Saran SIMPULAN DAN SARAN

Lampiran 2. Tingkat kematangan gambut Tipe Penutupan Lahan Plot Kematangan gambut Bekas galian 1 hemik Bekas galian 2 hemik Bekas galian 3 hemik Bekas galian 4 hemik Bekas galian 5 hemik Bekas galian 6 hemik Bekas galian 7 hemik Bekas galian 8 hemik Bekas galian 9 hemik Bekas galian 10 hemik Bekas galian 11 hemik Bekas galian 12 hemik Bekas galian 13 hemik Bekas galian 14 hemik Bekas galian 15 hemik Bekas galian 16 hemik Bekas galian 17 hemik Bekas galian 18 hemik Bekas galian 19 hemik Bekas galian 20 hemik Bekas galian 21 hemik Bervegetasi 22 hemik Bervegetasi 23 hemik Bervegetasi 24 hemik Bekas galian 25 hemik Bekas galian 26 hemik Bekas galian 27 hemik Bekas galian 28 hemik Bekas galian 29 hemik Lampiran 2 lanjutan. Tingkat kematangan gambut Tipe Penutupan Lahan Plot Kematangan gambut Bekas galian 30 hemik Bervegetasi 31 hemik Bervegetasi 32 hemik Bervegetasi 33 hemik Tidak Bervegetasi 34 hemik Bekas galian 35 hemik Bekas galian 36 hemik Bekas galian 37 hemik Bekas galian 38 hemik Bekas galian 39 hemik Bekas galian 40 hemik Bekas galian 41 hemik Bekas galian 42 hemik Bekas galian 43 hemik Bekas galian 44 hemik Bekas galian 45 hemik Lampiran 3. Ketebalan gambut Tipe Penutupan Lahan Plot Ketebalan gambut m Bekas galian 1 2,5 Bekas galian 2 2,5 Bekas galian 3 2,5 Bekas galian 4 2,5 Bekas galian 5 2,5 Bekas galian 6 2,5 Bekas galian 7 2,5 Bekas galian 8 2,5 Bekas galian 9 2,5 Bekas galian 10 2,5 Bekas galian 11 2,5 Bekas galian 12 2,5 Bekas galian 13 2,5 Bekas galian 14 2,5 Bekas galian 15 2,5 Bekas galian 16 2,5 Bekas galian 17 2,5 Bekas galian 18 2,5 Bekas galian 19 2,5 Bekas galian 20 2,5 Bekas galian 21 2,5 Bervegetasi 22 2,5 Bervegetasi 23 2,5 Bervegetasi 24 2,5 Bekas galian 25 2,5 Bekas galian 26 2,5 Bekas galian 27 2,5 Bekas galian 28 2,5 Bekas galian 29 2,5 Sumber: Istomo 2006 Lampiran 3 lanjutan. Ketebalan gambut Tipe Penutupan Lahan Plot Ketebalan gambut m Bekas galian 30 2,5 Bervegetasi 31 2,5 Bervegetasi 32 2,5 Bervegetasi 33 2,5 Tidak Bervegetasi 34 2,5 Bekas galian 35 2,5 Bekas galian 36 2,5 Bekas galian 37 2,5 Bekas galian 38 2,5 Bekas galian 39 2,5 Bekas galian 40 2,5 Bekas galian 41 2,5 Bekas galian 42 2,5 Bekas galian 43 2,5 Bekas galian 44 2,5 Bekas galian 45 2,5 Sumber: Istomo 2006 Lampiran 4. Perhitungan Emisi CO 2 • Ea = 13,46 t C ha -1 x 3,67 CO 2 C = 49,39 t CO 2 ha -1 Ea = 49,39 t CO 2 ha -1 x 2,07 ha = 102,23 t CO 2 Ea = 102,23 t CO 2 x 25 = 25,55 t CO 2 • Ebb = 2,5 m x 20.700 m 2 = 51.750 m 3 Cd = Db x C = 0,274 ton m -3 x 0.56 = 0,15 ton m -3 Ebb = 51.750 m 3 x 0,15 ton C m -3 x 3,67 CO 2 C = 28.488,37 t CO 2 Ebb = 28.488,37 t CO 2 x 25 = 7.122,09 t CO 2 • Ebo = 0,27 m x 0,15 ton C m -3 x 3,67 t CO 2 t C x 2,07 ha x 10000 m 2 ha -1 = 3.076,74 t CO 2 Ebo = 3.076,74 t CO 2 x 25 = 769,18 t CO 2 • Sa = 0 • Δt = 5 th E = 25,55 t CO 2 + 7.122,09 t CO 2 + 769,18 t CO 2 – 0 5 E = 7.916,82 t CO 2 5 th ABSTRACT RIO STEPANUS TARIGAN. A Study of Carbon Emission from the Digging and Burning of Topogen Peat Soil in Humbang Hasundutan Regency North Sumatra Province. Under direction of LAILAN SYAUFINA and ISTOMO. This research aimed to get carbon emission and to count the carbon potential on and under the surface of topogen peat soil area in Humbang Hasundutan, North Sumatera. The research was conducted in two stages: 1 to count the carbon potential above ground and below ground, which involved the counting of weight volume bulk density, C content, peat soil thickness and the size of peat soil area, and 2 to count the carbon emission. The below ground biomass was covering 1,43 until 3,71 tonsha. The biggest carbon reserve was in non- vegetation soil which reached 0,.400 tons, while the smallest carbon reserve was in vegetation soil which reached 0,333 tons. The average of below ground carbon reserve in peat soil areas in Humbang Hasundutan regency was 0,180 tons. The CO 2 emission in peat soil areas in Humbang Hasundutan regency could be predicted that 7,9 tons would be emitted out of 2,07 ha of peat soil areas in Humbang Hasundutan regency for 5 years, with a burning efficiency of 25. Keywords: carbon emission, carbon potential, burning efficiency

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang mempunyai peran penting sebagai penyangga buffer lingkungan. Hal ini berhubungan dengan fungsi gambut dalam gatra hidrologis, biogeokimia dan ekologis. Gambut secara hidrologis dapat menyimpan air dimana gambut yang masih mentah fibrik dapat menyimpan air sangat besar antara 500 - 1000 bobot. Gambut rawa alami selain sebagai daerah tampung air juga penyeimbang sistem tata air wilayah control water system. Gambut merupakan kawasan penyerap dan penyimpan air aquifer selama musim hujan, tetapi pada saat curah hujan sedikit secara perlahan melepaskan air simpanannya Noor. 2001. Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut terbesar keempat di dunia setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat dengan luasan sekitar 17 juta hektar atau sekitar 10 luas daratan Indonesia. Luas lahan gambut di Indonesia menempati separuh luas gambut tropik. Di kawasan Asia, negara yang mempunyai gambut terluas setelah Indonesia 70 adalah Malaysia dengan luas 2,36 juta ha disusul Brunei Darussalam dengan luas 1,65 juta ha. Lahan gambut di Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera dan Papua Notohadiprawiro. 1997. Kabupaten Humbang Hasundutan adalah kabupaten baru yang terletak di Provinsi Sumatera Utara hasil pemekaran dari kabupaten induk Tapanuli Utara pada tahun 2003 berdasarkan Undang undang Nomor 9 tahun 2003. Luas lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan diperkirakan seluas 2.358 ha Istomo. 2006. Tipe lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk tipe gambut topogen yang jarang terdapat di Pulau Sumatera termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia mempunyai lahan gambut tropika terbesar di dunia seluas kurang lebih 17 juta ha, namun umumnya lahan gambut tersebut berupa gambut ombrogen yang berada di dataran rendah dan pada awalnya didominasi oleh hutan lebat. Lahan gambut yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan sebagian besar berada di luar kawasan hutan dan tumbuhan yang mendomisasi di lahan gambut tersebut berupa semak belukar herba, paku-pakuan dan rumput. Kejadian kebakaran hutanlahan meningkat dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian besar terjadi pada lahanhutan gambut. Kebakaran lahan gambut ini tidak lepas dari sifat gambut itu sendiri yang rawan terbakar sehingga menuntut pengelolaan dan perlindungan secara khusus. Kebakaran di lahan gambut berlangsung lambat dan lama serta sangat sukar dikendalikan karena api menjalar di bawah permukaan gambut. Penelitian Wetlands International 2006 dalam Peace 2007, menunjukkan dampak yang dahsyat atas perusakan lahan gambut terhadap perubahan iklim. Setiap tahun 2.000 juta ton CO 2 terlepas dari hutan, 600 juta ton diantaranya disebabkan oleh dekomposisi dari lahan gambut kering sebuah proses yang akan terus berlanjut sampai seluruh gambut habis dan 1.400 juta ton dihasilkan dari kebakaran tahunan. Selanjutnya sebuah studi yang dilakukan Page 2002 menunjukkan bahwa kebakaran lahan gambut di Indonesia pada tahun 1997 telah menyebabkan kehilangan karbon antara 810 sampai 2.470 juta ton. Nilai tersebut didukung oleh fakta antara lain bahwa pada tahun tersebut telah tercatat peningkatan paling tinggi emisi CO 2 di atmosfer Peace. 2007. Kandungan karbon pada suatu vegetasi diduga berkorelasi positif dan signifikan dengan besarnya biomassa suatu tegakan, namun saat ini belum banyak penelitian mengenai kandungan karbon di bawah permukaan gambut. Mengingat begitu pentingnya peran hutan terhadap penurunan emisi gas rumah kaca dan kurangnya penelitian mengenai karbon di bawah permukaan gambut maka diperlukan suatu kajian tentang emisi karbon dari kebakaran bawah permukaan lahan gambut.

1.2 Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut terbesar keempat di dunia setelah Kanada, Uni Soviet, dan Amerika Serikat dengan luasan sekitar 17 juta hektar atau sekitar 10 luas daratan Indonesia. Lahan gambut di Indonesia terutama menyebar di tiga pulau besar yaitu Kalimantan, Sumatera dan Papua Notohadiprawiro. 1997. Seperti halnya di Pulau Sumatera tepatnya Sumatera Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luasan gambut yang cukup besar sekitar 2.358 ha. Tipe lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan termasuk tipe gambut topogen yang jarang terdapat di Pulau Sumatera termasuk Indonesia. Gambut dikenal kaya akan bahan organik dan mempunyai cadangan karbon yang besar. Adanya aktivitas penggalian tanah untuk diambil akar dan dilakukan pembakaran pada lahan gambut tersebut dapat merusak dan mengganggu kestabilan areal gambut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengestimasi potensi biomassa dan emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan yang mengalami pembakaran dan galian. Dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Berapa potensi biomassa lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah mengalami pembakaran dan galian? 2. Berapa karbon yang diemisikan C emisi pada lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah mengalami pembakaran dan galian?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menghitung potensi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan lahan gambut topogen di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. 2. Memperoleh emisi karbon pada lahan gambut di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam menghitung potensi dan emisi karbon yang terdapat di atas dan bawah permukaan lahan gambut topogen sebagai masukan untuk pengelolaan hutan yang baik.

1.5 Kerangka Pemikiran

Penyusunan model kajian emisi karbon di atas dan bawah permukaan lahan gambut bekas terbakar dengan kerangka pemikiran seperti yang disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Lahan Gambut Terjadi pembakaran dan galian Peningkatan emisi gas rumah kaca Kehilangan Cadangan karbon Pengukuran Emisi karbon Pengelolaan yang tepat Kerusakan lahan gambut Aspek Lingkungan Lahan Gambut Tata airhidrologi Cadangan karbon C tinggi sebagai penambat dan penyimpan karbon sumber emisi gas rumah kaca aspek hidrologi dan subsiden sumber potensi lahan gambut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efisiensi Pembakaran

Efisiensi pembakaran menunjukkan sampai sejauh mana suatu bahan dapat terbakar dalam satuan persen. Bila pembakaran tidak sempurna, sebagian dari hasil pembakaran akan tetap mengendap sebagai tetesan cairan yang sangat kecil Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008. Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pembakaran maka pelaksanaan pembakaran terkendali dapat berlangsung dengan baik karena dampak kebakaran dapat diminimalkan DeBano et al. 1998 dalam Syaufina. 2008. Terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh pada efisiensi pembakaran sebagai berikut : 1. Kadar Air bahan bakar Kandungan air bahan bakar meningkatkan jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu pada suatu titik dimana gas-gas yang mudah terbakar dihasilkan. Air tersebut akan menyerap sebagian panas yang tersedia untuk pirolisis dan melarutkan gas-gas yang dihasilkan. Oleh karena itu, kadar air bahan bakar meningkatkan waktu penyalaan dan menurunkan laju pembakaran Countryman 1976b dalam DeBano et al. 1998. Pada dasarnya, bahan bakar kering akan terbakar sempurna dan cepat, sementara bahan bakar basah mungkin lambat terbakar dengan suhu yang rendah. Pengaruh kadar air dalam bahan bakar pada emisi total pada pembakaran bisa berasal dari pembakaran sempurna bersih bahan kering dengan tingkat emisi yang rendah sampai proses smoldering yang lebih lama daripada bahan bakar basah yang bersamaan dengan tingkat emisi yang lebih tinggi, tetapi juga bahan yang tidak terbakar dengan sempurna juga mengarah pada tingkat emisi yang rendah. 2. Suplai Oksigen Faktor utama yang mempengaruhi efisiensi proses pembakaran adalah suplai udara. Apabila pergerakan udara ke dalam dan di sekitar pembakaran flaming tidak cukup memadai untuk pencampuran O 2 dengan gas-gas yang mudah terbakar yang dilepaskan dengan pirolisis kurang baik maka oksidasi menjadi tidak sempurna dan efisiensi pembakaran akan menurun. Gejala ini menghasilkan produk emisi CO yang lebih besar. 3. Laju dan arah penjalaran api Efisensi pembakaran juga dipengaruhi oleh laju dan arah penjalaran api. Umumnya, semakin cepat nyala api menembus tumpukan bahan bakar, semakin rendah efisiensi pembakaran. Pembakaran permukaan dapat bergerak lebih cepat searah angin menembus permukaan bahan bakar yang banyak akan menghasilkan zona smoldering yang besar di belakang zona zona utama pembakaran. Sebaliknya, pembakaran terbalik biasanya bergerak lambat ke arah angin, menghasilkan pembakaran bahan bakar yang sempurna. 4. Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar merupakan faktor-faktor lain yang mempengaruhi efisiensi pembakaran. Kebakaran yang terjadi pada bahan bakar yang ringan seperti rerumputan dan serasah segar akan lebih mudah menyala dan terbakar dengan sempurna daripada bahan bakar yang berat seperti kayu. Kunci utamanya adalah ukuran bahan bakar. Menurut Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008, efisiensi pembakaran dalam kebakaran hutan tidak akan pernah mencapai 100 tetapi berkisar antara 50 sampai 95. Pengukuran efisiensi pembakaran didasarkan pada rasio karbon aktual yang terkandung dalam emisi karbon dioksida terhadap nilai teori karbon yang mungkin dilepaskan dalam bentuk karbon dioksida. Umumnya, efisiensi pembakaran terendah terjadi pada pembakaran smoldering dan tertinggi terjadi pada pembakaran dengan rongga udara yang baik dan pembakaran flaming.

2.2 Hasil Pembakaran

Proses pembakaran menghasilkan produk utama berupa emisi asap yang secara langsung atau tidak dapat berdampak pada lingkungan, baik lokal, nasional, maupun global. Asap dapat menurunkan kualitas udara, memperburuk jarak pandang, dan menimbulkan masalah kabut asap Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008. Menurut Levine 1994 dalam Syaufina 2008, sebagai produk pembakaran, asap dapat mengandung campuran gas dan partikel yang kompleks, bergantung pada tipe bahan bakar, kandungan kimia bahan bakar, dan perilaku api. Proses pembakaran yang sempurna menghasilkan karbondioksida CO 2 dan uap air H 2 O. Akan tetapi, proses pembakaran pada kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi pembakaran sempurna. Menurut Brown dan Davis 1973 dan Fuller 1991 dalam Syaufina 2008, klasifikasi bahan bakar berdasarkan lokasinya di dalam hutan terdiri dari : 1. Bahan Bakar Bawah Ground Fuels Merupakan bahan bakar serasah di bawah permukaan tanah, duff atau humus, bagian-bagian kayu dan akar pohon, bahan organik yang membusuk atau mati, gambut dan batu bara. Kebakaran dapat berjalan terus dan berawal dari kebakaran permukaan. 2. Bahan Bakar Permukaan Surface Fuels Merupakan bahan bakar yang berada di lantai hutan, antaralain berupa bahan bakar mati, serasah, log-log sisa tebangan, tunggak pohon, kulit kayu, cabang kecil dan tumbuhan bawah yang berada di lantai hutan. 3. Bahan Bakar Atas Aerial Fuels Disebut juga crown fuels atau bahan bakar tajuk, yaitu bahan bakar yang berada diantara tajuk tumbuhan bawah sampai tajuk tumbuhan tingkat tinggi. Contohnya antara lain cabang-cabang pohon, daun pohon dan semak pohon mati yang masih berdiri. Pohon atau semak belukar lebih tinggi dari 1 - 2 meter di atas tanah. Menurut Brown dan Davis 1973 dalam Saharjo 2003, terdapat tiga kebakaran hutan berdasarkan atas tipe bahan bakarnya, yaitu: 1. Kebakaran Bawah Ground Fire Tipe kebakaran bawah ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar berupa material organik yang terdapat di bawah permukaan tanahlantai hutan. Yang paling mudah dan klasik adalah pada hutan gambut. Kebakaran hutan ini dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda areal itu terbakar adalah adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah. Kebakaran dengan tipe ini pada kebakaran tahun 19971998 yang terjadi di lahan gambut yang terdapat di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya. Karena berada di bawah permukaan tanah, maka banyak pohon mati karena akarnya hangus terbakar. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan. 2. Kebakaran Permukaan Surface Fire Kebakaran permukaan mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolok-dolok bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. Tipe kebakaran ini merupakan tipe kebakaran yang paling sering terjadi dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam, terkecuali di daerah rawa gambut dimana yang dominan adalah kebakaran bawah. Kebakaran permukaan biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon. 3. Kebakaran Tajuk Crown Fire Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu tajuk ke tajuk pohon lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagainya. Kebakaran tajuk ini biasanya bermula dari adanya api loncat yang berasal dari tajuk tumbuhan bawahsemak yang terbakar atau karena adanya tumbuhan epifitliana sepanjang batang pohon yang terbakar, kulit pohon yang berminyak, atau karena pemanasan dari permukaan. Kadangkala bara api yang berasal dari tajuk pohon akan jatuh menimpa lantai hutan, sehingga menimbulkan kebakaran permukaan. Kebakaran ini sangat sulit untuk ditanggulangi karena menjalar sangat cepat.

2.3 Karbon

Umumnya karbon menyusun 45-50 bahan kering dari tanaman. Sejak kandungan karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Hutan gambut merupakan salah satu hutan yang memiliki potensi dalam penyimpanan karbon. Karbon dapat tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh kepermukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah Whitmore. 1985. Karbon juga merupakan komponen penting penyusun biomasa tanaman melalui proses fotosintesis. Adanya peningkatan kandungan karbondioksida di atmosfer secara global telah menyebabkan timbulnya masalah bagi lingkungan. Hal ini mempengaruhi kebijakan negara-negara di dunia untuk mempertahankan keberadaan hutan yang dianggap sebagai buffer terhadap kandungan karbon. Karbondioksida merupakan penyerap inframerah yang kuat dan sifat ini membantu mencegah radiasi inframerah meninggalkan bumi. Dengan demikian CO 2 memainkan peranan penting dalam mengatur suhu permukaan bumi. Efek rumah kaca ini dipengaruhi oleh proporsi karbondioksida dalam atmosfer bumi Salim. 2005 Semua tipe hutan mempunyai kemampuan untuk mengabsorpsi karbon. Adapun lokasi utama cadangan karbon terbesar adalah di hutan tropika. baik di permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Hutan tropika merupakan tipe hutan yang mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga memiliki cadangan simpanan karbon yang sangat penting. Pada umumnya potensi pertumbuhan di hutan tropis lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan tipe hutan lain, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mempunyai kemampuan untuk menyerap CO 2 . Hutan mampu menyerap karbon sekitar 16,5 juta metrik ton karbon selama 40 tahun melalui pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan dan penyerapan melalui tegakan hutan Whitmore. 1985. Pada ekosistem daratan karbon tersimpan dalam tiga komponen pokok Hairiah dan Rahayu 2007 yaitu: a. Biomasa yaitu masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim. b. Nekromasa yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan atau telah tumbang tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur serasah yang belum terlapuk. c. Bahan organik tanah yaitu sisa makhluk hidup tanaman. hewan dan manusia yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.

2.3.1 Karbon Tanah

Kandungan karbon tanah secara umum akan menurun sejalan dengan kedalaman tanah. Kecenderungan ini disebabkan oleh masukan bahan organik yang terutama disimpan di permukaan tanah atau topsoil. Hendri 2001 melaporkan bahwa kandungan karbon tanah di KPH Cepu pada kedalaman 60 cm lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan karbon pada kedalaman 20 cm. Van Noordwijk et al. 1997 melaporkan kecenderungan yang sama yakni kandungan karbon tanah bagian atas topsoil lebih tinggi dibandingkan bagian bawah subsoil di daerah dataran rendah Sumatera. Adapun variabel-variabel yang berpengaruh pada kandungan karbon tanah antara lain : kedalaman tanah, kerapatan massa tanah bulk density dan konsentrasi karbon organik Eggleston et al. 2006. Jumlah CO 2 di atmosfer tetap sangat stabil pada tingkat sekitar 280 µmolmol selama ribuan tahun belakangan ini, dan cukup stabil antara 200 dan 300 µmolmol selama 150.000 tahun sebelum itu. Sejak sekitar tahun 1850, CO 2 di atmosfer meningkat secara eksponensial sampai mencapai 352 µmolmol pada tahun 1990. CO 2 meningkat sekitar 1,4 µmolmoltahun selama 15 tahun terakhir tetapi pada tahun 1988 peningkatannya lebih dari 2 µmolmol, sebuah lompat terbesar dan lebih dari 0.5 dari kandungan CO 2 saat ini. Alasan utama peningkatan sejak tahun 1850 ini ialah pembakaran bahan bakar fosil, tetapi pembukaan lahan khususnya pembakaran hutan tropika juga ikut berperan Salisbury. 1995. Peningkatan CO 2 di atmosfer di seluruh dunia mendapat perhatian karena CO 2 dan beberapa gas lainnya yang disebut gas rumah kaca seperti metan, menyerap lebih banyak energi cahaya pada panjang gelombang panjang daripada panjang gelombang pendek. Panjang gelombang pendek terdapat dominan pada cahaya matahari dan menembus atmosfer, memanaskan bumi dan apa saja yang ada di atas bumi. Bumi kemudian memancarkan panjang gelombang yang lebih panjang karena bumi jauh lebih dingin daripada matahari yang diserap oleh gas rumah kaca, yang selanjutnya memancarkan sebagian energi pada panjang gelombang panjang kembali ke bumi, sehingga lebih memanaskan bumi lagi Salisbury. 1995.

2.3.2 Siklus Karbon

Karbon yang berada di atmosfer bumi bagian terbesarnya adalah gas karbon dioksida CO 2 . Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer hanya sekitar 0.04 dalam basis molar, meskipun sedang mengalami kenaikan, namun memiliki peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan kloroflorokarbon atau CFC CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan. Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam dekade terakhir ini dan berperan dalam pemanasan global. Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Hutan mempunyai peranan penting sebagai salah satu reservoir karbon di darat . hutan tropis dengan luasan sekitar 17,6 x 10 6 km 2 mengandung karbon