Kursus Persiapan Berkeluarga. 1. Pengertian dan Manfaat Kursus Persiapan Berkeluarga.

14

BAB II LANDASAN TEORI PENELITIAN

2.1. Kursus Persiapan Berkeluarga. 2.1.1. Pengertian dan Manfaat Kursus Persiapan Berkeluarga. Pendidikan untuk perkawinan adalah suatu pelayanan bagi masyarakat dan bagi individu artinya pendidikan ini tidak hanya informasi yang berkaitan dengan fakta-fakta sex, tetapi juga suatu pengertian tentang peranan keluarga dalam masyarakat. Walaupun kita mempunyai jalan yang panjang untuk melaksanakan perkembangan dan khususnya dalam difusi ilmu pengetahuan. Sekarang ini banyak publikasi-publikasi, kursus-kursus perkawinan dan keluarga dan pelayanan pendidikan yang memperlihatkan tanda perkembangan pengenalan kebutuhan akan diskusi realistis dan informasi mengenai hal-hal itu Khairuddin, 2002:194. Di Amerika pada tahun 1925 perkumpulan orang tua murid juga meganjurkan diadakan pendidikan khusus persiapan peran orang tua. Bimbingan ini diberikan kepada anak remaja di sekolah menengah. Sekarang sudah berkembang program pendidikan untuk membimbing dan mempersiapkan serta memberi orientasi kepada anak-anak remaja dalam menyongsong masa depan, bila kelak ia menjadi seorang ayah dan ibu yang baik. Program itu antara lain mempelajari masalah-masalah perkembangan anak, dasar-dasar ketrampilan mengasuh anak, soal ekonomi, dan bagaimana menghadapi kehadiran anak di keluarga. Semua persoalan itu diperkenalkan pada anak remaja supaya mereka memiliki ketrampilan yang cukup sebelum berkeluarga Dagun, 2002:156. Pengertian kursus persiapan berkeluarga merupakan sarana mendapatkan pemahaman minimal mengenai perkawinan Katholik menjadi syarat wajib untuk memasuki jenjang perkawinan, namun, kursus ini perlu dihayati bukan sebagai kewajiban atau syarat semata, tetapi sebagai suatu rekoleksi dan permenungan yang sederhana untuk mempersiapkan diri lebih baik dan memantapkan niat memasuki jenjang perkawinan Suharyanto, 2007:15. Para pesertanya khusus bagi para muda-mudi yang akan menghadapi kehidupan berkeluarga perkawinan seperti yang diberikan pada saat kursus. Diharapkan dengan adanya kursus tersebut para muda- mudi memahami dengan jelas pengertian mengenai martabat perkawinan keluarga. Kebutuhan akan persiapan yang teratur dan terperinci sungguh- sungguh dirasakan dewasa ini, baik oleh muda-mudi sendiri maupun oleh pimpinan Gereja, lebih-lebih karena gejala-gejala negatif masyarakat yang mengaburkan martabat perkawinan dan adannya perubahan nilai-nilai dalam hidup berkeluarga. Kursus persiapan berkeluarga tersebut begitu penting bagi calon pasangan suami-istri guna mempersiapkan dan membekali diri dalam membangun hidup berkeluarga yang manusiawi. Walaupun kursus persiapan berkeluarga ini dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat dengan bahan-bahan yang terseleksi, ternyata kursus perkawinan sedikit banyak mampu memberikan wacana baru kepada para calon pasangan suami-istri untuk menemukan langkah awal dan cara membina hidup berkeluarga secara dewasa dan manusiawi. Kursus persiapan berkeluarga itu sangat penting karena keadaan keluarga yang baik adalah faktor mutlak untuk tercapainnya keselamatan kesejahteraan, baik bagi orang perorang, masyarakat umum, maupun Gereja Suharyanto, 2007:15. Hubungan antar keluarga yang baik berarti merupakan hubungan masyarakat yang baik pula, jadi keluarga dapat dikatakan inti dari masyarakat, di mana setiap keluarga dapat menganggap dirinya sentral dari seluruh masyarakat Khairuddin, 2002:25. Artinya apabila keluarga yang harmonis itu dapat terwujud dalam setiap keluarga- keluarga yang ada dalam masyarakat, maka hal itu sedikit banyak akan menjadi titik tolak terbentuknya masyarakat yang harmonis. Kenyataan memperlihatkan bahwa keluarga merupakan jantungnya masyarakat karena segenap kebutuhan masyarakat bermula dan dikerjakan dari keluarga Suhendi dan Ramdani Wahyu, 2001:62. Kursus persiapan berkeluarga termasuk persiapan jangka pendek yang sudah spesifik menjurus kepada perkawinan konkret, tujuannya untuk membantu para calon pengantin mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk peristiwa yang sangat menentukan dalam hidup mereka mengingat perkawinan Katholik sebagai persekutuan hidup yang menyeluruh dengan sifat-sifat hakikinya Go dan Suharto, 2007:83. Pada hakekatnya perkawinan Katholik adalah penggabungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan monogamis mencakup kebersamaan seluruh hidup, kesetiaan hidup antara dua pribadi yang bersifat tetap seumur hidup terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak Kanonik, 1055:1. Dengan kata lain, perkawinan menunjukkan relasi suami-istri yaitu persekutuan hidup dan cinta yang mereka pilih secara bebas dan pemberian diri secara timbal balik demi kesejahteraan mereka maupun anak-anaknya. Kursus persiapan berkeluarga hendaknya diberikan dengan metode yang tepat dan menarik, dengan bahan-bahan yang relevan dan aktual, oleh orang-orang yang kompeten di bidang-bidang yang terkait dengan bahan-bahan tersebut. Para pengajar kursus persiapan berkeluarga diharapkan mengacu pada buku pedoman kursus persiapan perkawinan yang diterbitkan oleh Keuskupan Agung Semarang. Menurut rapat kerja V Komisi keluarga Regio Jawa Plus, pada tanggal 1-3 Juni 2001 di Bandung, telah menghasilkan revisi bahan atau materi kursus persiapan perkawinan yang berupa kerangka bahan utama dan tambahan Suharyanto, 2007:9. Hal tesebut dimaksudkan agar terjadi keseragaman dalam pemberian materi- materi dalam kursus. Tujuan kursus persiapan hidup berkeluarga Suharyanto, 2007:14 antara lain : a. Mempersiapakan muda-mudi yang akan menikah atau hidup berkeluarga dalam bentuk kursus perkawinan penyadaran dan pemberdayaan antara lain : 1. Sebagai langkah persiapan bagi muda-mudi untuk hidup berkeluarga yang baik dan suatu usaha memberikan bekal dalam hidup keluarga. 2. Melengkapi kebutuhan mereka dalam pengetahuan teologi, psikologi, moral, seksualitas, kesehatan, ekonomi, paham gender dan pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan hidup berkeluarga. 3. Memberikan pegangan bagi mereka untuk mengambil tindakan dan mengatur hidupnya sendiri menurut azas dan moral kristiani. b. Memberikan penjelasan bagi mereka tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah perkawinan dan masalah keluarga di paroki. c. Menanamkan benih panggilan kristiani melalui keluarga-keluarga.

2.1.2. Arti, Hakikat, Tujuan dan Sifat-Sifat Perkawinan

Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Sebagai pilihan hidup, perkawinan dilindungi oleh hukum. Perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga. Sudah menjadi kodrat alam, bahwa manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama. Dalam hal ini alam pikiran manusia tidak mesti atau tidak selalu ditujukan pada hal bersetubuh antara manusia tadi. Dalam arti umum, perkawinan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan Suharyanto, 2007:17. Dalam hal ini cinta sebagai elemen dalam pemilihan jodoh menjadi lebih sering di semua masyarakat dimana asalnya jarang Goode, 2004:83. Artinya jatuh cinta memang secara sosial tidak dianggap perlu, tetapi banyak orang yang menjalankannya, dan menikah dengan kekasihnya. Dalam hal ini tujuan mereka membentuk persekutuan hidup dengan orang yang mereka cintai adalah untuk mencapai kebahagiaan dan melanjutkan keturunan. Tujuan dan sifat-sifat dasar perkawinan itu sendiri adalah Suharyanto, 2007:17 : a. Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri segi unitif. Kedua pihak memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan suami-istri. b. Terarah pada keturunan Segi prokreatif. Kesatuan sebagai pasutri dianugrahi rahmat kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru yang akan menjadi mahkota perkawinan. c. Menghindari perzinahan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksudkan juga sebagai saran mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzinahan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan perkawinan, setiap pasangan diarahkan pada pasangan yang sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup. Pada dasarnya masyarakat beranggapan bahwa perkawinan merupakan suatu kontrak karena pada saat perkawinan, terjadi semacam perjanjian antara dua belah pihak. Pada saat itu juga terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Misalnya di Indonesia, ketika laki-laki dan perempuan akan menikah terdapat seperangkat peraturan dan syarat-syarat perkawianan yang harus dipenuhi. Bahkan setelah menikah ditetapkan hak dan kewajiban suami istri. Kontrak berakhir ketika terjadi perceraian. Perkawinan adalah awal dari kehidupan berkeluarga karena itu perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundang-undangan maupun peraturan lain yang berlaku. Perkawinan yang tidak dilaksanakan berdasarkan peraturan yang ada kelak dapat mengakibatkan timbulnya masalah dalam kehidupan baik keluarga maupun masyarakat. Dalam hal ini perkawinan dapat diartikan sebagai sumbu tempat berputarnya seluruh hidup manusia dan merupakan soal peralihan dari masa remaja ke masa berkeluarga. Oleh sebab itu perkawinan merupakan masalah yang sangat penting dalam hidup setiap manusia. Menurut Koentjaraningrat, perkawinan diartikan sebagai suatu saat yang terpenting dalam life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia yaitu saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat berkeluarga, itulah perkawinan Koentjaraningrat, 1992:92. Ditinjau dari sudut kebudayaan, perkawinan merupakan pengaturan kelakuan manusia yang berkaitan dengan kebutuhan seksnya. Perkawinan dalam pengertian masyarakat adalah lelaki yang telah berkawin tidak bisa sembarangan melakukan hubungan seks dengan wanita lain tetapi hendaklah dengan wanita yang dinikahinya. Perkawinan bisa menjadi pengatur dalam kehidupan masyarakat. Dari hubungan dalam perkawinan dapat menghasilkan keturunan, kemudian perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk yang inginkan teman dalam hidup dan kenaikan status dalam masyarakat. Kenyataan menunjukkan dengan adanya perkawinan terbentuklah relasi manusia yang berlainan jenis untuk membentuk unit terkecil dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengakui perkawinan mempunyai hak yang sah untuk melakukan hubungan seksual dan dari proses tersebut diharapkan memiliki keturunan yang sah pula. Dengan anak yang lahir diharapkan kelak akan menurunkan keturunan dan akan juga merawat orang tuanya bila berusia lanjut. Perkawinan merupakan suatu saat yang sangat penting. Suatu detik tatkala hubungan persaudaraan diperluas dan berubah. Perkawinan juga merupakan pelebaran menyamping tali ikatan antara dua kelompok himpunan yang tidak bersaudara atau pengukuhan keanggotaan di dalam suatu kelompok endogam bersama Geertz, 1982:58. Dengan kata lain, perkawinan dapat menyatukan dua keluarga yang berbeda menjadikan dua keluarga tersebut memiliki hubungan persaudaraan. Misalnya ketika seorang laki-laki menikah maka secara otomatis orang tua dari perempuan yang dikawininya menjadi orang tua dari perempuan yang dikawininya menjadi orangtuanya, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian perkawinan merupakan suatu pranata yang harus diberi tempat yang tinggi dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan dalam perkawinan tersangkut hubungan sebagai suami istri dari dua orang berlainan jenis yang diikat oleh aturan agama dan adat istiadat juga menyangkut hubungan dan status pasangan tersebut dalam masyarakat.

2.1.3. Penyesuaian Perkawinan

Keberhasilan perkawinan dalam masyarakat modern, dengan corak ragam kepribadiannya, berbagai latar belakang kebudayaan, dan kondisi-kondisi yang berubah, lebih banyak tergantung penyesuaian diri antara para suami dan para isteri, serta para orang tua dan anak-anak Khairuddin, 2002:200. Dengan berkembangnya penyesuaian-penyesuaian diri dalam hubungan kekeluargaan akan menciptakan kestabilan keluarga tersebut dalam jangka waktu yang lama. Tetapi hal ini merupakan stabilitas yang berbeda macamnya dari organisasi keluarga pada masa lampau, yang sebagian besar dipengaruhi oleh tekanan-tekanan sosial dari opini masyarakat yang bersifat ekstern, tata kelakuan dan hukum. Stabilitas hubungan keluarga timbul dari kelakuan hubungan- hubungan interpersonal dari anggota-anggotanya sebagai perwujudan kasih sayang. Akhirnya penyesuaian diri dalam perkawinan dan kehidupan keluarga menurut pengetahuan dan ketrampilan pada sebagian besar anggota-angota keluarga. Hubungan suami istri telah banyak dibicarakan, tetapi, sedikit perhatian harus juga diberikan kepada penyesuaian perkawinan itu sendiri, suatu subyek yang merupakan objek perhatian pribadi maupun penelitian obyektif yang cukup besar. Selama generasi yang lalu, para ahli sosial dan psikologi telah mencoba menguraikan dan mengukur kebahagiaan perkawinan dan menentukan ciri-ciri mana yang dapat menjamin keadaan yang diidamkan itu. Pekerjaan yang paling rumit telah dikerjakan di bawah pengaruh Ernest W. Burgess, dan beberapa variasinya serta skala penyesuaian perkawinan marital adjustment scale. Leonard S. Cottrel, telah banyak dipergunakan dalam berbagai penelitian atas berbagai macam penduduk. Para peneliti telah mengembangkan penelitian ini guna mencari latar belakang mana umur pada waktu menikah, afiliasi agama, lamanya bertunangan dan sebagainya. Dan pola yang mana komuniti yang menjadi perhatian, pernyataan cinta kasih dan sebagainya yang berhubungan dengan kebahagiaan pernikahan Goode, 2004:146. Hal-hal yang tidak memperhatikan adanya hubungan dengan penyesuaian perkawinan di kesampingkan. Penelitian mengenai penyesuaian perkawinan banyak digunakan oleh penasehat perkawinan dan oleh guru-guru kursus-kursus perkawinan. Kuesioner penyesuaian perkawinan telah dipergunakan sebagai dasar untuk meyakinkan orang untuk mengundurkan perkawinan, sebagai titik tolak untuk mengadakan wawancara, dan sebagai alat diagnostik untuk mengetahui persoalan-persoalan suatu perkawinan atau pertunangan. Jika benar bahwa kita sekarang setidaknya tidak dapat meramalkan, orang-orang macam apa yang mempunyai kemungkinan terbaik untuk memperoleh kebahagiaan dalam perkawinan, atau pasangan mana yang kemungkinan terbaik untuk memperoleh kebahagiaan dalam perkawinan, atau pasangan mana yang kemungkinan gagal, maka kita akan dapat lebih wajar mengatur hidup kita dan tentu saja, penggunaan alat-alat peramalan impersonal seperti apa yang dilakukan oleh sanak dan kawan-kawan jika ada pasangan yang merencanakan untuk menikah. Dalam hal ini ada penyanggah yang mengemukakan bahwa tidak mungkin untuk “mengukur” penyesuaian perkawinan dan tentu saja apa yang oleh sebagian dikatakan “cukup memuaskan” oleh yang lain dianggap sengsara. Tetapi, apa yang kita rasakan pada saat kita ditanyakan sesuatu tentunya bukan merupakan rahasia bagi kita sendiri. Mungkin saja kita mengatakan hal lain kepada orang lain, tetapi jarang yang akan mengatakan mereka bahagia dalam perkawinan mereka jika kenyataan tidak demikian. Pada masyarakat Barat, dan terutama di Amerika Serikat, rupanya lebih banyak orang secara giat mencari kebahagiaan perkawinan dan menaruh lebih banyak perhatian akan persoalan itu, dari pada masyarakat- masyarakat di masa yang lampau. Hanya di beberapa masyarakat saja perkawian itu diatur terutama bagi kebahagiaan pribadi suami istri. Sebaliknya, perhatian utama mereka, sama halnya dengan sanak kedua suami istri, ialah apabila masing-masing melakukan kewajiban mereka dan saling menghormati. Hal itu lebih mudah dilakukan ketika hubungan peran itu lebih banyak diatur secara khusus oleh masyarakat luas, dan ada kesalahpahaman antara anggota-anggota mengenai kewajian dan hak-hak itu dengan demikian juga adanya tekanan yang lebih besar kepada semua orang untuk mengikutinya. Akan tetapi, kekuatan pembeda mengenai penyesuaian perkawinan yang pernah diteliti tidak pernah meyakinkan. Tidak benar untuk mengatakan bahwa kekuatan sama saja dengan akan sehat, karena salah satu hasil nyata dari penelitian-penelitian itu ialah bahwa sedikit dari “kebenaran” yang diperkirakan mengenai siapa harus menikah dengan siapa cukup kuat untuk dipakai sebagai pedoman Goode, 2004:147. Hal yang paling umum ialah bahwa orang-orang dengan latar belakang “tradisional” yang kuat lebih banyak kemungkinan bahagia dalam perkawinan atau mungkin juga cenderung untuk mengatakan puas. Jadi, jika orang itu berasal dari keluarga yang puas dan telah mempunyai hubungan dan pertunangan yang lama dengan istrinya, perkawinan akan kecil resikonya. Data dari sumber lain mengatakan bahwa latar belakang yang sama lebih banyak mendorong pada kepuasan paerkawinan, tetapi sedikit renungan data alat peramal akan mengingatkan kita bahwa orang-orang yang mempunyai kesukaan yang sama untuk berfoya-foya atau latar belakang sama dalam soal perceraian, sedikit kemungkinan menciptakan perkawinan yang memuaskan atau bertahan. Sayangnya, tidak ada satu faktor penting pun telah dibenarkan oleh semua peneliti sebagai mempunyai hubungan dengan kepuasan perkawinan, dan faktor-faktor yang kelihatannya penting hanya membedakan secara kasar pasangan yang tradisional dan sisa penduduk lainnya umpamannya orang tua yang perkawinannnya bahagia, telah lama berkenalan dan bertunangan, hubungan erat suami dan ayah. Tanpa adanya perbedaan yang lebih halus, ramalan itu tidak banyak memberikan pangarahan yang sehat, meskipun banyak digunakan oleh para penasehat-penasehatan pernikahan dan oleh guru-guru kursus perkawinan. Mungkin arah penelitian baru yang hanya terpusat pada stabilitas perkawinan dan kecocokan antara pengantin pria dan wanita sudah saatnya di lakukan Goode, 2004:148. 2.2. Keharmonisan Dalam Kehidupan Keluarga. 2.2.1. Keharmonisan