Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pangkur Jenggleng merupakan sebuah produk budaya lokal masyarakat jawa,terutama Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pangkur Jenggleng merupakan tempang macapat pangkur yang pada saat tembang selesai diakhiri dengan pukulan Saron gamelan yang berbunyi “jenggleng”. Pangkur sebagai warisan seni budaya sudah ada sejak jaman Majapahit. Saat itu nama-nama tembang macapat diciptakan oleh Wali Sanga untuk memberikan nilai wawasan hidup, baik dalam berdakwah maupun untuk perjalanan hidup. Nama tembang macapat antara lain Mijil hati-hati dalam mengeluarkan kata-kata, Kinanti menjaga agar tidak bermusuhan, Dhandanggula kata-kata hendaknya disampaikan secara enak,Sinom memberikan harapan agar awet muda, Asmaradana mendorong agar suka mengeluarkan infak,Megatruh mendorong agar menjauhkan dari hawa nafsu, Durma mendorong agar menghindarkan diri dari main perempuan, berjudi, mencuri, minum-minuman keras, dan memakai narkoba, dan pangkur yang artinya adalah jangan menyimpang dari Al- Qur’an dan Hadist. Melihat dari sejarahnya, pangkur jenggleng merupakan seni budaya yang berisi nilai atau ajaran adiluhung untuk menjalankan hidup secara benar. commit to user 2 Ihwal kemunculannya yang berada di Jawa, khususnya bekas kerajaan Mataram Yogyakarta dan Solo, maka Pangkur menyatu dengan nilai-nilai hidup yang ada di masyarakat sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Karisedenan Surakarta. Pangkur Jenggleng sendiri dipopulerkan mulai sekitar tahun 1963 oleh Basiyo dan Nyai Prenjak, seniman lawak dari Yogyakarta. Pangkur jenggleng selain dibuat dalam bentuk album kaset juga disiarkan di RRI nusantara II Yogyakarta. Pangkur Jenggleng pada saat itu merupakan seni tembang nyanyian yang diselingi dengan lawakan majalah.tempointeraktif.com. Dengan meninggalnya Basiyo pada 31 Agustus 1979, acara Pangkur Jenggleng pun juga semakin surut. Pada tahun 2003, Pangkur Jenggleng muncul lagi dengan format audiovisual di TVRI Yogyakarta. Kehadiran Pangkur Jenggleng di TVRI menarik minat masyarakat dan merupakan salah satu acara unggulan. Karakteristik media audio visual yang merupakan perpaduan unsur gambar dan suara membuat acara tersebut lebih mudah dicerna oleh indera. Namun demikian, jika dilihat dari struktur isi acara Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta sudah berbeda dengan konsep awal ketika disiarkan di RRI. TVRI sebagai salah satu lembaga penyiaran publik dilihat dari regulasi berada dalam persimpangan.Lembaga penyiaran publik di satu sisi dituntut untuk memberikan pelayanan pada masyarakat dan cenderung berorientasi non-profit, sedang di sisi lain diberi anggaran terbatas dan ditunjuk untuk commit to user 3 mandiri dalam pengelolaan operasional perusahaan. Dilema ini tentu saja akan membawa dampak pada motif produksi acara siaran yang dijalankannya. Menurut Grossberg dkk2006:69, media, masyarakat dan budaya merupakan tiga hal yang tidak terpisahkan. Media dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat dan budayanya. Dalam hal ini, TVRI Yogyakarta sebagai lembaga penyiaran publik yang berada di daerah dan berinteraksi dengan masyarakat dan budayanya mempunyai kewajiban untuk mengangkat dan melestarikan budaya-budaya lokal tradisional. Misi ini tentu akan bersinggungan dengan media-media televisi swasta lokal yang mempunyai kesamaan target geografis. Televisi swasta lokal yang mempunyai persinggungan area geografis dengan TVRI antara lain adalah Jogja TV, RB TV dan TA TV. Dalam studi tayangan pangkur jenggleng di TVRI Yogyakarta, sangat menarik dicermati bahwa ada perubahan mendasar dari konsep acara yang ditayangkan dengan konsep asli dari penciptanya, yaitu Basiyo. Hal ini tentu menimbulkan suatu dugaan terhadap adanya upaya komodifikasi budaya dalam tayangan tersebut untuk kepentingan modal dari institusi dalam membiayai operasional perusahaan yang diwajibkan untuk mandiri secara finansial, dimana saat acara itu mulai tayang di televisi tahun 2003, TVRI sebagai salah satu lembaga penyiaran publik di Indonesia telah berubah status dari perusahaan jawatan perjan menjadi perseroan terbatas PT. Berkurangnya jumlah subsidi pemerintah,membuat TVRI Yogyakarta berusaha melakukan terobosan dalam mecari sumber-sumber pendanaan. commit to user 4 Seperti dicontohkan Akhmad Sofyan, asisten manajer produksi kreatif dan penyiaran pada saat itu seperti dikutip Sudibyo 2004:315, bahwa TVRI menggandeng sponsor pada program tertentu seperti Program Dangdut Jos yang disponsori oleh rokok Djarum Coklat. Meskipun pada tahun 2005, TVRI berubah status menjadi lembaga penyiaran publik berdasarkan UU No.32Th.2002, PP.11Th.2005 dan PP.No.13Th. 2005 , namun undang- undang penyiaran masih memberi ruang pada TVRI untuk melakukan ekplorasi dana untuk kepentingan operasional, yang salah satunya dengan menjual ruang iklan dalam program acaranya. Ini kemudian yang membuka ruang komersial pada TV publik. Gambaran fenomena di atas merupakan sesuatu yang sangat mungkin terjadi seiring dengan proses modernitas. Menurut Norman Fairclough dalam Jorgensen Louise 2007:135, kondisi semacam ini bisa dipandang sebagai refleksi dan daya dorong perubahan pada praktik sosial yang lebih luas dimana wacana pasar menjajah praktik kewacanaan lembaga-lembaga publik. Berdasarkan pendapat di atas, praktik komodifikasi bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi di TVRI. Jika kita menyimak siaran Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta, maka kita akan menemukan beberapa perbedaan dengan yang pernah disiarkan di RRI Nusantara II Yogyakarta pada era 60-an hingga 70-an. Perbedaan itu bukan sekedar penyesuaian tampilan acara yang tadinya berformat audio menjadi audio visual, tapi juga dari genre acara budaya yang berubah mencari komedi situasi. Ini tentu membawa suatu konsekuensi pada struktur acara yang ditampilkan di setiap tayangan. commit to user 5 Di Amerika, kemunculan film komedi oleh perusahaan film Keystone pada tahun 1912 dianggap sebagai awal pembentukan budaya massa. Berdasarkan studi yang dilakukan Rob King 2009:8 dalam bukunya “The Fun Factory : The keystone film company and the emergence of mass culture ”,bercerita tentang komedi slapstick yang awalnya hanya muncul dari drama atau teater yang ditampilkan dari panggung ke panggung, namun karena penerimaan masyarakat yang baik kemudian diproduksi secara massal melalui film dan menjadi awal kemunculan budaya massa mass culture. Dalam kasus tersebut, komedi yang merupakan budaya ketawa laugh culture diproduksi secara massal melalui film untuk kepentingan komersil yang berarti saat itu telah terjadi komodifikasi komedi melalui media film. Komedi atau humor sebagai budaya ketawa juga merambah ke dunia layar kaca. Menurut Sony Set 2008: 1130, tayangan humor seperti Friends, Sex and The City, Cosby Show, Home Funniest Video dan Magical Show mendominasi jam-jam prime time Di Amerika. Sedangkan tayangan komedi panggung stage comedy seperti Pangkur Jenggleng, sebelumnya juga telah sukses menghias layar televisi Indonesia Acara-acara tersebut diantaranya adalah Srimulat, Bagito Show, Komedi Betawi, Ngelenong Yuk, dan Extra Vaganza. Penemuan awal terhadap perubahan pada genre program acara budaya Pangkur Jenggleng di RRI menjadi komedi panggung mengindikasikan terjadinya transformasi nilai budaya tradisional ke dalam budaya massa, namun demikian hal ini tentu saja tidak bisa dijadikan landasan untuk commit to user 6 mengambil kesimpulan telah terjadi komodifikasi pada budaya tersebut, namun dengan penggalian data secara mendalam bisa ditelusuri proses reproduksi yang akan membawa pada kesimpulan akhir. Tanda-tanda komodifikasi yang paling mudah bisa dilihat dari keotentikan obyek. Obyek yang telah dikomodifikasi sedikit banyak akan mengalami perubahan dari versi aslinya. Ini juga yang terlihat dari hasil penelitian Stroma Cole dalam Couch 2009 yang berjudul “Beyond Authenticity and Commodification ” terhadap pengembangan-pengembangan pariwisata di wilayah selatan Indonesia. Penelitian menunjukkan menunjukkan usaha- usaha perubahan terhadap budaya setempat untuk kepentingan pariwisata. Perubahan-perubahan obyek itu dilihat dari wacana kritis bukan sekedar penyesuaian tampilan dari media audio radio ke dalam media audio visual televisi, tapi juga merupakan upaya perubahan kearah budaya popular dimana audiens terperangkap dalam realitas virtual yang menjadikan nilai- nilai yang ada dalam tayangan tersebut seolah-olah berjalan secara alami dan dikonsumsi dengan tanpa ada telaah kritis. Berpegang pada tradisi kritis yang dikemukakan Horkheimer dan Adorno dalam Craig dan Muller 2007:437, bahwa teknologi membawa pengaruh pada industri budaya. Pertimbangan utama standar produksi media diklaim berdasarkan pada kebutuhan konsumen dengan alasan produk akan diterima dan meminimalisir penolakan. Dalam konteks ini, media akan melakukan manipulasi dengan kebutuhan yang berlaku surut dimana teknologi memerlukan kekuatan masyarakat yang memegang kendali terbesar ekonomi. commit to user 7

B. Identifikasi Masalah