LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Saat ini kehadiran mahasiswa di kampus sering menjadi polemik. Peran mahasiswa yang seharusnya menjadi teladan bagi kaum muda lainnya dan masyarakat pada umumnya seakan tercoreng. Perilaku moral yang kurang baik yang ditunjukkan mahasiswa perlu menjadi perhatian utama bagi orangtua dan civitas akademika kampus. Tak jarang mahasiswa menjadi sumber konflik dengan aksi demonstrasi dan tawuran yang meresahkan warga masyarakat Noe, 2012. Konflik internal dan penyimpangan perilaku etis juga kerap terjadi pada mahasiswa. Penyimpangan perilaku yang sering dilakukan mahasiswa sering tampak di media seperti gank motor, penyalahgunaan obat-obatan, merokok, seks bebas, dan lainnya Monks, Knoers, Hadinoto, 2001. Lembaga pengawas kepolisian Indonesia, Indonesian Police Watch mencatat, di Jakarta diperkirakan 60 orang tewas berkaitan aksi geng motor setiap tahunnya. Di tahun 2006, tercatat 37,3 anak-anak sejak usia 13 tahun di Indonesia sudah merokok. Bahkan 3 dari 10 pelajar SMP di Indonesia 30,9 mulai merokok sebelum umur 10 tahun. Data di Bogor selama 4 tahun terakhir menunjukkan bahwa ada 88 kasus tawuran pelajar yang menewaskan 10 pelajar dari 93 korban. 70 pelajar di 12 kota besar pernah mendapatkan tawaran narkoba dari temannya sendiri. 20 dari 4 juta pengguna narkoba di seluruh Indonesia adalah pemuda. Survei tahun 2005 dari Sabang hingga Merauke, 40 – 2 45 remaja antara 14 –24 tahun menyatakan secara terbuka bahwa mereka telah berhubungan seks pranikah Hafidz, 2012. Di Universitas Sumatera Utara sendiri telah tercatat beberapa kasus penyimpangan yang berujung pada kriminalitas pada mahasiswanya pada akhir tahun 2012. Di antaranya adalah tawuran mahasiswa yang terjadi antara mahasiswa Fakultas Teknik dengan mahasiswa Fakultas Pertanian pada saat berlangsungnya ujian tengah semester yang ditenggarai aksi saling ejek antar fakultas. Peristiwa ini bahkan menjadi topik terhangat di media-media nasional Alawiah, 2011. Selain itu, bentrok juga sempat terjadi saat pertandingan sepakbola antar Fakultas Ilmu Sosial Politik dengan Fakultas pertanian di stadion mini USU Broven, 2013. Peristiwa lainnya pada tahun 2011 juga sempat terjadi aksi demonstrasi organisasi mahasiswa HMI di depan pintu masuk kampus USU. Aksi bakar ban hingga bentrok dengan aparat keamanan kampus dilakukan untuk menuntut penurunan iuran SPP dan DKA mahasiswa USU Uma, 2011. Peristiwa yang memalukan juga terjadi pada mahasiswa USU lainnya. Sebanyak 3 orang mahasiswi aktif, tertangkap basah melakukan sex bebas di salah satu hotel di kota medan dengan pasangannya Tanjung, 2011. Hal tersebut hanyalah sebagian penyimpangan yang dilakukan oleh para mahasiswa yang tercatat di media. Mahasiswa umumnya amat rentan terhadap pengaruh-pengaruh eksternal. Hal ini disebabkan karena sebagian besar mahasiswa khususnya mahasiswa baru, masuk ke dalam kategori remaja akhir yang berusia sekitar 18 - 21 tahun Monks dkk, 2001. Mereka mudah sekali berubah-ubah karena proses pencarian jati diri mereka. Selain itu, mahasiswa juga cenderung mencari sosok panutan yang sesuai 3 dengan diri mereka. Mereka mudah terpengaruh oleh gaya hidup umum di sekitarnya karena kondisi kejiwaan yang labil. Mereka juga cenderung mengambil jalan pintas dan tidak mau memikirkan dampak negatifnya Bagong, dalam Irsyad, 2012. Untuk menjadi mahasiswa yang baik, maka hendaknya mahasiswa dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu menyeimbangkan potensi intelektual, emosional, moralitas, dan spiritual. Mahasiswa yang mandiri akan menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam mengambil keputusan, menjalankan keputusan, mampu menjalankan tugas-tugas, memiliki rasa percaya diri, mampu mengatasi masalah, memiliki inisiatif, memiliki kontrol diri yang tinggi, mengarahkan tingkah lakunya menuju kesempurnaan, serta memiliki sifat eksploratif. Sebaliknya, mahasiswa yang tidak mandiri akan menunjukkan kurangnya kemampuan dalam mengambil keputusan, kurangnya kemampuan dalam mengerjakan tugas rutin, kurang mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi, kurang memiliki inisiatif, kurang memiliki kepercayaan diri, kurang mampu mengarahkan tingkah lakunya pada kesempurnaan, kurang memperoleh kepuasan dari usahanya, serta kurang memiliki sifat eksploratif Afiatin, dalam Patriana 2007. Tingkah laku yang ditampilkan individu sangat berkaitan erat dengan konsep dirinya Ulfah, 2007. Konsep diri berpengaruh besar terhadap tingkah laku seseorang. Sebab pada umumnya tingkah laku individu berkaitan dengan gagasan-gagasan tentang dirinya sendiri Agustiani, 2006. Konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri, dimana persepsi ini dibentuk melalui pengalaman dan interprestasi seseorang 4 terhadap dirinya sendiri Shavelson, Hubner, Stanton, 1976. Proses pembentukan konsep diri memakan waktu yang tidak singkat. Konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Bahkan ketika lahir, seseorang tidak memiliki konsep diri, tidak memiliki pengetahuan tentang diri, dan tidak memiliki pengharapan tertentu terhadap diri mereka. Dengan demikian, konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak usia dini hingga dewasa. Lingkungan, pola asuh, dan pengalaman memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk Dianingtyas, 2012. Soetjiningsih 2004 mengatakan bahwasanya proses pembentukan konsep diri merupakan proses yang panjang dan kompleks. Pembentukan konsep diri membutuhkan kontinuitas dari masa lalu, saat ini dan yang akan datang dari kehidupan individu. Hal ini akan membentuk kerangka berfikir untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan perilaku ke dalam berbagai bidang kehidupan. Calhoun Acocella 1990 menyatakan bahwasanya konsep diri individu secara umum dibagi atas dua, yakni konsep diri positif dan negatif. Individu yang memiliki konsep diri yang negatif akan memiliki penilaian negatif terhadap dirinya sehingga merasa bahwa dirinya tidak cukup berharga dibandingkan orang lain dan memiliki kecenderungan untuk bertindak secara negatif. Sedangkan Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan memiliki penilaian yang positif terhadap dirinya sehingga dapat menerima dirinya sendiri secara apa adanya dan memiliki kecenderungan untuk bertindak terhadap hal-hal yang positif. 5 Conger dalam Monks dkk, 2001 menyatakan bahwa perkembangan konsep diri yang negatif pada individu dipengaruhi sifat-sifat negatif seperti sifat memberontak, mendendam, curiga, dan implusif. Rais dalam Gunarsa, 1983 juga menguatkan bahwasanya individu yang didefinisikan sebagai pribadi yang bermasalah biasanya mempunyai konsep diri lebih negatif dibandingkan dengan pribadi yang tidak bermasalah. Stuart dan Sudeen 1998 menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri, yaitu: faktor-faktor perkembangan individu, significant other orang yang terpenting atau yang terdekat, self perception persepsi diri sendiri. Pendapat lain dari Hurlock 1999 lebih terperinci menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yaitu: kondisi jasmani, cacat jasmani, kondisi fisik, produksi kelenjar tubuh, pakaian, nama dan panggilan, kecerdasan, tingkat aspirasi, emosi, pola kebudayaan, sekolah, status sosial, dan keluarga. Bagong dalam Irsyad, 2012 mengatakan bahwasanya perlu dilakukan upaya-upaya yang intensif untuk membentuk identitas yang positif bagi mahasiswa. Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwasanya ada 3 faktor utama yang dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri. Faktor yang paling dominan mempengaruhi konsep diri mahasiswa adalah kehadiran orang yang berpengaruh significant other. Kehadiran orang yang berpengaruh menjadi begitu penting bagi mahasiswa sebab mereka masih mencari sosok panutan hidupnya. Mahasiswa yang berada dalam kelompok usia remaja akhir pada tahap perkembangan memiliki tugas perkembangan untuk melakukan pencarian jati diri. 6 Para remaja tidak lagi menjadikan orangtua sebagai acuan dalam pencarian identitas dirinya. mereka para remaja mencari tokoh panutan di luar orangtuanya. Kelompok yang paling berpengaruh bagi remaja adalah teman sebaya Papalia, 2007. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwasanya teman sebaya merupakan significant other yang paling berpengaruh pada diri remaja. Dengan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan sebuah upaya intervensi guna meningkatkan konsep diri remaja melalui teman sebaya. Salah satu program intervensi yang dapat dilakukan melalui peran teman sebaya adalah dengan proses mentoring. Santrock 2007 di dalam bukunya yang berjudul Adolescence mengatakan bahwasanya mentoring merupakan program yang cocok dalam pembentukan karakter dan pendidikan bagi para remaja. Selain hal tersebut, Agustiani 2006 menambahkan cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan konsep diri pada remaja agar menjadi lebih positif adalah dengan meningkatkan nilai-nilai religiusitas remaja. Oleh karena itu, dengan kombinasi antara mentoring dengan penanaman nilai religiusitas diharapkan dapat semakin memperkuat konsep diri remaja menjadi lebih positif, yakni melalui mentoring Agama Islam. Mentoring merupakan bimbingan yang diberikan melalui demonstrasi, instruksi, tantangan dan dorongan secara teratur selama periode waktu tertentu. Mentoring biasanya dilakukan oleh individu yang lebih tua untuk meningkatkan kompetensi serta karakter individu yang lebih muda. Selama proses ini berlangsung, pementor dan mentee mengembangkan suatu ikatan komitmen bersama. Di samping itu, relasi dari mentee ke pementor juga melibatkan karakter 7 emosional yang diwarnai oleh sikap hormat, setia, dan identifikasi Santrock, 2007. Dalam Islam, kata mentoring lebih dikenal dengan istilah halaqah atau usroh. sebuah istilah yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran Islam. Mentoring dilaksanakan pada kelompok kecil individu yang secara rutin mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji Islam dengan kurikulum tertentu. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari lembaga yang menaungi kegiatan mentoring tersebut Satria, 2010. Mentoring yang dilakukan secara rutin sepekan sekali akan membentuk hubungan yang baik antara sesama anggota kelompok mentoring. Pola pendekatan teman sebaya yang diterapkan menjadi program ini lebih menarik, efektif serta memiliki keunggulan tersendiri Rusmiyati, 2003. Selain penyampaian materi tentang Islam, sasaran dan fokus materi juga harus disesuaikan dengan kondisi mahasiswa agar nilai-nilai dalam mentoring tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya kegiatan mentoring ini juga didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwasanya remaja yang bergabung dalam kelompok-kelompok mentoring lebih cenderung memiliki konsep diri yang tinggi dan lebih terdidik. Sebab dalam prosesnya para partisipan yang tergabung didalamnya mempraktikkan keterampilan interpersonal dan membantu individu dalam menjalani peran sebagai orang dewasa Santrock, 2007. Pola teman sebaya yang dibangun dalam proses mentoring memunculkan sebuah harapan bagi peserta mentoring untuk membentuk persahabatan yang kuat 8 dan berpengaruh dalam hidup. Aspek relasi teman sebaya juga berkaitan dengan keberhasilan akademis seseorang Hamm, dkk, dalam Santrock, 2007. Sebuah studi longitudinal menemukan bahwa individu yang memiliki setidaknya seorang sahabat, mempengaruhi keberhasilan akademik selama dua tahun Wentzel Caldwell, dalam Santrock, 2007. Mengacu pada penelitian Ridwansyah 2008 yang telah dilakukan sebelumnya untuk melihat pengaruh mentoring pada Siswa SMA yang berjudul ―Pembinaan Sikap Keberagamaan Siswa Melalui Program Mentoring Ekstrakurikuler Rohani Islam ROHIS di SMAN Unggulan 57 Jakarta ‖ didapatkan hasil bahwa : Sebanyak 56 14 dari 25 orang para peserta mentoring menyatakan bahwa motivasi beribadah mereka meningkat setelah mengikuti program mentoring ini, 36 respoden menjawab sangat meningkat. materi mentoring yang diajarkan terdapat hubungan dengan pelajaran di sekolah sebesar 68 17 orang, sedangkan yang menyatakan sangat berhubungan sebesar 20 5 orang. Berdasarkan ketepatan waktu shalat, maka peserta mentoring menunjukkan bahwa 28 7 orang menyatakan selalu dan 4 1 orang menyatakan sering, 60 15 orang menyatakan kadang-kadang, 8 2 orang menyatakan jarang. dalam mentoring selalu mengajarkan untuk sopan kepada orang tua, menunjukkan 76 19 orang menyatakan selalu dan 8 2 orang menyatakan sering, 12 3 orang menyatakan kadang-kadang dan 4 1 orang menyatakan tidak pernah. Pada penelitian lain oleh Romli 2007 dalam skripsinya yang berjudul ―Pelaksanaan mentoring Agama Islam di SMP negeri 1 galur Kulon Progo Yogyakarta‖ ditemukan bahwasanya mentoring selain membawa nilai plus bagi 9 siswa dalam mempelajari Agama Islam, juga dapat digunakan sebagai modal untuk kesuksesan dalam belajar di kelas. Black, dkk dalam santrock, 2007 melakukan studi terhadap 959 remaja dalam program big brothers big sisters. Dimana setengah dari para remaja menjalani mentoring dalam bentuk diskusi yang luas mengenai sekolah, karir dan kehidupan, begitu pula dalam aktifitas waktu luang bersama para remaja lainnya. Setengah lainnya tidak menjalani mentoring. Kelompok yang ikut mentoring menunjukan peningkatan prestasi di dalam kelas, dan memperbaiki relasi dengan orang tua. Menurut Jekielek, Kristin, dan Elizabeth 2002 setidaknya ada delapan hal umum tentang manfaat dari pelaksanaan mentoring bagi para pelajar, yakni : menurunnya tingkat absen, meningkatnya partisipasi pelajar, semakin minimnya penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, jarang terlibat perkelahian, tidak suka terlibat dengan kelompok-kelompok yang jahat, sikap yang lebih sopan terhadap orangtua, sikap yang lebih baik di sekolah, dan meningkatnya hubungan dengan orangtua serta dukungan teman sebaya. La Vonne dan Steve 2002 mengemukakan dalam penelitiannya bahwasanya mentoring yang dilakukan secara efektif dapat meningkatkan motivasi bagi para pelajar untuk menyelesaikan studinya dan mempersiapkan para pelajar untuk meneruskan jenjang karirnya di dunia kerja, meningkatkan potensi dan kepercayaan diri serta membantu untuk memperluas jaringan kekerabatan dengan banyak orang. Darrick David 2007 dalam jurnalnya yang berjudul ―dampak mentoring terhadap perubahan perilaku para kriminal‖ mengemukakan bahwasanya individu yang mengikuti mentoring menunjukkan peningkatan kesejahteraan secara psikologis, kehidupan yang lebih positif dan mengurangi 10 kecenderungan untuk melakukan perilaku-perilaku beresiko kembali di dalam hidupnya. Rebecca 2009 juga menemukan hal yang sama terhadap hasil penelitiannya mengenai mentoring Dalam penelitiannnya terhadap lebih dari 200 orang pelajar di London yang mengikuti mentoring, ia menemukan bahwasanya pelaksanaan mentoring yang dilakukan dalam waktu yang cukup lama setidaknya akan meningkatkan potensi diri untuk sukses dan berprestasi. Setidaknya secara statistik potensi kesuksesan untuk berhasil bagi seseorang yang mengikuti mentoring naik lebih kurang 10 pada setiap tahunnya. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwasanya faktor lain yang dapat membentuk konsep diri menjadi positif selain mentoring adalah dengan meningkatkan religiusitas mahasiswa. Kresnawati dalam Kusuma, 2010 pada penelitiannya terhadap 114 orang pelajar SMA di Jakarta ditemukan bahwasanya ada hubungan positif antara religiusitas dengan kemampuan pemecahan masalah pada remaja. Dari hasil analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa pemahaman tingkat agama berbanding lurus dengan kemampuan individu dalam memecahkan masalah. Sebanyak 76 orang 66,7 berkategori baik dalam memecahkan masalah, dan yang berkategori tidak baik sebanyak 38 orang 33,3. Cole dalam Rahayu, 2008 juga menambahkan bahwasanya agama atau religiusitas dalam diri individu terbukti berperan dalam mengurangi tingkat konflik yang terjadi, terutama konflik yang berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Beberapa ahli sepakat bahwa agama sangat potensial untuk mendorong dan mengarahkan hidup manusia pada 11 perubahan-perubahan ditingkat mikro individual dan makro sosial ke arah yang baik dan benar. Dari segenap permasalahan dan fenomena di atas dapat disimpulkan bahwasanya mahasiswa yang merupakan kelompok individu yang berada dalam usia remaja akhir sedang berada dalam tugas perkembangan pencarian identitas. Dalam proses pencarian jati dirinya tersebut remaja sangat diharapkan dapat membentuk konsep diri yang positif. Salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri adalah significant other. Sesuai dengan karakteristiknya, remaja lebih mempercayakan teman sebayanya daripada keluarga ataupun orangtua sebagai significant other baginya. Oleh karena itu, maka diperlukan upaya pembentukan konsep diri remaja yang baik melalui peran significant other. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan program pendidikan sebaya dalam proses mentoring. Maka peneliti akan mencoba untuk melakukan penelitian yang berjudul ―Pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri mahasiswa muslim Universitas Sumatera Utara ”.

B. RUMUSAN MASALAH