Perumusan Masalah Lokasi Penelitian 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah Tinjauan Pustaka

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah “Akses Masyarakat Nelayan Terhadap Sumber Daya Ekonomi”. Dari perumusan masalah tersebut dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penting yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain : 1. Bagaimana Akses Masyarakat Nelayan Terhadap Sumber Daya Ekonomi. 2. Sejauh Mana Upaya Masyarakat Nelayan Di Dalam Membuka Mengakses Terhadap Sumber Daya Ekonomi.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sepanjang Pantai Serdang Bedagai Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara.

4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

4.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui gambaran umum kondisi terhadap sumber daya ekonomi. 2. Untuk melihat gambaran umum akses di masyarakat nelayan terhadap sumber daya ekonomi. 3. Menganalisis upaya-upaya masyarakat nelayan dalam mengakses sumber daya-sumber daya ekonomi. Universitas Sumatera Utara

4. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

1. Untuk memberikan sumbangan berupa pikiran dan referensi bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya ekonomi. 2. Memberikan informasi bagi pihak-pihak terkait dalam rangka pengembangan masyarakat nelayan. 3. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

5. Tinjauan Pustaka

Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang lingkungan pemukimannya berada pada wilayah peralihan antara daratan dengan lautan yang disebut pinggir pantai atau tepi laut. Masyarakat pesisir atas nelayan, pembudi daya ikan, dan pedagang hasil laut, serta masyarakat nelayan yang kehidupan sosial ekonominya tergantung pada sumber daya kelautan. Masyarakat nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang tergantung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan atau budidaya yang pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Dirjen Perikanan dalam Satria 2002 : 26 mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikanbinatang air lainnyatanaman air, adapun orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau mengangkut alat-alat perlengkapan kedalam perahukapal tidak dikaterigorikan sebagai nelayan. Sementara itu ahli Universitas Sumatera Utara mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkap tersebut sebagai nelayan meskipun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan. Mereka pada umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap ikan akan tetapi masih ada bidang-bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan antar pulau danau dan penyebrangan, pedagang perantaraeceran hasil tangkapan nelayan, penjaga keamanan laut, penambangan lepas pantai dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan dengan laut dan pesisir. Sejak dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam sebuah organisasi kerja secara turun temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraan lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin dan alat maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas lain merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalau pun mereka mengusahakan sendiri faktoralat produksinya masih sangat konvensional, sehingga produksinya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan. Masyarakat nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih kompleks dibanding dengan masyarakat pertanian. Masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri khusus seperti penggunaan wilayah pesisir dan lautan common property sebagai faktor produksi, jam kerja harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari atau satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Selain daripada itu pekerjaan menangkap ikan adalah Universitas Sumatera Utara merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat di kerjakan oleh lelaki, hal ini mengandung arti keluarga yang lain tidak dibantu secara penuh. Dengan persoalan yang demikian tentu kita harus memahami bahwa masyarakat nelayan memerlukan perhatian yang multi dimensi. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun sektor ini agar dapat mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan maupun masyarakat lainnya yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir. Masyarakat nelayan dan petani tambak ini dipandang sebagai potensial dan memegang peranan sebagai pemasok ikan, karena sebagian besar 90 produksi ikan dihasilkan dari usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Hal ini menunjukkan masih rendahnya produktifitas pemanfaatan sumber daya dan potensial, yang lebih parah dari itu, seperti yang sering disinyalir oleh menteri keluatan dan perikanan Republik Indonesia, bagaimana mungkin kemiskinan masih menjadi masalah yang menjerat nelayan dan petani tambak, pada hal mereka tinggal diwilayah yang memiliki sumber daya alam yang cukup kaya. Untuk itulah masalah nelayan ini sejatinya harus mendapat perhatian serius bagi semua pihak dan harus diatasi dengan menggunakan berbagai macam cara. http:www.waspadamimbar jumatartikel. Persatuan masyarakat nelayan memiliki hubungan patron-klien dikalangan nelayan Indonesia secara khusus sepanjang yang diketahui belum pernah dilakukan secara komprehensif. Gejala kepatronan hanya muncul dalam kajian tentang keadaan sosio-ekonomi nelayan secara keseluruhan. Mubyarto 1984 dalam suatu bahagian kesimpulan substantif dari kajian tentang nelayan dan Universitas Sumatera Utara kemiskinan menemukan bahwa hubungan patron-klien itu sangat berperanan ketika salah satu pihak mendapat kesulitan. Lebih lanjut dikatakan: “Dalam praktik, masalah-maslah sosial ekonomi sebagai akibat negatif proses modernisasi, nampaknya masih bisa diatasi oleh lembaga ‘bapak-anak’ patron-klien yang berlaku sesuai semacam perasaan bagi yang kaya untuk memberikan pekerjaan atau bantuan pada yang miskin. Dan perasaan untuk menolong ini pasti diberikan kepada si miskin yang senang bekerja keras. Semangat sosial dan moral masih cukup menonjol di daerah-daerah yang diteliti, sehingga meskipun keadaan kehidupan cukup “sumpek”, toh ia tidak cenderung eksplosif.” Mubyarto,1984. Kepatronan dalam masyarakat nelayan juga ditemukan oleh Mangiang 1989 adalah hubungan patron-klien merupakan pola hubungan nelayan kaya disatu pihak yang berperanan sebagai patron dan nelayan miskin dilain pihak yang berperanan sebagai klien. Nelayan kaya pada musim tidak ada kegiatan menangkap ikan memberi atau diminta bantuannya oleh nelayan miskin untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Nelayan miskin sebagai penerima atau peminta bantuan, memberi tenaganya untuk membawa perahu-perahu nelayan kaya menangkap ikan, atau nelayan miskin merelakan ikan hasil tangkapannya dibeli oleh nelayan kaya dengan harga pembelian ditentukan sendiri oleh nelayan kaya. Dengan adanya pola hubungan patron-klien ini, kesulitan-kesulitan yang sewaktu-waktu dapat mengancam keluarganya paling tidak dapat di atasi. Ramly dalam Zulkifli: 46-47 Universitas Sumatera Utara Dalam tatanan masyarakat nelayan Emerson 1979 menemukan bahwa sistem meminjam uang dan bekerja pada pemilik perahu dan kapal bermotor adalah ikatan yang kohesif bagi integrasi sosial di pedesaan pantai. Hutang dapat mengukuhkan hubungan antara dua pihak : peminjam berusaha untuk memenuhi kewajibannya dalam bentuk kesetiaan dan kejujuran, sedangkan pemberi pinjam akan memberi bantuan kepada peminjam pada saat diperlukan. Gejala ini menjadi kepatronan tumbuh subur dalam masyarakat nelayan. Akan tetapi, kenyataan yang muncul adalah modernisasi dan motorisasi alat-alat pengeluaran yang diperkenalkan pada masyarakat nelayan, ternyata tidak menunjukan adanya peningkatan kualitas hidup sebagian besar nelayan tradisional yang tersebar di hampir 7.122 desa nelayan sapanjang pantai kepulauan Indonesia. Yang memperoleh daripada motorisasi teknologi pengeluaran yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia pada sekitar awal tahun 1980 adalah sebagian kecil nelayan, yaitu para pemilik modal dan alat-alat pengeluaran. Kemunculan hubungan patron-klien tidak hanya dapat dilihat antara toke yang menyewakan sampannya kepada nelayan penyewa, tetapi juga dapat muncul dari hubungan yang sifatnya longgar yakni antara nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri dan menjualnya hasil tangkapannya kepada seorang toke pengumpul ikan. Nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri pada musim tertentu, misalnya musim paceklik ketika ikan jarang didapat juga akan terpaksa berutang pada toke. Seringkali utang tersebut jatuh tempo atau melewati waktu perjanjian, sehingga si nelayan akan diberikan semacam kompensasi seperti keringanan membayar utangnya dengan syarat ikannya harus dijual kepada si toke, tidak boleh kepada pembeli lain. Kompensasi lainnya bisa berupa Universitas Sumatera Utara pemotongan utang dari hasil penjualan ikan. Kondisi tersebut akan berlangsung dalam waktu lama dan akhirnya dimanfaatkan toke menjadi hubungan mengikat, sehingga harga ikan ditentukan oleh si nelayan. Kelangsungan hubungan tersebut sudah membudidaya seiring dengan tekanan kemiskinan yang dialami oleh nelayan sebagai klien. Nelayan sangat sulit keluar dari keterikatan hubungan tersebut karena hubungan patron-klien merupakan hubungan yang langgeng dalam komunitas nelayan. Meski idealnya, hubungan patron-klien adalah untuk melindungi dan membantu pemenuhan kebutuhan keseharian dari kliennya Marbun, 2002 : 360. Upaya pemerintah selama ini sepertinya tidak melihat sebuah realitas yang utuh, yakni bagaimana proses yang berlangsung dan bagaimana struktur-struktur yang mengakibatkan kemiskinan tersebut terjadi. Untuk meretasnya, barangkali tetap harus melihat bagaimana struktur sosial yang menjadikan nelayan tetap miskin. Struktur tersebut antara lain: Pertama, Struktur kemasyarakatan yakni hubungan patron-klien. Hubungan ini harus dilihat sebagai salah satu bagian yang langsung atau tidak langsung menjadi penyebab kemiskinan, tentu dengan tidak memasukan adanya hubungan patron-klien yang lebih adil, tetapi lebih kepada kondisi dimana hubungan tersebut telah mengalami pergeseran. Hubungan patron-klien yang sudah terinternalisasi memang sulit diputus. Kedua, Struktur yang dibangun oleh Negara. Kebijakan ekonomi yang masih berorientasi pada pertumbuhan khususnya sektor pesisir dan laut harus diubah dengan memperhatikan aspek kemanusiaan. Artinya, nelayan harus Universitas Sumatera Utara menjadi subjek pembangunan melalui keterlibatannya dalam proses pembuatan kebijakan. Ketiga, Struktur pemasaran, di mana harga ikan yang didominasi oleh toke-toke harus dikembalikan melalui sistem pelelangan sehingga hak nelayan tradisional dalam penentuan harga bisa diakomodasikan. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengfusikan kembali TPI Tempat Pelelangan Ikan yang selama ini dikuasai para tengkulaktoke. Keempat, dengan adanya peluang Otonomi Daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999, daerah bisa mengambil peran yang lebih strategis, tentu dengan Perda yang bisa memberikan akses lebih besar kepada masyarakat nelayan untuk memanfaatkan, mengawasi, dan melindungi sumberdaya laut di daerahnya Marbun, 2002: 361. Pengurus persatuan Serikat Nelayan Merdeka SNM dan jaringan- jaringan laninya untuk memberantas Trawl pukat harimau dan sejenisnya serta mencedaskan masyarakat nelayan, mengkritisi pembangunan kawasan pesisir, melestarikan lingkungan pesisir, memperkuat organisasi, membangun jaringan kerja, dan mendorong peningkatan ekonomi nelayan. http:www.indonesia house .orgPoliticHR2004Antitrawl Amanat kongres I SNM.htm. Pengurus Serikat Nelayan Merdeka SNM dan jaringan-jaringan lainnya meminta pihak Pemerintah untuk mempertimbangkan atas pemberian kredit “pukat layang” dan sejenisnya kepada nelayan. Apabila Pemda tetap melaksanakan program itu, maka diminta segera agar Pemda mengajak nelayan di patai pesisir tersebut untuk berembuk guna menetapkan jalur penangkapan ikan di Universitas Sumatera Utara wilayah ini. Sebab pada dasarnya cara kerja “pukat layang” sama dengan cara kerja Trawl pukat harimau. Serikat-serikat nelayan juga menghadapi persoalan yang sama, perang melawan nelayan asing, serta perang melawan pengusaha yang menggunakan jaring trawl pukat harimau. Di sisi lain, mereka juga harus berjuang menghadapi para juragan ikan yang menentukan harga beli ikan dengan seenaknya sendiri. Dibangunnya organisasi rakyat, sepenuhnya lahir karena kesadaran bersama rakyat bahwa mereka pada akhirnya harus mengupayakan sendiri perbaikan kehidupan rakyat. Mereka tidak bisa lagi berharap banyak pada jajaran pemerintah, seperti pengalaman selama ini. Oleh karena itulah, organisasi rakyat ini dibangun dan kemudian membangun jaringan tersendiri untuk kebaikan bersama. Organisasi rakyat banyak yang sudah mengarahkan programnya pada pemberdayaan ekonomi. Singkatnya, berdirinya organisasi rakyat di berbagai tempat tidak sepantasnya dipandang dengan penuh kecurigaan. Bahkan, merupakan bentuk paling nyata bagaimana rakyat Indonesia secara sadar dan sukarela memberdayakan diri mereka sendiri. Dengan berorganisasi itulah mereka mewujudkan peribahasa “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. http:www.in donesia house.orgsocietysumatera. Persaingan antara sesama nelayan kecil dengan beragam tingkat teknologi penangkapan ikan berlangsung pada banyak kawasan yang sempit. Persaingan itu diperburuk lagi oleh munculnya pengusaha besar yang umumnya berasal dari etnik Cina dibeberapa tempat. Mereka menggunakan peralatan penangkapan ikan yang lebih maju tetapi sekaligus lebih rakus mengeruk ikan dan udang. Kehadiran Universitas Sumatera Utara pengusaha Cina itu sangat berperan dalam memperkecil jumlah potensi ikan udang yang bisa diperebutkan nelayan kecil atau nelayan tradisional. Sekalipun kehadiran mereka turut memperburuk keadaan sumber kehidupan laut yang berarti turut menyebabkan kemiskinan, tapi kehadiran mereka lebih karena faktor-faktor struktural yang nanti masih akan dijelaskan. Di samping kepadatan penduduk dan persaingan pada paras teknologi penangkapan ikan di kawasan yang terbatas, di pantai Timur Sumatera Utara sekarang terjadi kehancuran ekosistem hutan bakau mangrove. Kehancuran hutan mangrove atau dalam istilah setempat dikenal dengan nama hutan bakau bagaimanapun berpengaruh buruk terhadap pengeluaran ikan dan udang dan industri arang, maka dapat diperkirakan kemorosotan sumber daya alam yang dialami kawasan ini. Seperti juga pengusaha Cina yang mengoperasikan kapal- kapal penangkapan ikan yang rakus, pengusaha kolam ikan dan industri arang ini juga merupakan kekuatan struktural dari atas yang menghancurkan sumberdaya setempat. Ramly dalam Azhari: 64-65. Dalam dimensi struktural dari kemiskinan nelayan di pantai Timur Sumatera Utara berlangsung melalui mekanisme yang sulit dipahami oleh nelayan setempat. Beroperasinya alat-alat penangkap ikan besar pukat harimau sudah sejak lama, setidak-tidaknya di Asahan sejak tahun 1967, menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan nelayan kecil Sinaga, 1984. Persaingan antara dua kekuatan yang tidak seimbang untuk memperebutkan sumber daya yang sama, mudah diduga selalu dimenangi oleh pihak yang kuat. Gerakan-gerakan protes nelayan atas ketidakadilan itu sudah muncul sejak tahun tujuh puluhan. Protes-protes itu membuahkan hasil dalam arti mendapat Universitas Sumatera Utara perhatian pemerintah. Mula-mula pemerintah melarang kapal-kapal itu beroperasi di daerah pantai. Memang alat yang menguras habis ikan sampai ke anak-anaknya itu mula-mula hilang dari daerah pantai, tetapi hanya sebentar. Pembatasan daerah operasi pukat harimau sama sekali tidak efektif karena laut mempunyai batas yang bisa dijadikan pegangan.

6. KERANGKA KONSEP