Teori Pemerolehan Bahasa Anak

Kegiatan Pembelajaran 2 28 kata, tetapi bisa tiga atau lebih. Selanjutnya, pada umur 5-6 tahun, bahasa anak telah menyerupai bahasa orang dewasa. Sebagian besar aturan gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa serta panjang tuturannya semakin bervariasi. Anak telah mampu menggunakan bahasa dalam berbagai cara untuk berbagai keperluan, termasuk bercanda atau menghibur. Fase pemerolehan bahasa menurut Ross dan Roe dalam Zuchdi dan Budiasih,1997 terbagi menjadi tiga fase. Fase pertama adalah fase fonologis, terjadi pada sekitar usia 0-2 tahun. Pada fase ini anak baru saja mulai bermain dengan bunyi-bunyi bahasa, mengoceh-ngoceh, kemudian berkembang sampai mengucapkan kata-kata sederhana. Fase kedua adalah fase sintaksis , terjadi pada sekitar usia 2-7 tahun. Pada fase ini anak mulai menunjukkan kesadaran gramatis, dan berusaha berbicara menggunakan kalimat. Fase ketiga adalah fase semantik, terjadi pada sekitar usia 7-11 tahun. Pada fase ini anak mulai dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung dalam kata. Secara ringkas, hal itu tampak pada tabel di bawah ini. Tabel 5. Fase Pemerolehan Bahasa Menurut Ross dan Roe Perkiraan Umur Fase Pemerolehan Bahasa Kemampuan Anak 0-2 tahun Fase fonologis Anak bermain dengan bunyi-bunyi bahasa, mulai mengoceh sampai mengucapkan kata-kata yang sederhana. 2-7 tahun Fase sintaksis Anak menunjukkan kesadaran gramatis, berbicara menggunakan kalimat. 7-11 tahun Fase semantik Anak dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep yang terkandung dalam kata. 3. Tataran Pemerolehan Bahasa Darjowidjojo 2003 memiliki pandangan yang agak berbeda daripada Ross dan Roe dalam Zuchdi dan Budiasih,1997 bahwa fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik itu menjadi tataran dalam pemerolehan bahasa. Perkembangan pemerolehan bahasa anak bisa berawal dari tataran fonologi, Bahasa Indonesia SMP KK A 29 namun sebelum mencapai kesempurnaan pada tataran fonologi, sangat mungkin seorang anak juga mengalami perkembangan pemerolehan bahasa pada tataran yang lain, misalnya semantik. Berikut ini dijelaskan perkembangan pemerolehan bahasa pada tiap-tiap tataran.

c. Pemerolehan Bahasa pada Tataran Fonologi

Pada waktu dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20 dari otak dewasanya. Ini berbeda dengan binatang yang sudah memiliki sekitar 70. Karena perbedaan ini, binatang sudah dapat melakukan banyak hal segera setelah lahir, sedangkan manusia hanya bisa menangis dan menggerak- gerakkan badannya. Pada umur sekitar 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing , yang telah diterjemahkan menjadi dekutan Dardjowidjojo, 2012:244. Anak mendekutkan bunyi-bunyi yang belum jelas identitasnya. Pada sekitar umur 6 bulan, anak mulai mencampur konsonan dengan vokal dalam bentuk celotehan. Celotehan dimulai dengan konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal, disertai vokal a sehingga strukturnya adalah KV.

d. Pemerolehan Bahasa pada Tataran Morfologi

Afiksasi bahasa Indonesia merupakan salah aspek morfologi yang kompleks. Hal ini terjadi karena satu kata dapat berubah makna karena proses afiksasinya prefiks, sufiks, simulfiks berubah-ubah. Misalnya kata satu dapat berubah menjadi: bersatu, menyatu, kesatu, satuan, satukan, disatukan, persatuan, kesatuan, mempersatukan, dan seterusnya. Zuhdi dan Budiasih 1997 menyatakan bahwa anak-anak mempelajari morfem mula- mula bersifat hafalan. Hal ini kemudian diikuti dengan membuat simpulan secara kasar tentang bentuk dan makna morfem. Akhirnya anak membentuk kaidah. Proses rumit ini dimulai pada periode prasekolah dan terus berlangsung sampai pada masa adolesen.

e. Pemerolehan Bahasa pada Tataran Semantik

Menurut beberapa ahli psikolingguistik perkembangan kanak-kanak memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur semantik Kegiatan Pembelajaran 2 30 kata itu satu demi satu sampai semua fitur semantik dikuasai, seperti yang dikuasai oleh orang dewasa Mc.Neil, 1970; Clark, 1997. Clark 1997 menyimpulkan pemerolehan bahasa pada tataran semantik dapat dibagi menjadi empat tahap, sebagai berikut. 1 Tahap penyempitan makna kata Tahap ini berlangsung antara umur satu sampai satu setengah tahun 1,0-1,6 tahun. Pada tahap ini kanak-kanak menganggap satu benda tertentu yang disebut gukguk hanyalah anjing yang dipelihara di rumah saja tidak termasuk yang berada di luar rumah. 2 Tahap generalisasi berlebihan Tahap ini berlangsung antara usia satu setengah tahun hingga dua tahun setengah 1,6-2,6 tahun. Pada tahap ini anak-anak mulai menggeneralisasikan makna suatu kata secara berlebihan. Jadi yang dimaksud dengan anjing atau gukguk adalah semua binatang berkaki empat. 3 Tahap medan semantik Tahap ini berlangsung antara usia dua tahun setengah sampai usia lima tahun 2,6-5,0 tahun. Pada tahap ini kanak-kanak mulai mengelompokkan kata-kata yang berkaitan ke dalam satu medan semantik. Pada mulanya proses ini berlangsung jika makna kata-kata yang digeneralisasi secara berlebihan semakin sedikit setelah kata-kata baru untuk benda-benda yang termasuk dalam generalisasi ini dikuasai oleh kanak-kanak. Umpamanya kalau pada utamanya kata anjing berlaku untuk semua binatang berkaki empat, namun setelah mereka mengenal kata kuda, kambing, harimau maka kata anjing berlaku untuk anjing saja. 4 Tahap generalisasi Tahap ini berlangsung setelah kanak-kanak berusia lima tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mulai mampu mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi, bahwa benda-benda itu mempunyai fitur-fitur semantik yang sama. Pengenalan seperti ini semakin sempurna jika kanak-kanak itu semakin bertambah usia. Jadi, ketika berusia antara Bahasa Indonesia SMP KK A 31 lima tahun sampai tujuh tahun misalnya, mereka telah mampu mengenal yang dimaksud dengan hewan.

f. Pemerolehan Bahasa pada Tataran Sintaksis

Pada tataran sintaksis, anak mulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata atau bagian kata. Kata ini, bagi anak, sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena dia belum dapat mengatakan lebih dari satu kata dari seluruh kalimat itu. Yang menjadi pertanyaan adalah kata mana yang dipilih? Seandainya anak itu bernama Fajri dan yang ingin dia sampaikan adalah Fajri mau makan, dia akan memilih jri untuk Fajri, mau untuk mau, ataukah kan untuk makan? Dari tiga kata pada kalimat Fajri mau makan, yang baru adalah kan. Karena itulah anak memilih kan, dan bukan jri, atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam ujaran yang dinamakan Ujaran Satu Kata USK one word utterance anak tidak sembarangan saja memilih kata; dia memilih kata yang memberikan informasi baru. Dari segi sintaktiknya, USK sangat sederhana karena memang hanya terdiri dari satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa Indonesia hanya sebagian saja dari kata itu. Di samping ciri ini, USK juga mempunyai ciri-ciri yang lain. Pada awalnya USK hanya terdiri dari KV saja. Bila kata itu KVK maka K yang kedua dilesapkan. Kata mobil akan dising’kat menjadi bi. Pada perkembangannya kemudian, konsonan akhir ini mulai muncul. Pada umur 2;0 misalnya, Echa menamakan ikan sebagai kan, persis sama dengan kata bukan. Pada awal USK juga tidak ada gugus konsonan. Semua gugus yang ada di awal atau akhir kalimat disederhanakan menjadi satu konsonan saja. Kata Indonesia putri untuk Eyang putri diucapkan oleh Echa mula-mula sebagai Eyang ti. Ciri lain dari USK adalah kata-kata dari kategori sintaktik utama content words , yakni nomina, verba, adjektiva, dan mungkin juga adverbia. Tidak ada kata fungsi seperti form, to, dari , atau ke . Di samping itu, kata-katanya selalu dari kategori sini dan kini. Tidak ada yang merujuk kepada yang tidak ada di sekitar atau pun ke masa lalu dan masa depan. Anak pun juga dapat menyatakan negasi no atau nggak , pengulangan more atau lagi , dan habisnya sesuatu gone Kegiatan Pembelajaran 2 32 Sekitar umur 2;0 anak mulai mengeluarkan Ujaran Dua Kata UDK two word utterance . Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu terpisah. Untuk menyatakan bahwa lampunya telah menyala. Echa misalnya, bukan mengatakan lampunala “lampu nyala” tapi lampu nala. Jadi, berbeda dengan USK, UDK sintaksisnya lebih kompleks karena adanya dua kata tetapi semantiknya makin lebih jelas.

g. Pemerolehan Bahasa pada Tataran Pragmatik

Tahap pemerolehan pragmatik anak dipengaruhi lingkungannya. Dalam pemerolehan pragmatik, anak tidak hanya berbahasa, tetapi juga memperoleh tindak berbahasa. Dijelaskan oleh Dardjowidjojo 2003:266-267 bahwa teori pemerolehan pragmatik terbagi menjadi dua teori besar, yaitu 1 teori pemerolehan niat komunikatif dan 2 teori pemerolehan kemampuan percakapan. Dalam teori pemerolehan niat komunikatif, dijelaskan bahwa pada minggu- minggu pertama sesudah lahir, anak mulai menunjukkan niat komunikatif dengan tersenyum, menoleh bila dipanggil, menggapai bila diberi sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain. Dalam teori pemerolehan kemampuan percakapan, dijelaskan bahwa percakapan mempunyai struktur yang terdiri dari tiga komponen, yaitu 1 pembukaan, 2 giliran, dan 3 penutup. Bila orang tua menyapanya atau anak-anak yang menyapa terlebih dahulu, itu adalah tanda bahwa percakapan akan dimulai atau sebagai pembukaan. Pada tahap giliran, akan terjadi pemberian respon. Pada bagian penutup tidak mustahil pula bahwa pertanyaan tadi tidak terjawab karena anak pergi begitu saja atau beralih ke kegiatan lain. Bahasa Indonesia SMP KK A 33

D. Aktivitas Pembelajaran

Langkah-langkah aktivitas pembelajaran yang harus dilaksanakan adalah sebagai berikut.

1. Kegiatan 1: Pendahuluan

a. Sebelum peserta melakukan aktivitas pembelajaran, peserta berdoa menurut keyakinannya agar aktivitas pembelajaran dapat berjalan lancar. Berdoa dapat dipimpin oleh ketua kelas dalam pelatihan ini. b. Peserta memahami kompetensi, tujuan, indikator pembelajaran, dan kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan, agar pembelajaran lebih terarah dan terukur.

2. Kegiatan 2: Tugas mandiri Pemerolehan Bahasa

a. Peserta secara mandiri mengerjakan LK-2.1 Pemerolehan Bahasa. Masing-masing peserta mengerjakan secara kreatif, percaya diri, dan tanggung jawab. b. Peserta saling bertukar hasil pekerjaan, lalu saling mengoreksi. Peserta diharapkan mampu mengoreksi pekerjaan teman secara objektif. c. Hasil pekerjaan yang sudah dikoreksi oleh temannya dipajang di papan pajangan yang telah disediakan. d. Setiap peserta dapat saling membaca pekerjaan temannya. Hal ini mencerminkan pembelajar sepanjang hayat. e. Fasilitator memberi penguatan terhadap materi yang sedang dibahas.

3. Kegiatan 3: Mendiskusikan Fase-fase Pemerolehan Bahasa

a. Peserta diklat berdiskusi dalam kelompok mengerjakan LK-2.2 Fase- fase Pemerolehan Bahasa. Sesama peserta saat berdiskusi mencerminkan tindakan menghargai pendapat teman dalam kelompoknya. Bila terjadi perbedaan pendapat dalam diskusi peserta tidak memaksakan kehendak. b. Wakil dari masing-masing kelompok melaporkan hasil diskusi di depan kelas dengan semangat, hal ini memperlihatkan rasa senang berbicara secara teratur. Setiap perwakilan kelompok melaporkan hasil hasil diskusi dengan percaya diri. Kegiatan Pembelajaran 2 34 c. Saat wakil kelompok presentasi, peserta lain memperhatikan dengan seksama, empati, menghargai orang lain dan solidaritas. d. Fasilitator memberikan penguatan terhadap materi yang telah menjadi keputusan bersama dalam diskusi.

4. Kegiatan 4: Pembuatan Kisi-kisi Soal

a. Peserta membentuk kelompok kecil terdiri sekitar 4 orang. b. Peserta bersama kelompoknya membuat kisi-kisi penulisan soal tes prestasi akademik dengan mengerjakan LK 2.3 Kisi-kisi Penulisan Soal Tes Prestasi Akademik. Penulisan kisi-kisi soal mengacu pada materi kisi-kisi UN yang ditetapkan Kemendikbud, yang masih terkait dengan materi modul ini. c. Dalam menyusun kisi-kisi, sebagian butir kisi-kisi dirancang untuk mengembangkan soal yang bersifat HOT higher order thinking . Soal HOT adalah soal yang mengukur kemampuan berpikir tingkat tinggi, yakni soal yang tidak sekadar mengukur kemampuan mengingat dan memahami. Dengan kata lain, soal HOT adalah soal yang kategori minimalnya C3. d. Kelompok memresentasikan kisi-kisinya di depan kelas. Kelompok lain memberikan tanggapan, kritik, dan saran. e. Fasilitator memberikan penguatan mengenai butir kisi-kisi yang perlu diperbaiki.

5. Kegiatan 5: Pengembangan Butir Soal

a. Peserta berkumpul bersama kelompoknya masing-masing. b. Peserta beserta kelompoknya mengembangkan kartu soal untuk tiap-tiap butir kisi dengan mengerjakan LK 2.4 Pengembangan Butir Soal. Penulisan butir soal mengacu pada tuntutan HOT, yakni tuntutan berpikir tingkat tinggi, tidak sekadar mengingat dan memahami, namun lebih dari itu, berpikir aplikasi, analisis, evaluasi, atau kreasi. Jadi, level minimal soal yang dikembangkan adalah C3. c. Kelompok memresentasikan soal-soal yang telah mereka buat di depan kelas. Kelompok lain memberikan tanggapan, kritik, dan saran. d. Fasilitator memberikan penguatan mengenai butir-butir soal yang perlu diperbaiki.