rumah tangga walaupun tidak tertutup kemungkinan diantaranya pencari terdapat laki-laki.
Menurut mereka musim lokan tiba saat terang bulan Bulan purnama selama 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, hari. Dimana sinar bulan penuh menyinari
muka bumi maka lokan penuh gemuk tidak seperti hari tidak terang bulan. Nelayan pun intensif mencari lokan sebab lokasi bakau tidak terlalu jauh dari
tempat pemukiman mereka. Meskipun pergi berkelompok hasil pengumpulan kerang diperkirakan secara individu-individu setiap anggota nelayan membawa
tempat pengumpulannya masing-masing terkecuali jika kelompok tersebut satu keluarga, biota-biota itu dikumpulkan secara bersama-sama. Pekerjaan ini
bukanlah mata pencarian pokok masyarakat nelayan, untuk sekedar menambah penghasilan atau untuk dikonsumsi sendiri keluarga mereka. Biota laut lokan,
biduwan, sifut, dan lain-lain hasil pencarian nelayan sekembalinya dari daerah bakau langsung dipesiang dibuka atau dibersihkan dari cangkangnya dengan
pisau atau dipecah menggunakan batu sehingga nampak dagingnya lalu dikelompokkan menurut jenis biota kemudian setelah itu biasanya langsung dijual
ke pedagang pengumpul pamuge yang menjadi langganan tetap membeli biota- biota itu atau dijual kepada seorang yang telah memesan biota-biota tersebut.
4. 2. Akses Perkembangan Teknologi Nelayan
Berkembangnya teknologi, masyarakat sangat erat terkait dengan ekologi setempat lokal. Berdasarkan kenyataan ekologinya masyarakat menentukan
bagaimana teknologinya agar dapat mengakseskan sumber daya alam. Dalam masyarakat lokal adalah dengan mempertimbangkan untung dan rugi dalam
Universitas Sumatera Utara
perubahan teknologinya. Namun perhitungan untung dan rugi tidak secara komersial, karena teknologi masyarakat adalah teknologi subsistem yakni
teknologi yang secara langsung berkaitan dengan usaha menopang hidup. Mereka tidak akan merubah teknologinya bila secara nyata akan mengganggu
subsistemnya. Dari hasil pengamatan saya dilapangan pada umumnya masyarakat
nelayan tersebut masih menggunakan sarana teknologi yang relatif masih sangat sederhana sehingga hasil tangkapan para nelayan pun terbatas. Teknologi alat
tangkap nelayan memang sudah menggunakan perahu motor, namun hal ini tidak sejalan dengan kemajuan teknologi yang sudah sangat tinggi sekali, seperti kapal
berkapasitas banyak trawl. Perahu dan alat tangkap pun tidak lagi dimiliki secara pribadi, apalagi membutuhkan modal yang besar karena semakin
kompleks peralatan nelayan, baik itu perahu maupun alat tangkap, makin besar pula modal yang diperlukan. Sehingga sekarang sudah menjadi hal yang umum
bila nelayan tidak lagi menguasai sepenuhnya alat tangkapnya terutama alat tangkap yang harus dioperasikan oleh banyak orang karena disini diperlukan
modal yang besar.
Dari hasil wawancara dengan Bapak Abdul Rahman, yang mengatakan,
memang masyarakat kami para nelayan disini sudah menggunakan perahu motor utuk turun ke laut, namun perahu yang kami gunakan ini belum menjadi milik
kami pribadi, kami membelinya dengan cara kongsian dan kadang modal yang kami gunakan juga meminjam kepada tengkulak atau toke. Lebih lanjut dikatakan
bahwa Nelayan sekarang umumnya menggunakannya sampan bermesin dengan bermacam ukuran agar mudah bergerak. Lebih jauh ketengah laut untuk
Universitas Sumatera Utara
memperoleh tangkapan yang menguntungkan. Penggunaan sampan ini mempengaruhi sistem kerja mereka. Mereka mulai bersama-sama menggunakan
perahu atau sampan secara berkelompok-kelompok pergi kelaut.Wawancara 3 Nopember 2007 dengan Bapak Abdul Rahman.
Kemajuan teknologi alat tangkap ikan yang demikian pesat dan modern telah mempengaruhi kehidupan nelayan tradisional. Penggunaan teknologi alat
tangkap modern berdampak pada kelestarian alam laut, karena alat tangkap ikan tersebut sifatnya Destructive fishing alat tangkap yang merusak, seperti
penggunaan alat tangkap pukat harimau, dan sejenisnya. Penggunaan sistem penangkapan yang sifatnya destructive fishing ini telah menimbulkan konflik
berkepanjangan dalam kehidupan nelayan. Alat tangkap pukat harimau bukan hanya menimbulkan konflik dengan nelayan tradisional, juga menimbulkan
konflik didalam tubuh masyarakat itu sendiri Juwono, 1998. Kenyataannya sekarang, kehidupan para nelayan sangat terpinggir baik
dari segi pendidikan, ekonomi, politik sosial, bahkan budayanya sendiri, dimana variabel-variabel ini saling mempengaruhi. Walaupun pemerintah telah
mengeluarkan Keppres No.391980 tentang penghapusan Trawl pukat harimau, tetap saja pukat harimau beroperasi. Perubahan dalam masyarakat nelayan
tradisional sangat besar ketika pukat harimau melalui kebijakan pemerintah. Karena pengoperasian pukat harimau sebagai alat tangkap juga paling efektif
dalam mengeruk hasil laut sehingga mempengaruhi hasil tangkapan nelayan tradisional. Dalam hal wilayah tangkap, nelayan tradisional pun harus berhadapan
dengan pukat harimau. Karena pukat harimau telah memasuki wilayah tangkap
Universitas Sumatera Utara
mereka, meski telah dilarang pengoperasiannya dengan Keputusan Presiden No.39 Tahun 1980.
4. 3. Teknologi Perikanan dan Dampaknya