17
F. Kerangka Teori dan Konseptual 1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi aktivitas penelitian, dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.
18
Teori berfungsi untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau suatu proses
tertentu terjadi
19
dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta- fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenaran. Fungsi teori dalam penelitian tesis ini
adalah untuk memberikan arahan dan petunjuk serta meramalkan dan menjelaskan hal yang diamati, karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normative,
kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Penelitian ini menggunakan teori perlindungan hukum yang dikemukakan
oleh Sudikno Mertokusumo, dimana keberadaan hukum dalam masyarakat
merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga dalam hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya
dapat dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaedah. Hukum sebagai kumpulan peraturan
atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
18
Soerjono Soekanto, 1996, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 6
19
J.J.J. M. Wuisman, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting : M. Hisyam, Fakultas Ekonomi, Universitas Indnesia, Jakarta, hal. 203
Universitas Sumatera Utara
18
dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah.
20
Wujud dari peran hukum dalam masyarakat adalah memberikan perlindungan hukum kepada anggota masyarakat yang kepentingannya terganggu. Persengketaan
yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan menurut hukum yang berlaku, sehingga dapat mencegah perilaku main hakim sendiri. Tujuan pokok hukum sebagai
perlindungan kepentingan manusia adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, sehingga terwujud kehidupan yang seimbang.
Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum itu bertujuan agar tercapainya ketertiban dalam masyarakat sehingga diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengutamakan
pemecahan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Menurut Subekti dalam buku Sudikno Mertokusumo berpendapat, bahwa tujuan hukum itu mengabdi
kepada tujuan Negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya.
21
Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang
timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan
20
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hal. 39
21
Ibid ., hal. 57 - 61
Universitas Sumatera Utara
19
bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan
kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman. Dengan demikian perlindungan hukum dalam arti sempit adalah sesuatu yang
diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, serta dalam bentuk yang tertulis maupun tidak tertulis.
Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu ketenteraman bagi segala kepentingan manusia yang ada di
dalam masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup masyarakat. Sedangkan perlindungan hukum dalam arti luas adalah tidak hanya diberikan kepada
seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan dimanfaatkan bersama- sama dalam rangka kehidupan yang adil dan damai.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa istilah standar berarti baku, sesuatu yang dipakai secara patokan, ukuran, acuan. Jika bahasa hukum dibakukan,
berarti bahasa hukum itu ditentukan ukuran patokannya, standarnya, sehingga memiliki arti yang tetap yang dapat menjadi pegangan umum. Dengan demikian
perjanjian standar mempunyai pengertian yang sama dengan perjanjian baku.
22
Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa perjanjian standar adalah perjanjian yang isinya dibakukan, dan dituangkan dalam bentuk formulir.
23
22
Mariam Darus Badrullzaman, 1981, Perjanjian Baku Standard, Perkembangan di Indonesia,
dimuat dalam Beberapa Guru Besar Berbicara tentang Hukum dan Pendidikan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 48 Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrullzaman B
23
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, hal. 35. Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrullzaman C
Universitas Sumatera Utara
20
Lembaga keuangan dalam arti luas adalah sebagai perantara dari pihak yang mempunyai kelebihan dana surplus of funds dengan pihak yang kekurangan dana
lack of funds, sehingga peranan dari lembaga keuangan yang sebenarnya, yaitu sebagai perantara keuangandana masyarakat financial intermediary. Dalam arti
yang luas ini termasuk di dalamnya lembaga perbankan, peransuransian, dana pensiun, pegadaian dan sebagainya yang menjembatani antara pihak yang kelebihan
dana dengan pihak yang memerlukan dana.
24
Pengertian perjanjian secara otentik yang dirumuskan oleh pembentuk Undang-undang sebagaimana terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut Subekti berpendapat bahwa: “Walaupun definisi perjanjian tersebut sudah otentik namun rumusannya disatu sisi adalah tidak lengkap karena hanya
menekankan pada perjanjian sepihak saja dan disisi lain terlalu luas karena dapat mengenai hal-hal yang berhubungan dengan janji kawin yaitu sebagai perbuatan yang
terdapat dalam bidang hukum keluarga.”
25
Batasan dari Pasal 1313 KUH Perdata tentang perjanjian tersebut menurut para sarjana hukum perdata kurang lengkap dan terlalu luas sehingga banyak
mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan-kelemahan tersebut dapat diperinci :
24
Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 34
25
Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
21
a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Jadi jelas nampak tanpa adanya konsensus atau kesepakatan antar kedua belah pihak yang
membuat perjanjian.
b. Kata perbuatan mencakup juaga konsensuskesepakatan. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakanperbuatan yang tidak
mengandung adanya consensus, juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan
tersebut adalah perbuatan hukum.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Untuk pengertian perjanjian disni dapat diartikan juga pengertian
perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, janji kawin. Padahal perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga,
seperti pendapat Subekti diatas. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah hubungan kreditur dan
debitur.
d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam rumusan pasal ini tidak disebutkan sehingga apa tujuan untuk
mengadakan perjanjian pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaknya jelas maksudnya untuk apa.
26
Dari perumusan perjanjian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur perjanjian adalah sebagai berikut :
a. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang b. Ada persetujuan antara pihak-pihak
c. Ada tujuan yang akan dicapai d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan
e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi dari suatu perjanjian f. Ada bentuk tertentu, lisan atau tertulis.
R. Setiawan dalam bukunya yang berjudul Pokok-pokok Hukum Perikatan juga berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut
26
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
22
selain belum lengkap juga terlalu luas.
27
Belum lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata
“Perbuatan” yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki
menjadi : a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan
yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313
KUHPerdata. Menurut R. Setiawan, perjanjian adalah “Suatu perbuatan hukum dimana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
28
Perjanjian Baku merupakan wujud dari kebebasan individu menyatakan kehendaknya untuk menjalankan usahanya dalam era globalisasi ini, pembakuan dan
syarat-syarat perjanjian merupakan model yang tidak dapat dihindari bagi para pengusaha dalam mencapai tujuan ekonomi yang efisien, praktis dan ekonomis serta
tidak rumit.
29
Pemerintah Indonesia secara resmi melalui UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menggunakan istilah klausula baku sebagaimana dapat
ditemukan dalam Pasal 1 angka 10, yaitu
27
R. Setiawan, 1979, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hal. 49
28
Ibid .
29
Ibid ., hal. 50
Universitas Sumatera Utara
23
Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha
yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Ada juga yang menyebutkan bahwa kontrak
standar itu dikatakan perjanjian atau persetujuan yang dibuat oleh para pihak mengenai sesuatu hal yang telah ditentukan secara baku standar serta
dituangkan secara tertulis baku standar.
30
Perjanjian baku atau perjanjian standar memiliki dua buah ciri yang sangat khas. Pertama, perjanjian standar selalu berupa perjanjian yang tertulis yang
substansinya selalu telah dipersiapakan terlebih dahulu. Kedua, perjanjian standar disusun dan disipakan oleh salah satu pihak kemudian diajukan kepada pihak yang
lain untuk diterima secara utuh. Perjanjian standar adalah suatu bentuk kontrak definitif yang telah disiapkan dan diusulkan oleh salah satu pihak kepada pihak lain.
Pihak yang disebut terakhir tersebut tidak dapat mengubah isi kontrak, ia hanya memiliki dua pilihan yaitu menerima menyetujuinya atau menolaknya, tanpa dapat
menegosiasikan substansi dari perjanjian itu lagi. Keuntungan
penggunaan perjanjian
baku yakni
menghemat waktu,
menghemat tenaga kerja, juga kecepatan transaksi. Penggunaan perjanjian baku merupakan salah satu terobosan dalam bidang hukum perikatan yang cermat, apalagi
dalam bidang ekonomi, dimana segala aktivitas perekonomian harus diperhitungkan secara cermat, efektivitas dan efesiensi diperhitungkan dengan baik. Penggunaan
perjanjian baku dapat diterima oleh kalangan profesional.
30
Ahmad Miru Sutarman Yodo, 2008,”Hukum Perlindungan konsumen”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 108
Universitas Sumatera Utara
24
Namun, dibalik kemudahan penggunaan perjanjian baku atau perjanjian standar ada akibat hukum yang mungkin tidak terpikirkan oleh pembuat perjanjian.
Akibat hukum lebih menitikberatkan pada pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian dengan hanya menyetujui atau menolak tanpa ikut serta membuat
perjanjian, tidak memiliki posisi tawar menawar yang kuat. Pihak kedua berada dalam posisi lemah dan seringkali klausula-klausula dalam perjanjian baku
memojokkan pihak kedua. Dalam kepustakaan hukum Indonesia, klausula ini disebut klausula eksonerasi peristilahan ini digunakan oleh Mariam Darus Badrlzaman,
beliau mengindonesiakan istilah exonoratie clausule dari bahasa Belanda menjadi klausula eksonerasi atau klausula eksemsi diIndonsiakan dari istilah exemption
clausule.
31
Menurut Mariam Darus Badrulzaman klausula eksonerasi adalah klausula yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari kreditur
32
, sedangkan menurut Sutan Remy Sjahdeini, klausula eksemsi adalah klausula yang bertujuan untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya
melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.
33
Klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian baku yang memberatkan pihak kedua misalkan perjanjian baku dengan klausula sebagai berikut: “apabila
pihak kedua melanggar isi kontrak, maka ia harus mengganti kerugian sebsar ½ atau
31
Ibid ., hal. 109
32
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 30
33
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 68
Universitas Sumatera Utara
25
¼ dari harga yang telah ditetapkan”, atau klausula lain yang bunyinya dikemudian hari dapat memberatkan atau merugikan pihak kedua.
34
Perjanjian baku ini sendiri dalam teori perjanjian masuk dalam doktrin ketidakadilan uncoscionalibility adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum perjanjian
yang mengajarkan bahwa suatu perjanjian batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam perjanjian tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan
sangat memberatkan salah satu pihak, sesungguhpun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan. Salah satu wujud dari ketidakadilan
dalam kontrak adalah apa yang disebut dengan “Keterkejutan yang tidak adil Unfair Suprise
. Suatu klausula dalam kontrak dianggap merupakan unfair manakala klausula tersebut bukan klausula yang diharapkan oleh seorang yang normal dalam
kontrak semacam itu, sementara pihak yang menulis perjanjian mempunyai alasan untuk mnegtahui bahwa klausula tersebut tidak akan sesuai dengan keinginan yang
wajar dari pihak lain, tetapi pihak yang menulis kontrak tersebut tidak berusaha menarik perhatian pihak lainnya terhadap klausula tersebut. Contoh, klausula yang
bersifat unfair suprise adalah perjanjian baku atau perjanjian standar.
35
Pandangan yang modern dalam hukum perjanjian mengajarkan bahwa klausula dalam perjanjian baku hanya mengikat sejauh klausula-klausula oleh
manusia yang normal akan dipandangnya sebagai klausula yang wajar dan adil. Jika ada klausula tersebut bersifat sebaliknya, maka klausula yang bersangkutan oleh
34
Ibid ., hal. 69
35
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
26
hukum dianggap tidak pernah ada. Perkembangan perjanjian baku ini lebih mendekati pandangan Max Weber.
36
Perjanjian akhirnya lebih didominasi oleh pihak yang lebih kuat dan menempatkan pihak lain dalam posisi lemah. Pihak bank dapat digambarkan
sebagai pihak yang kuat yang lebih mendominasi daripada pihak nasabah. Pihak nasabah digambarkan sebagai pihak yang lemah. Berkaitan dengan perkembangan
perjanjian yang cenderung menggunakan perjanjian baku atau perjanjian standar, maka pandangan Durkheim tidak sesuai dengan kenyataan yang berkembang saat ini.
Adanya perjanjian baku di satu pilihan mencerminkan ketidakadilan karena pihak yang lemah dihadapkan pada pilihan mencerminkan ketidakadilan karena pihak yang
lemah dihadapkan pada pilihan menerima atau menolak ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut. Padahal, Durkheim menyatakan bahwa perjanjian yang akan
berkembang dimasa depan adalah perjanjian berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan itu merupakan kontrak yang adil.
37
Dengan demikian, perjanjian baku bertentangan dengan pandangan Durkheim. Perjanjian baku ini malahan mencerminkan pandangan yang dikemukakan oleh Max
Weber, bahwa: Dengan berkembangnya perekonomian maka perkembangan kontrak bergeser,
dari kesepakatan antara para pihak yang didasarkan dari keinginan bebas dari para pihak yang menjadi kebebasan tidak tak terbatas, pihak yang kuat yang
mendominasi isi kontrak dan pihak lain berada di posisi lemah yang tidak memiliki posisi tawar menawar yang kuat.
38
36
Ibid ., hal. 69
37
Ibid.
38
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
27
Walaupun kontrak baku di satu pihak tidak mencerminkan sisi keadilan, karena menempatkan posisi salah satu pihak dalam posisi lemah, namun bentuk
perjanjian baku telah diakui secara internasional. Bentuk kontrak baku tercantum dalam International Commercial Term 1993
yang disponsori oleh International Chamber of Commers dan The General Conditions of Safe and Standard Form of Contracts
yang disponsori oleh United Nation Economic Commision for Europe
. Dalam International Commercial Terms
1993 dan The general Conditions of Sale and Standard of Contracts
diakui tiga macam bentuk perjanjian - perjanjian internasional yaitu sebagai berikut, kontrak-kontrak hukum perdata internasional, perjanjian -
perjanjian baku biasa dan kontrak-kontrak standar internasional.
39
Dalam Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT Principles of International Comercial Contract
. Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka
menerapkan prinsip
kebebasan berkontrak
karena prinsip
kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19
Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut : Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku
aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20-pasal 2.22. Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan
terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku dan Pengertian kontrak baku.
40
Lebih lanjut bahwa perjanjian baku standar itu sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan adalah beberapa hal lainnya yang sifatnya
sangat spesifik dari obyek yang diperjanjikan. Dengan demikian perjanjian adalah perjanjian yang diterapkan secara sepihak oleh produsenpelaku usahapenjual yang
39
Ibid., hal. 70
40
Standar Kontrak Dalam Hukum Perjanjian, Posted Maret 7, 2011 by Niken Saraswati
Universitas Sumatera Utara
28
mengandung ketentuan yang berlaku umum massal sehingga pihak konsumen hanya mempunyai 2 pilihan saja yaitu menyetujui atau menolaknya.
Perjanjian baku merupakan salah satu perkembangan hukum perikatan. Sebagaimana diketahui dari praktek perundang-undangan tentang perlindungan
konsumen di beberapa negara, salah satu aspek yang selalu mendapat tempat tersendiri dalam pengaturannya adalah masalah Klausula Baku atau Perjanjian Baku.
Istilah lainnnya adalah Perjanjian Standar atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Standard Clause“, “Standard Contract” atau “Standard Agreement“.
41
Selama ini, banyak keluhan yang disampaikan konsumen dengan transaksi kualitas barang yang
dibeli konsumen tidak sesuai dengan yang diiklankan. Bagian customer service yang seharusnya dapat menyelesaikan permasalahan ini dengan baik, justru sering
mengecewakan konsumen. Memang ada beberapa pelaku usaha yang terbuka dan mau menerima keluhan seperti itu. Mereka bersedia memberi ganti rugi atau
penggantian barang. Namun, ketika UUPK belum diberlakukan, hal itu belum menjadi kewajiban yang memiliki kekuatan hukum pelaku usaha.
Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa Inggris disebut standard contract, standard agreement.
Prinsip ekonomi dan kepastian hukum dalam perjanjian baku hanya dilihat dari kepentingan pengusaha, bukan kepentingan
konsumen. Dengan pembakuan syarat-syarat perjanjian, kepentingan ekonomi pengusaha lebih terjamin, karena konsumen hanya menyetujui syarat-syarat yang
disodorkan oleh pengusaha. Abdul Kadir Muhammad mengatakan dalam kontrak
41
Abdul Kadir Muhammad, 1992, Perjanjian
Baku Dalam
Praktek Perusahaan Perdagangan
, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
29
baku konsumen harus menerima segala akibat yang timbul dari perjanjian tersebut, walaupun akibat hukum itu merugikan konsumen tanpa kesalahannya. Di sini
konsumen dihadapkan pada suatu pilihan yaitu menerima dengan besar hati.
42
Perjanjian baku dalam prektek dikenal ada berbagai sebutan untuk jenis perjanjian kontrak semacam ini misalnya di Perancis digunakan Contract
d’adhesion . Perjanjian baku diartikan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda
standard contract atau standard voorwaarden. Kepustakaan jerman mempergunakan
istilah Allgemeine Geschafts Bedingun atau standart vertrag. Hukum inggris menyebutkan
Standard contract
, sedangkan
Mariam Darus
Badrulzaman menterjemahkannya dengan istilah perjanjian baku.
43
Sutan Remy Sjahdeini dalam Munir Fuady, mengatakan bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh
pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.
44
Perjanjian baku yang diperlukan di Indonesia, khususnya di dunia bisnis sudah menjadi model perjanjian. Namun sah atau tidaknya perjanjian baku, para
sarjana hukum masing-masing mempunyai pendapat berbeda-beda. Beberapa sarjana hukum Belanda mengemukakan antara lain Sluijter dalam Sutan Remy Sjahdeini,
bahwa Perjanjian baku ini bukan perjanjian sebab kedudukan pengusaha yang
42
Ibid., hal. 4
43
M.D. Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, hal. 75
44
Munir Fuady, 1994, Hukum Bisnis teori dan praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 46
Universitas Sumatera Utara
30
berhadapan dengan konsumen di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta Legio Particuliere wetgever.
45
Pitlo dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, menggolongkan perjanjian baku sebagai perjanjian paksa dwang contract, yang walaupun secara teoretis
yuridis, perjanjian baku tidak memenuhi ketentuan undang-undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak, namun kenyataan masyarakat membutuhkan sarana hukum sesuai
dengan kebutuhan.
46
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat, bahwa keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan, oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah
merupakan kenyataan, yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya.
Pand, pandrecht atau hak gadai, adalah suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang kreditur atas suatu benda bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh si
berhutang debitur atau oleh seseorang lain atas namanya dan yang memberikan kepada si berpiutang kreditur itu untuk mengambil pelunasan dari barang-barang
bergerak tersebut, secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang kreditur lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang
telah dikeluarkan untuk memelihara barang itu dan biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
47
UU Perlindungan Konsumen bukan satu-satunya hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia. Sebelum disahkannya UUPK pada
45
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hal.47.
46
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, hal. 117
47
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 153
Universitas Sumatera Utara
31
dasarnya telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang materinya melindungi kepentingan konsumen antara lain: Pasal 202-205 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya 1949, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan sebagainya. Lahirnya UUPK diharapkan menjadi payung hukum umbrella act
di bidang konsumen dengan tidak menutup kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan lain yang materinya memberikan perlindungan hukum terhadap
konsumen.
48
Adanya perlindungan hukum bagi nasabah selaku konsumen di bidang perbankan menjadi urgen, karena secara faktual kedudukan antara para pihak
seringkali tidak seimbang. Perjanjian kreditpembiayaan dan perjanjian pembukaan rekening bank yang seharusnya dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak, karena
alasan efisiensi diubah menjadi perjanjian yang sudah dibuat oleh pihak yang mempunyai posisi tawar bargaining position dalam hal ini adalah pihak bank.
Nasabah tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menerima atau menolak perjanjian yang disodorkan oleh pihak bank take it or leave it.
Pencantuman klausula-klausula dalam perjanjian kreditpembiayaan pada bank sepatutnya merupakan upaya kemitraan, karena baik bank selaku kreditur
48
Erman Rajagukguk, dkk, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
32
maupun nasabah
debitur kedua-duanya
saling membutuhkan
dalam upaya
mengembangkan usahanya masing-masing.
49
Klausula yang
demikian ketatnya
didasari oleh
sikap bank
untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kreditpembiayaan. Dalam
memberikan perlindungan terhadap nasabah debitur perlu kiranya peraturan tentang perkreditan direalisir sehingga dapat dijadikan panduan dalam pemberian kredit. Di
sisi lain pengadilan yang merupakan pihak ketiga dalam mengatasi perselisihan antara bank dengan nasabah debitur dapat menilai apakah upaya-upaya yang
dilakukan oleh kedua belah pihak telah sesuai dengan yang disepakati dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.
50
Keberatan-keberatan terhadap perjanjian standar antara lain adalah karena: 1 Isi dan syarat-syarat sudah dipersiapkan oleh salah satu pihak, 2 Tidak mengetahui
isi dan syarat-syarat perjanjian standar dan kalaupun tahu tidak mengetahui jangkauan akibat hukumnya, 3 Salah satu pihak secara ekonomis lebih kuat, 4 Ada
unsur “terpaksa” dalam menandatangani perjanjian. Adapun alasan penciptaan perjanjian standar adalah demi efisiensi.
51
Adanya kondisi demikian, melatarbelakangi substansi UU Perlindungan Konsumen untuk memberikan pengaturan mengenai ketentuan pencantuman klausula
baku, yaitu sebagai berikut:
49
Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default dan Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah
, PT. Revika Aditama, Bandung, hal 47.
50
Ibid .
51
H. Budi Untung, 2005, Kredit Perbankan di Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta, hal 38
Universitas Sumatera Utara
33
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang danatau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen danatau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak
oleh pelaku
usaha dalam
masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti. 3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum. 4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undang-undang ini.
52
Dari ketentuan dalam Pasal 18 dimaksud yang sangat terkait erat dan sering terjadi dalam perjanjian kreditpembiayaan yang diberikan oleh bank adalah
ketentuan pada ayat 1 huruf g, yakni bahwa bank menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan danatau pengubahan
52
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
34
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
Walaupun ketentuan mengenai klausula baku sudah diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, akan tetapi pada kenyataannya sering kali masih terjadi
pelanggaran sehingga akan merugikan kepentingan nasabah. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pihak bank untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir
terjadinya kerugian bagi nasabah karena memang harus dalam bentuk perjanjian standar, antara lain adalah sebagai berikut:
53
1 Memberikan peringatan secukupnya kepada para nasabahnya akan adanya dan berlakunya klausula-klausula penting dalam perjanjian.
2 Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penandatanganan perjanjian kreditpembiayaan.
3 Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang jelas. 4 Memberikan kesempatan yang cukup bagi debitur untuk mengetahui isi
perjanjian. Dengan kerjasama yang baik antara pihak bank dengan nasabah, khususnya
dalam hal adanya perjanjian standar mengenai kredit atau pembiayaan, serta pembukaan rekening di bank maka diharapkan akan lebih mengoptimalkan
perlindungan hukum bagi nasabah, sehingga dapat meminimalisir dispute yang berkepanjangan di kemudian hari.
2. Konsepsional
Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standard. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep
53
Ibid, hal 42
Universitas Sumatera Utara