Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Tidak ada satu pun Negara di muka bumi ini yang melewatkan pembangunan. Pembangunan sudah menjadi bagian dari proses terbentuknya peradaban manusia. Bahkan dalam setengah abad ini, pembangunan merupakan satu dari antara hal-hal yang paling mendesak bagi setiap Negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sejak awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Upaya tersebut di tegaskan dalam tujuan Negara pada pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamanatkan kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial UUD 45 dan Amandemen. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah terus menerus telah melakukan pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tujuan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan nasional Indonesia, GBHN 1999-2004 memberikan visi yang merupakan tujuan yang akan dicapai pembangunan nasional yaitu terwujudnya masyarakat yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera, dalam wadah Universitas Sumatera Utara Negara kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air berdasarkan hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin Sinar Grafika, 2001: 8. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam pembangunan yaitu masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan terus menerus menjadi masalah yang berkepanjangan, bahkan sampai sekarang dapat dikatakan semakin memprihatinkan. Kemiskinan tercermin dari belum terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin seperti hak atas pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan, pekerjaan, tanah, sumber daya air bersih dan sanitasi, rasa aman serta hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik dan proses pembangunan. Sedangkan dampak dari kemiskinan yaitu jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan, dan tidak adanya investasi, kurangnya akses terhadap pelayan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya tabungan dan tidak adanya perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan secara terbatas. Hal ini membuktikan bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan kronis dalam proses pembangunan Sumardi, 1982: 22. Masalah kemiskinan merupakan isu sektoral di tanah air, terutama setelah Indonesia dilanda Krisis multidimensional yang berpuncak pada priode 1997- 1999, setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1 menjadi 11,3. Jumlah orang miskin meningkat kembali Universitas Sumatera Utara terutama dengan tujuan tajam selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan Badan Penelitian Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk pada priode 1996-1998 meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa 11,3 menjadi 49,5 juta jiwa 24,2 atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa. Sementara itu memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 12,6 juta Jiwa atau sekitar 66,3 dari jumlah keseluruhan penduduk. Berdasarkan definisi kemiskinan dari Badan Penelitian statistik dan Departemen sosial, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa Suhartono, 2005: 136. Dalam press-releasenya, badan penelitian statistik melaporkan jumlah penduduk miskin penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta atau 17,75. Di banding dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta atau 15,97, berarti tingkat kemiskinan meningkat 1,78, atau bertambah sebanyak 3,95 juta orang. Selain itu, BPS juga menyatakan Kompas, 2 September, 2006, bahwa tanpa program kompensasi atau bantuan langsung tunai BLT, jumlah penduduk miskin bisa mencapai 50,8 juta jiwa atau 23,1. http:www.pikiran- rakyat.comcetak2006. Meningkatnya jumlah penduduk miskin terjadi karena tidak adanya kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokoknya menurut standar yang dibuat oleh Bank Dunia, yang di kenal dengan garis kemiskinan yang menunjukkan batas terendah seseorang untuk memenuhi pokok manusia secara layak. Tidak terpenuhinya kebutuhan pokok merupakan bentuk tidak adanya Universitas Sumatera Utara kesejahteraan manusia dan akan mengarah pada timbulnya berbagai masalah baru pada kehidupan manusia. Sumardi, 1982 : 52 Dalam model kebutuhan pokok telah diidentifikasikan kebutuhan dasar yaitu makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, kebersihan, transportasi, dan partisipasi masyarakat. Sementara menurut Abraham Maslow, kebutuhan yang ada pada manusia adalah bawaan dan tersusun menurut tingkatan atau bertingkat. Kebutuhan manusia yang tersusun secara bertingkat tersebut yaitu kebutuhan dasar, fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta kasih dan memiliki, kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Menurut Maslow, kebutuhan yang ada ditingkat paling dasar, merupakan kebutuhan yang pemuasannya lebih mendesak dari pada yang ada diatasnya. Artinya kebutuhan pokok manusia terutama pangan merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk dipenuhi karena kebutuhan ini berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia. Dalam program penanggulangan kemiskinan atau apapun namanya untuk menolong masyarakat nelayan miskin keluar dari lingkaran kemiskinan lebih banyak menemui jalan buntu atau kegagalan. Berjuta-juta rupiah yang disalurkan pemerintah kepada nelayan misalnya nelayan melayu gagal dikembalikan, sementara nelayan yang mendapat bantuan itu bertambah miskin. Kemiskinan ini lebih banyak didiami oleh masyarakat nelayan tradisional sebagai bagian struktur masyarakat paling rendah dalam masyarakat pesisir dan laut. Realitas menunjukan bahwa rutinitas masyarakat nelayan yang bangun dini hari kemudian pulang sore hari merupakan gambaran bahwa nelayan memiliki etos kerja. Kemiskinan pada masyarakat nelayan saat ini bukan muncul begitu Universitas Sumatera Utara saja, tetapi telah melalui proses yang menjadi nelayan miskin, yakni struktur sosial Marbun, 2002: 353. Kondisi kemiskinan tersebut dikenal dengan kemiskinan struktural, maksudnya : Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena faktor eksternal atau struktur yang ada di luar individu seperti lembaga pemerintahan dengan dan berbagai kebijakan, lembaga ekonomipasar, Bank, koprasi, struktur dalam masyarakat seperti patron-klien. Kemiskinan yang diderita oleh golongan masyarakat nelayan struktur sosial sedemikian rupa, sehingga nelayan tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Mubyarto dan Soetrisno 1984 melihat struktur sosial masyarakat nelayan yang masih berbentuk patron-klien tersebut. Pola ini timbul sesuai dengan adat atau kebiasaan setempat. Gejala patronase juga muncul diakibatkan ketika para nelayan terus-menerus dililit hutang dan tidak mampu merubah diri mereka dari kedudukan yang subordinat dalam posisi segi ekonomi. Mubyarto dkk,1984. Kemiskinan struktural terjadi karena kelembagaan yang ada membuat sekelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata seperti kapal motor, alat tangkap dan lain-lain bukan karena minimnya sumberdaya laut. Harahap, 1994: 27. Kemiskinan yang dialami komunitas nelayan telah mendorong tindakan eksploitasi berlebihan yang merusak terhadap sumberdaya laut atau ekosistem laut baik itu terumbu karang, hutan bakau, ikan dan biota laut demi kebutuhan hidup mereka. Nelayan kecil Small scale fishery dan miskin bagian dari kondisi sosial ekonomi saat ini yang berdiam di kawasan pesisir, terpinggir secara tingkat Universitas Sumatera Utara ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Suparlan 1984 memberikan gambaran, kemiskinan adalah “suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibanding dengan standar kehidupan umum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”. Standar kehidupan ini secara langsung nampak pengaruhnya kepada tingkat kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka tergolong sebagai orang miskin. Kemiskinan bukan saja disebabkan faktor struktural namun faktor kondisi alamiah dari sumberdaya alam dapat juga menimbulkan masyarakat dalam belenggu kemiskinan serta faktor mentalitas budaya dari masyarakat yang bersifat malas, boros dan kurang maksimal dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada disekelilingnya. Masyarakat nelayan, tampaknya tidak relevan kalau diukur melalui tolok ukur kemiskinan tersebut menjadi penting sebagai batasan. Modernisasi pembangunan sebagai bentuk penerapan pola pembangunan developmentalisme di sektor pesisir terlihat jelas dengan munculnya motorisasi penangkapan ikan. Di satu sisi motorisasi tersebut memberikan harapan bagi peningkatan perolehan ikan, namun di sisi lain malah menjadi hal yang paling buruk dihadapi oleh masyarakat nelayan tradisional. Pada akhirnya penguasaan sumberdaya perikanan lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang. Sebaliknya perlindungan Negara terhadap masyarakat nelayan tradisional justru tidak ada, bahkan turut menjadi bagian yang menindas melalui praktek pembangunan dengan kolaborasi penguasa dan militer. Sekalipun pemerintah menyatakan penghapusan pukat melalui Keppres No. 39 Tahun 1980, namun kebijakan tersebut terbukti tidak mampu melindungi masyarakat nelayan Universitas Sumatera Utara tradisional. Selain persoalan kebijakan pembangunan tersebut, ada juga perangkat kebijakan yang turut memperkuat peminggiran nelayan tradisional, yakni hilangnya semangat tradisi pesisir di beberapa daerah di Indonesia sebagai hasil penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa. Intitusi-intitusi lokal pedesaan umumnya tidak diakui, contohnya pawang laut di Sumatera Utara yang pada dasarnya memiliki peran strategis melindungi sumberdaya laut melalui jamu laut. Tetapi dengan munculnya UU tersebut, sistem birokrasi modern menggantikan peran tokoh lokal lewat pembentukan LKMD. Peran pawang laut kemudian melemah Marbun, 2002: 356-359. Dalam perkembangannya, justru masyarakat nelayan belum menunjukan kemajuan yang berarti. Kebijakan yang diambil oleh masyarakat nelayan tradisional dalam rangka membangun gerakan sosial, kaum masyarakat nelayan misalnya, bisa dikatakan tidak masuk hitungan sebagai kelas yang memiliki kesejarahan dalam perubahan sosial. Apalagi sejarah perlawanan nelayan sangat jarang atau bahkan tidak ada dalam literatur sejarah perlawanan rakyat maka perlawanan nelayan kurang relevan dikaitkan dengan pertukaran produksi tersebut. Namun adanya konflik sebagai konsekuensi perebutan atas faktor produksi penting sumberdaya ikan bisa dianggap menjadi salah satu pemicu munculnya perlawanan nelayan. Sementara itu, strategi pembangunan yang diterapkan melalui proyek industrialisasi yang menekankan peningkatan penggunaan teknologi modern ternyata tidak terbukti berhasil dalam kesejahteraan rakyat, malah sebaliknya. Pembangunan pesisir dan laut pun menjadi bias daratan dengan pengadopsian konsep “revolusi hijau” melalui penerapan teknologi penangkapan ikan di sektor Universitas Sumatera Utara perikanan. Munculnya teknologi penangkapan ikan atau motorisasi bidang perikanan melalui strategi pembangunan menjadi tema penting berikut dalam menelaah perlawanan nelayan. Munculnya perlawanan tradisional adalah konsekuensi dari kebijakan pembangunan dan tidak konsistennya aparat pelaksana kebijakan tersebut. Otoritas moral yang seharunya menjadi kekuatan melindungi mereka tercabik oleh kepentingan segelincir orang dengan kekuasaan dan teknologi. Sementara pengaduan-pengaduan yang mereka lakukan atas intansi terkait, DPRD, Lantamal, dan lain-lain hanya dipandang sebelah mata. Maka amarah nelayan pun tak terbendung hingga akhirnya membakar pukat harimau sebagai reaksi keras atau wujud penolakan kehadiran pukat harimau. Meski demikian pukat harimau tetap saja merajalela. Perlawanan yang berlangsung di Pantai Timur dan Barat Sumatera, Aceh secara temporer dan sporadis muncul tak menghasilkan apa-apa. Ketidakkonsistenan pemerintah sendiri terhadap Keppres No.39 Tahun 1980 telah memunculkan ketidakpercayaan nelayan pada pemerintah. Rasa putus asa nelayan pun muncul akibat tidak terlaksananya kebijakan tersebut. Atau yang terjadi justru yang sebaliknya, adanya kebijakan penghapusan pukat malah menimbulkan lebih banyak pukat yang beroperasi dengan kasat mata dan Aparat turut melindunginya. Bahkan yang paling menyedihkan, para nelayan tradisional harus tersingkir dari daerah teritorial mereka. Penentangan nelayan tradisional terhadap pukat pun terus berlangsung hingga hari ini Marbun, 2002: 115-116. Permasalahan pokok dalam pengelolaan sumberdaya kelautan selama ini adalah bahwa laut diperlakukan terlepas dari ekosistem. Laut dilihat sebagai sumberdaya alam yang berdiri sendiri termasuk kekayaan gas alam dan minyak di Universitas Sumatera Utara bawah laut dianggap lepas dari ekosistem kelautan. Hutan bakau dan terumbu karang diperlakukan sebagai kekayaan alam lepas dengan kaitannya dengan di laut. Sehingga yang terlihat adalah kerusakan laut, dasar laut, hutan bakau dan terumbu karang. Suara pembaruan, Selasa 26 Januari 1996. Kerusakan atau gangguan ekosistem perairan kawasan pesisir sering diakibatkan dan didorong masalah-masalah lingkungan dan faktor-faktor sosial ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh aktivitas manusia atau para nelayan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya laut. Secara langsung penyimpangan itu terjadi berupa ; penangkapan ikan menggunakan bahan peledak, tangkap lebih over fishing, penggunaan alat tangkap traw pukat harimau, penambangan terumbu karang dan penebangan hutan bakau demi kepentingan tambak udang, kayu bakar dan lain-lain. Aktivitas manusia secara tidak langsung juga dapat menyebabkan kerusakan pada terumbu karang antara lain : penggundulan hutan bakau di hulu sungai dan intensifikasi pertanian yang dapat berakibat meningkatnya jumlah endapan yang dibawa air sungai ke laut. Sedimen ini akan mematikan biota laut yang hidup menetap di dasar termasuk batu karang dan biota dasar lainnya, pembangunan kawasan industri di sepanjang pantai yang hasil buangannya dapat meracuni perairan di sekitar terumbu karang, pemboran minyak lepas pantai, perkembangan industri turisme di kawasan terumbu karang Saptarni dkk, 1996: 5-6. Menyadari sumberdaya laut merupakan penghasilan pokok oleh nelayan skala kecil Small Scale Fishery keadaan degradasi ekosistem akan semakin berpengaruh terhadap penghasilan mereka, disamping pengaruh persaingan Universitas Sumatera Utara eksploitasi dengan nelayan pemilik modal besar yang mempergunakan modernisasi alat tangkap. Pengaruh itu diutarakan peneliti atau para ahli. Turner misalnya dalam Harahap, 1997 telah mengkalkulasi dampak perubahan ekosistem mangrove sumberdaya laut yang menjurus pada munculnya kelas kaya dan miskin pada masyarakat nelayan, merosotnya persediaan sumber daya biotik laut, terjadi kerusakan sistem ekologi laut. Akibat negatif seperti ini termasuk dalam kategori bahaya laut yang diungkap oleh Hardin 1968 sebagai “tragedy of the commons”. Berdasarkan pada kajian antropologi ternyata bahwa berbagai tempat di dunia ada sebagaian masyarakat nelayan yang semenjak dahulu sampai sekarang mencoba mengatasi masalah laut berupa “tragedy of the commons” dengan menerapakan pranata-pranata lokal yang mengatur sistem pembagian hak dan penguasaan wilayah perikanan di laut sebagai milik komunal, kelompok dan bahkan menjadi milik individual. Lampe, 1996: 1. Kajian ilmiah menunjukan bahwa pranata-pranata lokal seperti itu ternyata cukup memadai dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan ekologi bagi masayarakat nelayan. Dengan fenomena pengelolaan sumberdaya laut berkorelasi positif dan berkaitan erat dengan nelayan sebagai masyarakat yang berbudaya dalam rangka mengadaptasikan terhadap ekosistem laut di sekelilingnya dengan memanfaatkan semaksimal mungkin sumberdaya laut yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, biologis, sosial dan budayanya. Universitas Sumatera Utara

2. Perumusan Masalah