5. 2. Gerakan dan Perlawanan Nelayan Tradisional
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ruslan Rangkuti ketua SNM, perlawanan nelayan keciltradisional terhadap nelayan modern sering
disebut pukat harimau, sering terjadi konflik antara kedua pihak karena nelayan modern sering menabrak jaring dan perahu nelayan tradisional sehingga perahu
yang di tabrak hanyut kelaut dan kadang-kadang bisa membuat nelayan tewas. Pada tanggal 5 Januari 2002, terjadi konflik antara nelayan tradisional dengan
nelayan pukat harimau anggota Serikat Nelayan Merdeka 5 orang tewas dalam bentrok fisik dilaut, dan pada tanggal 30 November 2003 pemilik pukat harimau
balas dendam, anggota Serikat Nelayan Merdeka 3 orang tewas. Hasil tangkapan kami tradisional sangat tidak memadai karena masuknya nelayan
modern ke wilayah kami atau zona yang dialarang khusus yang diperuntukkan bagi nelayan tradisional. Konflik antara nelayan tradisional dengan pengusaha
pukat harimau atau sejenisnya akan semakin mudah terjadi apabila nelayan tradisional telah terorganisir dan berada dalam ikatan solidaritas kelompok
yang kompak. Dalam hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Ruslan Rangkuti, wawancara 3 November 2007 sebagai ketua Serikat Nelayan
Merdeka SNM.
Gerakan sosial harus ada dalam suatu organisasi yang dapat menghimpun ketidakpuasan tindakan kolektif. Scott, kemudian adalah soal adanya perhatian
pada organisasi, identitas kolektif, dan tujuan-tujuan luas yang bisa mengabaikan hal-hal yang bersangkut-paut dengan perlawanan kaum nelayan atau kaum
lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Jika dalam sejarah perjuangan buruh terlihat jelas pertentangan dengan kaum pemodal dan kaum tani berhadapan dengan tuan tanah dalam sebuah relasi
pertukaran produksi, maka perlawanan nelayan kurang relevan dikaitkan dengan pertukaran produksi tersebut. Namun adanya konflik sebagai konsekuensi
perebutan atas faktor produksi penting sumberdaya ikan bisa dianggap menjadi salah satu pemicu munculnya perlawanan nelayan dengan perlawanan kaum tani
dan buruh, yakni bahwa dalam setiap sejarah perlawanan cukup kental menyoroti peran Negara sebagai aktor yang turut menjadi lawan. Namun demikian,
penyorotan Negara dalam perlawanan nelayan di sini bukan aktor yang secara langsung berhadapan dengan rakyat, tetapi lebih kepada peran mereka lewat
perangkat-perangkat kebijakan yang berakibat pada munculnya sebuah gerakkan perlawanan. Leonardo ; 2002, 109
Berbicara mengenai perlawanan nelayan dengan melihat keterlibatan Negara secara langsung di dalamnya, lebih baik jika diawali dengan menyoroti
Negara yang masih meletakan doktrin laut sebagai ‘milik bersama’ Common Property Resources di mana setiap orang bebas melakukan aktifitas penangkapan
ikan. Penerapan laut sebagai milik bersama ini kemudian memunculkan orang- orang yang sebenarnya bukan sebagai nelayan tetapi lebih kepada pengusaha yang
ingin meraup untung dari kayanya sumber daya laut terutama ikan. Orang tersebut adalah para pengusaha yang memiliki hubungan kuat penguasa. Akibatnya,
kesenjangan semakin dalam di antara nelayan, di mana ada sekelompok masyarakat menikmati lebih besar dari kekayaan sumberdaya ikan.
Kelompok tersebut adalah mereka yang mampu membeli dan memiliki alat tangkap ikan modern seperti pukat dan sejenisnya didukung dengan proteksi
Universitas Sumatera Utara
serta ijin usaha. Kelompok lainnya yang merupakan bagian besar, yakni nelayan tradisional, hidup dalam kemeralatan. Negara pada akhirnya tidak mampu
melindungi, dan hanya menjadi alat dari kelompok saja. Sementara itu, strategi pembangunan yang terapkan melalui proyek industrialisasi yang menekankan
peningkatan penggunaan teknologi modern ternyata tidak terbukti berhasil dalam mensejahterakan rakyat, malah sebaliknya.
Pembangunan pesisir dan laut pun menjadi bias daratan dengan pengadopsian konsep “revolusi hijau” melalui penerapan teknologi penangkapan
ikan di sektor perikanan. Munculnya teknologi penangkapan ikan atau motorisasi bidang perikanan melalui strategi pembangunan menjadi tema penting berikutnya
dalam menelaah perlawanan nelayan. Leonardo ; 2002, 111. Menurunya produksi dan proksitivitas sebagai akibat motorisasi
disebabkan oleh dua faktor sebagai berikut:
Dengan motorisasi, ikan yang sebelumnya dapat ditangkap nelayan tradisional akan disedot oleh nelayan modern dengan kapal-kapal modern
bermesin dan alat tangkap berdaya besar. Apabila masih banyak nelayan tradisional, dapat terjadi bahwa kenaikan produksi beberapa pandega yang
menerapkan teknologi baru, terkalahkan oleh menurunnya tingkat produksivitas kebanyakan pandega yang sumber hidupnya ditarik pukat,
pukat mini, perahu besar, dan lain-lain.
Karena faktor-faktor alamiah, di mana kenaikan produksi terjadi tetapi diikuti penurunan segera setelah tercapai ambang lestari maksimum.
Mubyarto dkk, 1984 : 18-19.
Universitas Sumatera Utara
“Menurut keterangan Bapak Ruslan Rangkuti, Kemunculan alat canggih alias pukat harimau dan sejenisnya tesebut bukan sebuah anugrah bagi kami
nelayan tradisional melainkan bencana yang terjadi di daerah kami. Konon, kami nelayan tradisional merasakan akibat operasi pukat harimau yang
menjarah lokasi tangkapan nelayan tradisional”, sehingga hasil tangkapan kami saat ini sangat memperhatinkan hanya untuk kebutuhan dapur saja, dan kami
masyarakat nelayan sangat mengharapkan bantuan kepada Pemerintah, agar semua pukat harimau dan sejenisnya segera ditindak sesuai dengan hukum yang
berlaku dalam Undang-Undang. Karena cara kerja pukat harimau sangat merusak laut dan semua anak-anak ikan yang kecil-kecil juga ikut tertangkap oleh
pukat tersebut. Untuk menghidari pertentangan dan kehancuran alam laut, pemerintah
sebenarnya telah mengeluarkan peraturan lewat Keppres No.39 Tahun 1980 yang melarang pukat harimau dan sejenisnya. Konsep pembangunan yang berorientasi
kapitalistik yang melibatkan kolaborasi militer, pengusaha dan birokrat telah menciptakan pola hubungan yang secara struktural mengakibatkan kemiskinan
nelayan menjadi pemicu perlawanan nelayan. Artinya, pengusaha pukat harimau yang “dilindungi” aparat laut dan pemerintah sebagai pemberi ijin merupakan
salah satu faktor yang turut mendasari perlawanan tersebut. Hukum menjadi alat bagi pengusaha dan penguasa untuk menjalankan bisnis yang menguntungkan
kelompoknya sendiri. Munculnya perlawanan masyarakat nelayan tradisional adalah
konsekuensi dari kebijakan pembangunan dan tidak konsistennya aparat pelaksana kebijakan tersebut. Dari aksi yang sifatnya kompromis hingga anarkis telah
Universitas Sumatera Utara
berulang kali dilakukan nelayan tradisional. Ketidakonsistennya pelaksana peraturan arogansi pemilik pukat membuat hati nelayan tradisional berang setiap
melaut. Sementara pengaduan-pengaduan yang mereka lakukan atas instansi terkait, DPRD, Lantamal, dan lain-lain hanya dipandang sebelah mata. Maka
amarah nelayan pun tak terbendung hingga akhir membakar pukat harimau sebagai reaksi keras atau wujud penolakan kehadiran pukat harimau. Meski
demikian sampai sekarang pukat harimau tetap saja merajalela di daerah tangkapan nelayan tradisional.
5. 3. Nelayan Tradisional dan Modern