2.2. Keharmonisan Dalam Kehidupan Keluarga. 2.2.1. Keharmonisan
Pengertian keharmonisan menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan yang selaras atau serasi, dalam rumah tangga perlu dijaga
Depdikbud, 1993:299. Menurut kamus sosiologi harmonis adalah suatu teori yang menyatakan bahwa individu sebagai satu-satunya realitas sosial
dan masyarakat sebagai satu-satunya kenyataan merupakan dua aspek dari satu hal harmonisme Soekanto, 1993:188. Sedangkan menurut kamus
Sosiologi dan kependudukan kata harmonis adalah teori dalam ilmu pengetahuan yang menyatakan bahwa individu dan masyarakat sebagai
kenyataan yang berupa dua aspek pada satu hal Kertasapoetra dan Hartini, 2007:179-179.
Menurut Bouman keharmonisan adalah hal keadaan selaras atau serasi antara anggota keluarga, antara lain : suami, istri, anak-anak, dan
cucu-cucu yang hidup bersama-sama pada suatu tempat yang dikepalai oleh seorang kepala keluarga atau ayah.
http:www.angelfire.comiddialogiskeluargahtm. Keharmonisan adalah relasi personal dan kejiwaan yang selaras
antara suami istri dan menegaskan adanya suatu ikatan yang kuat serta janji yang kokoh antara keduanya, yang membawa mereka untuk saling
mengasihi dan menyayangi serta melindungi mereka agar tidak saling bermusuhan. Bertolak dari pengertian keharmonisan, maka dapat diambil
pengertian bahwa keharmonisan adalah relasi yang selaras dan serasi antar
anggota keluarga untuk saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain di dalam keluarga.
2.2.2. Keluarga
Pada hakekatnya, seluruh perilaku manusia bersifat sosial, artinya perilaku tersebut terbentuk dan dipelajari dari bagaimana individu
berinteraksi dengan individu lain. Adanya sifat sosial yang dimiliki oleh masing-masing manusia, maka secara manusia dituntut untuk mengadakan
ikatan-ikatan sosial dengan manusia lain. Salah satu ikatan yang paling dasar adalah keluarga.
Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan atau adopsi serta tinggal
bersama Suhendi, 2001:41. Dalam hal ini keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat Khairuddin, 2002:4.
Pembicaraan mengenai keluarga akan dibatasi pada keluarga batih. Keluarga batih terdiri dari suami atau ayah, istri atau ibu dan anak-anak
yang belum menikah. Dalam hal ini keluarga batih merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil dalam masyarakat. Sebab, di samping
keluarga batih terdapat pula unit-unit pergaulan hidup lainnya, misalnya keluarga luas “extended family’, komunitas “comunitas” dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai keluarga dari beberapa ahli tersebut di atas, maka dapat penulis pahami unsur-unsur yang
terkandung dalam pengertian keluarga adalah :
a. Keluarga adalah bentuk perserikatan yang terdiri dari paling sedikit dua
orang dewasa yang berlainan jenis. b.
Perserikatan itu berdasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan atau adopsi.
c. Keluarga merupakan satu-satunya institusi yang menjalankan peran
pengasuhan dan pendidikan pada tahap awal perkembangan anak. Keluarga merupakan unit dasar masyarakat.
Dalam hal ini keluarga batih mempunyai peranan-peranan tertentu. Peranan-peranan itu adalah, sebagai berikut Soekanto, 2004:23.
a. Keluarga batih berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang
menjadi anggota, di mana kententraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.
b. Keluarga batih merupakan unit sosial ekonomis yang secara material
memenuhi kebutuhan anggota-anggotannya. c.
Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.
d. Keluarga batih merupakan wadah di mana manusia mengalami proses
sosialisasi awal, yakni suatu proses di mana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Keluarga juga merupakan organisasi terbatas yang di dalamnya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang berinteraksi dan berkomunikasi
sehingga tercipta peranan-peranan sosial bagi anggotannya. Penghargaan dan penampilan dari setiap peranan-peranan antara suami, istri dan anak
membentuk lembaga yang kita kenal sebagai keluarga Polomo, 2003:28. Peranan-peranan tersebut di batasi oleh masyarakat, tetapi masing-masing
keluarga diperkuat oleh kekuatan melalui sentimen-sentimen, yang sebagian merupakan tradisi dan sebagian lagi emosional, yang menghasilkan
pengalaman.
Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimal,
terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan Khairuddin, 2002:4. Dengan kata lain, keluarga merupakan bagian dari
masyarakat total yang lahir dan berada di dalamnya, yang secara berangsur- angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya ke arah
pendewasaan. Dalam hal ini keluarga sebagai organisasi, mempunyai
perbedaan dari organisasi–organisasi yang lain, dan mempunyai arti yang lebih mendalam dari pada organisasi-organisasi lainnya, yang terjadi hanya
sebagai suatu proses. Salah satu perbedaan yang cukup penting terlihat dari bentuk hubungan anggota-anggotannya yang lebih bersifat “gemeinschaft”
dan merupakan ciri-ciri kelompok primer, yang antara lain mempunyai hubungan yang lebih intim, kooperatif, face to face dan masing-masing
anggota memperlakukan anggota lainnya sebagai tujuan bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada keluarga yang ada dalam masyarakat itu. Apabila seluruh keluarga sudah sejahtera, maka
masyarakat tersebut cenderung akan sejahtera pula. Bahwa keluarga adalah kesatuan dari pribadi-pribadi yang ada hubungannya karena pernikahan,
kelahiran yang berinteraksi dengan tujuan pokok menciptakan dan memelihara norma-norma kebudayaan dan mendorong perkembangan fisik,
mental dan emosi setiap anggotannya Mustafa, 1986:6.
2.2.3. Keharmonisan Keluarga
Dari pengertian keharmonisan dan pengertian keluarga maka dapat penyusun simpulkan bahwa keharmonisan keluarga adalah
keselarasan atau keserasian dalam ikatan persekutuan atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang
laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah
tangga. Di samping keutuhan dalam struktur keluarga, dimaksudkan
pula keutuhan dalam interaksi keluarga berlangsung interaksi sosial yang wajar harmonis, menuju keselarasan hubungan antara anggota keluarga
menuju keluarga yang sejahtera. Ciri-ciri keluarga yang harmonis Al- Munajid, 1998:19 adalah :
a. Tercipta suasana keimanan di dalam keluarga.
b. Mengadakan pertemuan antar anggota keluarga.
c. Sopan santun antar anggota keluarga.
Ciri-ciri keluarga sejahtera Pujosuwarno, 1994:53 sebagai berikut:
a. Adanya ketenangan jiwa yang dilandasi oleh ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. b.
Hubungan yang harmonis antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam keluarga dan masyarakat.
c. Terjamin kesehatan jasmani, rohani dan sosial.
d. Cukup sandang, pangan dan papan.
e. Adanya jaminan hukum terutama hak asasi manusia.
f. Tersedianya pelayanan pendidikan yang wajar.
g. Ada jaminan dihari tua, sehingga tidak perlu khawatir terlantar dimasa
tua.
h. Tersedianya fasilitas rekreasi yang wajar.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa menjalankan segala kewajiban dan menjauhi segala larangannya merupakan hal utama yang
semestinya dilaksanakan oleh tiap individu. Beberapa ciri tersebut juga merupakan hal penting dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis,
sehingga kerukunan hidup antar anggota keluarga dan masyarakat dapat terjalin dengan baik. Upaya menjaga kesehatan baik fisik maupun mental
seluruh anggota keluarga dan masyarakat juga merupakan hal yang tidak kalah penting dalam menjaga keharmonisan keluarga.
Lain dari itu, cukup terpenuhinya kebutuhan pakaian, pangan, dan tempat tinggal, serta jaminan hukum atas segala sesuatu yang dimiliki
juga memberikan pengaruh yang cukup besar dalam usaha membina kehidupan rumah tangga yang harmonis. Cukup terpenuhinya kebutuhan
pendidikan anak-anak dan adanya jaminan di hari tua juga perlu mendapatkan perhatiaan khusus, sehingga anggota keluarga tidak perlu
terlantar di masa yang akan datang. Menyediakan waktu untuk mengadakan pertemuan-pertemuan
guna mendiskusikan masalah-masalah keluarga juga memberikan pengaruh yang besar agar keharmonisan keluarga tetap terjaga. Anggota keluarga
yang dapat senantiasa bersikap lemah lembut terhadap satu sama lain merupakan salah satu sebab yang mendatangkan kesejahteraan di dalam
rumah tangga.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis jelaskan bahwa keluarga sejahtera dapat mendatangkan keharmonisan di dalam rumah tangga. Tetapi,
keharmonisan di dalam keluarga belum tentu dapat mendatangkan kesejahteraan di dalam keluarga.
2.2.4. Tantangan Yang dihadapi Keluarga.
Saat ini
kemajuan zaman
yang semakin
kompleks mempengaruhi hidup berkeluarga. Kemajuan itu dapat berupa industrialisasi
dan modernisasi yang jauh lebih maju lagi dan lebih komplek dari pada waktu pertama kali terjadi di Inggris. Bahwa, pada masa industrialisasi tipe
keluarga konjugal adalah tipe keluarga yang paling cocok dengan perkembangan industri Ihromi, 1999:12. Pada pola keluarga konjugal,
setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan calon pasangan hidupnya sendiri. Dalam hal ini suatu pola cinta sudah ada
setidak-tidaknya disebagian
besar minoritas
masyarakat sebelum
perkembangan industri Goode, 2004:83. Sistem keluarga ini mengandalkan pasangan suami-istri untuk
berbuat lebih banyak terhadap kehidupan keluarga masing-masing yang terdiri dari suami-istri, dan anak-anak. Kerabat luas tidak lagi menjadi
penyangga kehidupan pasangan suami-istri Ihromi, 1999:141. Akibatnya anggota keluarga konjugal menjadi kurang “tergantung” pada kerabatnya,
sehingga “kewajiban” terhadap orang yang lebih “tua” menjadi berkurang dan keluarga konjugal tidak banyak menerima bantuan dari kerabat.
Konsekuensi kontrol sosial dari anggota kerabat luas menjadi berkurang dan
tidak efektif lagi, sehingga beban emosional dan finansial keluarga konjugal menjadi lebih berat. Unit keluarga konjugal menjadi lebih mudah pecah
apabila terjadi konflik antara suami-istri karena sedikitnya tekanan kerabat yang mengharuskan mereka bersatu dan mempertahannkan perkawinan
Ihromi, 2004:141-142. Kemajuan zaman yang disertai dengan perkembangan nilai-
nilai, juga mau tidak mau mempengaruhi penghayatan hidup berkeluarga. Dalam kemajuan zaman itu, ada nilai-nilai positif yang berupa kesadaran
akan martabat manusia, kesadaran etika, kesadaran gender dan lain-lain. Selain itu ada nilai-nilai yang merendahkan martabat hidup perkawinan,
seperti poligami, perceraian, seks pranikah, perselingkuhan dan kekerasan dalam keluarga dan aneka macam persoalan lainnya. Sebagai tindakan
antisipasinya, perlu diambil tindakan untuk mengatasi tantangan hidup berkeluarga tersebut.
Adanya etos kesamaan derajat dan tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan merupakan tuntutan dari sistem
industrialisasi yang memberikan peluang yang sama kepada setiap orang berdasarkan kemampuan dan prestasi individu. Jadi sistem ini tidak
membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin. Menurut Goode dalam Ihromi, 1999:145 perubahan etos ini dapat berpengaruh pada munculnya
ketegangan-ketegangan dalam interaksi suami-istri. Dalam
kehidupan perkawinan,
tuntutan memperoleh
kebahagiaan pribadi muncul secara sama dari pihak suami maupun istri.
Dari sudut keluarga, orientasi perkawinan dan membentuk keluarga berubah dari orientasi kepada anak-anak dan keberhasilannya menjadi orientasi
kepada kebahagiaan hubungan pasangan suami-istri dalam perkawinan. Tuntutan seperti ini mempengaruhi upaya yang dilakukan suami-istri untuk
mempertahankan sebuah perkawinan. Dengan kata lain tuntutan ini mudah menggoyahkan perkawinan apabila suami-istri tidak dapat menjalankan
obligasi peran sebagai pasangan hidup yang didambakan Ihromi, 1999:145.
Dalam membangun keluarga pada zaman sekarang tantangan- tantangan yang perlu dihindari dan dicegah Suharyanto, 2007:2 adalah:
9. Sikap mentalitas materialistis yaitu kehausan dan kerinduan untuk
menumpuk kekayaan uang, mengukur segalanya dengan materi, bahkan anak pun dianggap sebagai investasi.
10. Sikap individualisme yaitu mementingkan kepentingan dan kesenangan
sendiri, tidak peduli orang lain, tidak ada kerelaan mengalah dan menyisihkan kepentingan sendiri, untuk mendahulukan kepentingan
bersama. Akibatnya setiap unsur dalam keluarga terabaikan.
11. Sikap konsumerisme yaitu keinginan untuk mengkonsumsi dipicu oleh
kecanggihan teknologi periklanan yang begitu persuasif, hal ini menjadi pemicu masalah dalam hubungan keluarga.
12. Kesibukan mengejar karier, sehingga tugas dan tanggung jawab utama
dalam keluarga diabaikan. 13.
Kesibukan suami-istri membawa dampak negatif dalam kehidupan keluarga.
14. Relativitas moral yaitu mengarah pada sikap permisif, semua serba
boleh. 15.
Hedonisme yaitu menjadikan kenikmatan sebagai tujuan segalanya. 16.
Ketidaksetiaan terhadap pasangan.
2.2.5. Membina Keharmonisan Dalam Kehidupan Keluarga.
Membangun sebuah keluarga yang harmonis adalah tugas yang paling penting dalam hidup berkeluarga dan memunculkan berbagai
permasalahan yang harus dihadapi keluarga. Dalam hal ini cenderung sulit memberikan batasan yang umum mengenai keluarga yang harmonis maka
satu-satunya cara untuk mengukur kebahagiaan keluarga adalah dengan menggunakan standar keharmonisan keluarga yang telah ditetapkan oleh
beberapa pakar atau ahli. Tentu saja ukuran-ukuran itu harus disesuaikan dengan kondisi nyata diri sendiri dan tidak dikaitkan dengan ukuran-ukuran
orang lain atau tetangga. Dalam hal ini tolak ukur keberhasilan sebuah perkawinan bukan
terletak dari besarnya cinta atau baiknya keuangan keluarga, tetapi terletak dari ketrampilan pasangan suami istri dalam menyelesaikan konflik dari
setiap perbedaan yang ada. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian pasangan memasuki gerbang perkawinan dengan cinta yang bergelora dan
sejumlah harapan besar. Padahal kenyataan membuktikan, perkawinan baru menemukan masalah yang sebenarnya, pada saat masing-masing pasangan
tidak bisa mengatasi perasaan negatif yang timbul antara dua pribadi yang berbeda. Perbedaan itulah yang justru membuat pasangan menjadi saling
tertarik. Oleh karena itu, dalam kondisi apapun, sesungguhnya
perkawinan itu tidak memerlukan terapi. Menurut Howard Harkman, salah seorang guru besar psikologi asal Amerika, yang diperlukan untuk menjalin
hubungan yang baik adalah keterampilan. Hal yang sama juga disampaikan
oleh Diane Solle, seorang ahli terapi masalah keluarga yang berpendapat bahwa cinta masing-masing pasangan harus terampil dalam memyelesaikan
konflik disaat hubungan menghadapi masalah. Menjalin keserasian hubungan suami-istri memang tidak mudah.
Setidaknya hal itu disadari oleh pemikiran bahwa perkawinan disebut sesuatu yang aneh karena menyatukan dua orang dengan latar belakang
yang berbeda. Jika kemudian dalam bahtera perkawinan terdapat perbedaan, hal itu sangatlah wajar sebab perkawinan merupakan media yang berupaya
memperkecil perbedaan untuk menanggapi kebersamaan. Perkawinan bukan media untuk mencari persamaan. Jika hal ini terjadi, yang muncul ke
permukaan adalah perbedaan dan konflik. Strategi dan langkah konkret membina keserasian atau
keharmonisan hubungan suami-istri antara lain Suhendi dan Ramdani Wahyu, 2001:150-153 :
a. Memulai dari diri sendiri untuk saling memaafkan.
Dalam hubungan antara suami-istri akan ditemukan suatu perbedaan baik tujuan, kepribadian, kepentingan maupun tujuan, agar perbedaan
ini tidak mengganggu keserasian hubungan antara keduanya, ada cara lain untuk menyelesaikannya, yaitu memulainya dari diri sendiri untuk
saling memaafkan dalam setiap masalah yang disebabkan oleh perbedaan di antara mereka.
b. Saling pengertian dalam hal pembagian peran dalam keluarga.
Ada kecenderungan, pola hubungan suami-istri sedang mengalami transisi menuju pola hubungan semitra. Dalam hal ini karakteristik
kemitrasejajaran terletak pada sikap dalam memandang pembagian peran di antara suami istri dalam pembagian peran dalam rumah tangga.
c. Saling mendengarkan.
Belajarlah mendengarkan, lalu memberikan tanggapan yang diperlukan. Sebagian kita belum mampu jadi pendengar yang baik. Ini karena kita
begitu rapuh. Kita tidak ingin mendengar sehingga menjadi sumber yang menyebabkan pasngan menderita.
d. Saling percaya.
Kesulitan yang muncul dalam hubungan suami-istri akan sulit diubah karena alasan yang spesifik. Perkawinan mempunyai kekuatan buruk
yang dapat menjebak masalah emosi yang berasal dari masa lalu. Masa lalu biasanya menyatakan diri dalam bentuk terselubung dan asumsi-
asumsi. Perkawinan diharapkan sebagai jembatan terakhir untuk menghapus kekecewaan di masa lalu.
e. Jangan menunda.
Jika dalam perkawinan ditemukan suatu hal yang telah keluar dari relnya, segeralah bicarakan. Penelitian membuktikan, pasangan yang
perkawinannyaberakhir dengan kebahagiaan tidak membiarkan suatu masalah menjadi berlarut-larut, mereka segera berbicara dan mencari
solusi. f.
Jangan menyalahkan. Dalam berdiskusi, jangan menyalahkan pasangan. Berikan pendapat
mengenai hal yang bisa dilakukan. g.
Bersikap fleksibel. Pasangan yang cerdik akan mencari jalan untuk meredakan ketegangan
sebelum ketegangan itu berubah menjadi tak terkendali. Satu perbuatan kecil bisa mendatangkan perubahan besar.
2.3. Kerangka Berfikir