Analisis Konflik Sosial Tokoh Utama “Botchan” dalam Novel Botchan karya Natsume Soseki.

(1)

ANALIS NATSUM OKE Skrips Fak Meleng SIS KONFL NOVEL ME SOSEK ERU “BOT

i ini diajuk kultas Ilmu gkapi Salah

U

LIK SOSIA L “BOTCHA

KI NO SAK TCHAN” T TAIR

kan kepada u Budaya U h Satu Syar

JESSI M DEPARTE FAKU UNIVERSI AL TOKO AN” KARY KUHIN NO TO IU SHU RITSU NO

SKRIP a Panitia Uj Universitas rat Ujian S Jepan Oleh MEGA SIM NIM. 0607 EMEN SA ULTAS ILM ITAS SUM MEDA 2011 H UTAMA YA NATSU O “BOTCH UJINKO N BUNSEKI PSI jian Progra Sumatera Sarjana dal ng : MANJUNT 708038 STRA JEP MU BUDAY MATERA U AN 1 A “BOTCH UME SOSE HAN” NO S

NO SAKAI I

am Studi S Utara Med lam Bidang AK PANG YA UTARA HAN” DAL EKI SHOSETSU ITEKI NA Sastra Jepa dan untuk g Ilmu Sast

AM

U NI

ng


(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 6

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 9

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.6 Metode Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOVEL, SOSIOLOGI SASTRA DAN KONFLIK SOSIAL 2.1 Defenisi Novel ... 16

2.1.1 Unsur Intrinsik ... 18

a. Tema ... 18

b. Penokohan ... 19

c. Alur atau Plot ... 21

d. Setting atau Latar ... 24

1. Setting Tempat ... 25

2. Setting Waktu ... 25

3. Setting Sosial ... 25

2.1.2 Unsur Ekstrinsik ... 30

2.1.3 Biografi Pengarang ... 30


(3)

2.3 Interaksi Sosial ... .38

2.4 Konflik Sosial ... 40

BAB III ANALISIS KONFLIK SOSIAL TOKOH UTAMA “BOTCHAN” DALAM NOVEL BOTCHAN KARYA NATSUME SOSEKI 3.1 Sinopsis Cerita ... 45

3.2 Konflik Sosial yang dialami Botchan ... 50

3.2.1 Konflik Sosial dengan Murid ... 50

3.2.2 Konflik Sosial dengan Sesama Guru ... 59

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan ... 76

4.2. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA


(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Menurut Wellek dan Warren dalam Melani Budianto, (1995:109) sastra adalah instutusi sosial yang memakai medium bahasa yang “menyajikan kehidupan” sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Menurut Teeuw dalam Nyoman Kutha Ratna, (2005:4), sastra berasal dari akar kata sas (sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi secara leksikal berarti kumpulan alat untuk mengajar atau buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.

Karya sastra berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua macam sifat yaitu, karya sastra yang bersifat imajinasi (fiksi) dan karya sastra yang bersifat non imajinasi (non fiksi). Menurut Aminudin (2000:66), sastra fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Dengan demikian karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang yang merupakan refleksi kehidupan manusia terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Sebagai sebuah karya yang imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusian, hidup dan kehidupan.

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan seksama, Nurgiyantoro (1995:3). Karya fiksi


(5)

lebih lajut masih dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, maupun cerita pendek.

Salah satu bentuk karya fiksi adalah novel. Menurut H. B. Jassin dalam Suroto, (1989:19) novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan kejadian secara luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh-tokoh cerita), luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib mereka.

Ada dua unsur pokok yang membangun sebuah karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur dalam sastra yang ikut serta membangun karya sastra tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah tema, plot, latar, penokohan, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan lain-lain. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar tubuh karya sastra itu sendiri yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur-unsur tersebut meliputi latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama dan lain-lain yang dapat mempengaruhi pengarang dalam penulisan karyanya. Novel sebagai salah satu karya sastra fiksi memiliki kedua unsur tersebut. Salah satu unsur instrinsik yang akan ditelaah adalah tokoh cerita.

Peristiwa dalam karya sastra fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Aminudin (2000:79), tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Novel hanya menceritakan salah satu kehidupan sang tokoh yang benar-benar istimewa yang


(6)

mengakibatkan terjadinya perubahan nasib. Tentunya dalam novel tersebut terdapat beberapa peristiwa kehidupan sang tokoh sehingga ia mengalami perubahan jalan hidup.

Pada penelitian ini, penulis akan membahas sebuah novel yang berjudul “Botchan” karya Natsume Soseki. Natsume Soseki merupakan seorang tokoh terbesar dalam kesusastraaan modern Jepang yang lahir di Tokyo pada tahun 1867. Soseki tidak diragukan lagi sebagai salah seorang pengarang Jepang yang terbesar. Tidaklah mengherankan kalau karya-karya Soseki sampai sekarangpun tetap menarik dan tetap popular bagi orang Jepang, sedangkan orang-orang asing pun berlomba-lomba menerjemahkanya ke dalam bahasanya masing-masing. Karya Soseki adalah buah tangan pengarang Jepang yang paling banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, beberapa diantaranya, seperti Botchan dan Aku Seekor kucing, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris saja.

Salah satu novel yang telah dihasilkan oleh Natsume Soseki adalah novel yang berjudul “Botchan”, yang dibuat tahun 1906. Novel ini merupakan novel satir dan tema utama dari novel ini adalah moralitas. Cerita yang diturturkan secara humoris ini sangat populer di kalangan tua dan muda di Jepang, dan barangkali merupakan novel klasik yang paling banyak dibaca di Jepang Modern. Walaupun novel ini tergolong klasik, namun isinya sangat relevan dengan zaman modern saat ini karena sarat dengan nilai-nilai moral. Menceritakan kehidupan seorang pemuda Tokyo bernama “Botchan” yang mempunyai sifat jujur, adil, idealis, blak-blakan, bertanggung jawab dan teguh pendiriannya, yang pergi ke desa terpencil untuk menjadi seorang guru. Karena sifat yang dimilikinya


(7)

tersebutlah banyak masalah dan konflik yang dialami Botchan dengan orang di sekitarnya.

Di awal cerita, novel ini menceritakan kehidupan Botchan kecil yang tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya karena dianggap sebagai anak yang nakal. Hanya Kiyo sang pelayan tua yang sangat menyayangi Botchan, ia selalu bisa melihat sisi positif dan kejujuran dari seorang Botchan. Hubungan Botchan dengan ibu, ayah dan kakaknya tidak pernah baik hingga ayah dan ibunya pun meninggal dunia.

Lulus dari Sekolah Ilmu Alam Tokyo, Botchan menerima tawaran menjadi guru matematika di sekolah menengah pedesaan di Shikoku. Di sinilah cerita seperti benar-benar dimulai di mana sosok seorang Botchan yang jujur, adil dan tidak suka kepura-puraan dan blak-blakan dipertemukan dengan dunia nyata di mana banyak sekali ketidakadilan, kemunafikan, dan kepura-puraan berada.

Semenjak kakinya menginjak daerah baru tersebut, ia terlibat dalam berbagai konflik dengan rekannya sesama guru dan murid-muridnya yang nakal menyangkut tatakrama, status sosial dan peraturan yang berlaku di sekolah tersebut. Botchan yang sebelumnya tinggal di Tokyo sering terkejut dengan kebiasaan dan peraturan yang berlaku di sekolah tempat Botchan mengajar seperti seorang guru dilarang berkunjung dan makan di restoran ramen dan dango. Awalnya “Botchan” tidak tau akan hal itu dan ia berkunjung dan makan di toko ramen dan dango. Keesokan harinya ia diejek dan ditertawakan murid-muridnya.

Botchan yang seorang guru baru memberontak terhadap “sistem” yang selama ini berlaku di sekolah desa tersebut karena ketidakadilannya dan tidak dapat bersikap tegas terhadap kenakalan siswa. Seperti ketika terjadi insiden ia


(8)

dikerjai murid-muridnya yang nakal yang memasukkan belalang ke dalam futonnya ketika ia tugas malam di sekolah. Tentu saja Botchan marah besar dan menimbulkan keributan di sekolah karena muridnya tidak mau jujur mengakui kesalahan. Dan menurutnya kepala sekolah tidak dapat bersikap tegas. Karena Sifat Botchan yang selalu terus terang dan pemberani sering kali membuat ia mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Dalam perjalananya sebagai seorang guru inilah Botchan banyak merasakan keadaan-keadaan yang tidak sesuai dengan hatinya terutama setelah berinteraksi dengan sesama guru, masyarakat dan para muridnya. Ternyata tidak mudah menjadi seorang guru baru di desa terpencil. Botchan dianggap remeh dan tidak sopan oleh orang-orang disekitarnya karena memiliki sifat jujur, adil dan blak-blakan.

Novel ini juga bercerita tentang perseteruan/konflik terselubung antara Botchan dan Kepala Guru yang di beri julukan si Kemeja Merah oleh Botchan, yang dinilai Botchan munafik, licik dan pura-pura baik, sok intelek dan merasa superior. Ia memanfaatkan jabatannya untuk merebut tunangan orang lain seorang guru yang lebih rendah jabatannya, dan akhirnya guru tersebut dipindah tugaskan. Kemeja Merah juga mengadu domba Botchan dengan seorang guru Matematika senior yang bernama Hotta yang mengakibatkan pertengkaran diantara Botchan dan guru tersebut. Tetapi Botchan kemudian sadar bahwa ia sedang di adu domba dan segera berbaikan dengan Hotta. Karena tak betah lagi tinggal lebih lama di desa terpencil ini, akhirnya ia dan Hotta meninggalkan desa tersebut setelah sebelumnya memergoki kepala guru dan rekannya yang penjilat seorang guru seni yang diberi julukan si Badut oleh Botchan berkunjung ke Kagoya (rumah bordil). Kemudian Hotta dan Botchan melayangkan tinju kepada kepala guru dan


(9)

rekannya tersebut. Padahal sebelumnya si kepala guru berkata pergi ke tempat-tempat hiburan merusak disiplin sebagai seorang guru.

Bagi pembaca di dunia Barat alur cerita novel ini mungkin terasa tipis, dan mungkin bertanya-tanya mengapa buku ini begitu menarik bagi pembaca Jepang. Buku ini memiliki daya tarik yang besar bagi masyarakat Jepang. Sebagian dari daya tarik buku ini dapat ditemui pada sifat ksatria yang diembuskan Botchan dari suatu kemelut ke kemelut lain. Botchan tumbuh menjadi sosok yang idealis, jujur dan terkadang bersikap sinis terhadap orang lain. Botchan tidak tunduk pada seseorang atau suatu norma, ini yang membuatnya dicintai pembaca modern Jepang sampai sekarang, karena bahkan saat inipun orang Jepang terkungkung ketatnya tatakrama sosial.

Dari uraian di atas terlihat konflik sosial yang dialami sang tokoh utama Botchan dalam lingkungan pekerjaanya. Berdasarkan uraian di atas dan setelah membaca novel tersebut, maka penulis tertarik menulis skripsi yang berjudul “Analisis Konflik Sosial Tokoh Utama “Botchan” dalam Novel Botchan karya Natsume Soseki”.

1.2 Perumusan Masalah

Novel Botchan merupakan novel Natsume Soseki yang sangat terkenal. Menceritakan tentang kehidupan dan konflik sosial yang dialami tokoh utamanya yang dipanggil “Botchan” yang berasal dari Tokyo pergi ke Shikoku untuk mengajar Matematika di Sebuah sekolah desa. Sifat Botchan yang jujur, adil dan blak-blakan banyak menimbulkan konflik dengan orang-orang disekitar lingkungan tempat Botchan mengajar di sekolah menengah Matsuyama.


(10)

Dalam novel ini diceritakan bahwa setelah lulus dari Sekolah Ilmu Alam Tokyo, Botchan menerima tawaran menjadi guru matematika di sekolah menengah pedesaan di Shikoku. Di sinilah konflik seperti benar-benar di mulai di mana sosok seorang Botchan yang jujur, adil dan tidak suka kepura-puraan dipertemukan dengan dunia nyata dimana banyak sekali ketidakadilan, kemunafikan orang-orang yang bermuka dua dan penjilat berada. Dan semenjak kakinya menginjak daerah baru tersebut, Botchan terlibat dalam berbagai konflik dengan rekannya sesama guru dan murid-muridnya yang nakal menyangkut tatakrama, status sosial dan peraturan yang berlaku di sekolah tersebut. Kejujuran serta kepolosan dan sifatnya yang blak-blakan bertolak belakang dengan sebagian besar orang yang dijumpainya. Mulai dari kepala sekolah, guru-guru dan para murid. Dia mendapat masalah dengan adanya penipuan, pencemaran nama baik, hingga perkelahian, semua hal yang menyebabkan dirinya semakin lama semakin muak dengan kemunafikan serta kepura-puraan yang terjadi di sekelilingnya

Dalam perjalanannya sebagai seorang guru, Botchan banyak merasakan keadaan-keadaan yang tidak sesuai dengan hatinya terutama setelah berinteraksi dengan sesama guru, masyarakat dan para muridnya. Ketidaksesuain hati terhadap kondisi yang dihadapinya sehari-hari inilah yang menjadi pembangunan alur cerita dan konflik dalam novel Botchan. Kejujuran dan keteguhan hati Botchan serta pesan moral yang ingin di sampaikan penulis dalam cerita inilah yang membuat novel ini menarik. Botchan betul-betul menampilkan karakter dirinya sendiri.

Untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji, maka masalah penelitian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:


(11)

1. Bagaimanakah kondisi sosial dalam novel Botchan karya Natsume Soseki?

2. Bagaimanakah konflik sosial yang dialami oleh tokoh utama “Botchan” dalam novel Botchan karya Natsume Soseki?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak terlalun luas, sehingga penulisan dapat lebih terarah dan terfokus.

Dalam analisis ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada masalah konflik sosial yang dihadapi tokoh utama “Botchan” dalam novel Botchan. Tokoh Botchan merupakan seorang pemuda Tokyo yang pergi ke sebuah sekolah desa untuk mengajar Matematika. Ia mempunyai sifat jujur, adil, idealis, blak-blakan, dan terkadang bersifat sinis terhadap orang lain yang menimbulkan banyak masalah dan konflik dengan orang di sekitarnya, khususnya di lingkungan pekerjaanya di sebuah sekolah desa. Kejujuran dan sifatnya yang blak-blakan sering bertolak belakang dengan sebagian besar orang yang dijumpainya.

Agar dalam pembahasan novel ini lebih akurat, logis dan terarah, maka penulis sebelum bab pembahasan menjelaskan lagi tentang defenisi novel, setting novel Botchan, riwayat hidup Natsume Soseki, dan pengertian dan teori tentang konflik sosial.


(12)

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1) Tinjauan Pustaka

Menurut Aminudin (2000:66), sastra fiksi adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Dengan demikian karya sastra lahir ditengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang yang merupakan refleksi kehidupan manusia terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.

Menurut Selo Soemarjan dan Soemardi dalam Soekanto, (2000:21) Sosiologi adalah ilmu yang memepelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Interaksi sosial menurut Soekanto (2003:61) merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan-hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia. Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict).

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya ( http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik). Sedangkan menurut Gillin dan Gillin konflik konflik adalah bagian dari sebuah proses sosial yang terjadi karena


(13)

adanya perbedaan-perbedaan fisik, emosi, kebudayaan dan perilaku.

(http://sosiologi-sosiologixavega.blogspot.com/2010/10/konflik-dan-integrasi-sosial.html).

Soerjono Soekanto mengemukakan 4 faktor penyebab terjadinya konflik yaitu :

- Perbedaan antar individu; merupakan perbedaan yang menyangkut perasaan, pendirian, atau ide yang berkaitan dengan harga diri, kebanggan, dan identitas seseorang. Sebagai contoh anda ingin suasana belajar tenang tetapi teman anda ingin belajar sambil bernyanyi, karena menurut teman anda itu sangat mundukung. Kemudian timbul amarah dalam diri anda. Sehingga terjadi konflik.

- Perbedaan kebudayaan; kepribadian seseorang dibentuk oleh keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma yang sama. Apa yang dianggap baik oleh satu masyarakat belum tentu baik oleh masyarakat lainnya.

- Perbedaan kepentingan; setiap kelompok maupun individu memiliki kepentingan yang berbeda pula. Perbedaan kepentingan itu dapat menimbulkan konflik diantara mereka.

- Perubahan sosial; perubahan yang terlalu cepat yang terjadi pada suatu masyarakat dapat mengganggu keseimbangan sistem nilai dan norma yang berlaku, akibatnya konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan individu dengan masyarakat.

Menurut Wolf dalam Endraswara, (2008:77), sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefenisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah


(14)

studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dan masyarakatnya.

Menurut Swingewood dalam Tarihoran, (2009:8), sosiologi sastra dapat meneliti sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif, yaitu:

a. Perspektif Teks Sastra

Artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Teks biasanya dipotong-potong diklasifikasikan, dan dijelaskan makna sosiologisnya.

b. Persefektif Biografis

Yaitu peneliti menganalisis pengarang. Persfektif ini akan berhubungan dengan life story seorang pengarang dan latar belakang sosialnya.

c. Persfektif Reseptif

Yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. 2) Kerangka Teori

Menurut Altenbernd dan lewis dalam Nurgiyantoro (1995:3), fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajiner, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatanya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukan hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan seksama.


(15)

Dalam menganalisis suatu karya sastra diperlukan suatu pendekatan yang menjadi acuan bagi penulis dalaam menganalisis karya sastra tersebut. Oleh karena itu, penulis menggunakan pendekatan sosiologis dan pendekatan semiotika di dalam menganalisis karya sastra ini. Pendekatan semiotika adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sistem tanda. Hal ini sesuai dengan pengertian semiotik sebagai ilmu tanda, yang memandang fenomena sosial dan budaya sebagai sistem tanda, Preminger dalam Wiyatmi, (2009:92). Dengan menggunakan pendekatan semiotika dalam menganalisis penulis dapat mengetahui konflik sosial yang dialami tokoh “Botchan” melaui interaksi-interaksi tokoh utama dengan tokoh-tokoh lain dalam lingkungan masyarakatnya, khususnya lingkungan pekerjaan dalam novel ini melalui dialog atau komunikasi antar tokoh, dan adanya kontak sosial.

Konflik dalam sebuah karya fiksi sangatlah penting dalam pembentukan alur cerita. Ada dua elemen yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Setiap konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan “sifat-sifat” dan “kekuatan-kekuatan” tertentu seperti kejujuran dengan kemunafikan, kenaifan dengan pengalaman atau individualistis dan kemauan beradaptasi, Stanton (2007:13).

Untuk melihat gambaran kehidupan sosial seseorang individu secara khusus dan masyarakat pada umumnya di dalam sebuah karya sastra adalah dengan menggunakan disiplin ilmu yaitu sosiologi sastra. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Melihat sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat. Dengan menggunakan teori sosiologis penulis dapat menganalisis bagaimanakah konflik sosial yang dialami tokoh utama terhadap


(16)

tokoh lain dalam novel ini. Menurut Soemarjan dan Soemardi dalam Soekanto, (2000:21) sosiologi adalah ilmu yang memepelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.

Menurut Gillin and Gillin, konflik adalah bagian dari sebuah proses sosial yang terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan fisik, emosi, kebudayaan dan perilaku. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto konflik adalah suatu proses sosial individu atau kelompok yang berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan /atau kekerasan dalam (http://sosiologi-sosiologixavega.blogspot.com/2010/10/konflik-dan-integrasi-sosial.html .

Menurut Susan Novri (2009:4), manusia adalah makluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela dan terpaksa. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, konflik berarti pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam bentuk pertentangan ide maupun fisik antara dua belah fihak yang bersebrangan.

Unsur-unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra, khususnya prosa antara lain tema, penokohan, alur, plot, setting, dan sebagainya. Tokoh dan penokohan merupakan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Menurut Sayuti dalam Wiyatmi, (2009:30) tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi yang merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata, oleh karena itu dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara alamiah, dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki ”kehidupan” atau “berciri hidup”, atau memiliki derajat


(17)

lifelikeness (kesepertihidupan). Tokoh cerita menempati sebagai posisi yang strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1) Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian adalah:

1. Untuk mendeskripsikan kondisi sosial novel ”Botchan” karya Natsume Soseki.

2. Untuk mendeskripsikan konflik sosial yang dihadapi tokoh utama Botchan melalui interaksi sosial tokoh utama Botchan dengan tokoh-tokoh lain di dalam novel Botchan.

2) Manfaat penelitan Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan mengenai sosiologis sastra dalam karya fiksi, khususnya dalam novel “Botchan” karya Natsume Soseki.

2. Menambah wawasan tentang Natsume Soseki sebagai salah seorang penulis terbesar dalam sejarah kesusastraan Jepang.

3. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa jurusan Sastra Jepang sebagai referensi analisis karya sastra.


(18)

1.6 Metode Penelitian

Dalam melakukan sebuah Penelitian, tentulah dibutuhkan sebuah metode sebagai penunjang untuk mencapai tujuan. Metode yang digunakan dalam penelitian sastra ini adalash metode deskriftif. Metode deskriftif digunakan karena penelitian ini terbatas untuk mengungkapkan pada suatu masalah sebagaimana adanya sehinnga sekedar mengungkapkan fakta. Koentjaraningrat (1976:30) mengatakan bahwa penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, atau kelompok tertentu.

Dalam mengumpulkan data-data penelitian, penulis menggunakan metode studi kepustakaan (Library Research) dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan karya sastra, kritik sastra, dan buku-buku panduan analisis sosiologis dalam karya sastra serta tambahan literatur tambahan lainnya.

Selain memanfaatkan literatur yang berupa buku, penulis juga memanfaatkan teknologi internet, mengumpulkan data dari berbagai website yang berhubungan dengan materi penelitian ini.


(19)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL, SOSIOLOGI SASTRA, DAN KONFLIK SOSIAL

2.1 Defenisi Novel

Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya fiksi, biasa juga diistilahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi tersebut adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin sebuah cerita. Karya fiksi lebih lanjut masih dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu roman, novel, novellet, maupun cerpen, Aminudin (2000:66.)

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Bentuk karya fiksi yang terkenal saat ini adalah novel. Sebagai genre sastra termudah, novel ternyata telah banyak menarik perhatian dan minat banyak kalangan. Novel adalah karya fiksi yang mengandung nilai-nilai keindahan dan kehidupan. Nilai-nilai keindahan yang terdapat di dalamnya memberikan kenikmatan bagi pembacanya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya memberikan manfaat.

Di dalam novel diperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia secara utuh. Maksudnya yaitu, di dalam novel menggambarkan tokoh-tokoh, tentang peristiwa, dan tentang latarnya secara fisik, seolah-olah dapat di lihat, diraba, serta di dengar. Di samping itu novel juga menghadirkan pengetahuan-pengetahuan yang terdalam, yang tidak dapat dilihat, tidak dapat dipegang, tidak dapat di dengar melainkan dirasakan oleh batin yang


(20)

semua itu diperoleh secara tersirat dari gambaran tokohnya, dari peristiwanya, dari tempat yang dilukiskan atau waktu yang disebutkan.

Sesuai dengan pernyataan Abrams dalam Nurgiantoro (1995:4), yaitu dalam perkembangannya karya fiksi sering dianggap bersinonim dengan novel. Novel berasal dari bahasa Italia novella. Secara harafiah, novella berarti sebuah “barang baru yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa”, Abrams dalam Nurgiyantoro, (1994:9). Dewasa ini novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah novelette dalam bahasa Inggris, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang, namun tidak terlalu pendek.

Menurut Jacob Sumardjo (1999:11), novel adalah cerita, dan cerita digemari manusia sejak kecil. Dan tiap hari manusia senang pada cerita, entah faktual, untuk gurauan, atau sekedar ilustrasi dalam percakapan. Bahasa novel juga bahasa denotatif, tingkat kepadatan dan makna gandanya sedikit. Jadi novel mudah dibaca dan dicernakan. Juga novel kebanyakan mengandung suspense dalam alur ceritanya, yang gampang menimbulkan sikap penasaran bagi pembacanya.

Menurut H.B. Jassin dalam Suroto ( 1989:19), mengatakan bahwa novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian secara luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita), luar biasa karena dari kejadian ini terlahir suatu konflik, suatu pertikaian yang mengalihkan jurusan nasib mereka. Wujud novel adalah konsentrasi, pemusatan, kehidupan dalam satu saat, dalam satu krisis yang menentukan. Dengan demikian, novel hanya


(21)

menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-benar istimewa yang mengakibatkan perubahan nasib.

2.1.1. Unsur Intrinsik Novel a. Tema

Menurut Stanton dan Kenny dalam Nurgiantoro (1995:67), tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita (novel) itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang mana dapat dinyatakan sebagai tema itu. Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan isi cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, ia bukanlah makna yang disembunyikan, walau belum tentu juga dilukiskan sacara eksplisit.

Tema, dengan demikian, dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakanya untuk mengembangkan cerita. Pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna tertentu kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan dan menghayati makna kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya.


(22)

Brooks dalam Aminuddin (2000:92) mengungkapkan bahwa dalam mengapresiasi tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusian serta masalah lain yang bersifat universal.

Tema yang ingin diangkat oleh pengarang dalam cerita novel Botchan adalah moralitas. Menceritakan kehidupan tokoh utama yang bernama Botchan yang pergi dari Tokyo ke pedalaman Shikoku untuk menjadi seorang guru matematika di sebuah sekolah menengah Matsuyama. Karena sifat jujur, blak-blakan, dan anti ketidakadilan yang dimilikinya, Botchan banyak mengalami pertentangan dan konflik dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya, khususnya di lingkungan sekolah tempat Botchan mengajar. Botchan terlibat konflik dengan rekan sesama guru yang dinilai Botchan munafik dan pura-pura baik dan juga murid-muridnya yang nakal menyangkut tatakrama, status sosial dan peraturan yang berlaku di sekolah tempat Botchan mengajar.

b. Penokohan

Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.

Sayuti dalam Wiyatmi (2009:31), tokoh di sebut tokoh utama (sentral) apabila memenuhi tiga syarat:


(23)

1. Paling terlibat dengan makna atau tema. 2. Paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. 3. Paling banyak memerlukan waktu penceritaan,

Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar dan dibicarakan pengarangnya, sedangkan tokoh tambahan hanya dibicarakan ala kadarnya (Aminuddin, 2000:80).

Tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel Botchan terbagi dalam tokoh utama dan tokoh tambahan/pembantu. Natsume Soseki menggambarkan tokoh utama berprofesi sebagai seorang guru matematika muda yang berasal dari Tokyo yang pergi ke sebuah sekolah menengah di daerah terpencil untuk mengajar. Punya sifat idealis, jujur, adil, dan blak-blakan yang bernama Botchan yang banyak mengalami konflik sosial dengan orang-orang di sekitarnya, khusnya di lingkungan pekerjaan tempat Botchan mengajar. Sedangkan tokoh-tokoh tambahan yaitu Kepala Sekolah yang dijuluki ‘Tanuki’ (sejenis Rakun) oleh Botchan yang menurutnya tidak dapat bersifat tegas terhadap kenakalan para murid, ‘Kepala Guru’ yang jabatannya di bawah Kepala Sekolah yang dijuluki Botchan Kemeja Merah (karena selalu memakai kemeja berwarna merah setiap hari) yang mempunyai sifat licik dan pura-pura baik, Hotta seorang guru matematika senior yang merupakan sahabat Botchan, guru seni yang bernama Yoshikawa, yang dijuluki oleh Botchan si ‘Badut’ karena sifatnya yang penjilat, Koga seorang guru Bahasa Inggris yang memiliki sifat baik, yang tunangannya direbut oleh Kepala Guru dan di transfer ke daerah yang sangat terpencil, murid-murid yang menurut Botchan nakal, Kiyo yang merupakan hamba Botchan, orang tua Botchan, kakak laki-laki Botchan, serta tokoh-tokoh lainnya.


(24)

c. Alur atau Plot

Pengertian alur dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Tahapan peristiwa yang menjalin suatu cerita bisa berbentuk dalam rangkaian peristiwa yang berbagai macam, Aminuddin (2000:83).

Dalam cerita fiksi urutan peristiwa dapat beraneka ragam. Montage dan Henshaw dalam Aminudin (2000:84), menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:

- Exposition : Tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita.

- Inciting Force: Tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku.

- Rising Action: Situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai berkonflik.

- Crisis : Situasi semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh para pengarangnya.

- Climax: Situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang paling tinggi hingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya sendiri. - Falling Action : Kadar konflik sudah menurun sehingga ketegangan

dalm cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclusions atau penyelesaian cerita.


(25)

Dalam novel “Botchan”, tahapan peristiwa dalam alur suatu cerita juga tersusun dalam tahapan yang dinyatakan oleh Montage dan Henshaw, yaitu dalam tahapan:

- Exposition: Di dalam novel Botchan, pada awal cerita dijelaskan kehidupan tokoh Botchan di dalam keluarga, kemudian lulusnya tokoh Utama Botchan dari Sekolah tinggi ilmu alam Tokyo. Ia menerima pekerjaan sebagai seorang guru matematika di sebuah sekolah menengah Matsuyama di pedalaman Shikoku. Kemudian menjelaskan pelaku lain yang mendukung cerita seperti kepala sekolah yang dijuluki Tanuki oleh Botchan, kepala guru yang dijuluki Botchan si Kemeja Merah, Hotta seorang guru Matematika senior, guru seni yang dijuluki Botchan si Badut, Koga guru bahasa inggris, dan murid-murid di sekolah tempat Botchan mengajar.

- Inciting Force: Dalam tahap ini di dalam novel Botchan digambarkan keadaan hari pertama Botchan mulai mengajar dimana salah satu muridnya memberikan soal matematika yang mustahil untuk dipecahkan. Kemudian Botchan berkata aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu sekarang, tapi aku akan berusaha memecahkanya lain kali. Hal itu langsung menimbulkan cemooh dari murid-muridnya. - Rising action: Dalam tahapan ini digambarkan di mana ketika tokoh

Botchan mendapat giliran untuk tugas malam, murid-muridnya yang nakal mengerjainya dengan cara memasukan belalang ke dalam futon-nya. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan besar bagi Botchan dan di tambah lagi murid-murinya tidak mau jujur mengakui kesalahan


(26)

yang diperbuat. Kepala sekolah juga tidak dapat bersikap tegas terhadap kenakalan para murid. Botchan berkata “pendisiplinan macam apa ini?”.

- Crisis: Dalam tahapan ini di dalam novel Botchan digambarkan tokoh Botchan menolak kenaikan gaji yang ditawarkan oleh kepala guru (Kemeja Merah). Kemeja Merah dengan licik memanfaatkan jabatannya untuk mentransfer Koga seorang guru bahasa inggris dengan maksud merebut tunangannya Koga. Kemeja merah berkata bahwa sekolah punya uang lebih karena kepindahan Koga dan menawarkan kenaikan gaji kepada Botchan. Hal ini tentu saja di tentang Botchan. Botchan berkata “aku bukanlah manusia berhati kejam yang tanpa malu mengambil gaji orang yang ditransfer di luar kemauanya”.

- Climax: Dalam tahapan ini di dalam novel Botchan digambarkan dimana tokoh Botchan dan tokoh Hotta memergoki Kepala guru dan rekannya yang penjilat guru seni yang dijuluki Botchan si Badut berkunjung ke Kadoya (rumah bordil). Padahal sebelumya kepala guru berkata seorang guru akan merusak disiplin bila pergi ke tokoh mi dan dango. Hotta dan Botchan pun melayangkan tinju kepada kepala guru dan si guru seni, yang mereka anggap sebagai keadilan.

- Falling Action: dalam tahapan ini di dalam novel Botchan digambarkan di mana Tokoh Botchan yang tidak betah lagi untuk tinggal di desa tempatnya mengajar, kemudian menulis surat pengunduran diri kepada kepala sekolah. Ia kembali ke Tokyo dan


(27)

hidup bersama pengasuhnya Kiyo. Botchan berkata akupun begitu bahagia, ”aku takkan pernah ke pedesaan lagi”. Botchan mendapat pekerjaan sebagai asisten mekanik di Tokyo Tramcar Company.

c. Setting

Lattar atau setting yang disebut juga sebagi landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan, Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:216).

Latar memberikan pijakan cerita secara konkrit dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana pada dalam cerita seolah-olah sungguh-sungguh ada terjadi. Pembaca dengan demikian merasa dipermudah dalam menggunakan daya imajinasinya. Disamping itu juga berperan secara kritis sehubungan dengan pengetahuan tentang latar. Latar berfungsi sebagai pendukung alur dan perwatakan. Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang digambarkan. Untuk dapat melukiskan latar yang tepat pengarang harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang keadaan atau waktu yang akan digambarkanya.

Nurgiyantoro (1995:227), mengungkapkan bahwa unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataanya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lainnya.


(28)

1. Latar Tempat.

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Diskripsi tempat secara mendetail, spesifik dan realistis penting untuk memberI kesan kepada pembaca seolah-olah situasi yang dilukiskan sungguh-sungguh terjadi di tempat yang di ceritakan itu. Latar atau setting tempat dalam Novel Botchan adalah di sebuah sekolah menengah Matsuyama di pedalaman Shikoku.

2. Latar Waktu.

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang dicerikan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual. Latar waktu dalam cerita Botchan digambarkan sekitar tahun 1895 yaitu pada zaman Meiji.

3. Latar Sosial.

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra. Hal-hal sosial ini menyangkut tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks, dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, bersikap dan lai-lain. Di samping itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau atas.


(29)

Dalam Masyrakat Jepang dalam hal bersikap, terutama dalam berinteraksi dan berkomunik dikenal istilah “honne” dan “tatamae”. Honne adalah sikap yang berhubungan dengan isi hati atau perasaan yang sebenarnya, sedangkan tatamae adalah sikap atau tindakan yang tampak dari luar. Honne dan Tatamae telah menjadi kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang dan bagi masyarakat Jepang dua hal ini sangat penting dalam menjaga wa (harmoni, kedamaian dan keselarasan) dan hubungan harmonis dengan lingkungan sekitarnya. Untuk menjaga wa tetap hidup, masyarakat Jepang berusaha untuk tidak terlalu terbuka dalam mengekspresikan keinginan dan pendapat pribadinya. Mengorbankan kepentingan dan pendapat pribadi untuk menciptakan wa. Selain itu mengungkapakan perasaan dan keinginan secara langsung bisa menyakiti perasan orang lain, yang dapat berakhir pada pertengkaran (www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126761-RB08P38b...Analisis.pdf).

Honne adalah isi hati atau perasan seseorang yang sebenarnya. Seseorang hanya akan menunjukkan honne pada orang-orang yang di dekatnya saja. Jika dikaitkan dengan pola uchi dan soto seseorang hanya akan memperlihatkan honne-nya pada seseorang dalam uchi. Walaupun begitu seseorang masuk ke dalam sebuah kelompok atau uchi lalu tidak dapat langsung membuka diri begitu saja. Sikap seperti ini hanya akan menyebabkan orang yang bersangkutan dianggap tidak sopan oleh anggota atau uchi tersebut. Bagi orang Jepang keterbukaan tidak akan diungkapakan secara terang-terangan harus mempertimbangkan keadaan orang lain atau mitra wicara, karena ia harus memahami perasaan orang lain agar tidak merasa teringgung. Dengan demikian individu Jepang adalah orang yang menjaga keharmonisan dengan orang lain.


(30)

Orang Jepang tidak bisa berkata tidak. Dalam menyampaikan pendapat, mereka lebih mengutamakan konteks, tidak menyatakannya secara terbuka. Masyarakat Jepang pada umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung. Menurut masyarakat jepang, konflik dan konfrotasi secara serius dapat dapat memutuskan hubungan yang harmonis. (http://rainhardkun.blogspot.com/2008/09/giri-ninjo-honne-tatemae-dan-wa

dalam.html.

Pada umumnya satu pembicaraan merupakan Khotbah sepihak, gaya komunikasi “saya setuju sepenuhnya”, yang tidak memungkinkan timbulnya pandangan yang bertentangan. Contohnya, secara khusus pihak yang muda setiapa kali akan mengambil langkah menghindarkan konfrontasi terbuka dengan atasannya. Usaha seperti itu menyebabkan bentuk-bentuk sangkalan jarang dipergunakan dalam pembicaraan: orang akan lebih suka diam daripada mengucapkan kata-kata seperti “tidak” atau “saya tidak setuju”. Akar dari usaha menghindarkan terungkapanya penyangkalan terbuka dan sungguh-sungguh itu akan merusak keselarasan sehingga menyakitkan perasaan orang yang lebih tinggi statusnya dan dalam lingkungan ekstrem hal itu dapat menimbulkan risiko terbuang dari kelompok sebagai anggota yang tidak dikehendaki, Nakane (44:1981).

Di Jepang terdapat jaminan yang sungguh-sungguh bahwa pelanggaran akan diperbaiki kalau itu berupa tindakan-tindakan yang diperkenankan oleh pola tingkah laku yang berlaku. Orang dapat mengandalakan pola itu dan akan selamat jika menaatinya. Seseorang menunjukan keberanian dan integritasnya kalau


(31)

bertindak sesuai dengaan pola itu, bukan kalau ia berusaha mengubah atau melawan pola itu, Benedict (1982:77).

Keberadaan Honne dan Tatamae ini juga terungkap melalui tokoh Botchan dalam novel Botchan karya Natsume Soseki. Karena tokoh Botchan yang selalu bersifat terbuka, terus-terang dan blak-blakan dalam mengungkapkan perasaan dan pendapat pribadi/Honne-nya terhadap orang-orang di lingkungan sekitarnya khususnya di lingkungan tempat Botchan mengajar menimbulkan ketidaksukaan dari orang-orang di sekitarnya yang berujung pada terjadinya konflik.

Selain Honne dan Tatamae yang terungkap dalam novel ini, penulis juga akan menjelaskan tentang Latar sosial yang ada di dalam novel Botchan. Novel Botchan mengisahkan ‘pemberontakan’ seorang guru muda yang bernama ‘Botchan’, terhadap “sistem” di sebuah sekolah menengah pedesaan di pedalaman Shikoku. Sosok seorang Botchan yang jujur, adil dan blak-blakan di pertemukan dengan dunia nyata di mana banyak sekali kemunafikan, ketidakadilan dan kepuraaan-kepuraan terjadi di lingukungan sekitarnya. Semenjak kakinya menginjak daerah baru tersebut, ia terlibat dalam berbagai konflik dan masalah dengan rekannya sesama guru yang pura-pura baik dan penjilat, serta murid-muridnya yang nakal menyangkut tatakrama, status sosial dan peraturan yang berlaku di sekolah tersebut. Botchan yang sebelumnya tinggal di Tokyo sering terkejut dengan kebiasaan dan peraturan yang berlaku di sekolah tempat Botchan mengajar seperti seorang guru dilarang berkunjung dan makan di restoran ramen dan dango. Awalnya “Botchan” tidak tau akan hal itu dan ia berkunjung dan makan di toko ramen dan dango. Keesokan harinya ia diejek dan ditertawakan murid-muridnya.


(32)

Sifat Botchan yang selalu terus terang seringkali membuat dia mengalami kesulitan dalam berinteraksi. Kejujuran, anti ketidakadilan dan sifatnya yang blak-blakan bertolak belakang dengan sebagian besar orang yang dijumpainya. Botchan tidak saja menerima pertentangan dari rekannya sesama guru tapi juga murid-muridnya. Dia tidak sungkan menegur dan bicara blak-blakan kepada murid-muridnya yang nakal dan juga kepada rekan-rekan sesama guru. Botchan tidak peduli bagaimana pandangan sosial masyarakat sekitarnya pada dirinya dan tetap mempertahankan prinsip-prinsip hidup yang dipegangnya.

Dalam perjalananya sebagai seorang guru, Botchan merasakan keadaan-keadaan yang tidak sesuai dengan hatinya terutama setelah berinteraksi dengan masyarakat di tempat Botchan mengajar, khususunya rekan sesama guru, dan murid-muridnya yang nakal yang suka mengerjai Botchan. Ketidaksesuaian hati terhadap kondisi yang dihadapinya sehari-hari inilah yang menjadi pembangunan alur cerita dan konflik di dalam novel Botchan.

Maka hanya dalam waktu singkat, Botchan sudah terlibat konflik/masalah dengan adanya penipuan yang dilakukan oleh Kemeja Merah yang seorang kepala guru yang punya sifat licik dan pura-pura baik dan rekannya yang bernama Yoshikawa seorang guru seni yang dijuluki Botchan si “Badut” karena punya sifat penjilat, pencemaran nama baik, hingga perkelahian dengan murid-murid maupun rekan- rekannya sesama guru. Semua hal yang menyebabkan dirinya semakin lama semakin muak dengan kemunafikan serta kepura-puraan yang terjadi di sekelilingnya. Kesempitan dan kemunafikan orang-orang di lingkungan di sekitar membuat Botchan tidak betah tinggal, akhirnya Botchan pun meninggalkan sekolah tempatnya mengajar dan kembali lagi ke Tokyo.


(33)

2.1.2. Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu sendiri yang ikut mempengaruhi penciptaan karya sastra. Unsur ini meliputi latar belakang penciptaan, sejarah, biografi pengarang, dan lain-lain, di luar unsur intrinsik. Perhatian terhadap unsur- unsur ini akan membantu keakuratan penafsiran isi suatu karya sastra.

Berbicara tentang unsur ekstrinsik berarti kita berbicara tentang sesuatu di luar karya sastra yaitu masyarakat dalam kehidupan sosialnya. Di mana terjadinya interaksi sosial, proses-proses sosial dan masalah-masalah sosial antar individu dengan individu, individu dengan kelompok bahkan sebaliknya, yang mengadakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Berbicara tentang konflik sosial tokoh utama dalam suatu karya sastra, berarti kita berbicara unsur ekstrinsik dari karya sastra tersebut. Manusia dalam berinteraksi dan berhubungan dengan individu lain pasti tidak terlepas dari konflik, karena manusia adalah makluk konfliktis yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela dan terpaksa.

2.1.3 Biografi Natsume Soseki

Natsume Kinnosuke , yang lebih luas dikenal dengan nama pena Soseki, lahir di Tokyo, 9 Februari 1867, setahun sebelum Kaisar Meiji menerima kembali pemerintahan dari shogun Tokugawa. Meskipun kekaisaran Meiji sejak 1872 telah melakukan pembaharuan di bidang pendidikan dengan memperkenalkan sistem pendidikan Barat, tetapi Soseki masih harus belajar dalam suasana lama.


(34)

Demikianlah dia pun mempelajari bahasa dan sastra Cina klasik, sebagai salah satu pelajaran utama dalam pendidikan zaman Edo. Selama setahun mempelajari Sastra Cina di sekolahnya menimbulkan kecintaan Soseki pada sastra Cina dalam dirinya sepanjang hidup. Pada tahun 1882, Soseki menyatakan keinginan untuk menjadikan sastra sebagai karir, meskipun tidak menjelaskan apakah sebagai penulis atau peneliti akademis. Soseki masuk ke Departemen Sastra Inggris Tokyo Imperial University di tahun 1890.

Selama periode Meiji, kaum intelektual Jepang merasa mempelajari berbagai pengetahuan dari dunia Barat demi membantu pembangunan negeri merupakan kewajiban mereka. Soseki bukanlah pengecualian dan semangat memperoleh pengetahuan dalam salah satu aspek peradaban Baratlah yang menuntunnya menekuni sastra Inggris. Soseki adalah sarjana kedua yang lulus dari Universitas Kerajaan (yang kemudian menjadi Universitas Tokyo atau Tokyo Daigaku) di Tokyo jurusan bahasa Inggris (yang dibuka 1888) dan kemudian ia pun beberapa lama mengajarkan sastra Inggirs di universitas tersebut di samping beberapa sekolah lain. Ia tamat dari Universitas Kerajaan pada tahun 1893. Ia pun menerima pengangkatan sebagai guru bahasa Inggris di Sekolah Guru di Tokyo.

Dua tahun kemudian pada tahun 1895, dia tiba-tiba pindah ke Matsuyama di pulau Shikoku dan mengajar pada sebuah Sekolah Menengah. Pada waktu itu pula dia menulis haiku dan mempergunakan nama samaran Soseki. Yang jelas ialah bahwa di Matsuyamalah dia melamar Nakane Kyoko, yang kemudian menjadi istrinya. Namun ternyata di Matsuyama pun ia tidak betah, karena setahun kemudian pada tahun 1896 dia pindah ke Kumamoto di pulau Kyushu, mengajar di Akedemi Nasional Kelima. Di situlah dia menikah, mempunyai anak


(35)

dan dan hidup berbahagia, sampai tahun 1900 ketika ia tiba-tiba ditunjuk sebagai orang yang mendapat beasiswa pemerintah ke Inggris. Dua tahun lebih tinggal di London membuat Soseki frustasi. Ia mengurung diri dalam kamar dan membaca terus-menerus, mula-mula tentang sastra, tetapi kemudian juga tentang berbagai ilmu yang lain, terutama psikologi dan filsafat. Ia sendiri mengganggap pengalamanya di London sebagai yang paling tidak meyenangkan dalam hidupnya. Keadaan sedemikian rupa sehingga ia mengalami guncangan saraf yang sejak itu terus merundungnya sepanjang hidup.

Awal tahun 1903 ia tiba kembali ke tanah airnya, dan mengajar di Akedemi Nasional Pertama di Tokyo. Ia pun kemudian mengajarkan sastra Inggris di Universitas Kerajaan. Cara Soseki mengajar dianggap kering dan membosankan, sehingga dia tidak disukai oleh para mahasiswa. Tetapi pada waktu itu pulahlah dia memberikan serangkaian kuliah yang mengemukakan pandangan-pandanganya tentang sastra pada umumnya, dan sastra Inggris serta sastra Jepang pada khususnya, seperti “Konsep umum tentang sastra”, ”Tentang sastra”, Sastra Inggris abad ke-18.

Memang, meskipun Soseki seorang sarjana sastra Inggris yang terpandang, yang pernah tinggal di London selama dua tahun lebih, tetapi tidaklah ia menjadi seorang pengagum buta kebudayaan barat. Padahal pada waktu itu kaum intelektual dan budayawan Jepang sedang bersemangat sekali meniru segala sesuatu yang datang dari Barat. Di kalangan kesusastraan, berbagai aliran yang sedang popular di Eropa ditiru dengan antusias sekali. Kehidupan sastra di zaman Tokugawa yang lebih bersifat hiburan daripada sungguh-sungguh, dianggap tidak sesuai lagi dengan jiwa masyarakat Jepang yang berubah. Tidak syak lagi, Soseki


(36)

hidup pada masa yang sangat menentukan dalam sejarah Jepang. Dalam dunia sastra zaman Meiji paruh yang pertama merupakan zaman pemindahan karya-karya barat ke dalam bahasa Jepang dan hal itu menyebabkan pengaruh Barat merajalela dalam karya sastra bahasa Jepang yang ditulis pada paruh kedua zaman tersebut. Sebagai orang yang mendalami sastra Barat, terutama sastra Inggris, Soseki melihat bahwa sastra Jepang tidak boleh menyangkal fitrahnya.

Walaupun begitu Soseki bukan pula seorang yang terbakar oleh semangat nasionalisme yang sempit. Kalau dia melihat kekurangan-kekurangan pada modernisasi ataupun pada kebudayaan Barat, bukan berarti dia menolak secara apriori terhadapnya. Para peneliti tentang Soseki pun sama-sama melihat bahwa pada karya-karya Soseki tampak pengaruh para pengarang Inggris. Tetapi para peneliti itu pun sepakat, bahwa pengaruh dari para pengarang Barat itu diimbanginya dengan keeratannya pada akar budaya Jepang sendiri, sehingga karya-karyanya merupakan sesuatu yang orisinil. Karyanya yang paling terkenal, Botchan misalnya memperlihatkan pengaruh dari bahasa roman-roman lucu masa itu. Sebagai seseorang yang lahir di Edo (Tokyo), Soseki memang akrab sekali dengan kebudayaan Edo, hal mana tampak bukan saja pada gaya bahasa yang dipakainya menulis Botchan, melainkan dengan caranya menyebut tokoh-tokohnya dengan nama ejekan. Dengan begitu karyanya diakui memang berbeda sekali dengan karya sastra jepang pada masa itu, baik dalam bentuk, gaya bahasa, maupun karakteristiknya.

Pada tahun 1906 dia menolak tawaran surat kabar Yomiuri yang berpengaruh untuk menjadi pengasuh ruangan sastra. Pada waktu itu ia telah berhasil menarik para penggemar dan pengagum serta kawan-kawannya, sehingga


(37)

mereka mengadakan pertemuan sekali seminggu. Di antara pesertanya ada Komiya Toyotaka yang kemudian menulis biografi Natsume Soseki yang lengkap dengan Akutagawa Ryuunosuke (1892-1927) yang kemudian juga jadi terkenal sebagai salah seorang sastrawan Jepang modern yang penting. Pada waktu itu terbit Tiga Cerita (Uzurakugo, 1906) yang terdiri atas Botchan, Bantalan Rumput (Kusamakura) dan Hari Angin ribut (Nihyakutooka). Botchan (1906) sangat popular dan bersama Aku Seekor Kucing (1904) merupakan karya Sooseki yang paling terkenal. .

Pada bulan Februari 1907 dia menerima tawaran dari Asahi, surat kabar terbesar di Jepang pada waktu itu untuk bekerja sebagai penulis cerita. Soseki meninggalakan pekerjaannya sebagai pengajar di universitas karena ia melihatnya sebagai kesempatan untuk menjadi penulis kreatif secara penuh. Keputusan itu menggegerkan kalangan universitas dan kawan-kawanya. Tidak pernah terjadi sebelumnya ada orang yang mau melepaskan kedudukan terhormat dan terjamin sebagai pengajar di universitas pemerintah untuk masuk ke sebuah perusahaan swasta yang tidak jelas masa depannya. Tetapi sejarah kemudian membuktikan bahwa pilihan Soseki tidaklah keliru. Bukan saja untuk dirinya pribadi, melainkan juga bagi dunia kesusastraan Jepang. Dengan meninggalakan universitas, Soseki telah memperkaya khazanah sastra Jepang.

Pada tahun 1909 Soseki membuat geger ketika ia menolak Piala Emas yang diberikan majalah Taiyo, karena terpilih sebagai seniman yang paling banyak mendapat suara penggemar. Alasanya Soseki menganggapa hal itu membahayakan pribadi seniman, karena merupakan tirani mayoritas. Dua tahun setelah itu, ia menggegerkan lagi karena menolak gelar Doktor Kehormatan dalam


(38)

sastra yang hendak diberikan oleh pemerintah. Soseki merasa tersinggung karena menganggap hak asasinya sebagai individu dilanggar karena dia tidak ditanya suka atau tidak menerima gelar kehormatan itu. Dia ingin hidup sebagai manusia biasa. Memang Soseki dikenal eksentrik, tetapi hanya dalam hal-hal yang menyangkut prisip dasar yang dianutnya saja.

Dalam uraiannya yang berjudul “Dasar filsafat sastra dan seni” Soseki menyebut tentang empat macam akibat yang ditimbulkan oleh suatu karya sastra terhadap pembacanya, yaitu yang disebutnya sebagai sesutau keindahan, kebenaran, kebaikan dan kepahlawanan.

Nuansa satir ringan dalam karya-karya awalnya kemudian digantikan dengan Koofu (1908), Sanshiroo (1908), dan Sorekara (1909) yang bernada serius. Meski berjuang melawan sakit parah, termasuk dalam karya sastra Soseki pada dekade terakhir hidupnya antara lain Mon, Kojin (1913), dan Kokoro (1914), kemudian memuncak pada novelnya yang tidak selesai, Meian (1916) yang merupakan sebuah studi pengasingan dan kesepian. Ia meninggal di tahun 1916.

2.2 Defenisi Sosiologi Sastra

Sosiologi adalah ilmiah yang objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Lewat penelitian yang ketat melalui lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama-sama apa yang disebut sosiologi, dikatakan memperoleh gambaran cara manusia


(39)

menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial itu, Swingewood dalam Faruk (1994:11).

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi sastra adalah cabang penelitian yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyrakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra (Endraswara, 2008:77).

Sosiologi sastra dengan menggabungkan dua disiplin yang berbeda, sosiologi dan sastra, secara harafiah mesti ditopang oleh dua teori yang berbeda, yakni teori-teori sosiologi dan teori-teori sastra. Dalam sosiologi sastra yang jelas mendominasi jelas teori-teori yang berkaitan dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer, Ratna (2005: 18). Teori- teori sosiologi yang dapat menopang analisis sosiologis adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khususnya dalam kaitannya dengan aspek ekstrinsik.

Soemardjan dan Soemardi dalam Soekanto (2009: 18) menyatakan bahwa Sosiologi atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta


(40)

lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara pelbagai segi kehidupan bersama.

Adapun wilayah sosiologi sastra cukup luas, Wellek dan Warren dalam Damono (1984:3) membuat klasifikasi masalah sosiologi sastra yaitu:

1. Sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sabagai penghasil sastra. 2. Sosiologi sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri, yang

menjadi pokok penelaan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.

3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kenyataan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagi konstruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik bersama, di dalamnya terkandung persedian pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretatif, sebagai kenyataan yang diciptakan. Pada giliran kenyatanya yang tercipta dalam karya model, Lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karekteristik tokoh misalnya, tidak diukur atas dasar persamaanya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaliknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsiran bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dan rekaan, Teeuw (1984:224-229).


(41)

Hal penting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (mirror). Dalam kaitan ini, sastra dianggapa sebgai mimesis (tiruan) masyarakat. Kendati dengan demikian, sastra tetap diakui sebagai sebuah ilusi atau khayalan dari kenyataan.

Secara esensial sosiologi sastra adalah penelitian tentang: a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif. b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya.

c. Studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya

2.3 Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang-perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilakan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian (konflik) dan sebagianya. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah proses sosial, pengertian mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis.

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia. Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur,


(42)

berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan saling berkelahi. Aktivitas-aktivitas samacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial.

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu:

1. Adanya kontak sosial (social contact) 2. Adanya komunikasi.

Kata kontak berasal dari bahasa latin con atau cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya meyentuh), jadi artinya secara harafiah adalah bersama-sama meyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah, oleh karena orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa meyentuhnya, seperti misalnya, dengan cara berbicara dengan pihak lain tersebut.

Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu: 1. Antara orang perorangan.

2. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya.

3. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainya. Kontak sosial tersebut dapat bersifat positif atau negatif. Yang bersifat positif mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan yang bersifat negatif mengarah pada suatu pertentangan atau pertikaian (konflik).

Arti terpenting dari komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), perasaan-perasan apa yang ingin disampaikan oleh orang


(43)

tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut.

Dengan adanya komunikasi tersebut, sikap-sikap dan perasaan-perasaan suatu kelompok manusia atau orang perseorangan dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain atau orang-orang lainnya. Hal itu kemudian merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya. Komunikasi memungkinkan kerja sama antara orang perorangan atau antara kelompok-kelompok manusia dan memang komunikasi merupakan salah satu syarat terjadi kerja sama. Akan tetapi tidak selalu komunikasi menghasilkan kerja sama bahkan suatu pertikaian/konflik mungkin akan terjadi sebagai akibat salah paham atau karena masing- masing tidak mau mengalah. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition) dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict). Konflik terjadi sesudah timbul emosi, rasa benci dan rasa marah, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan ingin menyerang, melukai, merusak atau memusnahkan pihak lain.

2.4 Konflik Sosial

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya ( http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik).

Pribadi maupun kelompok yang menyadari adanya perbedaan-perbedaan misalnya ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola perilaku dan seterusnya dengan pihak lain. Ciri tersebut dapat mempertajam perbedaan


(44)

yang ada hingga menjadi suatu pertentangan atau pertikaian (conflict). Perasaan memegang peranan penting dalam mempertajam perbedaan-perbedaan tersebut sedemikian rupa, sehingga masing-masing berusaha untuk saling menghancurkan. Perasaan mana biasanya berwujud amarah dan rasa saling benci yang menyebabkan dorongan-dorongan untuk melukai atau menyerang pihak lain, atau untuk menekan dan menghancurkan individu atau kelompok yang menjadi lawan. Pertentangan atau pertikaian adalah suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuanya dengan jalan menentang pihak lain yang disertai ancaman dan/atau kekerasan.

Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata–kata yang mengandung amarah ( http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik).

Soerjono Soekanto mengemukakan 4 faktor penyebab terjadinya konflik yaitu :

- Perbedaan antar individu; merupakan perbedaan yang menyangkut perasaan, pendirian, atau ide yang berkaitan dengan harga diri, kebanggan, dan identitas seseorang. Sebagai contoh anda ingin suasana belajar tenang tetapi teman anda ingin belajar sambil bernyanyi, karena menurut teman


(45)

anda itu sangat mundukung. Kemudian timbul amarah dalam diri anda. Sehingga terjadi konflik.

- Perbedaan kebudayaan; kepribadian seseorang dibentuk oleh keluarga dan masyarakat. Tidak semua masyarakat memiliki nilai-nilai dan norma yang sama. Apa yang dianggap baik oleh satu masyarakat belum tentu baik oleh masyarakat lainnya. Interaksi sosial anta rindividu atau kelompok dengan pola kebudayaan yang berlawanan dapat menimbulkan rasa amarah dan benci sehingga berakibat konflik.

- Perbedaan kepentingan; setiap kelompok maupun individu memiliki kepentingan yang berbeda pula. Perbedaan kepentingan itu dapat menimbulkan konflik diantara mereka.

- Perubahan sosial; perubahan yang terlalu cepat yang terjadi pada suatu masyarakat dapat mengganggu keseimbangan sistem nilai dan norma yang berlaku, akibatnya konflik dapat terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara harapan individu dengan masyarakat.Sebagai contoh kaum muda ingin merombak pola perilaku tradisi masyarakatnya, sedangkan kaum tua ingin mempertahankan tradisi dari nenek moyangnya. Maka akan timbulah konflik diantara mereka.

Pertentangan atau konflik mempunyai beberapa bentuk khusus:

1. Pertentangan pribadi. Tidak jarang terjadi bahwa dua orang sejak mulai berkenalan sudah saling tidak menyukai. Apabila permulaaan yang buruk tadi dikembangkan, maka timbul rasa saling membenci. Masing-masing pihak berusaha memusnahkan pihak lawanya. Makian-makian diucapkan, penghinaan dilontarkan dan seterusnya sampai timbul kekerasan fisik.


(46)

2. Pertentangan rasial. Misalanya, pertentangan antara orang-orang Negro dengan orang-orang kulit putih di Amerika Serikat

3. Pertentangan antara kelas-kelas sosial. Pada umumnya ia disebabkan oleh perbedaan kepentingan.

4. Peretentangan politik. Biasanya pertentangan ini menyangkut antara golongan-golongan dalam suatu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat.

5. Pertentangan yang bersifat internasional.

Berdasarkan Sifatnya konflik dapat di bagi menjadi dua, yaitu:

- Konflik destruktif, merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok orang. Pada titik tertentu konflik ini dapat merusak atau menghancurkan sebuah hubungan.

- Konflik konstruktif, merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan.

Pengertian konflik secara sosiologis tidak jauh berbeda dengan pengetian konflik yang dijabarkan dalam ilmu sastra. Manusia adalah makluk konfliktis (homo conflictus), yaitu makluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela dan terpaksa. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, konflik berarti pertentangan atau percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam bentuk pertentangan ide maupun fisik antara dua belah fihak yang bersebrangan, Susan Novri (2009:4).


(47)

Konflik dalam sebuah karya fiksi sangatlah penting dalam pembentukan alur cerita. Ada dua elemen yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Setiap konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan “sifat-sifat” dan “kekuatan-kekuatan” tertentu seperti kejujuran dengan kemunafikan, kenaifan dengan pengalaman atau individualistis dan kemauan beradaptasi, Stanton (2007:13). Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang, jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya, Meredith & Fitzgerald dalam Nuriyantoro, (1995:122).


(48)

BAB III

ANALISIS KONFLIK SOSIAL TOKOH BOTCHAN DALAM NOVEL BOTCHAN KARYA NATSUME SOSEKI.

3.1 Sinopsis Cerita

Natsume Soseki merupakan seorang tokoh terbesar dalam kesusastraaan modern Jepang yang lahir di Tokyo pada tahun 1867. Salah satu novel yang telah dihasilkan oleh Natsume Soseki adalah novel yang berjudul “Botchan”, yang dibuat tahun 1906. Di awal cerita, novel ini menceritakan kehidupan Botchan kecil yang tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya karena dianggap sebagai anak yang nakal. Kedua orang tuanya bersikap tidak adil kepada Botchan karena hanya menyayangi kakak laki-lakinya. Hanya Kiyo sang pelayan tua yang sangat menyayangi Botchan, ia selalu bisa melihat sisi positif dan kejujuran dari seorang Botchan. Hubungan Botchan dengan ibu, ayah dan kakaknya tidak pernah baik hingga ayah dan ibunya pun meninggal dunia.

Ketika warisan itu dimiliki sang kakak, ia pun lantas menjualnya dan membuat Botchan harus keluar dari rumah dan tinggal di losmen sementara Kiyo harus tinggal di rumah keponakannya dan dengan sangat menyesal tidak bisa lagi mengabdi kepada keluarga itu. Namun, kakaknya hanya memberikan Botchan uang sebesar 600 yen yang digunakan untuk melanjutkan kuliah ataupun membuka usaha. Botchanpun pada akhirnya memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di Sekolah Ilmu Alam Tokyo.

Lulus dari Sekolah Ilmu Alam Tokyo, Botchan menerima tawaran menjadi guru matematika di sekolah menengah pedesaan di Shikoku. Pada hari pertama Botchan mulai mengajar ia sudah mengalami pengalaman yang tidak


(49)

menyenangkan, dimana salah satu muridnya memberikan soal matematika yang mustahil untuk dipecahkan. Kemudian Botchan berkata aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu sekarang, tapi aku akan berusaha memecahkanya lain kali. Hal itu langsung menimbulkan cemooh dan kericuhan dari murid-muridnya. Botchan berkata di mana salahnya mengaku bila kau tidak mampu?

Botchan yang sebelumnya tinggal di Tokyo sering terkejut dengan kebiasaan dan peraturan yang berlaku di sekolah tempat Botchan mengajar seperti seorang guru dilarang berkunjung dan makan di restoran ramen dan dango. Awalnya “Botchan” tidak tau akan hal itu dan ia berkunjung dan makan di toko ramen dan dango. Keesokan harinya ia diejek dan ditertawakan murid-muridnya dengan menemukan tulisan ‘SENSEI TEMPURA’ tertulis di papan tulis.

Botchan mendapatkan giliran menjadi guru tugas malam dan ia diwajibakan unutk menginap di sekolah. Ia dikerjai oleh murid-muridnya yang nakal yang memasukkan belalang ke dalam futonnya ketika ia tugas malam di sekolah. Botchan kemudian memanggil murid-murid penghuni asrama untuk meminta pengakuan dan pertanggungjawaban karena telah beraninya mengerjai seorang guru tugas malam. Murid-murid penghuni asrama pura-pura tidak tau akan hal itu. Tentu saja Botchan marah besar dan menimbulkan keributan di sekolah karena muridnya tidak mau jujur mengakui kesalahan yang telah dilakukan. Kepala sekolah tiba-tiba datang ke sekolah. Setelah mendengar penjelasan tentang apa yang terjadi dari Botchan kepala sekolah tidak langsung menghukum murid-murid. Kepala sekolah malah menyuruh murid-murid untuk masuk sekolah seperti biasa. Botchan tidak setuju atas apa yang telah dilakukan


(50)

kepala sekolah, karena Botchan menganggap kepala sekolah telah bersikap lembek terhadap kenakalan siswa.

Botchan terlibat perseteruan/konflik terselubung dengan Kepala Guru yang di beri julukan si Kemeja Merah oleh Botchan, yang dinilai Botchan munafik, licik dan pura-pura baik, sok intelek dan merasa superior. Ia memanfaatkan jabatannya untuk merebut tunangan orang lain seorang guru bahasa Inggris yang lebih rendah jabatannya yang bernama Koga, dan akhirnya guru tersebut dipindah tugaskan ke daerah yang sangat terpencil. Kemeja menawarkan kenaikan gaji kepada Botchan, karena sekolah mempunyai uang lebih akibat kepindahan Koga. Hal ini tentu saja langsung ditolak oleh Botchan karena ia tahu kepindahan Koga adalah siasat yang dilakukan oleh Kemaja Merah dan bukan atas kemauan Koga sendiri.

Kemeja merah juga mengadu domba Botchan dengan seorang guru Matematika senior yang bernama Hotta yang mengakibatkan pertengkaran diantara Botchan dan guru tersebut. Kemeja merah menipu Botchan dengan mengatakan bahwa Hottalah yang menghasut murid-murid untuk mengerjai Botchan dengan cara memasukan belalang ke dalam futon Botchan ketika ia tugas malam. Ketika insiden kenakalan murid tersebut di bawa ke dalam rapat hanya Hotta yang mendukung pendapat Botchan agar murid-murid harus dihukum atas kenakalan yang dilakukan murid-murid agar kejadian tersebut tidak terulang lagi. Botchan kemudian sadar bahwa Kemeja Merah dan si Badut lah yang berbohong dan ia sedang di adu domba. Botchan kemudian segera berbaikan dengan Hotta. Semenjak mengetahui bahwa mereka di adu domba oleh kepala guru yang licik, mereka pun menjadi bersahabat.


(51)

Sekolah libur untuk merayakan kemenangan tentara Jepang atas Cina. Semua staf guru dan murid-murid harus hadir dalam upacara di lapangan parade kota. Malamnya diadakan pertunjukan dan acara hiburan perayaan kemenangan. Adik Kemeja merah yang juga merupakan murid di sekolah tempat Botchan dan Hotta mengajar datang ke rumah Botchan untuk menanyakan apakah Hotta dan Botchan akan menghadiri pertunjukan malam itu. Botchan dan Hotta pun datang dalam pertunjukan perayaan kemenangan. Ketika menikmati pertunjukan tari dari Tokyo, tiba-tiba adik Kemeja Merah datang mengadu kepada Botchan dan Hotta dan berkata bahwa murid-murid dari sekolah tempat Botchan dan Hotta mengajar terlibat perkelahian dengan murid-murid dari sekolah kejuruan. Botchan dan Hotta berteriak dan berusaha untuk menghentikan perkelahian yang sedang terjadi tetapi malah Botchan dan Hotta yang dipukul dan dilempari batu oleh murid-murid. Botchan dan Hotta tidak terima karena perlakuan murid-murid dan membalas pukulan yang mereka terima dari murid-murid. Ketika polisi tiba di lokasi kejadian, murid-murid kabur. Hotta dan Botchan menceritakan semua kejadian kepada polisi, setelah itu mereka pun pulang ke rumah.

Keesokan harinya nenek pemilik rumah tempat Botchan tinggal datang membawakan surat kabar harian Shikoku. Botchan terkejut perkelahian yang kemarin terjadi tertulis di sana dengan artikel yang memutarbalikan fakta bahwa, Hotta dan Botchan lah yang sebagai seorang guru telah menghasut murid-murid untuk berkelahi dengan murid-murid sekolah kejuruan. Botchan marah besar karena koran telah menceritakan kebohongan. Ia berniat mendatangi surat kabar itu agar meminta maaf atas artikel yang diterbitkan tetapi Botchan dihalangi oleh kepala sekolah. Botchan dan Hotta kemudian sadar bahwa Kemeja Merah lah


(52)

yang mengatur supaya mereka terlibat dalam perkelahian itu karena adik Kemeja Merah yang memanggil Botchan dan Hotta untuk menghadiri perayaan kemenangan dan memberitahukan perkelahiaan yang terjadi. Kemudian Kemeja Merah langsung pergi ke kantor surat kabar dan menyuruh menulis artikel tentang itu. Hotta kemudian diberhentikan dari sekolah karena insiden perkelahian dan artikel surat kabar tersebut tetapi Botchan tidak diberhentikan oleh kepala sekolah. Botchan protes kepada kepala sekolah kenapa Hotta dipecat sedangkan ia tidak, karena ia dan Hotta sama-sama terlibat dalam perkelahian dengan murid-murid. Menurut Botchan kepala sekolah telah bertindak tidak adil. Botchan dan Hotta berencana membalas perbuatan Kemeja merah dan rekannya dengan cara memergoki kepala guru dan si badut berkunjung ke Kadoya (rumah bordil).

Botchan dan Hotta memergoki kepala guru dan rekannya yang penjilat seorang guru seni yang diberi julukan si Badut oleh Botchan berkunjung ke Kadoya (rumah bordil) dan bermain-main bersama dengan seorang geisha. Kemudian Hotta dan Botchanpun melayangkan tinju kepada kepala guru dan si Badut. Padahal sebelumnya si kepala guru berkata pergi ke tempat-tempat hiburan merusak disiplin sebagai seorang guru.

Botchan tak betah lagi tinggal lebih lama di desa tempatnya mengajar. Apalagi Botchan sadar kalau ia tinggal lebih lama lagi murid-muridnya yang nakal akan terus-terusan mengerjai dirinya. Akhirnya ia dan Hotta meninggalkan desa tersebut. Ia membuat surat pengunduran diri kepada kepala sekolah, kemudian kembali Tokyo. Botchan mendapat pekerjaan sebagai asisten mekanik di Tokyo Tram Car. Botchan pun hidup bahagia bersama dengan pengasuh yang disayanginya Kiyo.


(53)

3.2 Analisis Konflik Sosial yang Dialami Tokoh Botchan Dalam Novel Botchan

3.2.1 Konflik dengan murid Cuplikan 1

Lalu tepat saat aku meninggalakan kelas, salah satu murid datang menghampiriku dan sambil menunjukan soal-soal yang mustahil dipecahkan, dia memintaku, lagi-lagi dengan dialek menyebalkan itu, menjelaskan jawabannya. Aku cuma bisa berkata aku tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sekarang, tapi aku akan berusaha memecahkanya lain kali… Ini tentu saja langsung menimbulkan cemooh, dan diantara kericuhan itu aku bisa mendengar samar-samar teriakan, “tak bisa jawab! tak bisa jawab!”. Aku kembali ke ruang guru dengan penuh emosi. Anak-anak sialan! Memangnya ada guru yang bisa menjawab soal-soal tadi? Di mana salahnya mengaku bila kau memang tidak mampu ?.. (Halaman 45)

Analisis

Dari cuplikan di atas terlihat adanya interaksi sosial yang mengarah pada sebuah konflik antara tokoh Botchan dan murid-murid di hari pertama Botchan mengajar di kelas. Botchan mengalami konflik dengan muridnya yang dengan sengaja memberikan kepada Botchan soal matematika yang mustahil dipecahkan, Botchan dengan jujur dan terus terang mengatakan tidak bisa menjawab dan akan berusaha memecahkanya lain kali, tetapi hal tersebut langsung menimbulkan cemooh dan ejekan dari murid-muridnya. Seharusnya cemooh dan ejekan tidak dilontarkan oleh murid kepada seorang guru karena merupakan perbuatan yang tidak sopan. Cemooh dan ejakan yang dilontarkan oleh murid kepada guru adalah


(54)

suatu bentuk ketidakhormatan murid terhadap guru. Menurut Botchan di mana salahnya mengaku bila kau tidak mampu, tetapi murid-muridnya mengangap itu sebagai sebuah lelucon dan menertawakan Botchan atas kejujurannya. Emosi Botchanpun muncul karena telah diejek dan ditertawakan oleh murid-muridnya, sampai-sampai ia mengatai murid-muridnya “anak-anak sialan”. Konflik yang terjadi antara Botchan dan muridnya di sebabkan oleh ejekan dan cemooh yang dilontarkan oleh murid-murid kepada Botchan yang seorang guru sehingga menimbulkan emosi/kemarahan Botchan.

Cuplikan 2

Hari berikutnya, aku berjalan penuh semangat memasuki kelas hanya untuk disambut dengan papan tulis besar-besar, memenuhi permukaan papan, kalimat: SENSEI TEMPURA. Ketika para murid melihat wajahku pecahlah tawa mereka. Aku keheranan, jadi kutanyakan pada mereka di mana lucunya makan tempura?. Sepuluh menit kemudian aku berjalan menuju kelas berikutnya dan mendapati papan tulisnya tertulis dengan SATU ORANG MAKAN EMPAT MANGKUK MI TEMPURA DILARANG TERTAWA. Ketika membaca tulisan di kelas pertama, aku tidak terlalu peduli, tapi kali ini aku benar-benar merasa sebal. Lelucon adalah lelucon, namun kalu berlarut-laru hasilnya kenakalan. Anak-anak ini dibesarkan di kota yang sangking kecilnya seluruh pemandangan bisa dilihat dalam waktu satu jam, dan karena tidak memiliki hal lain yang bisa dibanggakan, mereka bisa begini heboh hanya gara-gara tempura, seolah makanan itu perang Rusia-Jepang. Aku tidak akan menjadikannya masalah bila saja humor mereka polos. Aku bahkan akan ikut tertawa bersama mereka…kemudian berbalik dan menghadap mereka dan berkata, “jadi menurut kalian, melontarkan


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni Pola-Pola Kebudayaan Jepang (terjemahan). Jakarta .Sinar Harapan.

Budianto, Melani. 1997. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra Edisi Revisi. Yogyakarta: Media Pressindo.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset’ Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Nakane, Chie.1981. Masyarakat Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadja Mada University Press.

Ratna, Nyoman Kuta. 2005. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rosidi, Ajip. 1989. Mengenal Sastra dan Sastrawan Jepang. Jakarta: Erlangga. Damono, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.

Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa.

Soseki, Natsume. 2009. Botchan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Soekanto, Soerjono. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

_______________. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


(2)

_______________. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

_______________. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sumardjo, Jakob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia. Bandung: Yayasan Adikarya IKAPI dengan The Ford Foundation.

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik & Isu- Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Tarihoran, Juwita B. 2009. Analisis Sosiologis Tokoh dalam Novel Dengarlah Nyanyian Angin Karya Haruki Murakami. Skripsi Sarjana. Medan: Departemen Sastra Jepang USU.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Pengantar Teori Sastra. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Wiyatmi. 2009. Pengantar Kajian Sastra. Yoyakarta: Pustaka. http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik diakses tanggal 2 Mei 2011

http://sosiologi-sosiologixavega.blogspot.com/2010/10/konflik-dan integrasi - sosial.html diakses tanggal 16 Mei 2011

www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/126761-RB08P38b...Analisis.pdf diakses tanggal 17 september 2011


(3)

http://bahasa-jepang.com/sosial/42-stratifikasi-sosial-masyarakat-jepang diakses tanggal 12 september 2011


(4)

要旨

夏目漱石

作品 BOぃCHAN 小

, BOぃCHAN う

主人公

社会的 対立 分析

文学 言語 使用

社会 機関 社会 中 出

著者 想像

う う

結果 環 境

人間 士

対 作用

様々

人間 生活 問題 明

関 文学 作品 形成 要素

二 分

わ 内要素

外要素

内要素

う う

文学 作品 内部

形成 要素

例 え テ ー 話 順 番 場所

登 場 人 物

う う

外要素

文学 作品 外部

形成 影 響

え う

え 要素

例え 問題 背景

歴史 著者 履歴 加

え 二 要素

深 理解

文学 作品 解 釈 正確

性質 基 文学 作品 二 分

フ クション 文学 作品 ノンフ クション 文学 作品

フ クション 文学 作品 例え ロ ンス 小

短編

最近 人気 フ クション 文学 作品 小

生活 美

価値 含 小

価値

者 喜 え 生活 価値 効用

う う


(5)

一番人気 日本 小

一 夏目漱石

作品 ,“

BOTCHAN う 小

日本文学 有

東京自然科学校

う う う

卒 業

主人公

四国 村

高等学校

う う う

数学

教師

出 受

入 明

対立 出 公平

うへ

正 直

主人公

公平

う へ

正直

多 偽善 具体的 場所 接 触 保

主人公

場所 来 来 教師 士

う う

学生

対 度々対立 関 学校

対立 原因 例え 校則

社 会 状 態

作法

関 正 直

本音 言う う

主人公

性格 大体 学校

人々 性格 反対 彼

教師

心根 適 状 態

感 特 学生

教師 士

う う

コ ュニケーション 時 対 日々直面

心根 対 敵 状 態

”BOTCHAN” 小

対立

話 順 番 構成

要素

更 小

著者 伝え

徳的

伝言 主人公

決心 主人公

正 直

要因

面白

夏目漱石

作品 BOTCHAN 小

,“BOTCHAN

う主人公

社会的 対立 分析 タ トル 筆者 社会学

視点 主人公

他 登 場 人 物

う う

起 対立 分析 特

主人公

教え 場所 主人公

彼 学生 対立

主人公

彼 教師 士

う う


(6)

主人公

学生 起 社会的 対立 学生 被

冷 笑

非難 学生 主人公

夜 働

時 主人公

布団 飛蝗 入 学生 主人公

全 嘘

学生 学校

騒音

立 主人公

命 守 喧嘩

方法

う う

主人公

復 讐

主人公

教師 士

う う

起 社会的 対立 学校

公平

う へ

校 長 先 生

う う

他 先生 騒音

立 学生

制裁 加

え 思想的

対立 生命 原理 性格

対立 BOぃCHAN う主人公

先生 扇動

HOぃぃA 喧嘩 原因 先生 行動

う う

復 讐

主人公