BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berangkat dari pendapat Niewenhius yang mengatakan bahwa suatu perjanjian merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Menurut Polak, suatu persetujuan itu tidak lain adalah suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang terikat didalamnya.
1
Dari pendapat itu bahwa suatu klausula di dalam perjanjian ditimbulkan oleh kehendak bebas dari para pihak yang membuatnya sehingga menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak tersebut. Apakah suatu perjanjian yang dibuat para pihak itu mengandung unsur penipuan dari salah satu pihak, maka perlu dilakukan suatu
ketelitian dari pihak lain untuk memahaminya. Ada kalanya suatu perjanjian mengandung unsur penipuan di dalam klausulanya, dan adapula kalanya suatu
perjanjian tidak mengandung unsur penipuan di dalam klausula, tetapi dalam praktik justru mengarah kepada delik penipuan.
Jika suatu kewajiban dari debitor si berutang untuk memenuhi suatu prestasi tidak terlaksana setelah disepakati dalam suatu perjanjian dan terhalangnya prestasi
1
Niewenhius dan Polak dalam Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil, Jakarta: Kencana, 2011, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
itu bukan karena suatu kondisi atau keadaan yang memaksa force majeure
2
, maka debitor tersebut dianggap telah melakukan wanprestasi ingkar janji.
3
Dikatakan wanprestasi menurut Setiawan karena tidak memenuhi prestasi sama sekali, atau
terlambat memenuhi prestasi, atau memenuhi prestasi tetapi tidak selayaknya.
4
M. Yahya Harahap juga mengatakan wanprestasi berarti tidak melaksanakan kewajiban
tepat pada waktunya atau dilakukan tetapi tidak menurut yang selayaknya.
5
Wanprestasi menurut Subekti adalah kelalaian atau kealpaan dari seseorang debitor yang dapat berupa empat macam, yaitu:
6
1. Tidak melakukan apa yang ia sanggupi akan dilakukannya; atau
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan; atau 3.
Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat; atau 4.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Doktrin-doktrin tentang wanprestasi tersebut di atas merupakan penjabaran
dari norma yang terkandung di dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang menentukan karakteristik wanprestasi disebabkan karena lalainya debitor si berutang untuk
memenuhi prestasinya dan tenggang waktu yang telah lewat. Pasal 1243 KUH Perdata menentukan:
Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, baru mulai diwajibkan apabila si berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang
telah melampauinya.
2
Ibid., hal. 269.
3
Yahman, Karakteristik Wanprestasi Tindak Pidana Penipuan Yang Lahir Dari hubungan Kontraktual, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2011, hal. 77.
4
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta, 1994, hal. 18.
5
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal. 60.
6
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Bandung: Intermasa, 1979, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
Wanprestasi yang disebutkan di atas, merupakan ranah hukum perdata yang sesungguhnya tidak boleh digantikan dengan menuduhkan terhadap seseorang yang
melakukan wanprestasi dalam hal ini berdasarkan hukum pidana melainkan harus berdasarkan hukum perdata. Lalu bagaimana jika salah satu pihak di dalam perjanjian
yang telah disepakati dianggap telah melakukan wanprestasi kemudian oleh pihak lain diajukan tuntutan berdasarkan hukum pidana karena dianggap telah melakukan
penipuan. Dalam hal inilah yang menjadi sorotan penting di dalam kajian ini, bahwa
tidak semua wanprestasi itu murni melanggar asas-asas hukum perdata, tetapi adakalanya seseorang “tampaknya” melakukan wanprestasi tetapi sebenarnya ia
bukan melakukan wanprestasi melainkan ia melakukan suatu delik penipuan di dalam perjanjian yang telah disepakatinya.
Sesungguhnya jika membicarakan tentang wanprestasi, maka aspek ini merupakan murni masuk dalam ranah hukum privat perdata. Jika membicarakan
tentang delik penipuan, maka aspek ini merupakan murni masuk dalam ranah hukum pidana. Dalam praktik terdapat dua aspek hukum yaitu hukum perdata dan pidana
yang menarik untuk dibahas lebih dalam ketika dikaitkan dengan masalah perjanjian. Konsep wanprestasi dengan konsep penipuan menurut dogmatig hukum
merupakan dua aspek yang berbeda, konsep wanprestasi merupakan domain hukum perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1328 KUH Perdata, sedangkan konsep
penipuan merupakan domain hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378
Universitas Sumatera Utara
KUH Pidana. Oleh karenanya kedua aspek tersebut tidak bisa dipertukarkan.
7
Wanprestasi merupakan implikasi dari tidak dilaksanakannya kewajiban dalam perjanjian. Hak dan kewajiban itu timbul karena adanya perikatan dalam
perjanjian yang sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan
kata lain kedua aspek ini harus dibedakan dan tidak bisa disatukan sama lain.
8
Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan
palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu
barang, membuat atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara paling lama empat tahun.
Sedangkan delik penipuan di dalam Pasal 378 KUH Pidana memiliki rumusan sebagai berikut:
Jadi suatu perbuatan materiil dapat dinyatakan terbukti sebagai tindak pidana
penipuan, jika perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan Pasal 378 KUH Pidana tersebut di atas. Suatu perjanjian yang lahir oleh
adanya tipu muslihat mengandung kehendak yang cacat, sehingga secara hukum tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Menurut Pasal 1321 KUH Perdata
menentukan, “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Jika merujuk pada
ketentuan ini, maka ada atau tidaknya unsur penipuan dalam suatu perjanjian harus
7
Yahman, Op. cit., hal. 20.
8
D.Y. Witanto, “Memahami Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Kontraktual”, Majalah Hukum Tahun XXVI, Varia Peradilan Nomor: 308 Juli 2011, hal.
71.
Universitas Sumatera Utara
dilihat dari pada saat proses perjanjian itu dibuat, bukan pada saat terjadinya wanprestasi.
9
Dari sisi lain merumuskan penipuan dalam perjanjian adalah sebagaimana dikatakan oleh J. Satrio, bahwa suatu perjanjian mengandung adanya unsur penipuan
jika terdapat perbuatan dengan adanya akal salah satu pihak menanamkan suatu gambaran yang tidak benar tentang ciri objek perjanjian sehingga pihak yang lain
tergerak memiliki kehendak untuk menutup perjanjian itu.
10
Praktik dalam pelaksanaan perjanjian sering terjadi perbuatan wanprestasi ingkar janji di antara para pihak yang telah menyetujui perjanjian. Hak dan
kewajiban dari salah satu pihak yang sudah disepakati bersama tidak dilaksanakan, akibatnya menimbulkan tidak terlaksananya prestasi. Dengan demikian akan muncul
permasalahan hukum yang memerlukan penyelesaian melalui hakim pengadilan. Adanya tindakan
menanamkan suatu gambaran yang tidak benar tentang ciri objek perjanjian ketika dibuat perjanjian sudah memenuhi delik penipuan.
11
Praktek dalam penegakan hukum berkenaan dengan terjadinya wanprestasi terhadap klausula di dalam perjanjian, untuk memperoleh haknya, ada pihak yang
berupaya memilih jalan pintas dengan cara melaporkan perkara wanprestasi perjanjian tersebut kepada Kepolisian dengan laporan delik penipuan telah terjadi di
dalam perjanjian tersebut.
9
Ibid.
10
J. Satrio I, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 350.
11
Yahman, Op. cit., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Ada beberapa hal yang menjadi motivasi orang khususnya kreditor untuk mengambil jalan pintas seperti itu dengan melaporkan debitor kepada Polisi,
misalnya untuk sekedar ingin menakut-nakuti agar debitor mau melaksanakan prestasinya, ada pula motivasi ingin benar-benar memenjarakan debitor tersebut
karena terlalu kesal dengan tindakan debitor yang selalu ingkar dari kewajibannya.
12
Upaya yang ditempuh dengan cara melaporkan debitor kepada Polisi karena debitor tersebut wanprestasi dalam kondisi ini merupakan satu-satunya upaya terakhir
yang berkemungkinan dapat mengembalikan hak-hak kreditor si berpiutang agar debitor si berutang tersebut melaksanakan kewajibannya. Jika kreditor kesulitan
untuk meminta pelaksanaan prestasi dari pihak debitor, maka upaya inilah yang dapat ditempuh dengan tuduhan penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 378 KUH
Pidana. Ternyata meskipun perjanjian sudah disepakati oleh para pihak, namun dalam
praktek di pengadilan bisa pula dijatuhkan hukuman pidana oleh hakim pengadilan jika ternyata di dalam perjanjian tersebut terbukti terdapat pemenuhan unsur-unsur
delik penipuan yang ada relevansinya dengan fakta-fakta di lapangan. Dalam kondisi ini wanprestasi berubah menjadi delik penipuan.
Seperti perkara perjanjian jual-beli alat-alat elektronik antara Terdakwa Kapang Jaya dan Saksi Korban Usin dalam Putusan Nomor: 3165Pid.B2010PN.
Mdn, majelis hakim menjatuhkan putusan dan menyatakan kepada Kapang Jaya terbukti melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal
12
D.Y. Witanto, Op. cit., hal. 70.
Universitas Sumatera Utara
378 KUH Pidana. Putusan Pengadilan Negeri Medan ini kemudian dikuatkan majelis hakim Pengadilan Tinggi dalam Putusan Nomor: 336Pid2011PT-Mdn, dan juga
dikuatkan Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 688 KPid2012.
Dalam perkara ini Kapang Jaya telah menandatangani 4 empat kali lembar faktur pembelian barang-barang eletronik tersebut yaitu:
1. Kapang Jaya telah menandatangani 1 satu lembar Faktur Nomor:
FJ1000000000001860 pada tanggal 26 Januari 2010. 2.
Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 satu lembar Faktur Nomor: FJ1000000000001861 pada tanggal 27 Januari 2010.
3. Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 satu lembar Faktur Nomor:
FJ1000000000001868 pada tanggal 27 Januari 2010. 4.
Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 satu lembar Faktur Nomor: FJ1000000000001910 pada tanggal 28 Januari 2010.
Kapang Jaya berjanji kepada Usin akan membayar seluruh barang-barang yang dibelinya dari Usin tersebut pada tanggal 28 Januari 2010 bersamaan pada saat
pengiriman barang-barang di tanggal 28 Januari 2010 tersebut. Akan tetapi Kapang Jaya tidak menepati janjinya dan meminta kepada Usin untuk pengunduran waktu
pembayaran hingga berulang kali. Selain Kapang Jaya memiliki utang kepada Usin, ternyata Kapang Jaya juga
memiliki utang kepada Ho Kam Cheong sebesar sebesar Rp.37.000.000,- tiga puluh
Universitas Sumatera Utara
tujuh juta rupiah karena telah melakukan order terhadap barang-barang elektronik milik Ho Kam Cheong tersebut, tetapi belum dibayar.
Usin terus melakukan penagihan, pada tanggal 07 Februari 2010 Kapang Jaya pernah membayar dengan cara memberikan 1 satu lembar bilyet giro Panin Bank
Nomor: B-152251 sejumlah uang Rp.370.875.000,- tiga ratus tujuh puluh juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah kepada Usin, namun bilyet giro ini ketika
dikliringkan ternyata tidak bisa dicairkan di Panin Bank, kemudian dicoba dilakukan kliring di BCA Cabang Tanjung Morawa karena saldo dalam bilyet giro tidak cukup.
Hingga sampai dilaporkannya kasus ini ke Polisi, Kapang Jaya belum pernah membayarkan uang yang telah dijanjikannya tersebut.
Akibat perbuatan Kapang Jaya tersebut mengalami kerugian bagi Usin sebesar Rp.370.875.000,- tiga ratus tujuh puluh juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu
rupiah dan Ho Kam Cheong sebesar Rp.37.000.000,- tiga puluh tujuh juta rupiah. Setelah semua proses hukum dijalani di semua tingkat pengadilan, majelis hakim di
semua tingkat pengadilan menjatuhkan putusan terhadap Kapang Jaya terbukti melanggar Pasal 378 KUH Pidana yaitu melakukan delik penipuan.
Kemudian perkara perjanjian yang mengarah pada delik penipuan juga diputuskan terbukti bersalah melanggar Pasal 378 KUH Pidana oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Sampang dalam Putusan Nomor: 71Pid.B2012PN.Spg. Terdakwa Suwarno bersama istrinya meminjam uang sejumlah Rp.250.000.000,-
dua ratus lima puluh juta rupiah kepada Tri Budi Waluyo Saksi Korban dengan alasan uang tersebut untuk digunakan oleh anak Terdakwa bernama Farid untuk
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan mengerjakan Proyek Konstruksi Gorong-Gorong di Bandung karena kekurangan dana.
Perjanjian dalam perkara ini ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 25 November 2010. Sejumlah uang tersebut dikirimkan dengan cara transfer
antar rekening. Saksi Korban Tri Budi Waluyo mengirimkan melalui transfer kepada Terdakwa Suwarno yang kemudian Suwarno akan melakukan transfer kepada
anaknya yang bernama Farid. Namun ketika dilakukan acara pemeriksaan saksi, Farid tidak bisa menunjukkan bukti transfer dari Terdakwa Suwarni Ayah Farid dan Farid
juga tidak bisa menunjukkan adanya bukti-bukti pelaksanaan pekerjaan Proyek Kontruksi Gorong-Gorong di Bandung.
Dari peristiwa pinjam-meminjam uang dalam perjanjian ini, Terdakwa Suwarno dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sampang melanggar Pasal
378 KUH Pidana yaitu melakukan delik penipuan dengan maksud hendak menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menggunakan
tipu muslihat, perkataan-perkataan bohong, dengan cara membujuk seseorang untuk memberikan utang kepadanya.
Kemudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Amurang Nomor: 46Pid.B2012PN.Amg tanggal 18 September 2012, menyatakan terhadap Stevie
Rondonuwu terbukti melakukan perbuatan yang diancam dalam Pasal 372 KUH Pidana dan Pasal 378 KUH Pidana, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu
tindak pidana onslag van alle rechttsvervolging, tetapi di tingkat kasasi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2200 KPid2012 tanggal 26 Juni 2013,
Universitas Sumatera Utara
membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Amurang Nomor: 46Pid.B2012PN.Amg tanggal 18 September 2012 tersebut dan menyatakan Stevie Rondonuwu terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan. Perbuatan Terdakwa Kapang Jaya dan Terdakwa Suwarno serta Stevie
Rondonuwu dalam putusan yang berbeda sebagaimana di atas, telah memenuhi rumusan delik penipuan di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Jika ingin menjabarkan
suatu rumusan delik atau tindak pidana strafbaar feit ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dijumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan pelaku,
dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu yang dilarang dalam undang- undang. Sesuatu tindakan itu dapat berupa een doen atau een niet doen atau dapat
merupakan hal melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu, atau juga karena een nalaten yaitu mengalpakan sesuatu yang diwajibkan undang-undang.
13
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang ketentuan pidana tertentu dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.
Lamintang membagi kedua unsur-unsur ini sebagai berikut:
14
Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: 1.
Kesengajaan atau ketidaksengajaan dolus atau culpa ; 2.
Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP ;
3. Macam-Macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahata-kejahatan pencurian , penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP ;
13
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Adtya Bakti, 2011, hal. 193-194.
14
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
1. Sifat melanggar hukum atau wedderrechlijkheid ; 2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagaai seorang pegawai negeri
di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas “ didalam
kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Berdasarkan hal-hal apa saja yang termasuk ke dalam unsur-unsur subjektif
dan unsur-unsur objektif sebagaimana tersebut di atas, yaitu unsur-unsur bersifat objektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusiasipembuat ,
yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat sekitar pada perbuatan dan objek tindak pidana. Sementara
itu, unsur yang bersifat subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya.
15
Pada hakikatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir oleh karena perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan
karenanya yaitu suatu kejadian dalam alam lahir.
16
Menurut van Hamel unsur-unsur tindak pidana dibagi dalam dua golongan yakni pertama, mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan dan yang kedua mengenai di luar diri si pembuat.
17
15
Adami Chazawi, Bagian ke-1, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: RajaGrafindo Persada 2007, hal. 83.
Unsur yang
16
Moeljatno I, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hal. 58.
17
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pertama ini adalah sebagai unsur subjektif pelaku sedangkan unsur yang kedua ini adalah sebagai unsur objektif dari perbuatan si pelaku.
18
Sehubungan dengan rumusan tindak pidana tersebut di atas, jika dikaitkan dengan perbuatan wanprestasi yang dianggap suatu delik penipuan, maka tidaklah
mudah untuk menentukan kedua aspek ini, diperlukan suatu kecermatan untuk dapat membedakan kedua aspek ini. Walaupun kadang-kadang delik penipuan yang
diadukan karena wanprestasi kepada Polisi didasarkan motivasi untuk menakut- nakuti, namun ada pula pengaduan delik penipuan benar-benar memenuhi
rumusannya sebagaimana di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Tiga perkara tersebut di atas perkara atas nama Terdakwa Kapang Jaya dan
Terdakwa Suwarno dan Stevie Rondonuwu merupakan perkara perjanjian yang mengarah pada delik penipuan dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana yang diancam di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Namun berbeda halnya dalam perkara berikut ini bahwa Terdakwa
Sundar Hariram dilaporkan ke Polisi karena melanggar Pasal 378 jo Pasal 65 KUH Pidana primair dan Pasal 379 huruf a KUH Pidana subsidair sebagaimana dalam
dakwaan jaksa penuntut umum. Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan dalam Putusan Nomor:
1631Pid.B2003PN.Sby menjatuhkan kepada Terdakwa Sundar Hariram tidak terbukti melanggar Pasal 378 jo Pasal 65 KUH Pidana, melainkan Terdakwa Sundar
Hariram terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan
18
P.A.F. Lamintang, Op. cit., hal. 201.
Universitas Sumatera Utara
subsidair, akan tetapi menurut majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya perbuatan Terdakwa Sundar Hariram tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana onslag
sehingga Sundar Hariram tersebut dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan putusannya yang
demikian itu berarti perbuatan Terdakwa Sundar Hariram dinilai majelis hakim sebagai perbuatan ingkar janji wanprestasi, tetapi tidak masuk dalam ranah hukum
pidana, melainkan harus diselesaikan berdasarkan hukum perdata. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya ini dikuatkan pula oleh Mahkamah Agung dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 208 KPid2013 menyatakan Terdakwa Sundar Hariram tidak terbukti bersalah melanggar Pasal 378 KUH Pidana.
Pengadilan dalam perkara ini mempertimbangkan adanya hubungan dagang antara Terdakwa Sundar Hariram dengan para Saksi Korban yaitu: Saksi Korban
Madan, Saksi Korban Arvinder, dan Saksi Korban Haresh Chandra. Bahwa perbuatan pembelian barang-barang yang belum dibayar oleh Terdakwa Sundar Hariram
tersebut adalah merupakan perbuatan wanprestasi yang berada dalam domain hukum perdata.
Terdakwa Sundar Hariram dalam perkara ini tidak terbukti melakukan serangkaian tindakan penipuan dengan maksud hendak menguntungkan dirinya
sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menggunakan tipu muslihat, perkataan- perkataan bohong, dengan cara membujuk seseorang untuk memberikan utang
kepadanya sebagaimana diatur dalam Pasal 378 jo Pasal 65 KUH Pidana. Karena itu perbuatannya merupakan lingkup hukum perdata yaitu ingkar janji.
Universitas Sumatera Utara
Hubungan antara Terdakwa Sundar Hariram dengan para Saksi Korban adalah hubungan dagang jual-beli barang dan Terdakwa Sundar Hariram melakukan
hubungan dagang dengan para Saksi Korban tersebut telah berjalan dengan lancar sejak tahun 2000 hingga April 2002. Oleh karena suatu saat hubungan dagang
tersebut tidak berjalan dengan lancar pada pembelian barang yang belum dibayar oleh Terdakwa Sundar Hariram dan atas perbuatannya tersebut dikatakan sebagai
perbuatan wanprestasi yang berada dalam domain hukum perdata, bukan domain hukum pidana. Inilah pendapat dua orang hakim Mahkamah Agung.
19
Dalam perkara ini telah terjadi perbedaan pendapat disenting opinion antara dua orang hakim agung dengan satu orang hakim agung lainnya. Satu orang hakim
agung lainnya tersebut justru berpendapat berbeda terhadap perbuatan Terdakwa Sundar Hariram tersebut dikatakannya masuk dalam ranah hukum pidana. Satu orang
hakim agung ini mengatakan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Sundar Hariram tersebut tidak ada fakta yang menjelaskan ketidakmampuan
Terdakwa Sundar Hariram membayar pemesanan barang tekstil dari para Saksi Korban karena adanya kondisi Terdakwa Sundar Hariram benar-benar tidak memiliki
uang atau usahanya mengalami kebangkrutan dan Terdakwa Sundar Hariram pernah membayar utang-utang pembelian barang-barang dimaksud dengan memberikan
bilyet giro kepada para Saksi Korban namun ternyata bilyet giro tersebut tidak bisa dicairkan dan ditolak oleh bank. Penolakan oleh bank itu karena sudah ditutup oleh
19
Ikatan Hakim Indonesia, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIX Nomor: 337 Desember 2013, hal. 174.
Universitas Sumatera Utara
Terdakwa Sundar Hariram sendiri, sehingga dalam hal ini Terdakwa Sundar Hariram melakukan pembayaran dengan menggunakan cek kosong, oleh sebab itu hakim
agung yang satu ini mengatakan perbuatan Terdakwa Sundar Hariram tersebut masuk dalam ranah hukum pidana yakni delik penipuan.
20
Kemudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor: 344Pid.B1999PN,Bwi tertanggal 11 Maret 2000 menyatakan terhadap Nastak
Hendriono tidak terbukti melakukan semua tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dakwaan pertama Pasal 372 KUH Pidana dan dakwaan kedua
Pasal 378 KUH Pidana. Kemudian dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1811KPid2001 tanggal 16 April 2007, permohonan kasasi dari JPU ditolak oleh
MA tidak diterima oleh MA. Selanjutnya perkara perjanjian yang diputus onslag oleh pengadilan juga
terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor:
1349Pid.B2008PN.Mks tanggal 12 November 2012 menyatakan terhadap Ina Malombasi terbukti melakukan perbuatan yang diancam di dalam Pasal 378 KUH
Pidana dakwaan pertama dan Pasal 372 KUH Pidana dakwaan kedua, tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana. Kemudian atas permohonan kasasi
dari JPU ditolak oleh MA sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1905KPid2010 tanggal 27 April 2011.
Hal yang serupa juga terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2.533Pid.B2013PN.Mdn tanggal 3 April 2014, yang memutuskan atas perbuatan
20
Ibid., hal. 174-175.
Universitas Sumatera Utara
yang didakwakan terhadap Billu terbukti melanggar Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP, tetapi perbuatan itu bukan merupakan perbuatan tindak pidana onslag dan
melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Dari uraian perkara-perkara tersebut di atas, sesungguhnya harus dapat
dibedakan karakteristik perbuatan mana yang termasuk sebagai wanprestasi dalam ranah hukum privat perdata dan mana perbuatan termasuk sebagai delik penipuan
dalam ranah hukum pidana. Penting pula untuk diketahui dan harus bisa dibedakan antara perbuatan wanprestasi dan perbuatan penipuan dalam kaitannya dengan
perjanjian. Oleh sebab itu, pembedaan ini menjadi sorotan penting dan sangat menarik
untuk dibuat penelitiannya, agar semua orang tahu bedanya, akibat-akibat hukumnyanya, khususnya untuk aparat penegak hukum. Maka dalam penelitian ini
dipilih, “Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian”, sebagai judul di dalam penelitian ini.
B. Perumusan Masalah