1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi
sebagai bagian
dari pembangunan
nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka bertambah meningkatnya pembangunan
nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, yang para pelakunya meliputi Pemerintah maupun masyarakat sebagai orang-perseorangan dan badan hukum,
sangat diperlukan dana dalam jumlah yang sangat besar, sehingga dengan meningkatnya kegiatan pembangunan tersebut, maka meningkat pula keperluan akan
tersedianya dana yang sebagian besar diperoleh melalui pinjaman dengan membuat suatu bentuk perjanjian.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang perjanjian pada umumnya dijumpai pada Buku III KUH Perdata yang esensinya adalah hukum Perdata materil Belanda
yang diatur dalam Burgelijke Wetboek BW, sedangkan di Indonesia lazimnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang diberlakukan di Hindia Belanda
berdasarkan asas konkordansi dan selanjutnya disebut KUH Perdata. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa dalam
pembuatan perjanjian harus berpedoman pada hukum perjanjian dalam KUH Perdata. Di mana dalam melakukan suatu perjanjian haruslah mengandung ketentuan-
ketentuan yang memaksa dwingen, mandatory dan yang sifatnya mengatur
Universitas Sumatera Utara
2
aanvullend, optional. Untuk ketentuan-ketentuan yang memaksa, para pihak tidak mungkin menyimpanginya dengan membuat syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan
lain dalam perjanjian yang mereka buat. Namun terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat mengatur, para pihak bebas menyimpanginya dengan
mengadakan sendiri syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Maksud dari adanya ketentuan-ketentuan yang opsional itu,
adalah hanya untuk memberikan aturan yang berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak bila memang para pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara
tersendiri agar tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai hal atau materi yang dimaksud.
1
Dalam hal kegiatan perjanjian pinjam-meminjam uang atau yang lebih dikenal dengan istilah kredit dalam praktek kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan
sesuatu yang asing lagi, bahkan istilah kredit ini tidak hanya dikenal oleh masyarakat perkotaan, tetapi juga sampai pada masyarakat di pedesaan. Kredit umumnya
berfungsi untuk menambah modal kegiatan usaha, dan khususnya bagi kegiatan perekonomian di Indonesia sangat berperan penting dalam kedudukannya, baik untuk
usaha produksi maupun usaha swasta yang dikembangkan secara mandiri karena bertujuan meningkatkan taraf kehidupan bermasyarakat.
Dalam hal ini, pemerintah berusaha menyediakan fasilitas kredit melalui lembaga perbankan maupun lembaga non perbankan untuk membantu golongan
ekonomi lemah dengan persyaratan ringan. Salah satu lembaga perkreditan dalam
1
Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia
, Institut Bankir Indonesia, hal.47.
Universitas Sumatera Utara
3
penelitian ini adalah non perbankan, yaitu perum pegadaian yang diharapkan dapat memberikan kredit dengan syarat-syarat yang tidak dapat memberatkan masyarakat dan
dengan jaminan ringan kepada masyarakat luas, khususnya kredit golongan ekonomi menengah ke bawah yang banyak menginginkan kredit untuk kebutuhan sehari-hari,
sedangkan digolongan ekonomi menengah ke atas dipergunakan untuk menambah modal usaha.
2
Perum Pegadaian turut melaksanakan dan mendukung kebijakan program pemerintah dibidang ekonomi dan pembangunan nasional yaitu menyalurkan dana
kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman uang kepada debitur dengan jaminan berupa barang yang secara langsung nyata dilakukan penyerahan kekuasaan atas barang
sebagai jaminan gadai kepada kreditur.
3
Di dalam Pasal 1150 KUH Perdata menyebutkan bahwa : Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang
bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu
untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang
barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.
4
Dari isi Pasal 1150 KUH Perdata, gadai merupakan hak debitur atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepada kreditur untuk suatu utang piutang antara keduanya,
sehingga dari hubungan utang piutang tersebut akan timbul hubungan hukum yang
2
Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 156
3
Wawan Widjaya dan Ahmad Yani,2000, Jaminan Fidusia
, Raja Grafindo Persada, Jakarta,hal 88
4
Subekti dan R. Tjiptosudibio, 2004, KUHPerdata, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 297
Universitas Sumatera Utara
4
mengakibatkan perikatan diantara penerima gadai dan pemberi gadai sehingga hak gadai ini timbul dari perjanjian yang mengikuti perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit.
Perjanjian gadai dapat dilihat dari dua sisi, yaitu disalah satu sisi disebut sebagai penerima gadai kreditur memberikan pinjaman uang dan di sisi lain disebut pemberi
gadai debitur memberikan jaminan berupa suatu barang, dengan kata lain kreditur memberikan pinjaman sejumlah uang dengan meminta barang sebagai jaminan kepada
debitur, atau sebaliknya debitur memberikan barang untuk dikuasai kreditur kepada debitur, atau debitur memberikan barang untuk dikuasai kreditur untuk pinjaman
sejumlah uang dari kreditur.
5
Barang yang menjadi obyek gadai tersebut harus diserahkan oleh debitur masyarakat kepada kreditur Perum Pegadaian. Jadi barang-barang yang
digadaikan berada di bawah kekuasaan pemegang gadai. Asas ini disebut asas Inbezitstelling
6
yang merupakan syarat mutlak dalam perjanjian gadai. Dalam perjanjian gadai kedua belah pihak memiliki masing-masing hak dan
kewajiban. Yang merupakan kesepakatan para pihak untuk menjalankan isi perjanjian tersebut, begitu juga dalam hal untuk menghindari terjadinya suatu resiko dari apa
yang mereka perjanjikan salah satunya resiko terhadap keselamatan barang-barang debitur yang dijaminkan dalam perjanjian gadai. Dengan demikian gadai masih
diperlukan dalam perjanjian kredit di dalam masyarakat. Menurut Celina Tri S.K bahwa: “Pengertian perjanjian baku adalah perjanjian
yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang
5
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hal 254
6
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT Grafindo Persada, Jakarta, hal 37. Asas Inbezitstelling, maksudnya memberikan kekuasaan kepada si berpiutang untuk
mengambil pelunasan dari barang gadai tersebut.
Universitas Sumatera Utara
5
lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.”
7
Rahman Hasanudin mengatakan bahwa: “Pengertian dari perjanjian baku lebih cenderung secara substansi hanya menuangkan dan menonjolkan hak-hak
yang ada pada pihak yang berkedudukan lebih kuat sedangkan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karenanya posisinya yang lemah.”
8
Kontrak bisnis yang pada umumnya berbentuk standar senantiasa terkesan sebagai kontrak yang tidak seimbang, karena hanya menguntungkan salah satu pihak,
dalam kontrak standar berhadapan dua kekuatan yang tidak seimbang antara pihak yang mempunyai bargaining position posisi penawaran yang kuat dengan pihak
yang lemah bargaining position-nya. Pihak yang posisinya lemah hanya sekedar menerima segala isi kontrak yang standar dengan terpaksa. Bilamana ia mencoba
menawar dengan alternatif lain, kemungkinan besar akan menerima konsekuensi kehilangan apa yang dibutuhkan.
Kontrak dimaksud formatnya dan norma-norma hukum yang ada didalamnya tidak dapat diubah dan sudah dirancang sedemikian rupa, sehingga tidak memberi
peluang kepada salah satu pihak biasanya debitur, untuk memahami dan mendalami lebih lanjut isi atau materi kontrak yang disepakatinya.
Berkenaan dengan kontrak baku kontrak standar dalam perjanjian kredit tersebut, Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa:
“Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang hampir seluruh klausal- klausalnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain, pada
7
Celina Tri. S.K, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 139.
8
Rahman Hasanudin, 1999, Legal Drafting, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 134.
Universitas Sumatera Utara
6
dasarnya tidak mempunyai peluang kepada calon nasabahdebitur untuk merundingkan atau meminta perubahan. Klausul-klausul baku yang lazim
terjadi dalam masyarakat, adalah klausul baku yang berkaitan dengan jenis harga, jumlah, tempat, waktu dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang
diperjanjikan.”
9
Perjanjian dalam bentuk kontrak baku, biasanya menggunakan formulir yang didalamnya memuat sejumlah klausul-klausul baku yang telah disusun sebelumnya
secara sepihak dan calon nasabah tinggal membubuhkan tanda tangannya saja bila bersedia menerima isi klausul baku yang dibuat calon kreditur. Setiap nasabah hanya
diberi dua pilihan yaitu “take it or leave it” ambil atau tinggalkan. Calon nasabah tidak diberi kesempatan untuk membicarakan lebih lanjut isi atau klausul-klausul
baku yang diajukan, sehingga tampak adanya kedudukan calon nasabah sangat lemah. Akibatnya, calon debitur menerima saja syarat-syarat yang disodorkan demi
mendapatkan apa yang diharapkannya.
10
Salah satu bentuk perjanjian standar yang diberlakukan kepada debitur terdapat pada perjanjian yang dilakukan oleh Perusahaan Umum Pegadaian.
Keberadaan Perum Pegadaian sebagai salah satu lembaga perkreditan non bank dengan mottonya “mengatasi masalah tanpa masalah”, merupakan jalan keluar bagi
masyarakat golongan ekonomi lemah sebagai alternatif penyaluran uang pinjaman dalam waktu singkat, yang tidak mungkin dilakukan bila mengambil kredit dari bank
dengan perjanjian. Dalam perjanjian ini, masyarakat dapat memperoleh dana dalam jumlah yang disesuaikan dengan agunan barang yang ditaksir untuk menentukan
9
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 66
10
Ibid ., hal. 68
Universitas Sumatera Utara
7
berapa dana dengan dasar hukum gadai. Penyaluran uang pinjaman tersebut dilakukan dengan cara yang mudah, cepat, aman, dan hemat. Sehingga tidak memberatkan bagi
masyarakat yang melakukan pinjaman dan tidak menimbulkan masalah yang baru bagi peminjam setelah melakukan pinjaman di Pegadaian.
Penggunaan perjanjian baku dalam sistem pembiayaan pada Perum Pegadaian merupakan suatu hal yang tidak terelakkan lagi, karena alasan efisiensi operasional
perbankan dan jaminan kepastian untuk melindungi kepentingan pegadaian selaku pelaku usaha jasa atau pihak kreditur yang mengeluarkan dana. Namun, nasabah
debitur juga memerlukan jaminan kepastian hukum atas perlindungan hak-haknya selaku konsumen atau pihak debitur yang memanfaatkan dana pegadaian. Di Perum
Pegadaian perjanjian baku yang dibuat secara baku dan ditentukan sepihak oleh pegadaian yang dilakukan secara adil, sehingga dapat menjamin kepentingan para
pihak dan memberikan perlindungan hukum secara berimbang, yaitu dengan penitipan barang. Dimana nasabah debitur yang melakukan perjanjian kredit akan
menitipkan barang agunanya sebagai jaminan kredit. Salah satu lembaga perkreditan non perbankan yang dapat melayani
masyarakat guna untuk mendapatkan kredit dengan mudah yaitu Perum Pegadaian. Perum Pegadaian merupakan “Badan Usaha Milik Negara yang mengemban misi
untuk menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan, penyaluran uang pinjaman
Universitas Sumatera Utara
8
kepada masyarakat ini didasarkan hukum gadai”.
11
Perum Pegadaian menyalurkan dana pinjaman kepada setiap debiturnya untuk memperoleh kredit jika ada jaminan
berupa benda bergerak. Penyaluran dana pinjaman tersebut dilakukan dengan cara yang mudah, cepat, aman, dan hemat, sehingga tidak memberatkan bagi masyarakat yang
melakukan pinjaman dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari bagi peminjam setelah melakukan perjanjian kredit di pegadaian.
Pegadaian bertujuan untuk membantu masyarakat golongan ekonomi lemah mengatasi kesulitan akan dana yang dibutuhkan segera. Di samping itu, Pegadaian
juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lapisan bawah yang berpenghasilan rendah dengan mencegah dan menghindari praktek lintah darat dan
Pegadaian gelap dengan bunga tinggi. Pegadaian juga turut melaksanakan dan menunjang pelaksanaan program pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan
nasional.
12
Dengan demikian perjanjian gadai yang didukung oleh dokumen hukum utama dibuat secara sah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 1320
KUH Perdata. Akibat hukum perjanjian gadai yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi Perum Pegadaian dan peminjam Pasal 1338 ayat 1 KUH
Perdata. Konsekuensi yuridis selanjutnya perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak. Dokumen pendukung
11
Mariam Darus Badrulzaman, 1994, Aneka Hukum Bisnis, Cet. I, Edisi I, Alumni, Bandung, hal. 28 selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman A
12
Abdulkadir Muhammad dan Rilda Murniati, 2004, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.109
Universitas Sumatera Utara
9
perjanjian gadai berfungsi sebagai dokumen bukti yang sah, melengkapi dan memperkaya hukum perdata tertulis.
13
Berdasarkan pada pertimbangan tersebut, bahwa pembuatan kontrak baku antara Perum Pegadaian dengan nasabahdebitur, semestinya berada pada tatanan
yang menempatkan posisi para pihak yang membuat perjanjian dalam kedudukan yang seimbang sama, sehingga bentuk kontrak baku yang dibuat oleh pihak perum
pegadaian, tidak merugikan dan memberatkan nasabahdebitur, sebagaimana ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen. Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen mengatur asas manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamaan dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Sedangkan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen mengatur format klausul baku yang
dibuat pihak produsen tidak boleh merugikan pihak konsumen. Kenyataan menunjukkan bahwa kontrak baku standar yang dibuat Perum Pegadaian, cenderung
membuat kontrak sejumlah klausula yang hanya menguntungkan pihak Perum Pegadaian sendiri dengan tidak mengakomodasi kepentingan nasabahdebitur. Dapat
dilihat dari isi kontrak baku, bilamana debitur tidak sanggup bayar, maka barang jaminan atau agunan akan dilelang sesuai dengan perjanjian baku yang telah dibuat
oleh pihak pegadaian. Dengan demikian, UU Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang
mengintergrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan
13
Ibid ., hal. 29
Universitas Sumatera Utara
10
konsumen, walaupun sudah diberlakukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen namun di Indonesia perjanjian bakustandar yang substansinya mencantumkan
klausula eksonerasi kenyataannya sudah merambah sektor bisnis, namum dari kajian akademik oleh para pakar hukum memandangnya secara yuridis masih kontrolversial
eksistensinya.
14
Model perjanjian baku ini masih sering diperdebatkan di satu sisi dengan dalih kebebasan para pihak sesuai dengan asas kebebasan untuk membuat perjanjian
sedangkan di sisi lain dengan dalih kebebasan yang dimiliki secara sepihak oleh pelaku usaha, yaitu dengan melanggar hak konsumen, walaupun pada asasnya para
pihak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, namun konsep dasar keseimbangan antara para pihak dalam membuat perjanjian merupakan konsep yang
tidak dapat ditawar. Dengan demikian, model kontrak baku dalam masyarakat sudah menjadi
polemik tentang eksistensinya, dimana dalam perjanjian baku tersebut didalamnya selalu mencantumkan syarat-syarat eksonerasi. Model perjanjian baku yang
berklausula eksonerasi tersebut dibuat oleh salah satu pihak yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat. Dalam pola hubungan yang demikian itu yang ekonominya
14
Shidarta, 1987, ”Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia”, PT Grasindo, Jakarta, Hal, 119. Klausula eksonerasi adalah syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung
jawab terhadap akibat yang merugikan yang timbul dan pelaksanaan perjanjian. Selain itu juga klausula eksonerasi merupakan klausula yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan
menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen penjual.
Dari hal
ini terlihat
bahwa dengan
adanya klausula
eksonerasi menciptakan
ketidakseimbangan posisi tawar menawar antara produsen dan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
11
lemah hanya mempunyai 2 dua pilihan yaitu menerima dengan segala macam persyaratan atau menolaknya sama sekali.
Hal ini dapat diamati pada prosedur pembuatan kontrak dalam bentuk formulir dan klausul-klausul baku yang telah disusun sedemikian rupa secara sepihak.
Pada umumnya nasabah tidak berfikir panjang untuk menerima syarat-syarat dan mengisi formulir yang disodorkan tanpa meneliti secara cermat, mengingat nasabah
dalam keadaan terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan hanya Perum Pegadaian yang mampu mengatasi masalah dengan cepat dan mudah, oleh karenanya
nasabah tidak lagi memperhitungkan resiko yang akan diterimanya jika terjadi wanprestasi.
Selain itu terdapat beberapa klausul baku yang dapat menjadi sumber konflik antara nasabahdebitur dengan kreditur, yaitu penentuan kualitas barang jaminan
debitur secara sepihak dan tidak melibatkan nasabah dalam penentuan nilai barang jaminan, jika terjadi salah taksir yang dilakukan oleh Perum Pegadaian dan
menyebabkan nilai barang jaminan tidak dapat menutupi uang pinjaman, maka nasabah diharuskan untuk menutupi uang pinjaman dan sewa modal paling lama 14
hari. Dengan melihat keberadaan Perum Pegadaian ditengah-tengah masyarakat yang membantu penyediaan kredit secara cepat dan mudah bagi ekonomi lemah, dapat
menjadi sumber masalah di masyarakat yaitu tidak tercapainya tujuan hukum yang memberi kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.
Berdasarkan penelitian pendahuluan perjanjian gadai tersebut dibuat secara baku, karena untuk memudahkan transaksi gadai antara debitur dengan kreditur dan
Universitas Sumatera Utara
12
yang membuat perjanjian gadai merupakan kebijakan dari Perum Pegadaian yang berada di Jakarta yang diterapkan di seluruh Perum Pegadaian di Indonesia.
Perjanjian gadai hanya untuk mengikat perjanjian antara pihak perum pegadaian dan nasabah dalam menggadaikan barangnya untuk mempermudah pelayanan dari pihak
perum pegadaian kepada nasabah dalam bertransaksi atau menggadaikan. Jangka waktu pinjaman dalam perjanjian gadai di perum pegadaian ditetapkan
dengan berdasar penggolongan barang jaminan. Dalam jangka waktu pinjaman untuk tiap-tiap golongan adalah sama, yaitu selama 4 bulan ditambah masa tunggu lelang
maksimal 15 hari. Masa tunggu lelang yaitu pada bulan ke-5 tidak dikenai sewa modal.
Bulan ke-5
merupakan bulan
bebas bunga,
dimana bunga
tidak diperhitungkan dan peminjam mempunyai pertimbangan apakah benda gadai akan
ditebus atau tidak. Jangka waktu pinjaman tersebut dihitung berdasarkan bulan kalender, dihitung sejak bulan diberikannya pinjaman.
15
Jangka waktu 4 bulan tersebut di atas merupakan ketentuan mutlak. Jika nasabah ingin memperpanjang jangka waktu peminjaman hanya dapat
dilakukan dengan pembaharuan hutang. Nasabah harus melunasi bunga pinjaman terlebih dahulu dan lama perpanjangan harus menurut golongan
barang jaminan masing-masing. Karena masing-masing golongan mempunyai waktu yang sama, maka lama perpanjangan adalah 4 empat bulan. Perpanjangan
jangka waktu peminjaman dapat dilakukan dengan cara dicicil dengan menyerahkan sejumlah uang bunga sesuai perhitungan bunga ditambah sebagian
uang pinjaman. Atau dengan gadai ulang yaitu memberikan sejumlah uang bunga sesuai perhitungan hari bunga dengan menaksir kembali barang jaminannya.
16
15
Sri Soedewi dan Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, hal 95
16
Ibid .
Universitas Sumatera Utara
13
Dua cara tersebut otomatis akan memperpanjang jangka waktu peminjaman. Batas waktu pelunasan pinjaman adalah pada bulan ke-5 bulan kalender, untuk semua
golongan benda gadai, yaitu: 1. Golongan A mulai dari Rp. 50.000,- sampai dengan Rp. 200.000,-.
2. Golongan B mulai dari Rp. 210.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- 2. Golongan C mulai dari Rp. 1.100.000,- sampai dengan Rp. 20.000.000,-
4. Golongan D mulai dari Rp. 20.100.000,- sampai dengan diatas Rp. 250.000.000,- Semua tergantung pinjaman dan barang yang akan diagunkan
Apabila batas tertentu yang telah ditetapkan perum pegadaian sampai bulan waktu batas lelang, nasabah tidak datang melunasi atau ulang gadai maka barang nasabah
tersebut dapat dilelang secara umum. Dengan demikian perjanjian gadai pada perum pegadaian pada dasarnya
merupakan suatu perjanjian pinjam meminjam uang dengan jaminan benda bergerak antara nasabah pemberi gadai dan perum pegadaian pemegang gadai di mana pemberi
gadai menyerahkan benda tersebut kepada pemegang gadai. Benda jaminan tersebut tertuju pada benda bergerak maka hak kebendaan itu berupa gadai.
17
Dari latar belakang diatas peneliti ingin meneliti lebih lanjut dalam tesis yang judul : “Perlindungan Hukum Nasabah Atas Syarat-Syarat Baku Perjanjian Gadai
Studi Pada Kantor Pegadaian Kota Binjai”.
17
Ibid , hal 96
Universitas Sumatera Utara
14
B. Permasalahan Masalah