 38.
96
Ibid., hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
dari perjanjian dan undang-undang, sumber perikatan dapat juga berasal dari kesusilaan.
97
Sehingga dikenal pula istilah perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan di dalam undang-
undang, yang secara khusus ditentukan di dalam Bab V sd XVIII Buku III KUH Perdata.
98
Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ditentukan dalam undang-undang tetapi terjadi di dalam praktik yang diperbolehkan
berdasarkan asas kepantasan, kepatutan, dan kesusilaan.
99
Menurut Gunawan Widjaja, hukum perjanjian adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah
perjanjian. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian tersebut,
penafsiran, dan pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut. Hukum perjanjian merupakan suatu lapangan dalam hukum perdata yang lebih sempit daripada hukum
perikatan. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang lebih luas cakupannya.
100
Hukum perjanjian kadang-kadang diidentikkan pula dengan hukum kontrak. Bagaimana pula perbedaan antara kedua hal ini. Beberapa literatur ditemukan
membedakan kedua istilah ini tetapi makna dari kedua istilah sebenarnya sama, yakni
97
Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 221.
98
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Beberapa Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hypotheek Serta Hambatan-Hambatannya Dalam Praktek,
Bandung: Alumni, 1983, hal. 40.
99
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990, hal. 77.
100
Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 247-248.
Universitas Sumatera Utara
sama-sama menyatakan suatu kesepakatan. Hanya penggunaan dalam penempatan istilahnya saja yang berbeda, tetapi hakikatnya adalah sama. Walaupun hukum
perjanjian bersifat lebih luas daripada hukum kontrak, atau hukum kontrak merupakan derivatif dari hukum perjanjian, tetapi hakikatnya tetaplah sama.
Hukum kontrak lahir dari kehendak para pihak yang menghendaki suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebab hingga kini tidak pernah
ditemukan ada kontrak yang tidak dilaksanakan secara tertulis, atau tidak ada kontrak yang dilaksanakan dalam bentuk lisan. Perlunya perjanjian dalam bentuk tertulis
dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan prestasi.
Wajar saja dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan yang tentunya mudah ditemukan banyak persoalan dagang, maka perjanjian umumnya dibuat dalam
bentuk tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis inilah yang sering diidentikkan dengan kontrak. Agus Yudha Hernoko dengan tegas menentang para
pendapat yang menyamakan penggunaan kedua istilah ini walaupun maksudnya sama.
101
Banyak orang mencampuradukkan kedua istilah ini dalam menafsirkan perjanjian overeenkomst dalam Buku III KUH Perdata BW, padahal sebenarnya
hukum kontrak contract law merupakan bidangnya dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan. Menurut Subekti menyebutkan hukum kontrak memiliki
101
Agus Yudha Hernoko, Op. cit, hal. 13 dan hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
pengertian yang lebih sempit dari hukum perjanjian.
102
Sedangkan Agus Yudha Hernoko
tidak sependapat untuk membedakan kedua istilah itu, ia justru menyamakan pengertian antara perjanjian dan kontrak.
103
Sedangkan para ahli hukum yang lain seperti: Jacob Hans Niewenhuis, Hofman, J. Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo, Mathalena Pohan, Mariam Darus
Badrulzaman, Purwahid Patrik, Trtodiningrat, dan Pothier, sebagaimana yang dapat dihimpun, semua menyebutkan kedua istilah ini dalam pengertian yang sama.
104
Sedangkan Peter Mahmud Marzuki sependapat dengan Subekti, dalam argumentasi kritis Peter Mahmud Marzuki ia menyebutkan untuk agreement yang berkaitan
dengan bisnis harus disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebutnya sebagai agreement saja.
105
Y. Sogar Simamora, juga memaknai kontrak merupakan aspek yang berada dalam lapangan bisnis. Sebagaimana disebutnya, kontrak merupakan bagian yang
melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun skala kecil, baik domestik maupun internasional. Fungsinya penting dalam menjamin bahwa seluruh
harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dalam kontrak terlaksana dan dapat dipenuhi.
106
102
R. Subekti, Op. cit, hal. 1.
103
Ibid., hal. 13.
104
Ibid., hal. 13-14.
105
Ibid. Lihat juga: Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, Jurnal Yuridika, Volume 18 Nomor 3, Mei Tahun 2003, hal. 195-196.
106
Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, Surabaya: Kantor Hukum Wins Partners dan Laksbang Justitia Surabaya, 2013, hal. 23-
25.
Universitas Sumatera Utara
Kemudian perbedaan itu juga dikaji secara kritis di dalam buku karangan Muhammad Syaifuddin berjudul, “Hukum Kontrak”, ia mengatakan pelaku bisnis
banyak memahami kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Padahal menurutnya secara dogmatik, KUH Perdata sebagai induk hukum yang menggunakan
istilah overeenkomst adalah juga istilah contract, karena titel Bukut III yang berjudul tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir Dari Kontrak Atau Perjanjian”,
diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda adalah “Van Verbintenissen Die Uit Contract of Overeenkomst Geboren Worden”.
107
Berikut disebutkan oleh Peter Mahmud Marzuki, bahwa istilah kontrak lebih menunjukkan nuansa bisnis atau komersil dalam hubungan hukum yang dibentuk,
108
sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan kedua istilah ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai
perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan.
109
Berdasarkan pendekatan istilah bahasa juga kedua istilah ini pada prinsipnya memiliki maksud yang sama. Kalau di dalam kebiasaan di Indonesia dan juga di
dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah perjanjian, demikian pula dalam kebiasaan di negara Eropa Barat termasuk Belanda, istilah contract kontrak sudah
menjadi istilah sehari-hari untuk menyebutkan kesepakatan, apakah itu kesekapatan
107
Agus Yudha Hernoko, Loc. cit. Lihat juga: Muhammad Syaifuddin, hukum Kontrak, Memahami Kontral Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum Seri Pengayaan
Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju, 2012, hal. 15.
108
Peter Mahmud Marzuki, Op. cit., hal. 195.
109
R. Subekti, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
dalam kegiatan yang mendatangkan nilai ekonomis atau tidak, tetap menggunakan istilah kontrak tersebut di Eropa Barat.
110
Sehingga dengan demikian, antara istilah kontrak dan perjanjian sesungguhnya sama saja, tidak ada bedanya berdasarkan teori-teori, norma-norma,
serta doktrin-doktrin yang ada. Walaupun kadang-kadang dalam praktik sering dibedakan, namun berdasarkan pendekatan sejarah lahirnya kedua istilah ini sama
sekali tidak memiliki perbedaan. Bahkan di Indonesia sendiri dasar hukum keduanya tetap mendasarkan pada overeenkomst dalam KUH Perdata.
Setelah dilakukan penelitian, terkait perbedaan ini disimpulkan bahwa kedua istilah antara kontrak dan perjanjian tidak ada bedanya, hanya saja hal itu menjadi
berbeda karena faktor kebiasaan tradisi penggunaannya di Indonesia. Warga negara Indonesia yang berurusan dengan bisnis atau kegiatan dagang sering menggunakan
istilah kontrak padahal sama maksudnya dengan perjanjian. Sedangkan istilah perjanjian di Indonesia sering ditafsirkan lebih luas, termasuk semua aspek kehidupan
bisa dibuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Itulah yang membuat kedua istilah ini menjadi berbeda khususnya di Indonesia.
Padahal di Eropa Barat tempat perdagangan yang sangat kompleks dan maju dari dulu hingga saat ini istilah kontrak tetap menjadi istilah yang sering dipergunakan
daripada perjanjian. Di Indonesia, dapat ditelaah berdasarkan ketentuan pada Pasal 1313 KUH
Perdata diperoleh bahwa pengertian perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana
110
Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 17-25.
Universitas Sumatera Utara
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dari istilah perjanjian ini saja pada prinsipnya sebenarnya sama dengan istilah kontrak di Eropa
Barat, tetapi di Indonesia sering menggunakan istilah kontrak hanya untuk kegiatan dalam bisnis atau perdagangan, padahal tidak demikian menurut asal muasal istilah
ini digunakan. Namun pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata
menurut Handri Raharjo memiliki kelemahan, oleh sebab itu semestinya harus diperbaiki. Beliau mengatakan kelemahan itu terdapat pada beberapa hal
sebagaimana tabel 3 berikut ini.
111
Tabel 3 Kelemahan Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata
No Kelemahan
Seharusnya
1. Merupakan perbuatan hal ini
bermakna terlalu luas. Perbuatan hukum
2. Yang mengikatkan dirinya hanya
satu pihak kurang lengkap sehingga bisa disebut perjanjian
sepihak. Saling mengikatkan diri atau syarat
minimal pihaknya harus dua orang saja.
3. Tujuannya tidak jelas.
Harus dijelaskan tujuannya untuk apa.
Sementara kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata menurut Taryana Soenandar, ada empat hal dari defenisi tersebut, yaitu:
112
1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja;
2. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan, termasuk
mengurus kepentingan orang lain, dan perbuatan melawan hukum;
111
Handri Raharjo, Op. cit., hal. 41.
112
Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip Unidroit, Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 105.
Universitas Sumatera Utara
3. Pengertiannya terlalu luas bisa termasuk perjanjian kawin;
4. Tanpa menyebutkan tujuannya.
Kebanyakan pakar hukum mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki banyak kelemahan. Menurut J. Satrio kata “perbuatan” terlalu luas dapat berupa
perbuatan hukum dan perbuatan bukan hukum, juga bisa termasuk perbuatan melawan hukum. Sementara dari kalimat “mengikatkan diri terhadap satu orang atau
lebih” dapat diartikan hanya cocok untuk perbuatan sepihak.
113
Oleh karena kelemahan tersebut, Handri Raharjo mencoba memberikan penyempurnaan, seharusnya pengertian perjanjian di dalam Pasal 1313 KUH Perdata
tersebut memiliki redaksi seperti beirkut ini:
114
Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat
antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka para pihaksubjek hukum saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum
yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah
disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum
. Poin-poin penting yang digaris bawahi tersebut di atas mesti ada dalam
membuat pengertian perjanjian sebagaiman dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus diharmonisasikan dengan makna tersebut, agar tidak membingungkan, syarat minimal
jumlah para pihak, apakah perjanjian atau perikatan, apa bidang perjanjian dimaksud, tujuannya, kekuatan mengikatnya, kewajiban melaksanakan prestasi, dan akibat
hukumnya.
113
Ibid., hal. 104.
114
Handri Raharjo, Op. cit., hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Titik Triwulan Tutik, unsur-unsur dalam perjanjian harus dipenuhi yaitu:
115
1. Ada pihak-pihak subjek, sedikitnya dua pihak;
2. Ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersifat tetap;
3. Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak;
4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan;
5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;
6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
Norma yang mengandung syarat-syarat perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan unsur-unsur perjanjian sebagaimana yang disebutkan oleh Titik
Triwulan Tutik tersebut di atas. Agar suatu perjanjian menimbulkan perikatan sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang,
maka bagi para pihak yang membuatnya haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1 kata sepakat bagi mereka yang
mengikatkan diri, 2 kecakapan untuk membuat perjanjian, 3 sesuatu hal tertentu, dan 4 sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua
merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.
116
Suatu perjanjian maupun kontrak tanpa memenuhi keempat syarat sah yang disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, maka perjanjiankontrak
tersebut dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat subyektif yaitu: sepakat
115
Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 222.
116
Yahman, Op. cit., hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau dapat batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat obyektif
yaitu: suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
117
Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu
terancam batal demi hukum.
118
Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang
cakap menurut hukum.
119
Unsur para pihak atau pihak-pihak inilah yang disebut sebagai subjek perjanjian yang terikat di dalam perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau
badan hukum. Syarat menjadi subjek perjanjian adalah harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum, yang dalam KUH Perdata dibagi tiga golongan yaitu:
para pihak yang mengadakan perjanjian, para ahli waris dari para pihak, dan pihak ketiga.
Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut objek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik
bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.
120
Subjek perjanjian adalah orang-orang sebagai anggota masyarakat, bisa pula suatu badan hukum, atau suatu korporasi. Namun umumnya dalam KUH Perdata
hanya mengenal orang perseorangan atau suatu badan hukum sebagai subjek
117
Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 111.
118
Ibid., hal. 32.
119
Subekti, Op. cit., hal. 17.
120
Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 222.
Universitas Sumatera Utara
hukum.
121
Sedangkan subjek hukum korporasi mulai dikenal pada beberapa bidang hukum misalnya dalam hukum lingkungan hidup, dalam hukum perusahaan, dan lain-
lain.
122
Subjek perjanjian merupakan pelaku yang bertindak dan sangat dipentingkan, demikian objek perjanjian juga merupakan suatu hal yang dipentingkan mengenai
suatu hal yang diperlakukan oleh subjek perjanjian. Sehingga objek perjanjian harus terang dan jelas sebagai hal yang diwajibkan kepada para pihak subjek perjanjian
untuk memenuhi prestasi masing-masing.
123
Sifat perjanjian merupakan salah satu unsur penting dalam perjanjian yaitu harus ada persetujuan kesepakatan antara para pihak, untuk melakukan tujuan
perjanjian. Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan tidak dilarang dalam perundang-undangan. Itu sebabnya objek perjanjian dalam
Pasal 1313 KUH Perdata harus disebutkan dalam makna yang bersifat general yaitu suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan.
124
Prestasi merupakan kewajiban yang wajib dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan.
125
121
R. Wijono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 7.
Hakikat dari perjanjian sesungguhnya menghendaki suatu prestasi. Tetapi jika makna perjanjian sebagaimana
dalam Pasal 1313 KUH Perdata sedemikian adanya, tidak menunjukkan hakikatnya
122
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 4-5.
123
R. Wijono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 223.
124
Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 223.
125
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
untuk menimbulkan suatu prestasi. Tujuan menimbulkan suatu prestasi hanya pada umumnya berada pada penafsiran di dalam doktrin-doktrin para ahli hukum saja,
sedangkan mana yuridisinya tidak terpenuhi dalam ketentuan tersebut.
126
Bentuk perjanjian mesti pula harus ditentukan, karena ada ketentuan undang- undang yang kadang-kadang menentukan hanya dengan bentuk tertentu suatu
perjanjian memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan sebagai bukti. Bentuk tertentu dapat berupa akta. Bentuknya dapat dibuat secara lisan kecuali jika para pihak
menghendaki harus dalam bentuk tertulis. Pentingnya
prestasi sebagai hakikat dari perjanjian adalah sebagai penegasan agar pihak lain tidak melakukan atau dapat sebagai sarana pencegah meminimalisir terjadinya
perbuatan wanprestasi.
127
C. Perbedaan Antara Perbuatan Wanprestasi Dengan Delik Penipuan Dalam Suatu Perjanjian