33
2.1.2. Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu sendiri yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur ini meliputi latar
belakang penciptaan, sejarah, biografi pengarang, dan lain-lain, di luar unsur intrinsik. Perhatian terhadap unsur- unsur ini akan membantu keakuratan
penafsiran isi suatu karya sastra.
Berbicara tentang unsur ekstrinsik berarti kita berbicara tentang sesuatu di luar karya sastra yaitu masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Di mana terjadinya
interaksi sosial, proses-proses sosial dan masalah-masalah sosial antar individu dengan individu, individu dengan kelompok bahkan sebaliknya, yang mengadakan
hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Berbicara tentang konflik sosial tokoh utama dalam suatu karya sastra, berarti kita berbicara unsur ekstrinsik dari karya
sastra tersebut. Manusia dalam berinteraksi dan berhubungan dengan individu lain pasti tidak terlepas dari konflik, karena manusia adalah makluk konfliktis yang
selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela dan terpaksa.
2.1.3 Biografi Natsume Soseki
Natsume Kinnosuke , yang lebih luas dikenal dengan nama pena Soseki, lahir di Tokyo, 9 Februari 1867, setahun sebelum Kaisar Meiji menerima kembali
pemerintahan dari shogun Tokugawa. Meskipun kekaisaran Meiji sejak 1872 telah melakukan pembaharuan di bidang pendidikan dengan memperkenalkan sistem
pendidikan Barat, tetapi Soseki masih harus belajar dalam suasana lama.
Universitas Sumatera Utara
34 Demikianlah dia pun mempelajari bahasa dan sastra Cina klasik, sebagai salah
satu pelajaran utama dalam pendidikan zaman Edo. Selama setahun mempelajari Sastra Cina di sekolahnya menimbulkan kecintaan Soseki pada sastra Cina dalam
dirinya sepanjang hidup. Pada tahun 1882, Soseki menyatakan keinginan untuk menjadikan sastra sebagai karir, meskipun tidak menjelaskan apakah sebagai
penulis atau peneliti akademis. Soseki masuk ke Departemen Sastra Inggris Tokyo Imperial University di tahun 1890.
Selama periode Meiji, kaum intelektual Jepang merasa mempelajari berbagai pengetahuan dari dunia Barat demi membantu pembangunan negeri
merupakan kewajiban mereka. Soseki bukanlah pengecualian dan semangat memperoleh pengetahuan dalam salah satu aspek peradaban Baratlah yang
menuntunnya menekuni sastra Inggris. Soseki adalah sarjana kedua yang lulus dari Universitas Kerajaan yang kemudian menjadi Universitas Tokyo atau Tokyo
Daigaku di Tokyo jurusan bahasa Inggris yang dibuka 1888 dan kemudian ia pun beberapa lama mengajarkan sastra Inggirs di universitas tersebut di samping
beberapa sekolah lain. Ia tamat dari Universitas Kerajaan pada tahun 1893. Ia pun menerima pengangkatan sebagai guru bahasa Inggris di Sekolah Guru di Tokyo.
Dua tahun kemudian pada tahun 1895, dia tiba-tiba pindah ke Matsuyama di pulau Shikoku dan mengajar pada sebuah Sekolah Menengah. Pada waktu itu
pula dia menulis haiku dan mempergunakan nama samaran Soseki. Yang jelas ialah bahwa di Matsuyamalah dia melamar Nakane Kyoko, yang kemudian
menjadi istrinya. Namun ternyata di Matsuyama pun ia tidak betah, karena setahun kemudian pada tahun 1896 dia pindah ke Kumamoto di pulau Kyushu,
mengajar di Akedemi Nasional Kelima. Di situlah dia menikah, mempunyai anak
Universitas Sumatera Utara
35 dan dan hidup berbahagia, sampai tahun 1900 ketika ia tiba-tiba ditunjuk sebagai
orang yang mendapat beasiswa pemerintah ke Inggris. Dua tahun lebih tinggal di London membuat Soseki frustasi. Ia mengurung diri dalam kamar dan membaca
terus-menerus, mula-mula tentang sastra, tetapi kemudian juga tentang berbagai ilmu yang lain, terutama psikologi dan filsafat. Ia sendiri mengganggap
pengalamanya di London sebagai yang paling tidak meyenangkan dalam hidupnya. Keadaan sedemikian rupa sehingga ia mengalami guncangan saraf yang
sejak itu terus merundungnya sepanjang hidup. Awal tahun 1903 ia tiba kembali ke tanah airnya, dan mengajar di
Akedemi Nasional Pertama di Tokyo. Ia pun kemudian mengajarkan sastra Inggris di Universitas Kerajaan. Cara Soseki mengajar dianggap kering dan
membosankan, sehingga dia tidak disukai oleh para mahasiswa. Tetapi pada waktu itu pulahlah dia memberikan serangkaian kuliah yang mengemukakan
pandangan-pandanganya tentang sastra pada umumnya, dan sastra Inggris serta sastra Jepang pada khususnya, seperti “Konsep umum tentang sastra”, ”Tentang
sastra”, Sastra Inggris abad ke-18. Memang, meskipun Soseki seorang sarjana sastra Inggris yang terpandang,
yang pernah tinggal di London selama dua tahun lebih, tetapi tidaklah ia menjadi seorang pengagum buta kebudayaan barat. Padahal pada waktu itu kaum
intelektual dan budayawan Jepang sedang bersemangat sekali meniru segala sesuatu yang datang dari Barat. Di kalangan kesusastraan, berbagai aliran yang
sedang popular di Eropa ditiru dengan antusias sekali. Kehidupan sastra di zaman Tokugawa yang lebih bersifat hiburan daripada sungguh-sungguh, dianggap tidak
sesuai lagi dengan jiwa masyarakat Jepang yang berubah. Tidak syak lagi, Soseki
Universitas Sumatera Utara
36 hidup pada masa yang sangat menentukan dalam sejarah Jepang. Dalam dunia
sastra zaman Meiji paruh yang pertama merupakan zaman pemindahan karya- karya barat ke dalam bahasa Jepang dan hal itu menyebabkan pengaruh Barat
merajalela dalam karya sastra bahasa Jepang yang ditulis pada paruh kedua zaman tersebut. Sebagai orang yang mendalami sastra Barat, terutama sastra Inggris,
Soseki melihat bahwa sastra Jepang tidak boleh menyangkal fitrahnya. Walaupun begitu Soseki bukan pula seorang yang terbakar oleh semangat
nasionalisme yang sempit. Kalau dia melihat kekurangan-kekurangan pada modernisasi ataupun pada kebudayaan Barat, bukan berarti dia menolak secara
apriori terhadapnya. Para peneliti tentang Soseki pun sama-sama melihat bahwa pada karya-karya Soseki tampak pengaruh para pengarang Inggris. Tetapi para
peneliti itu pun sepakat, bahwa pengaruh dari para pengarang Barat itu diimbanginya dengan keeratannya pada akar budaya Jepang sendiri, sehingga
karya-karyanya merupakan sesuatu yang orisinil. Karyanya yang paling terkenal, Botchan misalnya memperlihatkan pengaruh dari bahasa roman-roman lucu masa
itu. Sebagai seseorang yang lahir di Edo Tokyo, Soseki memang akrab sekali dengan kebudayaan Edo, hal mana tampak bukan saja pada gaya bahasa yang
dipakainya menulis Botchan, melainkan dengan caranya menyebut tokoh- tokohnya dengan nama ejekan. Dengan begitu karyanya diakui memang berbeda
sekali dengan karya sastra jepang pada masa itu, baik dalam bentuk, gaya bahasa, maupun karakteristiknya.
Pada tahun 1906 dia menolak tawaran surat kabar Yomiuri yang berpengaruh untuk menjadi pengasuh ruangan sastra. Pada waktu itu ia telah
berhasil menarik para penggemar dan pengagum serta kawan-kawannya, sehingga
Universitas Sumatera Utara
37 mereka mengadakan pertemuan sekali seminggu. Di antara pesertanya ada
Komiya Toyotaka yang kemudian menulis biografi Natsume Soseki yang lengkap dengan Akutagawa Ryuunosuke 1892-1927 yang kemudian juga jadi terkenal
sebagai salah seorang sastrawan Jepang modern yang penting. Pada waktu itu terbit Tiga Cerita Uzurakugo, 1906 yang terdiri atas Botchan, Bantalan Rumput
Kusamakura dan Hari Angin ribut Nihyakutooka. Botchan 1906 sangat popular dan bersama Aku Seekor Kucing 1904 merupakan karya Sooseki yang
paling terkenal. . Pada bulan Februari 1907 dia menerima tawaran dari Asahi, surat kabar
terbesar di Jepang pada waktu itu untuk bekerja sebagai penulis cerita. Soseki meninggalakan pekerjaannya sebagai pengajar di universitas karena ia melihatnya
sebagai kesempatan untuk menjadi penulis kreatif secara penuh. Keputusan itu menggegerkan kalangan universitas dan kawan-kawanya. Tidak pernah terjadi
sebelumnya ada orang yang mau melepaskan kedudukan terhormat dan terjamin sebagai pengajar di universitas pemerintah untuk masuk ke sebuah perusahaan
swasta yang tidak jelas masa depannya. Tetapi sejarah kemudian membuktikan bahwa pilihan Soseki tidaklah keliru. Bukan saja untuk dirinya pribadi, melainkan
juga bagi dunia kesusastraan Jepang. Dengan meninggalakan universitas, Soseki telah memperkaya khazanah sastra Jepang.
Pada tahun 1909 Soseki membuat geger ketika ia menolak Piala Emas yang diberikan majalah Taiyo, karena terpilih sebagai seniman yang paling
banyak mendapat suara penggemar. Alasanya Soseki menganggapa hal itu membahayakan pribadi seniman, karena merupakan tirani mayoritas. Dua tahun
setelah itu, ia menggegerkan lagi karena menolak gelar Doktor Kehormatan dalam
Universitas Sumatera Utara
38 sastra yang hendak diberikan oleh pemerintah. Soseki merasa tersinggung karena
menganggap hak asasinya sebagai individu dilanggar karena dia tidak ditanya suka atau tidak menerima gelar kehormatan itu. Dia ingin hidup sebagai manusia
biasa. Memang Soseki dikenal eksentrik, tetapi hanya dalam hal-hal yang menyangkut prisip dasar yang dianutnya saja.
Dalam uraiannya yang berjudul “Dasar filsafat sastra dan seni” Soseki menyebut tentang empat macam akibat yang ditimbulkan oleh suatu karya sastra
terhadap pembacanya, yaitu yang disebutnya sebagai sesutau keindahan, kebenaran, kebaikan dan kepahlawanan.
Nuansa satir ringan dalam karya-karya awalnya kemudian digantikan dengan Koofu 1908, Sanshiroo 1908, dan Sorekara 1909 yang bernada
serius. Meski berjuang melawan sakit parah, termasuk dalam karya sastra Soseki pada dekade terakhir hidupnya antara lain Mon, Kojin 1913, dan Kokoro 1914,
kemudian memuncak pada novelnya yang tidak selesai, Meian 1916 yang merupakan sebuah studi pengasingan dan kesepian. Ia meninggal di tahun 1916.
2.2 Defenisi Sosiologi Sastra