Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia: TVRI, Dikotomi

commit to user 36 Studi Wanita Unibraw menunjukkan bahwa masyarakat Surabaya lebih menyukai acara hiburan daripada informasi atau berita. Fenomena di masyarakat seperti ini tentu akan ditangkap oleh media untuk kepentingan produksi serta kepentingan bisnis hingga akhirnya televisi cenderung dipenuhi oleh acara-acara hiburan dan meminggirkan peran dan fungsi-fungsi lain dari media massa.

i. Lembaga Penyiaran Publik di Indonesia: TVRI, Dikotomi

Televisi Publik dan Media Komersial Clive Barnett 2003:164 mendefinisikan lembaga penyiaran publik sebagai barang milik publik yang memberikan pelayanan terhadap budaya, mempunyai tujuan-tujuan sosial dan demokratis yang dengan memelihara sistem penyiaran publik nasional dan melawan desakan aturan-aturan kompetisi. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa lembaga penyiaran publik seharusnya punya kecenderungan untuk pelayanan terhadap budaya, kepentingan sosial dan demokrasi serta menghindari komersialitas. Menurut Eric Barendt dalam Mufid 2005:79, media penyiaran publik public service broadcasting merupakan media yang tersedia available secara general geografis, memiliki kepedulian terhadap identitas dan kultur nasional, bersifat independen baik dari kepentingan kegara maupun kepentingan komersial, memiliki imparsialitas program, memiliki ragam varietas program, dan pembiayaannya dibebankan kepada pengguna. commit to user 37 Independensi lembaga penyiaran publik menunjuk pada kekuasaan masyarakat dan bebas dari kekuasaan negara dan pasar. Jika menilik regulasi penyiaran di Indonesia, lembaga penyiaran publik diamanatkan sebagai lembaga yang independen yang bebas dari campur tangan pemrintah, bersifat public service dan tidak komersial. Ini nampak dari definisi lembaga penyiaran publik di UU No 2 tahun 32 tentang Penyiaran, lembaga penyiaran publik merupakan lembaga penyiaran independen berbadan hukum yang didirikan pemerintah yang sifatnya netral, tidak komersial dan mempunyai fungsi memberikan pelayanan publik. Namun demikian, sejak keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2002 tentang pengalihan status TVRI dari perusahaan jawatan Perjan menjadi perseroan terbatas PT , posisi TVRI sebagai media publik dalam dilema besar antara sebagai media publik dan komersial. Dalam pandangan Agus Sudibyo 2005:317, status perseroan terbatas akan meninbulkan banyak konsekuensi yang bertentangan prinsip-prinsip lembaga penyiaran publik.TVRI mau tak mau akan berorientasi pasar, dengan konsekuensi harus menonjolkan tayangan-tayangan yang dapat menghasilkan rating tinggi, menarik iklan sebanyak-banyaknya, serta menghasilkan akumulasi modal secepat mungkin. Sejalan dengan pandangan di atas, Lukmantoro www.suaramerdeka.com melihat kondisi ini akan menambah beban commit to user 38 TVRI sebagai lembaga penyiaran publik yang disatu sisi mendapat lindungan negara untuk melayani kepentingan masyarakat, dan disisi lain harus berorientasi meraih keuntungan secara maksimal. Fenomena tersebut menyerupai proses yang disampaikan Habermas dalam Mufid 2005:80 bahwa media pada awalnya dibentuk menjadi bagian dari public sphere, tapi kemudian dikomersialkan menjadi komoditas commodified melalui distribusi secara massal dan menjual khalayak massa ke perusahaan periklanan, sehingga media menjauh dari peran ruang publik. Amanat UU Penyiaran No 32 tahun 32 yang kemudian juga mengubah status TVRI menjadi lembaga penyiaran publik masih menyisakan dilema dalam pasal-pasalnya bahwa LPP boleh memasukkan iklan dalam program acara. Dedy N.Hidayat 2003:2 menilai bahwa seluruh transformasi yang berlangsung pada sektor media di Indonesia hakekatnya merupakan peralihan dari state regulation menuju market regulation, dimana operasi industri media tidak banyak diintervensi negara, tapi lebih pada mekanisme pasar. Mekanisme pasar ini tentu akan membuat TVRI harus menyesuaikan faktor-faktor produksi untuk bisa bersaing dengan televisi swasta lokal untuk memperebutkan audiens maupun iklan yang masuk. Kondisi ini membuat media lebih banyak mempertimbangkan faktur komersial daripada bersifat kultural. Menurut Sunarto 2009:118, commit to user 39 stasiun televisi pada praktiknya lebih sering menonjolkan dirinya sebagai institusi industri padat modal daripada institusi kultural padat moral..Tarik menarik antara kepentingan modal dan moral akhirnya dimenangkan kepentingan modal. Fenomena ini hampir sama dengan yang terjadi dengan yang terjadi di Amerika pada awal abad 20 dimana lembaga penyiaran mulai diserbu oleh iklan komersial. Selain itu juga banyak digunakan untuk kepentingan politik anggota kongres Barsamian,2002:16-62. Di Amerika, lembaga penyiaran publik Broadcasting Public Service dibiayai oleh sebuah lembaga non profit yang didirikan tahun 1967 oleh kongres untuk mengembangkan lembaga penyiaran Publik radio dan televisi melalui mekanisme khusus. Lembaga ini membiayai 15 dari kebutuhan seluruh lembaga penyiaran publik yang ada, sisanya merupakan dukungan dari keanggotaan, sekolah- sekolah, universitas-universitas, dunia bisnis, pemerintah federal dan pemerintah lokal US GAO,2004:74. Menurut Paulus Widiyanto dalam Amir Effendi Siregar www.mediaindonesia.com, untuk menghindari komersialisasi televisi publik, TVRI harus dibiayai oleh masyarakat melalui iuran. Iuran ini adalah bentuk democratic financing. Lembaga penyiaran publik harus hidup dari publik, hidupnya tidak tergantung pada iklan dan atau kapital seperti televisi swasta. commit to user 40 Untuk memuluskan fungsi public service, Ashadi Siregar dalam Mufid 2005:81-82 mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk kehadiran media penyiaran publik di Indonesia, antara lain : pertama, telekomunikasi sebagai basis material. Keberadaan media penyiaran publik bertumpu pada ranah telekomunikasi, yaitu fasilitas transmisi signal. Setiap transmisi menggunakan jalur telekomunikasi berupa gelombang elektromagnetik yang dikuasai negara. Regulasi penyiaran harus menjamin pengelolaan spektrum gelombang tersebut dalam bingkai penguatan publik. Kedua, Orientasi fungsi publik sebagai basis kultural. Basis kultural dari keberadaan media penyiaran publik sebagai institusi publik ditentukan oleh nilai bersama shared value yang menjadi dasar keberadaannya.. Nilai dasar ini mulai dari ketentuan hukum, kebijakan negara, serta konsensus yang tumbuh di lingkungan masyarakat tentang orientasi dan fungsi sosial-kultural yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik. Nilai bersama ini diharapkan dapat dirumuskan oleh kaum profesional penyiaran publik sebagai titik awal dalam penghayatan atas orientasi fungsional kelembagaan. Ketiga, Sistem jaringan publik. Sistem penyiaran publik pada dasarnya merupakan ranah jaringan penyiaran dan stasiun penyiaran. Masing-masing ranah dapat memiliki pola orientasi fungsional yang spesifik, serta pola hubungan institusional satu sama lain. Rumusan kedua macam pola ini diperlukan sebagai dasar commit to user 41 sistemik kelembagaan penyiaran publik. Keberadaan media penyiaran publik juga oleh dukungan sosial dan finansial. Secara kongkret dukungan ini diwujudkan melalui adanya stakeholder yang berfungsi untuk mendorong dan mengawasi jalannya fungsi kultural penyiaran publik dan memberi dukungan sistem finansial beroperasinya penyiaran publik. Keempat, code of conduct profesi dan institusi. Code of conduct dimaksudkan untuk memelihara standar profesi. Ini mencakup visi dan misi yang menjadi landasan dari seluruh standar tindakan dan nilai hasil kerja kaum profesional, bertolak dari sikap terhadap masyarakat. Pemaknaan hasil kerja dalam konteks sosial ini perlu ditempatkan dalam konteks makna sosial dari media penyiaran publik. Sebagai acuan standar tindakan profesional dan hasil kerjanya suatu institusi memiliki dua sisi, eksternal untuk menjaga makna sosial dari media massa, dan internal sebagai dasar dalam penilaian profesional sebagai bagian dari sistem manajemen personalia. Kelima, Sistem kontrol fungsi publik.Untuk menjaga agar institusi dapat berjalan dalam penyelenggaraan yang bersih, perlu dijunjung tinggi prinsip akuntabilitas terhadap stakeholder khususnya dan publik umumnya. Akuntabilitas memiliki dua sisi, menyangkut parameter akuntabilitas akuntansi dan menyangkut prinsip akuntabilitas sosial untuk menjaga orientasi fungsional kepada publik.Jika pertanggungjawaban akuntansi melalui lembaga audit, akuntabilitas sosial perlu dipertanggungjawabkan kepada stakeholder commit to user 42 dan lembaga yang relevan. Lewat akuntabilitas sosial ini, kontrol atas fungsi publik yang harus dijalankan oleh media penyiaran publik dapat berjalan. Mengacu konsep Bardoel 2003:87 tentang tanggungjawab media media accountability, ada 4 tanggungjawab media yaitu tanggung jawab politik political accountability, tanggungjawab terhadap pasar market accountability, tanggungjawab pada public public accountability dan tanggungjawab professional professional accountability. Media penyiaran publik seharusnya lebih menekankan tanggungjawabnya pada publik masyarakat.Indikator dari hal tersebut adalah mengacu pada keterbukaan pada masyarakat luas dari opini public secara umum, berbagai macam kelompok penekan, dan mengawasi kepentingan satu kelompok dengan kelompok yang lain.Informasi bukan sebuah komoditas tapi benda sosial yang beragam, akurat dan berkualitas tinggi. Media penyiaran publik yang berorientasi sosial pada masyarakat dan mencapai kohesi sosial dalam masyarakat. Dalam hal ini para produser juga harus independen dari kekuasaan negara maupun pasar untuk menghindari sebuah kekuasaan yang tidak bertanggungjawab. Media penyiaran publik menurut Bardoel merupakan sebuah pilar penyangga dari gerakan sosial bukan untuk kepentingan pemerintah ataupun kepentingan pasar yang bersifat komersil. Oleh karena itu, menurut Bardoel d’Haenens 2008:348 seharusnya media penyiaran public secara ideal melakukan regulasi sendiri dengan memperhatikan suara publik. commit to user 43

2. Teori Wacana dan Analisis Wacana Kritis Fairclough