Pengaruh Kursus Persiapan Berkeluarga Terhadap Keharmonisan Dalam Kehidupan Keluarga (Studi Kasus Terhadap Peserta Kursus Di Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja).

(1)

PENGARUH KURSUS PERSIAPAN BERKELUARGA

TERHADAP KEHARMONISAN DALAM KEHIDUPAN

KELUARGA (Studi Kasus Terhadap Peserta Kursus di

Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja)

SKRIPSI

Untuk memperoleh Gelar Sarjana SI Pendidikan Sosiologi dan Antropologi pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

Agatha Windha Aptari 3501405626

FAKULTAS ILMU SOSIAL

JURUSAN SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “Pengaruh Kursus Persiapan Berkeluarga Terhadap Keharmonisan Dalam Kehidupan Keluarga (Studi Kasus Terhadap Peserta Kursus di Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja)” telah disetujui oleh Pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi pada:

Hari : Jumat

Tanggal : 28 Agustus 2009

Dosen Pembimbing I

Drs. M.S. Mustofa, M.A NIP. 19630802 198803 1 001

Dosen Pembimbing II

Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si NIP. 19630423 198901 1 002

Mengetahui,

Ketua Jurusan Sosiologi dan Antropologi

Drs. M.S. Mustofa, M.A NIP. 19630802 198803 1 001


(3)

iii

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi dengan judul “Pengaruh Kursus Persiapan Berkeluarga Terhadap Keharmonisan Dalam Kehidupan Keluarga (Studi Kasus Terhadap Peserta Kursus di Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja)” telah dipertahankan di depan Sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang pada :

Hari : Kamis

Tanggal : 10 September 2009

Penguji Skripsi

Dra. Elly Kismini, M. Si. NIP. 19620306 198601 2 001

Dosen Pembimbing I

Drs. M.S. Mustofa, M.A NIP. 19630802 198803 1 001

Dosen Pembimbing II

Drs. AT. Sugeng Priyanto, M.Si NIP. 19630423 198901 1 002

Mengetahui: Dekan,

Drs. Subagyo, M. Pd. NIP. 19510808 198003 1 003


(4)

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Agustus 2009

Agatha Windha Aptari NIM. 3501405626


(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

 Jangan putus asa dan jangan menyerah dalam menjalani hidup ini, walaupun terasa berat yang terpenting adalah lakukanlah yang terbaik.

 Bila kamu mengerjakan sesuatu hal, usahakan hati dan pikiranmu seirama, maka hasilnya akan jauh lebih baik.

 Kesuksesan dalam hidup ini bukan diukur dari kemenangan kita mengalahkan saingan kita, melainkan mampu mengalahkan rasa malas dan ego yang ada dalam diri kita, maka itulah kemenangan yang sejati.

Persembahan :

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk orang-orang yang selalu menasehatiku dalam hal keimanan dan kesabaran dalam meniti hidup di dunia, juga orang-orang yang saya sayanggi, hormati dan mempunyai arti dalam hidup saya :

1. Ayah dan Ibuku, (Y M ukidjo dan Chatarina S)

2. Kakak dan Adikku, (M arius Eko Kurniawan dan Rosa Sepsita W )

3. Anak-anak kos W isma M utiara

4. T eman-teman Sos-Ant’05


(6)

vi PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulisan Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan sempurna setelah berhasil melalui ujian, tantangan serta aral yang melintang. Penulisan Skripsi yang memakan waktu hampir setengah tahun ini dipersiapkan dengan tujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Sosiologi dan Antropologi.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan Skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan baik materiil maupun spiritual dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini ijinkan penulis untuk mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, M. Si., Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di Universitas Negeri Semarang.

2. Drs. Subagyo, M. Pd., Dekan Fakultas Ilmu Sosial yang telah memberikan ijin penelitian.

3. Drs. M.S. Mustofa, M. A., Ketua Jurusan Sosiologi dan Antropologi yang telah memberikan ijin penelitian..

4. Drs. M.S Mustofa, M. A., dan Drs. AT. Sugeng Priyanto, M. Si., Dosen Pembimbing I dan II yang telah banyak memberi masukan, saran dan kritik atas Skripsi penulis.


(7)

vii

5. Dra. Elly Kismini, M. Si., Dosen Penguji Skripsi yang banyak memberi masukan, saran dan kritik bagi kesempurnaan Skripsi ini.

6. Ketua Stasi Gereja Katholik Santo Yohanes Boja yang telah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian, sehingga diperoleh data yang dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini.

7. Para Responden yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang banyak membantu penulis sehingga data-data yang diperlukan penulis dapat terangkai menjadi sebuah Skripsi.

8. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam menyelesaikan Skripsi ini yang tidak dapat ditulis satu persatu.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat, baik khususnya kepada penulis maupun pembaca pada umumnya.

Semarang, Agustus 2009 Salam Hormat,


(8)

viii SARI

Aptari, Agatha Windha. 2009. Pengaruh Kursus Persiapan Berkeluarga

Terhadap Keharmonisan Dalam Kehidupan Keluarga (Studi Kasus Terhadap Peserta Kursus Di Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja). Skripsi, Jurusan

Sosiologi dan Antropologi. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing I : Drs. M.S. Mustofa, M. A.

Dosen Pembimbing II : Drs. AT. Sugeng Priyanto, M. Si.

Kata kunci: Kursus Persiapan Berkeluarga, Keluarga, Keharmonisan.

Sebelum melangsungkan perkawinan semua calon pengantin Katholik diwajibkan mengikuti kursus persiapan berkeluarga. Kursus ini bertujuan sebagai persiapan berkeluarga bagi mereka yang menikah untuk membina keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah seberapa besar pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga.

Populasi dalam penelitian ini adalah semua jemaat atau umat Gereja Stasi Yohanes Boja. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling yaitu anggota sampel dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitian. Sampel dalam penelitian ini adalah umat Gereja Stasi Yohanes Boja yang telah menikah dan mengikuti kursus persiapan berkeluarga, khususnya pasangan suami-istri yang telah memasuki usia pernikahan minimal 10 tahun. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 34 orang. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini melalui metode kuesioner dan dokumentasi. Metode Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif persentase dan analisis inferensial.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Besarnya pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga dalam penelitian ini tidak terlepas dari faktor internal yang menggambarkan kesiapan peserta dalam mengikuti kursus dan juga faktor eksternal yang mendukung jalannya kursus seperti kualitas pemberi materi, metode, media dan juga pasangan.

Simpulan dari penelitian ini adalah kursus persiapan berkeluarga dalam hal ini mampu memberikan bekal bagi peserta kursus dalam mengembangkan keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Hal ini ditunjukan oleh tingginya pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Besarnya pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga sebesar 86,7%. Tingginya pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga dalam penelitian ini tidak terlepas dari kondisi peserta dalam mengikuti kursus, faktor eksternal yang mendukung serta tingkat kesiapan peserta dalam mengikuti


(9)

ix

kursus persiapan berkeluarga. Dengan bekal internal dan eksternal yang baik, output yang dihasilkan dalam kursus persiapan berkeluarga juga baik

Saran yang dapat peneliti berikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebelum mengikuti kursus persiapan berkeluarga sebaiknya peserta memiliki persiapan yang cukup baik sehingga hasil kursus persiapan berkeluarga juga optimal dan mampu menerapkan hasil yang diperoleh dari kursus yang dilakukan dalam kehidupan nyata. Diharapkan penyelenggara kursus persiapan berkeluarga memperhatikan faktor-faktor yang mendukung keberhasilan pelaksanaan kursus persiapan berkeluarga seperti penggunaan media yang lebih bersifat inovatif, metode yang menarik dan juga partisipasi peserta dalam mengikuti kursus sehingga terjadi proses pembelajaran yang bersifat dua arah, sedangkan faktor-faktor yang menghambat peserta dalam mengikuti kursus persiapan berkeluarga seperti penjadwalan kursus yang memungkinkan semua peserta dapat mengikutinya.


(10)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...i

PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

PENGESAHAN KELULUSAN...iii

PERNYATAAN...iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN...v

PRAKATA...vi

SARI...viii

DAFTAR ISI...x

DAFTAR TABEL...xiii

DAFTAR GAMBAR...xvi

DAFTAR LAMPIRAN...xvii

BAB I: PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang...1

1.2. Rumusan Masalah...10

1.3. Tujuan Penelitian ... ....10

1.4. Manfaat Penelitian... ....10

1.5. Sistematika Penulisan Skripsi ... ....11

1.6. Penegasan Istilah...12

BAB II: LANDASAN TEORI PENELITIAN ... ....14


(11)

xi

2.1.1. Pengertian dan Manfaat Kursus Persiapan Berkeluarga...14

2.1.2. Arti, Hakikat, Tujuan dan Sifat-sifat Perkawinan ... ....18

2.1.3. Penyesuaian Perkawinan...21

2.2. Keharmonisan Dalam Kehidupan Keluarga...26

2.2.1. Keharmonisan...26

2.2.2. Keluarga...27

2.2.3. Keharmonisan Keluarga...30

2.2.4. Tantangan yang dihadapi Keluarga...32

2.2.5. Membina Keharmonisan dalam kehidupan Keluarga...35

2.3. Kerangka Berpikir...37

2.4. Rumusan hipotesis...38

BAB III: METODE PENELITIAN ... ....40

3.1. Jenis dan Disain Penelitian...40

3.2. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel...40

3.2.1. Populasi...41

3.2.2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel...42

3.3. Variabel Penelitian...43

3.3.1. Variabel bebas...43

3.3.2. Variabel terikat...44

3.4. Intrumen Penelitian, Validitas, Reliabilitas...44

3.4.1. Instrumen Penelitian...44

3.4.2. Validitas...45


(12)

xii

3.5. Teknik Pengumpulan Data ... ....49

3.5.1. Metode angket atau kuesioner...49

3.5.2. Metode dokumentasi...52

3.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data...53

3.6.1. Analisis Deskriptif Persentase...53

3.6.2. Analisis Inferensial...66

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian...69

4.1.1. Gambaran Umum ... ....69

4.1.2. Analisis Deskriptif Persentase ... ....71

4.1.3. Analisis Regresi Linier Sederhana ... ....83

4.1.4. Uji Hipotesis ... ....84

4.2. Pembahasan...85

BAB V: PENUTUP 5.1. Simpulan...96

5.2. Saran...96 DAFTAR PUSTAKA


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Tingkat Reliabilitas Berdasarkan Nilai Alpha... 48 Tabel 3.2 Jenjang Interval Persentase... 55 Tabel 3.3 Rujukan Kriteria Penilaian Angket Indikator Faktor-faktor

Internal yang Menggambarkan Kondisi Peserta dalam Mengikuti Kursus... 55 Tabel 3.4 Kategori Faktor-faktor Internal yang Menggambarkan Kondisi

Peserta dalam Mengikuti Kursus Tiap Responden... 56 Tabel 3.5 Rujukan Kriteria Penilaian Angket Indikator Faktor-faktor

Eksternal yang Mendukung Jalannya Kursus... 56 Tabel 3.6 Kategori Faktor-faktor Eksternal yang Mendukung Jalannya

Kursus Tiap Responden... 57 Tabel 3.7 Rujukan Kriteria Penilaian Angket Indikator Pengetahuan Peserta

Kursus dalam Memahami Materi-materi yang ada dalam Kursus... 58 Tabel 3.8 Kategori Pengetahuan Peserta Kursus Dalam Memahami

Materi-materi yang ada dalam Kursus Tiap Responden... 58 Tabel 3.9 Rujukan Kriteria Penilaian Angket Indikator Memulai dari diri

untuk saling Memaafkan... 59 Tabel 3.10 Kategori Memulai dari diri Sendiri Untuk Saling

Memaafkan Tiap responden... 59 Tabel 3.11 Rujukan Kriteria Penilaian Angket Indikator Saling Pengertian

dalam Hal Pembagian Peran Dalam Keluarga... 60 Tabel 3.12 Kategori Saling Pengertian dalam hal Pembagian Peran dalam

Keluarga Tiap Responden... 60 Tabel 3.13 Rujukan Kriteria Penilaian Angket Indikator Saling

Mendengarkan... 61 Tabel 3.14 Kategori Saling mendengarkan Tiap Responden... 61


(14)

xiv

Tabel 3.15 Rujukan Kriteria Penilaian Angket Indikator Saling percaya... 62

Tabel 3.16 Kategori Kriteria Saling Percaya Tiap responden... 62

Tabel 3.17 Rujukan Kriteria Penilaian Angket Indikator Tidak Menunda Penyelesaian Masalah... 63

Tabel 3.18 Kategori Tidak Menunda Penyelesaian Masalah Tiap Responden... 63

Tabel 3.19 Rujukan Kriteria penilaian Angket Indikator Tidak Menyalahkan... 64

Tabel 3.20 Kategori Tidak Menyalahkan Tiap Responden... 64

Tabel 3.21 Rujukan kriteria penilaian Angket Indikator Bersikap Fleksibel... 65

Tabel 3.22 Kategori Bersikap Fleksibel Tiap Responden... 65

Tabel 3.23 Rujukan Kriteria Penilaian Angket Indikator Pengaruh Keluarga Luas dari Masing-masing Pasangan... 66

Tabel 3.24 Kategori Pengaruh Keluarga Luas dari Masing-masing Pasangan Tiap Responden... 66

Tabel 3.25 Tabel Analisis of varians... 68

Tabel 4.1 Faktor-faktor internal yang menggambarkan kondisi peserta dalam mengikuti kursus... 72

Tabel 4.2 Statistik skor faktor-faktor internal yang menggambarkan kondisi peserta dalam mengikuti kursus... 72

Tabel 4.3 Faktor-faktor eksternal yang mendukung jalannya kursus... 73

Tabel 4.4 Statistik skor faktor-faktor eksternal yang mendukung jalannya kursus... 73

Tabel 4.5 Pemahaman dan persiapan peserta mengenai materi yang ada... 74

Tabel 4.6 Statistik skor pemahaman dan persiapan peserta mengenai materi-materi yang ada... 74

Tabel 4.7 Memulai dari diri sendiri untuk saling memaafkan... 75

Tabel 4.8 Statistik skor memulai dari diri sendiri untuk saling memaafkan... 76


(15)

xv

Tabel 4.10 Statistik skor saling pengertian dalam hal pembagian peran

dalam keluarga... 77

Tabel 4.11 Saling mendengarkan... 77

Tabel 4.12 Statistik skor saling mendengarkan... 78

Tabel 4.13 Saling percaya... 78

Tabel 4.14 Statistik skor saling percaya... 79

Tabel 4.15 Tidak menunda penyelesaian masalah... 79

Tabel 4.16 Statistik skor tidak menunda penyelesaian masalah... 80

Tabel 4.17 Tidak Menyalahkan... 80

Tabel 4.18 Statistik skor tidak menyalahkan... 81

Tabel 4.19 Bersikap fleksibel... 81

Tabel 4.20 Statistik skor bersikap fleksibe... 82

Tabel 4.21 Pengaruh keluarga luas dari masing-masing pasangan... 82

Tabel 4.22 Statistik skor pengaruh keluarga luas dari masing-masing pasangan... 83

Tabel 4.23 Coefficients... 83

Tabel 4.24 Anova... 84

Tabel 4.25 Model Summary... 85


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir... 37 Gambar 4.1 Bangunan Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja... 70


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Ijin Penelitian 2. Validitas dan Reliabilitas 3. Tabel Nilai r Produk Moment 4. Daftar Nama Responden 5. Angket Penelitian

6. Data mentah hasil penelitian

7. Hasil Perhitungan Data penelitian dengan Regresi Linear Sederhana dan Hasil Perhitungan Data penelitian dengan Anova


(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kehidupan setelah menikah, cenderung dihadapkan pada masalah-masalah dalam hidup berkeluarga yang menyangkut hubungan suami-istri yang demikian merebak dan susul menyusul seolah-olah tidak ada akhirnya. Masalah-masalah tersebut bertumpu pada perbedaan kepribadian, kepentingan, tujuan dan juga kebutuhan di antara suami-istri. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam hidup berkeluarga merupakan suatu hal yang wajar dan alamiah, sebagai suatu tahap penyesuaian di antara suami dan istri yang diakibatkan dari hasil interaksi di antara mereka dalam hal menyamakan suatu pandangan untuk memecahkan masalah-masalah dalam hidup berkeluarga. Dalam hal ini apabila suami dan istri tidak dapat berkomunikasi dengan baik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang diakibatkan dari perkawinan, maka akan terjadi disorganisasi keluarga, di mana mereka sudah tidak mampu untuk hidup bersama dengan perbedaan-perbedaan yang ada diantara mereka. Menurut Jetse Sprey, keluarga sebagai suatu sistem dimana konflik lebih sering terjadi dibandingkan dengan gejala harmoni atau keserasian (Ihromi, 2004:280).

Membina kehidupan keluarga yang harmonis, utamanya hubungan suami-istri yang harmonis tentu saja menjadi harapan atau keinginan siapapun yang akan dan telah melakukan perkawinan. Pasal 1


(19)

Undang-Undang Nomor 1 (Tahun 1974) tentang Perkawinan menyebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua yang telah melakukan perkawinan atau pernikahan selalu diikuti suatu keharmonisan dalam hubungan mereka, dan tidak sedikit yang akhirnya mengalami kegagalan dalam perkawinannya. Di Indonesia kurang lebih 30% perkawinan berantakan dan berakhir dengan perceraian (Suharyanto, 2007:29).

Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang ke arah modernisasi untuk pembangunan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dengan semakin meluasnya industrialisasi dan peradaban teknologi modern. Akibat perubahan sosial yang relatif tidak seimbang berdampak pula pada kehidupan keluarga yaitu dengan meningkatnya tingkat perceraian yang merupakan produk dari industrialisasi dan urbanisasi (Ihromi, 1999:140). Modernisasi juga dapat memudarkan ideologi, kultur serta batas-batas kebangsaan suatu negara dan juga menimbulkan saling ketergantungan yang tinggi antar negara yang mempunyai kesamaan struktur. Konsekuensi dari ketergantungan dan kesamaan struktur tersebut tidak hanya berlaku pada distribusi energi, tingkat inflasi serta alokasi bahan-bahan mentah, tetapi juga pada perkawinan, keluarga serta pola-pola perceraiaan.

Peradaban modern dan industrialisasi ini ditandai dengan pergeseran masyarakat agraris ke masyarakat industri dan hal ini berdampak


(20)

pada perubahan pola kehidupan keluarga di Indonesia. Dalam masyarakat agraris, hubungan kekerabatan sangat erat sekali, sebab keluarga merupakan keluarga besar (extended family), mereka tinggal dalam satu rumah dan makan bersama. Sedangkan dalam masyarakat industri keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak yang belum menikah (nuclear family), mereka harus bertanggung jawab atas keluarganya sendiri-sendiri, sebab urbanisasi yang merupakan salah satu akibat dari industrialisasi membuat mereka tidak dapat tinggal bersama lagi dengan sanak keluarga lain. Sehingga dengan sendirinya hubungan kekerabatan menjadi semakin mengendur.

Demikian pula dalam aktivitas ekonomi, pada masyarakat agraris keluarga berfungsi membuat barang-barang produksi dan konsumsi untuk keluarga sendiri, dimana dalam proses produksi semua anggota keluarga akan dilibatkan sebab selain menghemat juga menekan biaya pengeluaran tenaga tambahan. Dalam hal ini ada ungkapan yang beranggapan bahwa banyak anak banyak rejeki oleh sebab itu banyaknya jumlah anak justru akan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sedang dalam masyarakat industri, pabrik-pabrik telah menggambil alih segala produksi barang-barang sehingga untuk menghemat jumlah anak perlu dipertimbangkan apalagi dengan semakin sulitnya perumahan dan mahalnya biaya pendidikan.

Dengan berubahnya pola kehidupan keluarga tersebut maka dengan sendiriya peranan masing-masing anggota keluarga juga mengalami perubahan. Misalnya, dahulu dalam masyarakat agraris peranan suami atau


(21)

ayah sangat dominan, sedang istri hanya sebagai pembantu (konco

wingking) dan anak-anak adalah obyek yang harus tunduk sepenuhnya

kepada ayah. Namun sejak adanya industrialisasi dan ada kemajuan di bidang pendidikan maka peran istri tidak lagi sebagi pembantu (konco

wingking), tetapi sebagai partner (teman) yang tidak tergantung sama sekali

pada suami karena dengan pendidikan yang dimiliki istri dapat mencari nafkah sendiri. Demikian pula, struktur keluarga dan pola interaksi antar anggota keluarga juga mengalami perubahan.

Di samping itu perubahan-perubahan sebagai akibat peradaban modern juga telah membawa dampak pada perkembangan individualisme dan sekularisme yang menganggap “Aku” dan “kebutuhan material” sebagai pusat dari segalanya atau boleh dikatakan sebagai nilai yang paling tinggi, sehingga Tuhan dan sesamanya kurang mendapat tempat. Maka dari itu keberhasilan hidup seseorang tidak diukur dari bagaimana dia mewujudkan nilai-nilai manusiawi dan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari tetapi diukur dari pangkat, kekayaan dan harta benda yang dimiliki (Hadisubrata, 1992:24).

Pandangan semacam ini membuat orang cenderung untuk berlomba dalam mencari keuntungan yang sebesar-besarnya demi terkumpulnya harta benda yang sebanyak-banyaknya. Sehingga hubungan pribadi menjadi tindak penting karena orang lain adalah saingan yang harus dikalahkan. Dengan demikian dalam segala usaha yang terpenting adalah hasil yang dicapai, nilai-nilai manusiawi dan keagamaan di kesampingkan.


(22)

Bahkan hubungan dengan masing-masing anggota keluarga juga menjadi berkurang karena kesibukan dengan usaha mencari uang yang tidak hanya untuk sekedar mencukupi kebutuhan saja, tetapi demi kehidupan yang mewah dan gengsi di mata masyarakat.

Akibat kondisi ini maka kebersamaan, ketergantungan dan rasa saling membutuhkan dari masing-masing pihak (suami atau istri) yang menjadi dasar dalam menjaga kelanggengan dan keharmonisan kehidupan perkawinan menjadi berkurang. Sehingga akhirnya perbedaan yang sepele (sederhana) antara suami-istri bisa saja menjadi penyebab perceraian. Dengan adanya perubahan pola dan peranan dalam keluarga maka tidak jarang menimbulkan konflik yang mengarah pada runtuhnya perkawinan. Oleh karena itu akhir-akhir ini sering kita mendengar maraknya tayangan-tayangan infotaimen atau berita yang membahas para artis (public figure) yang mengakhiri perkawinan melalui pengadilan. Bahkan 80% gugatan didominasi pihak istri, namun demikian fenomena perceraian marak terjadi bukan hanya dikalangan artis saja, di dalam keluarga sederhana juga perceraian banyak terjadi.

Dalam kenyataannya industrialisasi dan modernisasi berdampak pula pada kelangsungan keluarga konjugal, dimana dalam bentuk keluarga ini lebih menekankan hubungan emosional diantara anggota keluarga inti dari pada keluarga luas, sehingga keharmonisan dan kelanggengan hubungan ditentukan oleh anggota keluarga inti, karena itu angka perceraian dalam sistem keluarga konjugal cenderung tinggi. Dengan meningkatan


(23)

kasus perceraian seperti yang disebutkan menunjukkan bahwa kelangsungan atau (eksistensi) dari lembaga keluarga menjadi sebuah hal yang relatif sulit terwujud dan tercapai dalam masyarakat yang mengalami perubahan yang kompleks saat ini.

Kemajuan zaman yang disebabkan oleh proses industrialisasi dan modernisasi, ternyata mau tidak mau mempengaruhi nilai-nilai hidup berkeluarga. Nilai-nilai tersebut ada yang bersifat positif yaitu berupa kesadaran akan martabat manusia, kesadaran etika, kesadaran gender dan lain-lain. Selain itu ada nilai-nilai yang merendahkan martabat hidup perkawinan, seperti poligami, perceraian, seks pranikah, perselingkuhan dan kekerasan dalam keluarga dan aneka macam persoalan lainnya. Sebagai tindakan antisipasinya, perlu diambil tindakan untuk mengatasi tantangan hidup berkeluarga tersebut, salah satunya dengan kursus persiapan berkeluarga.

Tantangan-tantangan dalam membangun keluarga pada zaman sekarang yang perlu dihindari dan dicegah (Suharyanto, 2007:2) adalah: 1. Sikap mentalitas materialistis yaitu kehausan dan kerinduan untuk

menumpuk kekayaan uang, mengukur segalanya dengan materi, bahkan anak pun dianggap sebagai investasi.

2. Sikap individualisme yaitu mementingkan kepentingan dan kesenangan sendiri, tidak peduli orang lain, tidak ada kerelaan mengalah dan menyisihkan kepentingan sendiri, untuk mendahulukan kepentingan bersama. Akibatnya setiap unsur dalam keluarga terabaikan.

3. Sikap konsumerisme yaitu keinginan untuk mengkonsumsi dipicu oleh kecanggihan teknologi periklanan yang begitu persuasif, hal ini menjadi pemicu masalah dalam hubungan keluarga.

4. Kesibukan mengejar karier, sehingga tugas dan tanggung jawab utama dalam keluarga diabaikan.

5. Kesibukan suami-istri membawa dampak negatif dalam kehidupan keluarga.


(24)

6. Relativitas moral yaitu mengarah pada sikap permisif, semua serba boleh.

7. Hedonisme yaitu menjadikan kenikmatan sebagai tujuan segalanya. 8. Ketidaksetiaan terhadap pasangan.

Dengan memaparkan tantangan-tangan dalam hidup berkeluarga yang dialami keluarga-keluarga pada zaman sekarang memperlihatkan pentingnya pendidikan yang didasari atas fakta-fakta dan tidak pada ilusi-ilusi, pentingnya perangkat tata kelakuan baru yang sesuai dengan kondisi-kondisi zaman dan perlunya suatu pendekatan penggambaran dari disiplin pengetahuan. Pendidikan ini tidak hanya informasi yang berkaitan dengan fakta-fakta sex, tetapi juga suatu pengertian tentang peranan keluarga dalam masyarakat. Walaupun kita mempunyai jalan yang panjang untuk melaksanakan perkembangan dan khususnya dalam difusi ilmu pengetahuan, sekarang ini telah banyak publikasi-publikasi mengenai kursus-kursus perkawinan dan keluarga, dan pelayanan-pelayanan pendidikan orang dewasa yang memperlihatkan tanda perkembangan pengenalan kebutuhan akan diskusi realistis dan informasi mengenai hal-hal ini.

Pada awal tahun 1925, perkumpulan orang tua di Amerika juga menganjurkan diadakan pendidikan khusus persiapan peran orang tua. Bimbingan ini diberikan kepada anak remaja di sekolah menegah. Sekarang sudah berkembang program pendidikan untuk membimbing dan mempersiapakan serta memberi orientasi kepada anak-anak remaja dalam menyongsong masa depan, bila kelak ia menjadi seorang ayah dan ibu yang baik. Program ini antara lain mempelajari masalah-masalah perkembangan


(25)

anak, dasar-dasar ketrampilan mengasuh anak, soal ekonomi, dan bagaiman menghadapi kehadiran anak di keluarga. Semua persoalan diperkenalkan dan diterapkan pada anak remaja supaya mereka memiliki ketrampilan yang cukup sebelum mereka berkeluarga. Dalam hal ini dapat terlihat bahwa kelangsungan peran keluarga dalam masyarakat perlu disosialisasikan, dimana kemajuan zaman akibat proses industrialisasi dan modernisasi telah banyak mempengaruhi hidup berkeluarga.

Perkawinan merupakan suatu lembaga yang suci sehingga tidak bisa dipermainkan seenaknya, oleh karena itu perkawinan harus dipersiapkan sebaik mungkin demi kesejahteraan keluarga yang dibangun. Pada hakekatnya perkawinan Katholik itu sendiri adalah penggabungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (monogamis) mencakup kebersamaan seluruh hidup, kesetiaan hidup antara dua pribadi yang bersifat tetap (seumur hidup) terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak (Kanonik, 1055:1).

Keluarga yang baik adalah faktor utama untuk keselamatan (kesejahteraan), baik pribadi, masyarakat maupun Gereja. Hubungan antar keluarga yang baik berarti merupakan hubungan masyarakat yang baik pula, jadi keluarga dapat dikatakan inti dari masyarakat, di mana setiap keluarga dapat menganggap dirinya sentral dari seluruh masyarakat. Dari urgensi keluarga itu sendiri di tengah-tengah masyarakat, maka keluarga ditempatkan sebagai lembaga sosial yang sangat penting dibandingkan dengan lembaga lainnya. Bertolak dari pentingnya kelangsungan hidup


(26)

berkeluarga di tengah kehidupan bermasyarakat, maka Gereja sebagai lembaga agama mengadakan kursus persiapan berkeluarga. Kursus tersebut diikuti oleh semua umat, khususnya bagi para muda-mudi yang akan menghadapi kehidupan keluarga dan sebagai salah satu syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan dalam Gereja katholik.

Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja merupakan bagian dari Gereja Paroki Santa Teresia Bongsari Semarang. Dalam hal ini Paroki merupakan suatu wilayah keuskupan yang dipimpin oleh seorang pastor kepala yang diangkat oleh uskup (Hendropuspito, 1983:122). Di Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja sebagian besar umat adalah pendatang dari berbagai daerah, sehingga dimungkinkan umat yang sudah menikah menggikuti kursus persiapan berkeluarga dari berbagai Gereja Katholik di Indonesia. Hal ini membuat penulis tertarik untuk meneliti di Gereja tersebut. Akankah kursus ini dapat memberikan bekal pengetahuan sebagai tujuan jangka pendek dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga untuk tujuan jangka panjang ? Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis mengajukan skripsi dengan judul : “Pengaruh Kursus Persiapan Berkeluarga Terhadap Keharmonisan Dalam Kehidupan Keluarga (Studi Kasus Terhadap Peserta Kursus Di Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja)”’.


(27)

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang dan identifikasi masalah maka permasalah yang akan dikaji adalah ”Seberapa besar pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga “? 1.3. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan permasalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat secara teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya sosiologi keluarga. b. Menambah wawasan atau pengetahuan bagi pembaca mengenai

kajian dengan pendekatan fungsional struktural berkaitan dengan pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga.

2. Manfaat praktis a. Bagi Gereja

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada pusat pendampingan keluarga ”Brayat Minulyo” Semarang berkaitan


(28)

dengan pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga.

b. Bagi dunia akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan sebagai sumber bacaan untuk perpustakaan, khususnya jurusan Sosiologi dan Antropologi dan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan apabila penelitian yang sama diadakan pada waktu-waktu mendatang.

1.5. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI

Secara garis besar penulisan skripsi ini terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:

1. Bagian pendahuluan berisi: halaman judul, lembar persetujuan, lembar pengesahan, lembar pernyataan, motto dan persembahan, prakata, sari, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran.

2. Bagian isi diantaranya sebagai berikut.

BAB I: PENDAHULUAN, berisi tentang: latar belakang masalah penelitian, permasalahan, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, sistematika penulisan skripsi dan penegasan istilah.

BAB II: LANDASAN TEORI PENELITIAN, berisi tentang teori yang melandasi permasalahan skripsi, pokok bahasan yang terkait dengan pelaksanaan penelitian dan hipotesis tindakan.


(29)

BAB III: METODE PENELITIAN, berisi tentang: jenis dan desain penelitian, populasi, sampel dan teknik pengambilan sampel, variabel penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, meliputi hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan temuan dari hasil penelitian di lapangan.

BAB V: PENUTUP, berisi tentang simpulan dan saran.

3. Bagian terakhir dalam penulisan ini meliputi daftar sumber berkaitan dengan tema yang diangkat.

1.6. PENEGASAN ISTILAH

Untuk menghindari adanya perbedaan pengertian dalam penelitian ini maka ada beberapa istilah yang perlu diberikan penjelasan sebagai berikut :

1. Kursus Persiapan Berkeluarga

Kursus persiapan berkeluarga merupakan tahapan jangka pendek yang sudah spesifik menjurus pada perkawinan konkret (Go dan Suharto, 2007:83). Kursus ini bertujuan untuk membantu para calon pengantin mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk peristiwa yang menentukan dalam hidup mereka, mengingat paham perkawinan Katholik sebagai persekutuan hidup yang menyeluruh dengan sifat-sifat hakikinya.


(30)

2. Keharmonisan dalam Kehidupan Keluarga

Keharmonisan menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan yang selaras atau serasi dalam rumah tangga perlu dijaga (Depdikbud, 1993:299). Keluarga dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan dan merupakan pemelihara kebudayaan bersama (Khairuddin, 2002:7). Dari pengertian keharmonisan dan pengertian keluarga maka keharmonisan dalam kehidupan keluarga adalah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi dan aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial (Gunarsa, 2004:209).


(31)

14 BAB II

LANDASAN TEORI PENELITIAN

2.1. Kursus Persiapan Berkeluarga.

2.1.1. Pengertian dan Manfaat Kursus Persiapan Berkeluarga.

Pendidikan untuk perkawinan adalah suatu pelayanan bagi masyarakat dan bagi individu artinya pendidikan ini tidak hanya informasi yang berkaitan dengan fakta-fakta sex, tetapi juga suatu pengertian tentang peranan keluarga dalam masyarakat. Walaupun kita mempunyai jalan yang panjang untuk melaksanakan perkembangan dan khususnya dalam difusi ilmu pengetahuan. Sekarang ini banyak publikasi-publikasi, kursus-kursus perkawinan dan keluarga dan pelayanan pendidikan yang memperlihatkan tanda perkembangan pengenalan kebutuhan akan diskusi realistis dan informasi mengenai hal-hal itu (Khairuddin, 2002:194).

Di Amerika pada tahun 1925 perkumpulan orang tua murid juga meganjurkan diadakan pendidikan khusus persiapan peran orang tua. Bimbingan ini diberikan kepada anak remaja di sekolah menengah. Sekarang sudah berkembang program pendidikan untuk membimbing dan mempersiapkan serta memberi orientasi kepada anak-anak remaja dalam menyongsong masa depan, bila kelak ia menjadi seorang ayah dan ibu yang baik. Program itu antara lain mempelajari masalah-masalah perkembangan anak, dasar-dasar ketrampilan mengasuh anak, soal ekonomi, dan bagaimana menghadapi kehadiran anak di keluarga. Semua persoalan itu


(32)

diperkenalkan pada anak remaja supaya mereka memiliki ketrampilan yang cukup sebelum berkeluarga (Dagun, 2002:156).

Pengertian kursus persiapan berkeluarga merupakan sarana mendapatkan pemahaman minimal mengenai perkawinan Katholik menjadi syarat wajib untuk memasuki jenjang perkawinan, namun, kursus ini perlu dihayati bukan sebagai kewajiban atau syarat semata, tetapi sebagai suatu rekoleksi dan permenungan yang sederhana untuk mempersiapkan diri lebih baik dan memantapkan niat memasuki jenjang perkawinan (Suharyanto, 2007:15). Para pesertanya khusus bagi para muda-mudi yang akan menghadapi kehidupan berkeluarga (perkawinan) seperti yang diberikan pada saat kursus. Diharapkan dengan adanya kursus tersebut para muda-mudi memahami dengan jelas pengertian mengenai martabat perkawinan (keluarga).

Kebutuhan akan persiapan yang teratur dan terperinci sungguh-sungguh dirasakan dewasa ini, baik oleh muda-mudi sendiri maupun oleh pimpinan Gereja, lebih-lebih karena gejala-gejala negatif masyarakat yang mengaburkan martabat perkawinan dan adannya perubahan nilai-nilai dalam hidup berkeluarga. Kursus persiapan berkeluarga tersebut begitu penting bagi calon pasangan suami-istri guna mempersiapkan dan membekali diri dalam membangun hidup berkeluarga yang manusiawi. Walaupun kursus persiapan berkeluarga ini dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat dengan bahan-bahan yang terseleksi, ternyata kursus perkawinan sedikit banyak mampu memberikan wacana baru kepada para calon pasangan


(33)

suami-istri untuk menemukan langkah awal dan cara membina hidup berkeluarga secara dewasa dan manusiawi.

Kursus persiapan berkeluarga itu sangat penting karena keadaan keluarga yang baik adalah faktor mutlak untuk tercapainnya keselamatan (kesejahteraan), baik bagi orang perorang, masyarakat umum, maupun Gereja (Suharyanto, 2007:15). Hubungan antar keluarga yang baik berarti merupakan hubungan masyarakat yang baik pula, jadi keluarga dapat dikatakan inti dari masyarakat, di mana setiap keluarga dapat menganggap dirinya sentral dari seluruh masyarakat (Khairuddin, 2002:25). Artinya apabila keluarga yang harmonis itu dapat terwujud dalam setiap keluarga-keluarga yang ada dalam masyarakat, maka hal itu sedikit banyak akan menjadi titik tolak terbentuknya masyarakat yang harmonis. Kenyataan memperlihatkan bahwa keluarga merupakan jantungnya masyarakat karena segenap kebutuhan masyarakat bermula dan dikerjakan dari keluarga (Suhendi dan Ramdani Wahyu, 2001:62).

Kursus persiapan berkeluarga termasuk persiapan jangka pendek yang sudah spesifik menjurus kepada perkawinan konkret, tujuannya untuk membantu para calon pengantin mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk peristiwa yang sangat menentukan dalam hidup mereka mengingat perkawinan Katholik sebagai persekutuan hidup yang menyeluruh dengan sifat-sifat hakikinya (Go dan Suharto, 2007:83).

Pada hakekatnya perkawinan Katholik adalah penggabungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (monogamis) mencakup


(34)

kebersamaan seluruh hidup, kesetiaan hidup antara dua pribadi yang bersifat tetap (seumur hidup) terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak (Kanonik, 1055:1). Dengan kata lain, perkawinan menunjukkan relasi suami-istri yaitu persekutuan hidup dan cinta yang mereka pilih secara bebas dan pemberian diri secara timbal balik demi kesejahteraan mereka maupun anak-anaknya.

Kursus persiapan berkeluarga hendaknya diberikan dengan metode yang tepat dan menarik, dengan bahan-bahan yang relevan dan aktual, oleh orang-orang yang kompeten di bidang-bidang yang terkait dengan bahan-bahan tersebut. Para pengajar kursus persiapan berkeluarga diharapkan mengacu pada buku pedoman kursus persiapan perkawinan yang diterbitkan oleh Keuskupan Agung Semarang. Menurut rapat kerja V Komisi keluarga Regio Jawa Plus, pada tanggal 1-3 Juni 2001 di Bandung, telah menghasilkan revisi bahan atau materi kursus persiapan perkawinan yang berupa kerangka bahan utama dan tambahan (Suharyanto, 2007:9). Hal tesebut dimaksudkan agar terjadi keseragaman dalam pemberian materi-materi dalam kursus.

Tujuan kursus persiapan hidup berkeluarga (Suharyanto, 2007:14) antara lain :

a. Mempersiapakan muda-mudi yang akan menikah atau hidup berkeluarga dalam bentuk kursus perkawinan (penyadaran dan pemberdayaan) antara lain :

1. Sebagai langkah persiapan bagi muda-mudi untuk hidup berkeluarga yang baik dan suatu usaha memberikan bekal dalam hidup keluarga.

2. Melengkapi kebutuhan mereka dalam pengetahuan teologi, psikologi, moral, seksualitas, kesehatan, ekonomi, paham gender


(35)

dan pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan hidup berkeluarga.

3. Memberikan pegangan bagi mereka untuk mengambil tindakan dan mengatur hidupnya sendiri menurut azas dan moral kristiani. b. Memberikan penjelasan bagi mereka tentang hal-hal yang berhubungan

dengan masalah perkawinan dan masalah keluarga di paroki. c. Menanamkan benih panggilan kristiani melalui keluarga-keluarga. 2.1.2. Arti, Hakikat, Tujuan dan Sifat-Sifat Perkawinan

Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Sebagai pilihan hidup, perkawinan dilindungi oleh hukum. Perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 pasal 1 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga. Sudah menjadi kodrat alam, bahwa manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup bersama. Dalam hal ini alam pikiran manusia tidak mesti atau tidak selalu ditujukan pada hal bersetubuh antara manusia tadi.

Dalam arti umum, perkawinan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan (Suharyanto, 2007:17). Dalam hal ini cinta sebagai elemen dalam pemilihan jodoh menjadi lebih sering di semua masyarakat dimana asalnya jarang (Goode, 2004:83). Artinya jatuh cinta memang secara sosial tidak dianggap perlu, tetapi banyak orang yang menjalankannya, dan menikah dengan kekasihnya. Dalam hal ini tujuan


(36)

mereka membentuk persekutuan hidup dengan orang yang mereka cintai adalah untuk mencapai kebahagiaan dan melanjutkan keturunan.

Tujuan dan sifat-sifat dasar perkawinan itu sendiri adalah (Suharyanto, 2007:17) :

a. Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi

unitif). Kedua pihak memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi

untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan suami-istri.

b. Terarah pada keturunan (Segi prokreatif). Kesatuan sebagai pasutri dianugrahi rahmat kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru yang akan menjadi mahkota perkawinan.

c. Menghindari perzinahan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksudkan juga sebagai saran mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzinahan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan perkawinan, setiap pasangan diarahkan pada pasangan yang sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup.

Pada dasarnya masyarakat beranggapan bahwa perkawinan merupakan suatu kontrak karena pada saat perkawinan, terjadi semacam perjanjian antara dua belah pihak. Pada saat itu juga terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Misalnya di Indonesia, ketika laki-laki dan perempuan akan menikah terdapat seperangkat peraturan dan syarat-syarat perkawianan yang harus dipenuhi. Bahkan setelah menikah ditetapkan hak dan kewajiban suami istri. Kontrak berakhir ketika terjadi perceraian.

Perkawinan adalah awal dari kehidupan berkeluarga karena itu perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama dan peraturan perundang-undangan maupun peraturan lain yang berlaku. Perkawinan yang tidak dilaksanakan berdasarkan peraturan yang ada kelak


(37)

dapat mengakibatkan timbulnya masalah dalam kehidupan baik keluarga maupun masyarakat. Dalam hal ini perkawinan dapat diartikan sebagai sumbu tempat berputarnya seluruh hidup manusia dan merupakan soal peralihan dari masa remaja ke masa berkeluarga. Oleh sebab itu perkawinan merupakan masalah yang sangat penting dalam hidup setiap manusia. Menurut Koentjaraningrat, perkawinan diartikan sebagai suatu saat yang terpenting dalam life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia yaitu saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat berkeluarga, itulah perkawinan (Koentjaraningrat, 1992:92).

Ditinjau dari sudut kebudayaan, perkawinan merupakan pengaturan kelakuan manusia yang berkaitan dengan kebutuhan seksnya. Perkawinan dalam pengertian masyarakat adalah lelaki yang telah berkawin tidak bisa sembarangan melakukan hubungan seks dengan wanita lain tetapi hendaklah dengan wanita yang dinikahinya. Perkawinan bisa menjadi pengatur dalam kehidupan masyarakat. Dari hubungan dalam perkawinan dapat menghasilkan keturunan, kemudian perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk yang inginkan teman dalam hidup dan kenaikan status dalam masyarakat.

Kenyataan menunjukkan dengan adanya perkawinan terbentuklah relasi manusia yang berlainan jenis untuk membentuk unit terkecil dalam masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengakui perkawinan mempunyai hak yang sah untuk melakukan hubungan seksual dan dari proses tersebut diharapkan memiliki keturunan yang sah pula. Dengan anak yang lahir


(38)

diharapkan kelak akan menurunkan keturunan dan akan juga merawat orang tuanya bila berusia lanjut.

Perkawinan merupakan suatu saat yang sangat penting. Suatu detik tatkala hubungan persaudaraan diperluas dan berubah. Perkawinan juga merupakan pelebaran menyamping tali ikatan antara dua kelompok himpunan yang tidak bersaudara atau pengukuhan keanggotaan di dalam suatu kelompok endogam bersama (Geertz, 1982:58). Dengan kata lain, perkawinan dapat menyatukan dua keluarga yang berbeda (menjadikan dua keluarga tersebut memiliki hubungan persaudaraan). Misalnya ketika seorang laki-laki menikah maka secara otomatis orang tua dari perempuan yang dikawininya menjadi orang tua dari perempuan yang dikawininya menjadi orangtuanya, begitu pula sebaliknya.

Dengan demikian perkawinan merupakan suatu pranata yang harus diberi tempat yang tinggi dalam kehidupan manusia. Hal ini disebabkan dalam perkawinan tersangkut hubungan sebagai suami istri dari dua orang berlainan jenis yang diikat oleh aturan agama dan adat istiadat juga menyangkut hubungan dan status pasangan tersebut dalam masyarakat. 2.1.3. Penyesuaian Perkawinan

Keberhasilan perkawinan dalam masyarakat modern, dengan corak ragam kepribadiannya, berbagai latar belakang kebudayaan, dan kondisi-kondisi yang berubah, lebih banyak tergantung penyesuaian diri antara para suami dan para isteri, serta para orang tua dan anak-anak (Khairuddin, 2002:200). Dengan berkembangnya penyesuaian-penyesuaian


(39)

diri dalam hubungan kekeluargaan akan menciptakan kestabilan keluarga tersebut dalam jangka waktu yang lama. Tetapi hal ini merupakan stabilitas yang berbeda macamnya dari organisasi keluarga pada masa lampau, yang sebagian besar dipengaruhi oleh tekanan-tekanan sosial dari opini masyarakat yang bersifat ekstern, tata kelakuan dan hukum.

Stabilitas hubungan keluarga timbul dari kelakuan hubungan-hubungan interpersonal dari anggota-anggotanya sebagai perwujudan kasih sayang. Akhirnya penyesuaian diri dalam perkawinan dan kehidupan keluarga menurut pengetahuan dan ketrampilan pada sebagian besar anggota-angota keluarga. Hubungan suami istri telah banyak dibicarakan, tetapi, sedikit perhatian harus juga diberikan kepada penyesuaian perkawinan itu sendiri, suatu subyek yang merupakan objek perhatian pribadi maupun penelitian obyektif yang cukup besar. Selama generasi yang lalu, para ahli sosial dan psikologi telah mencoba menguraikan dan mengukur kebahagiaan perkawinan dan menentukan ciri-ciri mana yang dapat menjamin keadaan yang diidamkan itu. Pekerjaan yang paling rumit telah dikerjakan di bawah pengaruh Ernest W. Burgess, dan beberapa variasinya serta skala penyesuaian perkawinan (marital adjustment scale).

Leonard S. Cottrel, telah banyak dipergunakan dalam berbagai penelitian atas berbagai macam penduduk. Para peneliti telah mengembangkan penelitian ini guna mencari latar belakang mana (umur pada waktu menikah, afiliasi agama, lamanya bertunangan dan sebagainya). Dan pola yang mana (komuniti yang menjadi perhatian, pernyataan cinta


(40)

kasih dan sebagainya) yang berhubungan dengan kebahagiaan pernikahan (Goode, 2004:146). Hal-hal yang tidak memperhatikan adanya hubungan dengan penyesuaian perkawinan di kesampingkan.

Penelitian mengenai penyesuaian perkawinan banyak digunakan oleh penasehat perkawinan dan oleh guru-guru kursus-kursus perkawinan. Kuesioner penyesuaian perkawinan telah dipergunakan sebagai dasar untuk meyakinkan orang untuk mengundurkan perkawinan, sebagai titik tolak untuk mengadakan wawancara, dan sebagai alat diagnostik untuk mengetahui persoalan-persoalan suatu perkawinan atau pertunangan. Jika benar bahwa kita sekarang setidaknya tidak dapat meramalkan, orang-orang macam apa yang mempunyai kemungkinan terbaik untuk memperoleh kebahagiaan dalam perkawinan, atau pasangan mana yang kemungkinan terbaik untuk memperoleh kebahagiaan dalam perkawinan, atau pasangan mana yang kemungkinan gagal, maka kita akan dapat lebih wajar mengatur hidup kita dan tentu saja, penggunaan alat-alat peramalan impersonal seperti apa yang dilakukan oleh sanak dan kawan-kawan jika ada pasangan yang merencanakan untuk menikah.

Dalam hal ini ada penyanggah yang mengemukakan bahwa tidak mungkin untuk “mengukur” penyesuaian perkawinan dan tentu saja apa yang oleh sebagian dikatakan “cukup memuaskan” oleh yang lain dianggap sengsara. Tetapi, apa yang kita rasakan pada saat kita ditanyakan sesuatu tentunya bukan merupakan rahasia bagi kita sendiri. Mungkin saja kita


(41)

mengatakan hal lain kepada orang lain, tetapi jarang yang akan mengatakan mereka bahagia dalam perkawinan mereka jika kenyataan tidak demikian.

Pada masyarakat Barat, dan terutama di Amerika Serikat, rupanya lebih banyak orang secara giat mencari kebahagiaan perkawinan dan menaruh lebih banyak perhatian akan persoalan itu, dari pada masyarakat-masyarakat di masa yang lampau. Hanya di beberapa masyarakat-masyarakat saja perkawian itu diatur terutama bagi kebahagiaan pribadi suami istri. Sebaliknya, perhatian utama mereka, sama halnya dengan sanak kedua suami istri, ialah apabila masing-masing melakukan kewajiban mereka dan saling menghormati. Hal itu lebih mudah dilakukan ketika hubungan peran itu lebih banyak diatur secara khusus oleh masyarakat luas, dan ada kesalahpahaman antara anggota-anggota mengenai kewajian dan hak-hak itu dengan demikian juga adanya tekanan yang lebih besar kepada semua orang untuk mengikutinya.

Akan tetapi, kekuatan pembeda mengenai penyesuaian perkawinan yang pernah diteliti tidak pernah meyakinkan. Tidak benar untuk mengatakan bahwa kekuatan sama saja dengan akan sehat, karena salah satu hasil nyata dari penelitian-penelitian itu ialah bahwa sedikit dari “kebenaran” yang diperkirakan mengenai siapa harus menikah dengan siapa cukup kuat untuk dipakai sebagai pedoman (Goode, 2004:147). Hal yang paling umum ialah bahwa orang-orang dengan latar belakang “tradisional” yang kuat lebih banyak kemungkinan bahagia dalam perkawinan atau mungkin juga cenderung untuk mengatakan puas. Jadi, jika orang itu berasal


(42)

dari keluarga yang puas dan telah mempunyai hubungan dan pertunangan yang lama dengan istrinya, perkawinan akan kecil resikonya.

Data dari sumber lain mengatakan bahwa latar belakang yang sama lebih banyak mendorong pada kepuasan paerkawinan, tetapi sedikit renungan (data alat peramal akan mengingatkan kita bahwa orang-orang yang mempunyai kesukaan yang sama untuk berfoya-foya atau latar belakang sama dalam soal perceraian, sedikit kemungkinan menciptakan perkawinan yang memuaskan atau bertahan). Sayangnya, tidak ada satu faktor penting pun telah dibenarkan oleh semua peneliti sebagai mempunyai hubungan dengan kepuasan perkawinan, dan faktor-faktor yang kelihatannya penting hanya membedakan secara kasar pasangan yang tradisional dan sisa penduduk lainnya (umpamannya orang tua yang perkawinannnya bahagia, telah lama berkenalan dan bertunangan, hubungan erat suami dan ayah).

Tanpa adanya perbedaan yang lebih halus, ramalan itu tidak banyak memberikan pangarahan yang sehat, meskipun banyak digunakan oleh para penasehat-penasehatan pernikahan dan oleh guru-guru kursus perkawinan. Mungkin arah penelitian baru yang hanya terpusat pada stabilitas perkawinan dan kecocokan antara pengantin pria dan wanita sudah saatnya di lakukan (Goode, 2004:148).


(43)

2.2. Keharmonisan Dalam Kehidupan Keluarga. 2.2.1. Keharmonisan

Pengertian keharmonisan menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan yang selaras atau serasi, dalam rumah tangga perlu dijaga (Depdikbud, 1993:299). Menurut kamus sosiologi harmonis adalah suatu teori yang menyatakan bahwa individu sebagai satu-satunya realitas sosial dan masyarakat sebagai satu-satunya kenyataan merupakan dua aspek dari satu hal (harmonisme) (Soekanto, 1993:188). Sedangkan menurut kamus Sosiologi dan kependudukan kata harmonis adalah teori dalam ilmu pengetahuan yang menyatakan bahwa individu dan masyarakat sebagai kenyataan yang berupa dua aspek pada satu hal (Kertasapoetra dan Hartini, 2007:179-179).

Menurut Bouman keharmonisan adalah hal (keadaan) selaras atau serasi antara anggota keluarga, antara lain : suami, istri, anak-anak, dan cucu-cucu yang hidup bersama-sama pada suatu tempat yang dikepalai oleh seorang kepala keluarga atau (ayah).

(http://www.angelfire.com/id/dialogis/keluarga/htm).

Keharmonisan adalah relasi personal dan kejiwaan yang selaras antara suami istri dan menegaskan adanya suatu ikatan yang kuat serta janji yang kokoh antara keduanya, yang membawa mereka untuk saling mengasihi dan menyayangi serta melindungi mereka agar tidak saling bermusuhan. Bertolak dari pengertian keharmonisan, maka dapat diambil pengertian bahwa keharmonisan adalah relasi yang selaras dan serasi antar


(44)

anggota keluarga untuk saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain di dalam keluarga.

2.2.2. Keluarga

Pada hakekatnya, seluruh perilaku manusia bersifat sosial, artinya perilaku tersebut terbentuk dan dipelajari dari bagaimana individu berinteraksi dengan individu lain. Adanya sifat sosial yang dimiliki oleh masing-masing manusia, maka secara manusia dituntut untuk mengadakan ikatan-ikatan sosial dengan manusia lain. Salah satu ikatan yang paling dasar adalah keluarga.

Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan atau adopsi serta tinggal bersama (Suhendi, 2001:41). Dalam hal ini keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat (Khairuddin, 2002:4). Pembicaraan mengenai keluarga akan dibatasi pada keluarga batih. Keluarga batih terdiri dari suami atau ayah, istri atau ibu dan anak-anak yang belum menikah. Dalam hal ini keluarga batih merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil dalam masyarakat. Sebab, di samping keluarga batih terdapat pula unit-unit pergaulan hidup lainnya, misalnya keluarga luas (“extended family’), komunitas (“comunitas”) dan sebagainya.

Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai keluarga dari beberapa ahli tersebut di atas, maka dapat penulis pahami unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian keluarga adalah :


(45)

a. Keluarga adalah bentuk perserikatan yang terdiri dari paling sedikit dua orang dewasa yang berlainan jenis.

b. Perserikatan itu berdasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan atau adopsi.

c. Keluarga merupakan satu-satunya institusi yang menjalankan peran pengasuhan dan pendidikan pada tahap awal perkembangan anak. Keluarga merupakan unit dasar masyarakat.

Dalam hal ini keluarga batih mempunyai peranan-peranan tertentu. Peranan-peranan itu adalah, sebagai berikut (Soekanto, 2004:23). a. Keluarga batih berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang

menjadi anggota, di mana kententraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut.

b. Keluarga batih merupakan unit sosial ekonomis yang secara material memenuhi kebutuhan anggota-anggotannya.

c. Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.

d. Keluarga batih merupakan wadah di mana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses di mana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Keluarga juga merupakan organisasi terbatas yang di dalamnya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang berinteraksi dan berkomunikasi sehingga tercipta peranan-peranan sosial bagi anggotannya. Penghargaan dan penampilan dari setiap peranan-peranan antara suami, istri dan anak membentuk lembaga yang kita kenal sebagai keluarga (Polomo, 2003:28). Peranan-peranan tersebut di batasi oleh masyarakat, tetapi masing-masing keluarga diperkuat oleh kekuatan melalui sentimen-sentimen, yang sebagian merupakan tradisi dan sebagian lagi emosional, yang menghasilkan pengalaman.


(46)

Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas, dan mempunyai ukuran yang minimal, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan (Khairuddin, 2002:4). Dengan kata lain, keluarga merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir dan berada di dalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya ke arah pendewasaan.

Dalam hal ini keluarga sebagai organisasi, mempunyai perbedaan dari organisasi–organisasi yang lain, dan mempunyai arti yang lebih mendalam dari pada organisasi-organisasi lainnya, yang terjadi hanya sebagai suatu proses. Salah satu perbedaan yang cukup penting terlihat dari bentuk hubungan anggota-anggotannya yang lebih bersifat “gemeinschaft” dan merupakan ciri-ciri kelompok primer, yang antara lain mempunyai hubungan yang lebih intim, kooperatif, face to face dan masing-masing anggota memperlakukan anggota lainnya sebagai tujuan bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada keluarga yang ada dalam masyarakat itu. Apabila seluruh keluarga sudah sejahtera, maka masyarakat tersebut cenderung akan sejahtera pula. Bahwa keluarga adalah kesatuan dari pribadi-pribadi yang ada hubungannya karena pernikahan, kelahiran yang berinteraksi dengan tujuan pokok menciptakan dan memelihara norma-norma kebudayaan dan mendorong perkembangan fisik, mental dan emosi setiap anggotannya (Mustafa, 1986:6).


(47)

2.2.3. Keharmonisan Keluarga

Dari pengertian keharmonisan dan pengertian keluarga maka dapat penyusun simpulkan bahwa keharmonisan keluarga adalah keselarasan atau keserasian dalam ikatan persekutuan atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga.

Di samping keutuhan dalam struktur keluarga, dimaksudkan pula keutuhan dalam interaksi keluarga berlangsung interaksi sosial yang wajar (harmonis), menuju keselarasan hubungan antara anggota keluarga menuju keluarga yang sejahtera. Ciri-ciri keluarga yang harmonis (Al-Munajid, 1998:19) adalah :

a. Tercipta suasana keimanan di dalam keluarga. b. Mengadakan pertemuan antar anggota keluarga. c. Sopan santun antar anggota keluarga.

Ciri-ciri keluarga sejahtera (Pujosuwarno, 1994:53) sebagai berikut:

a. Adanya ketenangan jiwa yang dilandasi oleh ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Hubungan yang harmonis antara individu yang satu dengan individu yang lain dalam keluarga dan masyarakat.

c. Terjamin kesehatan jasmani, rohani dan sosial. d. Cukup sandang, pangan dan papan.

e. Adanya jaminan hukum terutama hak asasi manusia. f. Tersedianya pelayanan pendidikan yang wajar.

g. Ada jaminan dihari tua, sehingga tidak perlu khawatir terlantar dimasa tua.


(48)

h. Tersedianya fasilitas rekreasi yang wajar.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa menjalankan segala kewajiban dan menjauhi segala larangannya merupakan hal utama yang semestinya dilaksanakan oleh tiap individu. Beberapa ciri tersebut juga merupakan hal penting dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis, sehingga kerukunan hidup antar anggota keluarga dan masyarakat dapat terjalin dengan baik. Upaya menjaga kesehatan baik fisik maupun mental seluruh anggota keluarga dan masyarakat juga merupakan hal yang tidak kalah penting dalam menjaga keharmonisan keluarga.

Lain dari itu, cukup terpenuhinya kebutuhan pakaian, pangan, dan tempat tinggal, serta jaminan hukum atas segala sesuatu yang dimiliki juga memberikan pengaruh yang cukup besar dalam usaha membina kehidupan rumah tangga yang harmonis. Cukup terpenuhinya kebutuhan pendidikan anak-anak dan adanya jaminan di hari tua juga perlu mendapatkan perhatiaan khusus, sehingga anggota keluarga tidak perlu terlantar di masa yang akan datang.

Menyediakan waktu untuk mengadakan pertemuan-pertemuan guna mendiskusikan masalah-masalah keluarga juga memberikan pengaruh yang besar agar keharmonisan keluarga tetap terjaga. Anggota keluarga yang dapat senantiasa bersikap lemah lembut terhadap satu sama lain merupakan salah satu sebab yang mendatangkan kesejahteraan di dalam rumah tangga.


(49)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis jelaskan bahwa keluarga sejahtera dapat mendatangkan keharmonisan di dalam rumah tangga. Tetapi, keharmonisan di dalam keluarga belum tentu dapat mendatangkan kesejahteraan di dalam keluarga.

2.2.4. Tantangan Yang dihadapi Keluarga.

Saat ini kemajuan zaman yang semakin kompleks mempengaruhi hidup berkeluarga. Kemajuan itu dapat berupa industrialisasi dan modernisasi yang jauh lebih maju lagi dan lebih komplek dari pada waktu pertama kali terjadi di Inggris. Bahwa, pada masa industrialisasi tipe keluarga konjugal adalah tipe keluarga yang paling cocok dengan perkembangan industri (Ihromi, 1999:12). Pada pola keluarga konjugal, setiap orang mempunyai kebebasan untuk memilih dan menentukan calon pasangan hidupnya sendiri. Dalam hal ini suatu pola cinta sudah ada setidak-tidaknya disebagian besar minoritas masyarakat sebelum perkembangan industri (Goode, 2004:83).

Sistem keluarga ini mengandalkan pasangan suami-istri untuk berbuat lebih banyak terhadap kehidupan keluarga masing-masing yang terdiri dari suami-istri, dan anak-anak. Kerabat luas tidak lagi menjadi penyangga kehidupan pasangan suami-istri (Ihromi, 1999:141). Akibatnya anggota keluarga konjugal menjadi kurang “tergantung” pada kerabatnya, sehingga “kewajiban” terhadap orang yang lebih “tua” menjadi berkurang dan keluarga konjugal tidak banyak menerima bantuan dari kerabat. Konsekuensi kontrol sosial dari anggota kerabat luas menjadi berkurang dan


(50)

tidak efektif lagi, sehingga beban emosional dan finansial keluarga konjugal menjadi lebih berat. Unit keluarga konjugal menjadi lebih mudah pecah apabila terjadi konflik antara suami-istri karena sedikitnya tekanan kerabat yang mengharuskan mereka bersatu dan mempertahannkan perkawinan (Ihromi, 2004:141-142).

Kemajuan zaman yang disertai dengan perkembangan nilai-nilai, juga mau tidak mau mempengaruhi penghayatan hidup berkeluarga. Dalam kemajuan zaman itu, ada nilai-nilai positif yang berupa kesadaran akan martabat manusia, kesadaran etika, kesadaran gender dan lain-lain. Selain itu ada nilai-nilai yang merendahkan martabat hidup perkawinan, seperti poligami, perceraian, seks pranikah, perselingkuhan dan kekerasan dalam keluarga dan aneka macam persoalan lainnya. Sebagai tindakan antisipasinya, perlu diambil tindakan untuk mengatasi tantangan hidup berkeluarga tersebut.

Adanya etos kesamaan derajat dan tuntutan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan merupakan tuntutan dari sistem industrialisasi yang memberikan peluang yang sama kepada setiap orang berdasarkan kemampuan dan prestasi individu. Jadi sistem ini tidak membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin. Menurut Goode (dalam Ihromi, 1999:145) perubahan etos ini dapat berpengaruh pada munculnya ketegangan-ketegangan dalam interaksi suami-istri.

Dalam kehidupan perkawinan, tuntutan memperoleh kebahagiaan pribadi muncul secara sama dari pihak suami maupun istri.


(51)

Dari sudut keluarga, orientasi perkawinan dan membentuk keluarga berubah dari orientasi kepada anak-anak dan keberhasilannya menjadi orientasi kepada kebahagiaan hubungan pasangan suami-istri dalam perkawinan. Tuntutan seperti ini mempengaruhi upaya yang dilakukan suami-istri untuk mempertahankan sebuah perkawinan. Dengan kata lain tuntutan ini mudah menggoyahkan perkawinan apabila suami-istri tidak dapat menjalankan obligasi peran sebagai pasangan hidup yang didambakan (Ihromi, 1999:145).

Dalam membangun keluarga pada zaman sekarang tantangan-tantangan yang perlu dihindari dan dicegah (Suharyanto, 2007:2) adalah: 9. Sikap mentalitas materialistis yaitu kehausan dan kerinduan untuk

menumpuk kekayaan uang, mengukur segalanya dengan materi, bahkan anak pun dianggap sebagai investasi.

10. Sikap individualisme yaitu mementingkan kepentingan dan kesenangan sendiri, tidak peduli orang lain, tidak ada kerelaan mengalah dan menyisihkan kepentingan sendiri, untuk mendahulukan kepentingan bersama. Akibatnya setiap unsur dalam keluarga terabaikan.

11. Sikap konsumerisme yaitu keinginan untuk mengkonsumsi dipicu oleh kecanggihan teknologi periklanan yang begitu persuasif, hal ini menjadi pemicu masalah dalam hubungan keluarga.

12. Kesibukan mengejar karier, sehingga tugas dan tanggung jawab utama dalam keluarga diabaikan.

13. Kesibukan suami-istri membawa dampak negatif dalam kehidupan keluarga.

14. Relativitas moral yaitu mengarah pada sikap permisif, semua serba boleh.

15. Hedonisme yaitu menjadikan kenikmatan sebagai tujuan segalanya. 16. Ketidaksetiaan terhadap pasangan.


(52)

Membangun sebuah keluarga yang harmonis adalah tugas yang paling penting dalam hidup berkeluarga dan memunculkan berbagai permasalahan yang harus dihadapi keluarga. Dalam hal ini cenderung sulit memberikan batasan yang umum mengenai keluarga yang harmonis maka satu-satunya cara untuk mengukur kebahagiaan keluarga adalah dengan menggunakan standar keharmonisan keluarga yang telah ditetapkan oleh beberapa pakar atau ahli. Tentu saja ukuran-ukuran itu harus disesuaikan dengan kondisi nyata diri sendiri dan tidak dikaitkan dengan ukuran-ukuran orang lain atau tetangga.

Dalam hal ini tolak ukur keberhasilan sebuah perkawinan bukan terletak dari besarnya cinta atau baiknya keuangan keluarga, tetapi terletak dari ketrampilan pasangan suami istri dalam menyelesaikan konflik dari setiap perbedaan yang ada. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian pasangan memasuki gerbang perkawinan dengan cinta yang bergelora dan sejumlah harapan besar. Padahal kenyataan membuktikan, perkawinan baru menemukan masalah yang sebenarnya, pada saat masing-masing pasangan tidak bisa mengatasi perasaan negatif yang timbul antara dua pribadi yang berbeda. Perbedaan itulah yang justru membuat pasangan menjadi saling tertarik.

Oleh karena itu, dalam kondisi apapun, sesungguhnya perkawinan itu tidak memerlukan terapi. Menurut Howard Harkman, salah seorang guru besar psikologi asal Amerika, yang diperlukan untuk menjalin hubungan yang baik adalah keterampilan. Hal yang sama juga disampaikan


(53)

oleh Diane Solle, seorang ahli terapi masalah keluarga yang berpendapat bahwa cinta masing-masing pasangan harus terampil dalam memyelesaikan konflik disaat hubungan menghadapi masalah.

Menjalin keserasian hubungan suami-istri memang tidak mudah. Setidaknya hal itu disadari oleh pemikiran bahwa perkawinan disebut sesuatu yang aneh karena menyatukan dua orang dengan latar belakang yang berbeda. Jika kemudian dalam bahtera perkawinan terdapat perbedaan, hal itu sangatlah wajar sebab perkawinan merupakan media yang berupaya memperkecil perbedaan untuk menanggapi kebersamaan. Perkawinan bukan media untuk mencari persamaan. Jika hal ini terjadi, yang muncul ke permukaan adalah perbedaan dan konflik.

Strategi dan langkah konkret membina keserasian atau keharmonisan hubungan suami-istri antara lain (Suhendi dan Ramdani Wahyu, 2001:150-153) :

a. Memulai dari diri sendiri untuk saling memaafkan.

Dalam hubungan antara suami-istri akan ditemukan suatu perbedaan baik tujuan, kepribadian, kepentingan maupun tujuan, agar perbedaan ini tidak mengganggu keserasian hubungan antara keduanya, ada cara lain untuk menyelesaikannya, yaitu memulainya dari diri sendiri untuk saling memaafkan dalam setiap masalah yang disebabkan oleh perbedaan di antara mereka.

b. Saling pengertian dalam hal pembagian peran dalam keluarga.

Ada kecenderungan, pola hubungan suami-istri sedang mengalami transisi menuju pola hubungan semitra. Dalam hal ini karakteristik kemitrasejajaran terletak pada sikap dalam memandang pembagian peran di antara suami istri dalam pembagian peran dalam rumah tangga. c. Saling mendengarkan.


(54)

Belajarlah mendengarkan, lalu memberikan tanggapan yang diperlukan. Sebagian kita belum mampu jadi pendengar yang baik. Ini karena kita begitu rapuh. Kita tidak ingin mendengar sehingga menjadi sumber yang menyebabkan pasngan menderita.

d. Saling percaya.

Kesulitan yang muncul dalam hubungan suami-istri akan sulit diubah karena alasan yang spesifik. Perkawinan mempunyai kekuatan buruk yang dapat menjebak masalah emosi yang berasal dari masa lalu. Masa lalu biasanya menyatakan diri dalam bentuk terselubung dan asumsi-asumsi. Perkawinan diharapkan sebagai jembatan terakhir untuk menghapus kekecewaan di masa lalu.

e. Jangan menunda.

Jika dalam perkawinan ditemukan suatu hal yang telah keluar dari relnya, segeralah bicarakan. Penelitian membuktikan, pasangan yang perkawinannyaberakhir dengan kebahagiaan tidak membiarkan suatu masalah menjadi berlarut-larut, mereka segera berbicara dan mencari solusi.

f. Jangan menyalahkan.

Dalam berdiskusi, jangan menyalahkan pasangan. Berikan pendapat mengenai hal yang bisa dilakukan.

g. Bersikap fleksibel.

Pasangan yang cerdik akan mencari jalan untuk meredakan ketegangan sebelum ketegangan itu berubah menjadi tak terkendali. Satu perbuatan kecil bisa mendatangkan perubahan besar.

2.3. Kerangka Berfikir

Kerangka berpikir memaparkan tentang dimensi kajian utama faktor-faktor kunci, variabel-variabel dan hubungan antar dimensi-dimensi yang disusun dalam bentuk narasi atau grafis. Kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Pengaruh Kursus Persiapan Berkeluarga (X)

Keharmonisan dalam Kehidupan Keluarga (Y):


(55)

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Dalam hal ini kursus persiapan berkeluarga merupakan pendidikan khusus persiapan peran orang tua yang memperlihatkan tanda perkembangan pengenalan kebutuhan akan diskusi realistis dan informasi mengenai peranan keluarga dalam masyarakat. Kursus ini bertujuan memberikan pengetahuan bagi para muda-mudi mengenai peran keluarga dalam masyarakat, agar keberadaan lembaga keluarga ini tetap eksis ditengah-tengah perubahan zaman yang begitu kompleks yang mempengaruhi nilai-nilai hidup berkeluarga. Berhasil atau tidaknya kursus ini tidak terlepas dari kondisi peserta dalam megikuti kursus persiapan berkeluarga. Dengan bekal internal dan eksternal yang baik maka output yang dihasilkan dalam kursus persiapan berkeluarga juga baik. Tujuan jangka pendek dari pelaksanaan kursus itu sendiri adalah menambah pengetahuan para muda-mudi yang berkaitan dengan materi-materi dalam hidup berkeluarga yang nantinya akan diterapkan dalam keluarga baru yang mereka bentuk. Sedangkan tujuan jangka panjang dari kursus persiapan berkeluarga adalah keharmonisan dalam kehidupan keluarga.

2.4. Rumusan Hipotesis

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto, 2002:67). Dalam penelitian ini, hipotesis


(56)

dikemukakan dengan tujuan untuk mengarahkan serta memberi pedoman bagi penelitian yang akan dilakukan. Apabila hipotesis tidak terbukti dan berarti salah, maka masalah dapat di pecahkan dengan kebenaran yang ditentukan dari keputusan yang dijalankan selama ini.

Adapun hipotesis dalam penelitian ini ada dua yaitu sebagai berikut : 1) Hipotesis kerja (Ha) sebagai berikut : bahwa ada pengaruh yang

signifikan (positif) antara pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga.

2) Hipotesis nol (Ho) sebagai berikut : bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan (positif) antara pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga.


(57)

40 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Disain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan jenis penelitian yang memaksimalisasi objektifitas desain penelitian dengan menggunakan angka-angka, pengolahan statistik, struktur dan percobaan terkontrol (Sukmadinata, 2006:53). Dalam hal ini penelitian kuantitatif lebih berorientasi pada pendekatan survai, dengan pendekatan survai ini peneliti hendak menggambarkan karakteristik tertentu dari suatu populasi, apakah berkenaan dengan sikap, tingkah laku ataupun aspek sosial lainnya, variabel yang ditelaah sejalan dengan karakteristik yang menjadi fokus perhatian survai tersebut (Faisal, 2003:23).

Karakteristik penelitian kuantitatif adalah pengalaman bersifat obyektif dan dapat diukur, realitas hanya satu yang mempunyai hukum-hukum dan ciri-ciri tertentu yang diselidiki. Dalam penelitian kuantitatif banyak berorientasi pada angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data serta penampilan dari hasil suatu penelitian.

Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode survai. Metode survai yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok (Singarimbun, 1995:3). Pada umumnya survai merupakan cara mengumpulkan data dari sejumlah unit atau individu dalam waktu (atau


(58)

jangka waktu) yang bersamaan dan jumlahnya cukup besar (Arikunto, 2002:88). Analisis data penelitian dilakukan melalui deskripsi persentase untuk mengetahui pengaruh kursus persiapan berkeluarga terhadap keharmonisan dalam kehidupan keluarga. Disain penelitian adalah sebagai berikut :

Penelitian ini diawali dengan menentukan populasi dan memilih sampel dari populasi yang ada. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara

purposive sampling yaitu anggota sampel dipilih secara khusus berdasarkan

tujuan penelitiannya (Usman, 2000:47). Dalam hal ini agar tercapai tujuan dalam penelitian ini, maka sampel dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Sampel merupakan jemaat atau umat Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja yang telah mengikuti kursus persiapan berkeluarga

b. Sampel merupakan pasangan suami-istri yang telah memasuki usia pernikahan minimal 10 tahun. Hal ini dikarenakan setelah memasuki usia pernikahan 10 tahun, pasangan suami istri telah mengalami beberapa fase dalam pernikahan yaitu fase bulan madu, fase pengenalan kenyataan, fase krisis perkawinan, fase menerima kenyataan dan fase kebahagiaan sejati (Suryanto, 2006).

3.2. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 3.2.1. Populasi

Populasi adalah kelompok besar dan wilayah yang menjadi lingkup penelitian (Sukmadinata, 2006:250), sedangkan menurut (Arikunto,


(59)

2002:130) yang dimaksud populasi adalah keseluruhan objek penelitian. Berdasarkan pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud populasi adalah sekumpulan dari individu yang menjadi subyek penelitian yang mempunyai kualitas dan ciri-ciri yang telah ditetapkan. Dalam hal ini populasi bermanfaat untuk menentukan dan membatasi obyek dalam penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah semua jemaat atau umat Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja yang telah mengikuti kursus persiapan berkeluarga, khususnya pasangan suami-istri yang telah memasuki usia pernikahan minimal 10 tahun.

3.2.2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

Sampel adalah kelompok kecil yang secara nyata kita teliti dan kita tarik kesimpulan (Sukmadinata, 2006:250), sedangkan menurut (Arikunto, 2002:103-106) sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Berdasarkan pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sampel adalah sebagian populasi yang terpilih untuk mewakili menjadi subyek penelitian. Karena sampel sebagai wakil dari populasi, maka sampel harus benar-benar mencerminkan seluruh populasi. Apabila subjek yang digunakan kurang dari 100 orang dapat diambil semua sehingga merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika subyeknya besar maka dapat diambil antara 10%-15% atau 20%-25% atau lebih (Arikunto, 2002:112). Alasan menggunakan proporsional random sampling yaitu :

a. Menghemat waktu, tenaga, biaya dan secara metodologi dapat dipertanggung jawabkan.


(60)

b. Jumlah subyek atau populasi tidak terlalu banyak.

c. Memberikan kesempatan yang sama kepada semua individu sebagai calon sampel.

Dalam penelitian ini menggunakan penelitian sampel, karena jumlah orang yang sudah menikah minimal 10 tahun yang ada di Gereja Katholik Santo Yohanes Stasi Boja berjumlah 136 orang, penulis mengambil sampel dengan teknik proporsional random sampling. Penulis dalam hal ini mengambil sampel 25% dari keseluruhan populasi yang sudah menikah minimal 10 tahun. Dari jumlah tersebut dapat diambil sampel sebanyak 34 orang.

3.3. Variabel Penelitian

Dalam penelitian untuk dapat menetapkan pengumpulan datanya harus diketahui variabel-variabel penelitian. Variabel adalah obyek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian (Arikunto, 2002:118). Adapun ke dua variabel tersebut adalah sebagai berikut :

3.3.1. Variabel Bebas (Independent)

Variabel bebas (X) adalah suatu variabel yang variasinya mempengaruhi variabel lain, atau dapat pula dikatakan bahwa variabel bebas adalah variabel yang pengaruhnya terhadap variabel lain ingin diketahui (Anzwar, 2004:62). Dalam penelitian ini variabel bebasnya yaitu kursus persiapan berkeluarga dengan sub variabel sebagai berikut :


(61)

b. Pegetahuan peserta kursus dalam memahami materi-materi yang ada dalam kursus persiapan berkeluarga.

3.3.2. Variabel Terikat (Dependent)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat adanya variabel bebas atau Independent (Arikunto, 2002:119). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat (Y) adalah keharmonisan dalam kehidupan keluarga dengan sub variabel yaitu :

a. Strategi membina keserasian hubungan suami istri. b. Hubungan dengan anggota keluarga luas.

3.4. Instrumen Penelitian, Validitas dan Reliabilitas. 3.4.1. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah angket atau kuesioner. Dalam menyusun angket perlu dipersiapkan dengan baik agar data yang diperoleh baik dan tepat. Pada metode angket, pertannyaan diajukan secara tertulis dan diberikan kepada para responden untuk dijawab. Setelah pertannyaan dijawab, dikembalikan lagi kepada peneliti. Pertannyaan yang diajukan dapat berupa pertannyaan tertutup.

Dalam penelitian ini angket disusun mengenai variabel bebas yaitu kursus persiapan berkeluarga dengan indikator (faktor-faktor internal yang menggambarkan kondisi peserta dalam mengikuti kursus, faktor-faktor eksternal yang mendukung jalannya kursus, pemahaman dan persiapan peserta mengenai materi-materi yang ada) dan variabel terikat yaitu keharmonisan dalam kehidupan keluarga dengan indikator (memulai dari


(1)

saling mendengarkan

1 2,9 2,9 2,9

1 2,9 2,9 5,9

2 5,9 5,9 11,8

4 11,8 11,8 23,5

8 23,5 23,5 47,1

4 11,8 11,8 58,8

9 26,5 26,5 85,3

5 14,7 14,7 100,0

34 100,0 100,0

,27 ,40 ,47 ,53 ,60 ,67 ,73 ,80 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent ,27 ,40 ,47 ,53 ,60 ,67 ,73 ,80 saling mendengarkan

Frequencies

Statistics saling percaya 34 0 ,6518 ,47 ,33 ,80 Valid Missing N Mean Range Minimum Maximum saling percaya

2 5,9 5,9 5,9

1 2,9 2,9 8,8

1 2,9 2,9 11,8

3 8,8 8,8 20,6

4 11,8 11,8 32,4

6 17,6 17,6 50,0

14 41,2 41,2 91,2

3 8,8 8,8 100,0

34 100,0 100,0

,33 ,40 ,47 ,53 ,60 ,67 ,73 ,80 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(2)

,33 ,40 ,47 ,53 ,60 ,67 ,73 ,80

saling percaya

Frequencies

Statistics

jangan menunda penyelesaian masalah 34

0 ,8265 ,40 ,60 1,00 Valid

Missing N

Mean Range Minimum Maximum

jangan menunda penyelesaian masalah

1 2,9 2,9 2,9

3 8,8 8,8 11,8

3 8,8 8,8 20,6

3 8,8 8,8 29,4

5 14,7 14,7 44,1

6 17,6 17,6 61,8

7 20,6 20,6 82,4

4 11,8 11,8 94,1

2 5,9 5,9 100,0

34 100,0 100,0

,60 ,65 ,70 ,75 ,80 ,85 ,90 ,95 1,00 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(3)

,60 ,65 ,70 ,75 ,80 ,85 ,90 ,95 1,00

jangan menunda penyelesaian masalah

Frequencies

Statistics

jangan menyalahkan

34 0 ,6882 ,40 ,40 ,80 Valid

Missing N

Mean Range Minimum Maximum

jangan menyalahkan

2 5,9 5,9 5,9

8 23,5 23,5 29,4

14 41,2 41,2 70,6

10 29,4 29,4 100,0

34 100,0 100,0

,40 ,60 ,70 ,80 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

,40 ,60 ,70 ,80


(4)

Frequencies

Statistics

bersikap fleksibel

34 0 ,8603 ,75 ,25 1,00 Valid

Missing N

Mean Range Minimum Maximum

bersikap fleksibel

1 2,9 2,9 2,9

3 8,8 8,8 11,8

10 29,4 29,4 41,2

20 58,8 58,8 100,0

34 100,0 100,0

,25 ,50 ,75 1,00 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

,25 ,50 ,75 1,00

bersikap fleksibel

Frequencies

Statistics

pengaruh keluarga luas dari masing-masing pasangan 34

0 ,8559 ,34 ,66 1,00 Valid

Missing N

Mean Range Minimum Maximum


(5)

pengaruh keluarga luas dari masing-masing pasangan

2 5,9 5,9 5,9

1 2,9 2,9 8,8

3 8,8 8,8 17,6

1 2,9 2,9 20,6

3 8,8 8,8 29,4

1 2,9 2,9 32,4

5 14,7 14,7 47,1

5 14,7 14,7 61,8

3 8,8 8,8 70,6

1 2,9 2,9 73,5

8 23,5 23,5 97,1

1 2,9 2,9 100,0

34 100,0 100,0

,66 ,69 ,72 ,75 ,78 ,81 ,84 ,88 ,91 ,94 ,97 1,00 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

,66 ,69 ,72 ,75 ,78 ,81 ,84 ,88 ,91 ,94 ,97 1,00


(6)

LAMPIRAN 8