Akses Masyarakat Nelayan Terhadap Sumber Daya Ekonomi

(1)

AKSES MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP

SUMBER DAYA EKONOMI

(STUDI KASUS DI SEPANJANG PANTAI SERDANG BEDAGAI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI)

SKRIPSI O

L E H

H E R L I A N 020905013

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 0 8


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini di setujui untuk dipertahankan Oleh :

Nama : H E R L I A N NIM : 020905013 Departemen : Antropologi

Judul : Akses Masyarakat Nelayan Terhadap Sumber Daya Ekonomi

Pembimbing Ketua Departemen

Dra. Sri Emiyanti, M.Si Drs. Zulkifli Lubis, MA

NIP : 131 790 658 NIP : 131 882 278

Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan hidayah-Nya sehingga penulis diberikan akal pengetahuan serta perasaan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dari pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Tak lupa shalawat berangkai salam penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat manusia menuju era pencerahan dan era perubahan.

Skripsi ini merupakan upaya memperlihatkan eksistensi sebagai makhluk intelektual di tengah kehidupan masyarakat yang termaktub dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya di bidang penelitian. Dalam usaha untuk merampungkan skripsi ini penulis banyak diberi bantuan baik berupa waktu, tenaga, kritik, saran, kerjasama, diskusi dari pihak-pihak yang berkompeten.

Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu :

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MSi selaku Ketua Departemen Antropologi FISIP USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.


(4)

3. Ibu Dra. Sri Emiyanti, Msi sebagai dosen pembimbing yang telah dengan ikhlas meluangkan waktu, tenaga serta pemikiran dalam menuntun dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Mariana Makmur, MA selaku dosen wali selama penulis mengikuti pendidikan di lingkungan FISIP USU.

5. Terima kasih kepada Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan kasih sayang dan memberikan kehidupan yang indah bagi ananda.

6. Buat adik-adikku tercinta Arneti, Mardalena, Yusmarita dan Hamin Sabar semoga kita selalu dilindungi oleh Allah SWT.

7. Buat paman Marhasli dan keluarga besarnya, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan moril maupun materil untuk penulis selama menempuh pendidikan.

8. Terima kasih kepada keluarga besar pak tuo Fachrudin, yang telah memberikan dukungan dan do’a kepada penulis.

9. Terima kasih kepada keluarga besar papanda Saruddin, yang telah memberikan dukungan dan do’a kepada penulis.

10.Terima kasih kepada keluarga Bapak Abdoel Manan Sinambela yang telah banyak mambantu penulis selama menempuh pendidikan.

11.Terima kasih kepada Bapak dan Ibu dosen yang ada di Departemen Antropologi dan dosen yang ada di FISIP USU yang telah mentransfer ilmu dan pengetahuannya sehingga penulis banyak mengalami perubahan secara konstruktif khususnya di bidang Iptek.

12.Bapak/Ibu pegawai dan staf administrasi di FISIP USU yang telah membantu proses penyelesaian skripsi seperti Kak Sri, Bang Mulyono dll.


(5)

13.Bapak Tampubolon dan Bapak Ruslan Rangkuti yang telah memberikan data, informasi yang akurat serta wacana kepada penulis sehingga membantu proses analisa data.

14.Terima kasih kepada Bapak Abdul Rahman dan Bapak Sofian yang telah memberikan penulis penginapan. Dan masyarakat yang ada di Serdang Bedagai.

Teman-teman ANTRO : Zulbahri S.Sos, David S.Sos, Sri Mulyani S.Sos, Nimra S.Sos, dan Ilmi Susanti S.Sos, Hendra, Sufriadi S.Sos, Khairiyah S.Sos, terima kasih atas canda dan tawanya dan semoga berhasil dalam mencapai impian yang kalian cita-citakan, dan teman-teman lain yang sama menuntut ilmu di lingkungan akademisi FISIP USU tercinta serta teman-teman di FISIP USU dari berbagai stambuk dan departemen dan pihak lain yang membantu terselenggaranya skripsi ini.

Kepada teman-teman dan sahabatku senasib dan sepenanggungan yang sama-sama menuntut ilmu seperti Dedi S.Sos, Thoriq, Rozi, semoga berhasil mencapai cita-cita yang diimpi-impikan selama ini, buat Aliwarsaleh S.TP, Imran Fajri SP, Aci Hardista Amd, dan Cut Indah Regina S.Sos, Mitha imut semoga cepat sukses dalam meniti karier, buatnya Rika makaci atas kebaikannya selama ini, buat Iwan, Ari, Maman, Lena, Tuti, Fida, Alan SP , Rika C, Guntur dan Yuyun.


(6)

Kepada keponaan ku Hendri, Sandy, Anjas, Agun, Ian, Restu terimah kasih atas dukungannya selama ini. penulis mengucapkan terima kasih atas kekompakan kita selama ini, kemudian teman-teman lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga saja tetap sukses dalam mencapai cita-cita………amiiiin ya rabbal alamin.

Medan, Februari 2007


(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... v

Abstrak ... viii

BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1. 2. Perumusan Masalah ... 11

1. 3. Lokasi Penelitian ... 11

1. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1. 4. 1. Tujuan Penelitian ... 11

1. 4. 2. Manfaat Penelitian ... 12

1. 5. Tinjauan Pustaka ... 12

1. 6. Kerangka Konsep ... 21

1.7. Metode penelitian ... 23

1. 7. 1. Tipe Penelitian ... 23

1. 7. 2. Teknik Pengumpulan Data ... 24

1. 7. 2. 1. Teknik wawancara ... 24

1. 7. 2. 2. Teknik Observasi ... 25

1. 7. Analisa Data ... 26

BAB II : GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Profil Wilayah ... 27

2.1.1. Letak Wilayah ... 27

2.1.2. Iklim ... 27

2.1.3. Pemerintahan ... 29

2.1.4. Kependudukan ... 30


(8)

2.3. Desa Lubuk Saban ... 33

2.4. Desa Beringin ... 34

BAB III : SUMBER DAYA ALAM DAN SUMBER DAYA EKONOMI 3. 1. Sumber Daya Alam ... 37

3. 1. 1. Hutan Bakau/Mangrove ... 37

3. 1. 2. Sumber Daya Ikan ... 40

3. 1. 3. Tambak ... 44

3. 1. 4. Pertanian ... 47

3. 2. Sumber Daya Ekonomi ... 49

3. 2. 1. Toke/Juragan ... 49

3. 2. 2. Jenis Alat Tangkap ... 53

3. 2. 2. 1. Pukat Kantong ... 53

3. 2. 2. 1. 1. Payang ... 53

3. 2. 2. 1. 2. Dogol ... 53

3. 2. 2. 1. 3. Pukat Pantai ... 53

3. 2. 3. Pukat Cincin ... 53

3. 2. 4. Pukat Udang ... 54

3. 2. 5. Pukat Ikan ... 54

3. 2. 6. Jaring Insang ... 54

3. 2. 6. 1. Jaring Insang Hanyut ... 55

3. 2. 6. 2. Jaring Insang Lingkar ... 55

3. 2. 6. 3. Jaring Insang Klitik ... 55

3. 2. 6. 4. Jaring Insang Tetap ... 55

BAB 1V : AKSES MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP SUMBER DAYA EKONOMI 4.1. Nelayan dan Alat Tangkap ... 56

4.1. 1. Nelayan Pukat Pantai ... 60

4.1. 2. Nelayan Pukat Ikan atau Pukat Harimau ... 64


(9)

4.1. 4. Nelayan Jaring Salam/Jaring Insang... 70

4.1. 5. Nelayan Jaring Udang... 72

4.1. 6. Nelayan Hutan Bakau dan Kawasan Pantai ... 74

4.1. 7. Nelayan Pencari Biota-biota Bakau... 74

4.2. Akses Perkembangan Teknologi Nelayan ... 76

4.3. Teknologi Perikanan dan Dampaknya ... 79

4.4. Penerapan Jenis-jenis Teknologi Penangkapan (Bentuk-Bentuk Pengelolaan Dan Zona-Zona Penangkapan) ... 81

4.5. Penjaring Ikan ... 83

BAB V : STRATEGI MASYARAKAT NELAYAN TERHADAP SUMBER DAYA EKONOMI 5. 1. Strategi Perlawanan Masyarakat Nelayan ... 85

5. 2. Gerakan dan Perlawanan Nelayan Tradisional ... 91

5. 3. Nelayan Tradisional dan Modern ... 95

5. 4. Konflik Strategi Terhadap Pukat Harimau ... 98

5. 5. Strategi Membangun Intitusi Ekonomi Nelayan... 101

5. 6. Strategi Serikat Perempuan Nelayan ... 105

BAB VI : PENUTUP 6. 1. Kesimpulan ... 106

6. 2. Saran ... 108

Daftar Pustaka ... 110

Lampiran Interview guide ... 113

Lampiran Nama-nama Informan... 116


(10)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

ABSTRAK

HERLIAN 020905013

Penelitian ini mengkaji tentang “Akses Masyarakat Nelayan Terhadap Sumber Daya Ekonomi”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan teknik observasi, wawancara mendalam, analisa data dan studi kepustakaan. Penelitian ini bertujuan menggambarkan serta menganalisis sumber daya ekonomi pada masyarakat nelayan tradisional.

Mata pencaharian masyarakat nelayan pada umumnya adalah menangkap ikan, kondisi alam pantai yang sangat khas, tempat pemukiman masyarakat nelayan, di tambah latar belakang tingkat pendidikan yang pada umumnya relatif rendah, penyebabnya masyarakat nelayan menganggap bahwa menangkap ikan adalah satu-satunya sumber pendapatan keluarga. Struktur sosial yang cendrung timpang dan menindas, ditambah pula persediaan sumber daya alam ikan yang terbatas, akibat pukat harimau dan sejenisnya yang menjarah wilayah tangkap nelayan tradisional dan menyebabkan masyarakat nelayan merasakan adanya belenggu kemiskinan.

Di sepanjang pantai Serdang Bedagai sejak puluhan tahun terakhir ini menderversikasi mata pencahariannya dengan mengusaha pengelolaan akses sumber daya ekonomi atau menangkap ikan. Sejalan dengan perubahan versitas mata pencaharian tersebut, tingkat kesejahteraan mereka ternyata juga mengalami perubahan. Kenyataan inilah yang membuat penulis tertarik mengangkat masalah tersebut dalam penelitian ini, yaitu penulis ingin melihat tingkat kesejahteraan nelayan di Serdang Bedagai sesudah mengusahan Akses Sumber Daya Ekonomi di laut atau menangkap ikan. Masalah penelitian tersebut akan dijawab dengan mengadakan pembatasan-pembatasan, yaitu bahwa diversitas mata pencaharian nelayan sekaligus menangkap ikan dan bahwa tingkat kesejahteraan adalah tingkat pendapatan dan tingkat kekayaan, pemilikan barang-barang berharga atau bernilai ekonomis.

Kemiskinan yang diderita oleh satu golongan masyarakat adalah karena struktur sosial masyarakat itu, dimana golongan miskin tersebut tidak dapat mengakses sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Apabila terjadi pembagian pendapatan dimana sebagian besar masyarakat menerima hasil dibawah rata-rata pendapatan perkapita sedangkan sebagian kecil masyarakat menerima hasil dibawah rata-rata yang begitu tinggi, maka terjadilah ketimpangan dalam distribusi pendapatan.


(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ANTROPOLOGI

ABSTRAK

HERLIAN 020905013

Penelitian ini mengkaji tentang “Akses Masyarakat Nelayan Terhadap Sumber Daya Ekonomi”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dengan teknik observasi, wawancara mendalam, analisa data dan studi kepustakaan. Penelitian ini bertujuan menggambarkan serta menganalisis sumber daya ekonomi pada masyarakat nelayan tradisional.

Mata pencaharian masyarakat nelayan pada umumnya adalah menangkap ikan, kondisi alam pantai yang sangat khas, tempat pemukiman masyarakat nelayan, di tambah latar belakang tingkat pendidikan yang pada umumnya relatif rendah, penyebabnya masyarakat nelayan menganggap bahwa menangkap ikan adalah satu-satunya sumber pendapatan keluarga. Struktur sosial yang cendrung timpang dan menindas, ditambah pula persediaan sumber daya alam ikan yang terbatas, akibat pukat harimau dan sejenisnya yang menjarah wilayah tangkap nelayan tradisional dan menyebabkan masyarakat nelayan merasakan adanya belenggu kemiskinan.

Di sepanjang pantai Serdang Bedagai sejak puluhan tahun terakhir ini menderversikasi mata pencahariannya dengan mengusaha pengelolaan akses sumber daya ekonomi atau menangkap ikan. Sejalan dengan perubahan versitas mata pencaharian tersebut, tingkat kesejahteraan mereka ternyata juga mengalami perubahan. Kenyataan inilah yang membuat penulis tertarik mengangkat masalah tersebut dalam penelitian ini, yaitu penulis ingin melihat tingkat kesejahteraan nelayan di Serdang Bedagai sesudah mengusahan Akses Sumber Daya Ekonomi di laut atau menangkap ikan. Masalah penelitian tersebut akan dijawab dengan mengadakan pembatasan-pembatasan, yaitu bahwa diversitas mata pencaharian nelayan sekaligus menangkap ikan dan bahwa tingkat kesejahteraan adalah tingkat pendapatan dan tingkat kekayaan, pemilikan barang-barang berharga atau bernilai ekonomis.

Kemiskinan yang diderita oleh satu golongan masyarakat adalah karena struktur sosial masyarakat itu, dimana golongan miskin tersebut tidak dapat mengakses sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Apabila terjadi pembagian pendapatan dimana sebagian besar masyarakat menerima hasil dibawah rata-rata pendapatan perkapita sedangkan sebagian kecil masyarakat menerima hasil dibawah rata-rata yang begitu tinggi, maka terjadilah ketimpangan dalam distribusi pendapatan.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Tidak ada satu pun Negara di muka bumi ini yang melewatkan pembangunan. Pembangunan sudah menjadi bagian dari proses terbentuknya peradaban manusia. Bahkan dalam setengah abad ini, pembangunan merupakan satu dari antara hal-hal yang paling mendesak bagi setiap Negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Sejak awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. Upaya tersebut di tegaskan dalam tujuan Negara pada pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamanatkan kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (UUD 45 dan Amandemen).

Dalam mewujudkan tujuan tersebut, pemerintah terus menerus telah melakukan pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tujuan nasional. Dalam rangka mencapai tujuan nasional Indonesia, GBHN 1999-2004 memberikan visi yang merupakan tujuan yang akan dicapai pembangunan nasional yaitu terwujudnya masyarakat yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera, dalam wadah


(13)

Negara kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air berdasarkan hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin (Sinar Grafika, 2001: 8).

Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dalam pembangunan yaitu masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan terus menerus menjadi masalah yang berkepanjangan, bahkan sampai sekarang dapat dikatakan semakin memprihatinkan. Kemiskinan tercermin dari belum terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin seperti hak atas pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan, pekerjaan, tanah, sumber daya air bersih dan sanitasi, rasa aman serta hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik dan proses pembangunan. Sedangkan dampak dari kemiskinan yaitu jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan, dan tidak adanya investasi, kurangnya akses terhadap pelayan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya tabungan dan tidak adanya perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan secara terbatas. Hal ini membuktikan bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan kronis dalam proses pembangunan (Sumardi, 1982: 22).

Masalah kemiskinan merupakan isu sektoral di tanah air, terutama setelah Indonesia dilanda Krisis multidimensional yang berpuncak pada priode 1997-1999, setelah dalam kurun waktu 1976-1996 tingkat kemiskinan menurun secara spektakuler dari 40,1% menjadi 11,3%. Jumlah orang miskin meningkat kembali


(14)

terutama dengan tujuan tajam selama krisis ekonomi. Studi yang dilakukan Badan Penelitian Statistik menunjukkan bahwa jumlah penduduk pada priode 1996-1998 meningkat dengan tajam dari 22,5 juta jiwa (11,3%) menjadi 49,5 juta jiwa (24,2%) atau bertambah sebanyak 27,0 juta jiwa. Sementara itu memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 12,6 juta Jiwa atau sekitar 66,3% dari jumlah keseluruhan penduduk. Berdasarkan definisi kemiskinan dari Badan Penelitian statistik dan Departemen sosial, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa (Suhartono, 2005: 136).

Dalam press-releasenya, badan penelitian statistik melaporkan jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebesar 39,05 juta atau 17,75%. Di banding dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta atau 15,97%, berarti tingkat kemiskinan meningkat 1,78%, atau bertambah sebanyak 3,95 juta orang. Selain itu, BPS juga menyatakan (Kompas, 2 September, 2006), bahwa tanpa program kompensasi atau bantuan langsung tunai (BLT), jumlah penduduk miskin bisa mencapai 50,8 juta jiwa atau 23,1%. (http:www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006.

Meningkatnya jumlah penduduk miskin terjadi karena tidak adanya kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokoknya menurut standar yang dibuat oleh Bank Dunia, yang di kenal dengan garis kemiskinan yang menunjukkan batas terendah seseorang untuk memenuhi pokok manusia secara layak. Tidak terpenuhinya kebutuhan pokok merupakan bentuk tidak adanya


(15)

kesejahteraan manusia dan akan mengarah pada timbulnya berbagai masalah baru pada kehidupan manusia. (Sumardi, 1982 : 52)

Dalam model kebutuhan pokok telah diidentifikasikan kebutuhan dasar yaitu makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan, kebersihan, transportasi, dan partisipasi masyarakat. Sementara menurut Abraham Maslow, kebutuhan yang ada pada manusia adalah bawaan dan tersusun menurut tingkatan atau bertingkat. Kebutuhan manusia yang tersusun secara bertingkat tersebut yaitu kebutuhan dasar, fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan cinta kasih dan memiliki, kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Menurut Maslow, kebutuhan yang ada ditingkat paling dasar, merupakan kebutuhan yang pemuasannya lebih mendesak dari pada yang ada diatasnya. Artinya kebutuhan pokok manusia terutama pangan merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk dipenuhi karena kebutuhan ini berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia.

Dalam program penanggulangan kemiskinan atau apapun namanya untuk menolong masyarakat nelayan miskin keluar dari lingkaran kemiskinan lebih banyak menemui jalan buntu atau kegagalan. Berjuta-juta rupiah yang disalurkan pemerintah kepada nelayan misalnya nelayan melayu gagal dikembalikan, sementara nelayan yang mendapat bantuan itu bertambah miskin.

Kemiskinan ini lebih banyak didiami oleh masyarakat nelayan tradisional sebagai bagian struktur masyarakat paling rendah dalam masyarakat pesisir dan laut. Realitas menunjukan bahwa rutinitas masyarakat nelayan yang bangun dini hari kemudian pulang sore hari merupakan gambaran bahwa nelayan memiliki etos kerja. Kemiskinan pada masyarakat nelayan saat ini bukan muncul begitu


(16)

saja, tetapi telah melalui proses yang menjadi nelayan miskin, yakni struktur sosial (Marbun, 2002: 353).

Kondisi kemiskinan tersebut dikenal dengan kemiskinan struktural, maksudnya : Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena faktor eksternal atau struktur yang ada di luar individu seperti lembaga pemerintahan dengan dan berbagai kebijakan, lembaga ekonomi/pasar, Bank, koprasi, struktur dalam masyarakat seperti patron-klien. Kemiskinan yang diderita oleh golongan masyarakat nelayan struktur sosial sedemikian rupa, sehingga nelayan tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Mubyarto dan Soetrisno (1984) melihat struktur sosial masyarakat nelayan yang masih berbentuk patron-klien tersebut. Pola ini timbul sesuai dengan adat atau kebiasaan setempat. Gejala patronase juga muncul diakibatkan ketika para nelayan terus-menerus dililit hutang dan tidak mampu merubah diri mereka dari kedudukan yang subordinat dalam posisi segi ekonomi. (Mubyarto dkk,1984).

Kemiskinan struktural terjadi karena kelembagaan yang ada membuat sekelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata seperti kapal motor, alat tangkap dan lain-lain bukan karena minimnya sumberdaya laut. (Harahap, 1994: 27). Kemiskinan yang dialami komunitas nelayan telah mendorong tindakan eksploitasi berlebihan yang merusak terhadap sumberdaya laut atau ekosistem laut baik itu terumbu karang, hutan bakau, ikan dan biota laut demi kebutuhan hidup mereka.

Nelayan kecil (Small scale fishery) dan miskin bagian dari kondisi sosial ekonomi saat ini yang berdiam di kawasan pesisir, terpinggir secara tingkat


(17)

ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Suparlan (1984) memberikan gambaran, kemiskinan adalah “suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibanding dengan standar kehidupan umum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan”. Standar kehidupan ini secara langsung nampak pengaruhnya kepada tingkat kesehatan, kehidupan moral dan rasa harga diri dari mereka tergolong sebagai orang miskin.

Kemiskinan bukan saja disebabkan faktor struktural namun faktor kondisi alamiah dari sumberdaya alam dapat juga menimbulkan masyarakat dalam belenggu kemiskinan serta faktor mentalitas budaya dari masyarakat yang bersifat malas, boros dan kurang maksimal dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada disekelilingnya. Masyarakat nelayan, tampaknya tidak relevan kalau diukur melalui tolok ukur kemiskinan tersebut menjadi penting sebagai batasan. Modernisasi pembangunan sebagai bentuk penerapan pola pembangunan developmentalisme di sektor pesisir terlihat jelas dengan munculnya motorisasi penangkapan ikan. Di satu sisi motorisasi tersebut memberikan harapan bagi peningkatan perolehan ikan, namun di sisi lain malah menjadi hal yang paling buruk dihadapi oleh masyarakat nelayan tradisional.

Pada akhirnya penguasaan sumberdaya perikanan lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang. Sebaliknya perlindungan Negara terhadap masyarakat nelayan tradisional justru tidak ada, bahkan turut menjadi bagian yang menindas melalui praktek pembangunan dengan kolaborasi penguasa dan militer. Sekalipun pemerintah menyatakan penghapusan pukat melalui Keppres No. 39 Tahun 1980, namun kebijakan tersebut terbukti tidak mampu melindungi masyarakat nelayan


(18)

tradisional. Selain persoalan kebijakan pembangunan tersebut, ada juga perangkat kebijakan yang turut memperkuat peminggiran nelayan tradisional, yakni hilangnya semangat tradisi pesisir di beberapa daerah di Indonesia sebagai hasil penerapan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa. Intitusi-intitusi lokal pedesaan umumnya tidak diakui, contohnya pawang laut di Sumatera Utara yang pada dasarnya memiliki peran strategis melindungi sumberdaya laut melalui jamu laut. Tetapi dengan munculnya UU tersebut, sistem birokrasi modern menggantikan peran tokoh lokal lewat pembentukan LKMD. Peran pawang laut kemudian melemah (Marbun, 2002: 356-359).

Dalam perkembangannya, justru masyarakat nelayan belum menunjukan kemajuan yang berarti. Kebijakan yang diambil oleh masyarakat nelayan tradisional dalam rangka membangun gerakan sosial, kaum masyarakat nelayan misalnya, bisa dikatakan tidak masuk hitungan sebagai kelas yang memiliki kesejarahan dalam perubahan sosial. Apalagi sejarah perlawanan nelayan sangat jarang atau bahkan tidak ada dalam literatur sejarah perlawanan rakyat maka perlawanan nelayan kurang relevan dikaitkan dengan pertukaran produksi tersebut. Namun adanya konflik sebagai konsekuensi perebutan atas faktor produksi penting (sumberdaya ikan) bisa dianggap menjadi salah satu pemicu munculnya perlawanan nelayan.

Sementara itu, strategi pembangunan yang diterapkan melalui proyek industrialisasi yang menekankan peningkatan penggunaan teknologi modern ternyata tidak terbukti berhasil dalam kesejahteraan rakyat, malah sebaliknya. Pembangunan pesisir dan laut pun menjadi bias daratan dengan pengadopsian konsep “revolusi hijau” melalui penerapan teknologi penangkapan ikan di sektor


(19)

perikanan. Munculnya teknologi penangkapan ikan atau motorisasi bidang perikanan melalui strategi pembangunan menjadi tema penting berikut dalam menelaah perlawanan nelayan.

Munculnya perlawanan tradisional adalah konsekuensi dari kebijakan pembangunan dan tidak konsistennya aparat pelaksana kebijakan tersebut. Otoritas moral yang seharunya menjadi kekuatan melindungi mereka tercabik oleh kepentingan segelincir orang dengan kekuasaan dan teknologi. Sementara pengaduan-pengaduan yang mereka lakukan atas intansi terkait, DPRD, Lantamal, dan lain-lain hanya dipandang sebelah mata. Maka amarah nelayan pun tak terbendung hingga akhirnya membakar pukat harimau sebagai reaksi keras atau wujud penolakan kehadiran pukat harimau. Meski demikian pukat harimau tetap saja merajalela. Perlawanan yang berlangsung di Pantai Timur dan Barat Sumatera, Aceh secara temporer dan sporadis muncul tak menghasilkan apa-apa.

Ketidakkonsistenan pemerintah sendiri terhadap Keppres No.39 Tahun 1980 telah memunculkan ketidakpercayaan nelayan pada pemerintah. Rasa putus asa nelayan pun muncul akibat tidak terlaksananya kebijakan tersebut. Atau yang terjadi justru yang sebaliknya, adanya kebijakan penghapusan pukat malah menimbulkan lebih banyak pukat yang beroperasi dengan kasat mata dan Aparat turut melindunginya. Bahkan yang paling menyedihkan, para nelayan tradisional harus tersingkir dari daerah teritorial mereka. Penentangan nelayan tradisional terhadap pukat pun terus berlangsung hingga hari ini (Marbun, 2002: 115-116).

Permasalahan pokok dalam pengelolaan sumberdaya kelautan selama ini adalah bahwa laut diperlakukan terlepas dari ekosistem. Laut dilihat sebagai sumberdaya alam yang berdiri sendiri termasuk kekayaan gas alam dan minyak di


(20)

bawah laut dianggap lepas dari ekosistem kelautan. Hutan bakau dan terumbu karang diperlakukan sebagai kekayaan alam lepas dengan kaitannya dengan di laut. Sehingga yang terlihat adalah kerusakan laut, dasar laut, hutan bakau dan terumbu karang. (Suara pembaruan, Selasa 26 Januari 1996).

Kerusakan atau gangguan ekosistem perairan (kawasan pesisir) sering diakibatkan dan didorong masalah-masalah lingkungan dan faktor-faktor sosial ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung oleh aktivitas manusia atau para nelayan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya laut. Secara langsung penyimpangan itu terjadi berupa ; penangkapan ikan menggunakan bahan peledak, tangkap lebih (over fishing), penggunaan alat tangkap traw (pukat harimau), penambangan terumbu karang dan penebangan hutan bakau demi kepentingan tambak udang, kayu bakar dan lain-lain. Aktivitas manusia secara tidak langsung juga dapat menyebabkan kerusakan pada terumbu karang antara lain : penggundulan hutan bakau di hulu sungai dan intensifikasi pertanian yang dapat berakibat meningkatnya jumlah endapan yang dibawa air sungai ke laut. Sedimen ini akan mematikan biota laut yang hidup menetap di dasar termasuk batu karang dan biota dasar lainnya, pembangunan kawasan industri di sepanjang pantai yang hasil buangannya dapat meracuni perairan di sekitar terumbu karang, pemboran minyak lepas pantai, perkembangan industri turisme di kawasan terumbu karang (Saptarni dkk, 1996: 5-6).

Menyadari sumberdaya laut merupakan penghasilan pokok oleh nelayan skala kecil (Small Scale Fishery) keadaan degradasi ekosistem akan semakin berpengaruh terhadap penghasilan mereka, disamping pengaruh persaingan


(21)

eksploitasi dengan nelayan pemilik modal besar yang mempergunakan modernisasi alat tangkap.

Pengaruh itu diutarakan peneliti atau para ahli. Turner misalnya (dalam Harahap, 1997) telah mengkalkulasi dampak perubahan ekosistem mangrove sumberdaya laut yang menjurus pada munculnya kelas kaya dan miskin pada masyarakat nelayan, merosotnya persediaan sumber daya biotik laut, terjadi kerusakan sistem ekologi laut. Akibat negatif seperti ini termasuk dalam kategori bahaya laut yang diungkap oleh Hardin (1968) sebagai “tragedy of the commons”. Berdasarkan pada kajian antropologi ternyata bahwa berbagai tempat di dunia ada sebagaian masyarakat nelayan yang semenjak dahulu sampai sekarang mencoba mengatasi masalah laut berupa “tragedy of the commons” dengan menerapakan pranata-pranata lokal yang mengatur sistem pembagian hak dan penguasaan wilayah perikanan di laut sebagai milik komunal, kelompok dan bahkan menjadi milik individual. (Lampe, 1996: 1).

Kajian ilmiah menunjukan bahwa pranata-pranata lokal seperti itu ternyata cukup memadai dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan ekologi bagi masayarakat nelayan. Dengan fenomena pengelolaan sumberdaya laut berkorelasi positif dan berkaitan erat dengan nelayan sebagai masyarakat yang berbudaya dalam rangka mengadaptasikan terhadap ekosistem laut di sekelilingnya dengan memanfaatkan semaksimal mungkin sumberdaya laut yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, biologis, sosial dan budayanya.


(22)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah “Akses Masyarakat Nelayan Terhadap Sumber Daya Ekonomi”. Dari perumusan masalah tersebut dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penting yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain : 1. Bagaimana Akses Masyarakat Nelayan Terhadap Sumber Daya Ekonomi. 2. Sejauh Mana Upaya Masyarakat Nelayan Di Dalam Membuka Mengakses

Terhadap Sumber Daya Ekonomi.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sepanjang Pantai Serdang Bedagai Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara.

4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian 4.1. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui gambaran umum kondisi terhadap sumber daya ekonomi.

2. Untuk melihat gambaran umum akses di masyarakat nelayan terhadap sumber daya ekonomi.

3. Menganalisis upaya-upaya masyarakat nelayan dalam mengakses sumber daya-sumber daya ekonomi.


(23)

4. 2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah

1. Untuk memberikan sumbangan berupa pikiran dan referensi bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya ekonomi.

2. Memberikan informasi bagi pihak-pihak terkait dalam rangka pengembangan masyarakat nelayan.

3. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

5. Tinjauan Pustaka

Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang lingkungan pemukimannya berada pada wilayah peralihan antara daratan dengan lautan yang disebut pinggir pantai atau tepi laut. Masyarakat pesisir atas nelayan, pembudi daya ikan, dan pedagang hasil laut, serta masyarakat nelayan yang kehidupan sosial ekonominya tergantung pada sumber daya kelautan. Masyarakat nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang tergantung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan atau budidaya yang pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.

Dirjen Perikanan (dalam Satria 2002 : 26) mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air, adapun orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau mengangkut alat-alat perlengkapan kedalam perahu/kapal tidak dikaterigorikan sebagai nelayan. Sementara itu ahli


(24)

mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkap tersebut sebagai nelayan meskipun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan.

Mereka pada umumnya mendiami daerah kepulauan, sepanjang pesisir termasuk danau dan sepanjang aliran sungai. Penduduk tersebut tidak seluruhnya menggantungkan hidupnya dari kegiatan menangkap ikan akan tetapi masih ada bidang-bidang lain seperti usaha pariwisata bahari, pengangkutan antar pulau danau dan penyebrangan, pedagang perantara/eceran hasil tangkapan nelayan, penjaga keamanan laut, penambangan lepas pantai dan usaha-usaha lainnya yang berhubungan dengan laut dan pesisir.

Sejak dahulu sampai sekarang nelayan telah hidup dalam sebuah organisasi kerja secara turun temurun tidak mengalami perubahan yang berarti. Kelas pemilik sebagai juragan relatif kesejahteraan lebih baik karena menguasai faktor produksi seperti kapal, mesin dan alat maupun faktor pendukungnya seperti es, garam dan lainnya. Kelas lain merupakan mayoritas adalah pekerja atau penerima upah dari pemilik faktor produksi dan kalau pun mereka mengusahakan sendiri faktor/alat produksinya masih sangat konvensional, sehingga produksinya tidak berkembang, kelompok inilah yang terus berhadapan dan digeluti oleh kemiskinan.

Masyarakat nelayan pada umumnya memiliki persoalan yang lebih kompleks dibanding dengan masyarakat pertanian. Masyarakat nelayan memiliki ciri-ciri khusus seperti penggunaan wilayah pesisir dan lautan (common property) sebagai faktor produksi, jam kerja harus mengikuti siklus bulan yaitu dalam 30 hari atau satu bulan yang dapat dimanfaatkan untuk melaut hanya 20 hari sisanya mereka relatif menganggur. Selain daripada itu pekerjaan menangkap ikan adalah


(25)

merupakan pekerjaan yang penuh resiko dan umumnya karena itu hanya dapat di kerjakan oleh lelaki, hal ini mengandung arti keluarga yang lain tidak dibantu secara penuh.

Dengan persoalan yang demikian tentu kita harus memahami bahwa masyarakat nelayan memerlukan perhatian yang multi dimensi. Tantangan yang terbesar adalah bagaimana membangun sektor ini agar dapat mengangkat harkat dan martabat kehidupan masyarakat nelayan maupun masyarakat lainnya yang terkait dengan sumber daya kelautan dan pesisir.

Masyarakat nelayan dan petani tambak ini dipandang sebagai potensial dan memegang peranan sebagai pemasok ikan, karena sebagian besar (90%) produksi ikan dihasilkan dari usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Hal ini menunjukkan masih rendahnya produktifitas pemanfaatan sumber daya dan potensial, yang lebih parah dari itu, seperti yang sering disinyalir oleh menteri keluatan dan perikanan Republik Indonesia, bagaimana mungkin kemiskinan masih menjadi masalah yang menjerat nelayan dan petani tambak, pada hal mereka tinggal diwilayah yang memiliki sumber daya alam yang cukup kaya. Untuk itulah masalah nelayan ini sejatinya harus mendapat perhatian serius bagi semua pihak dan harus diatasi dengan menggunakan berbagai macam cara.

Persatuan masyarakat nelayan memiliki hubungan patron-klien dikalangan nelayan Indonesia secara khusus sepanjang yang diketahui belum pernah dilakukan secara komprehensif. Gejala kepatronan hanya muncul dalam kajian tentang keadaan sosio-ekonomi nelayan secara keseluruhan. Mubyarto (1984) dalam suatu bahagian kesimpulan substantif dari kajian tentang nelayan dan


(26)

kemiskinan menemukan bahwa hubungan patron-klien itu sangat berperanan ketika salah satu pihak mendapat kesulitan.

Lebih lanjut dikatakan:

“Dalam praktik, masalah-maslah sosial (ekonomi) sebagai akibat negatif proses modernisasi, nampaknya masih bisa diatasi oleh lembaga ‘bapak-anak’ (patron-klien) yang berlaku sesuai semacam perasaan bagi yang kaya untuk memberikan pekerjaan atau bantuan pada yang miskin. Dan perasaan untuk menolong ini pasti diberikan kepada si miskin yang senang bekerja keras. Semangat sosial dan moral masih cukup menonjol di daerah-daerah yang diteliti, sehingga meskipun keadaan kehidupan cukup “sumpek”, toh ia tidak cenderung eksplosif.” (Mubyarto,1984).

Kepatronan dalam masyarakat nelayan juga ditemukan oleh Mangiang (1989) adalah hubungan patron-klien merupakan pola hubungan nelayan kaya disatu pihak yang berperanan sebagai patron dan nelayan miskin dilain pihak yang berperanan sebagai klien. Nelayan kaya pada musim tidak ada kegiatan menangkap ikan memberi atau diminta bantuannya oleh nelayan miskin untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Nelayan miskin sebagai penerima atau peminta bantuan, memberi tenaganya untuk membawa perahu-perahu nelayan kaya menangkap ikan, atau nelayan miskin merelakan ikan hasil tangkapannya dibeli oleh nelayan kaya dengan harga pembelian ditentukan sendiri oleh nelayan kaya. Dengan adanya pola hubungan patron-klien ini, kesulitan-kesulitan yang sewaktu-waktu dapat mengancam keluarganya paling tidak dapat di atasi. (Ramly dalam Zulkifli: 46-47)


(27)

Dalam tatanan masyarakat nelayan Emerson (1979) menemukan bahwa sistem meminjam uang dan bekerja pada pemilik perahu dan kapal bermotor adalah ikatan yang kohesif bagi integrasi sosial di pedesaan pantai. Hutang dapat mengukuhkan hubungan antara dua pihak : peminjam berusaha untuk memenuhi kewajibannya dalam bentuk kesetiaan dan kejujuran, sedangkan pemberi pinjam akan memberi bantuan kepada peminjam pada saat diperlukan. Gejala ini menjadi kepatronan tumbuh subur dalam masyarakat nelayan. Akan tetapi, kenyataan yang muncul adalah modernisasi dan motorisasi alat-alat pengeluaran yang diperkenalkan pada masyarakat nelayan, ternyata tidak menunjukan adanya peningkatan kualitas hidup sebagian besar nelayan tradisional yang tersebar di hampir 7.122 desa nelayan sapanjang pantai kepulauan Indonesia. Yang memperoleh daripada motorisasi teknologi pengeluaran yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia pada sekitar awal tahun 1980 adalah sebagian kecil nelayan, yaitu para pemilik modal dan alat-alat pengeluaran.

Kemunculan hubungan patron-klien tidak hanya dapat dilihat antara toke yang menyewakan sampannya kepada nelayan penyewa, tetapi juga dapat muncul dari hubungan yang sifatnya longgar yakni antara nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri dan menjualnya hasil tangkapannya kepada seorang toke pengumpul ikan. Nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri pada musim tertentu, misalnya musim paceklik (ketika ikan jarang didapat juga akan terpaksa berutang pada toke). Seringkali utang tersebut jatuh tempo atau melewati waktu perjanjian, sehingga si nelayan akan diberikan semacam kompensasi seperti keringanan membayar utangnya dengan syarat ikannya harus dijual kepada si toke, tidak boleh kepada pembeli lain. Kompensasi lainnya bisa berupa


(28)

pemotongan utang dari hasil penjualan ikan. Kondisi tersebut akan berlangsung dalam waktu lama dan akhirnya dimanfaatkan toke menjadi hubungan mengikat, sehingga harga ikan ditentukan oleh si nelayan.

Kelangsungan hubungan tersebut sudah membudidaya seiring dengan tekanan kemiskinan yang dialami oleh nelayan sebagai klien. Nelayan sangat sulit keluar dari keterikatan hubungan tersebut karena hubungan patron-klien merupakan hubungan yang langgeng dalam komunitas nelayan. Meski idealnya, hubungan patron-klien adalah untuk melindungi dan membantu pemenuhan kebutuhan keseharian dari kliennya (Marbun, 2002 : 360).

Upaya pemerintah selama ini sepertinya tidak melihat sebuah realitas yang utuh, yakni bagaimana proses yang berlangsung dan bagaimana struktur-struktur yang mengakibatkan kemiskinan tersebut terjadi. Untuk meretasnya, barangkali tetap harus melihat bagaimana struktur sosial yang menjadikan nelayan tetap miskin. Struktur tersebut antara lain:

Pertama, Struktur kemasyarakatan yakni hubungan patron-klien. Hubungan ini harus dilihat sebagai salah satu bagian yang langsung atau tidak langsung menjadi penyebab kemiskinan, tentu dengan tidak memasukan adanya hubungan patron-klien yang lebih adil, tetapi lebih kepada kondisi dimana hubungan tersebut telah mengalami pergeseran. Hubungan patron-klien yang sudah terinternalisasi memang sulit diputus.

Kedua, Struktur yang dibangun oleh Negara. Kebijakan ekonomi yang masih berorientasi pada pertumbuhan khususnya sektor pesisir dan laut harus diubah dengan memperhatikan aspek kemanusiaan. Artinya, nelayan harus


(29)

menjadi subjek pembangunan melalui keterlibatannya dalam proses pembuatan kebijakan.

Ketiga, Struktur pemasaran, di mana harga ikan yang didominasi oleh toke-toke harus dikembalikan melalui sistem pelelangan sehingga hak nelayan tradisional dalam penentuan harga bisa diakomodasikan. Upaya ini dapat dilakukan dengan mengfusikan kembali TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang selama ini dikuasai para tengkulak/toke.

Keempat, dengan adanya peluang Otonomi Daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999, daerah bisa mengambil peran yang lebih strategis, tentu dengan Perda yang bisa memberikan akses lebih besar kepada masyarakat nelayan untuk memanfaatkan, mengawasi, dan melindungi sumberdaya laut di daerahnya (Marbun, 2002: 361).

Pengurus persatuan Serikat Nelayan Merdeka (SNM) dan jaringan-jaringan laninya untuk memberantas Trawl (pukat harimau) dan sejenisnya serta mencedaskan masyarakat nelayan, mengkritisi pembangunan kawasan pesisir, melestarikan lingkungan pesisir, memperkuat organisasi, membangun jaringan kerja, dan mendorong peningkatan ekonomi nelayan. .org/PoliticHR/2004/Antitrawl Amanat kongres I SNM.htm.

Pengurus Serikat Nelayan Merdeka (SNM) dan jaringan-jaringan lainnya meminta pihak Pemerintah untuk mempertimbangkan atas pemberian kredit “pukat layang” dan sejenisnya kepada nelayan. Apabila Pemda tetap melaksanakan program itu, maka diminta segera agar Pemda mengajak nelayan di patai pesisir tersebut untuk berembuk guna menetapkan jalur penangkapan ikan di


(30)

wilayah ini. Sebab pada dasarnya cara kerja “pukat layang” sama dengan cara kerja Trawl (pukat harimau).

Serikat-serikat nelayan juga menghadapi persoalan yang sama, perang melawan nelayan asing, serta perang melawan pengusaha yang menggunakan jaring trawl (pukat harimau). Di sisi lain, mereka juga harus berjuang menghadapi para juragan ikan yang menentukan harga beli ikan dengan seenaknya sendiri. Dibangunnya organisasi rakyat, sepenuhnya lahir karena kesadaran bersama rakyat bahwa mereka pada akhirnya harus mengupayakan sendiri perbaikan kehidupan rakyat. Mereka tidak bisa lagi berharap banyak pada jajaran pemerintah, seperti pengalaman selama ini. Oleh karena itulah, organisasi rakyat ini dibangun dan kemudian membangun jaringan tersendiri untuk kebaikan bersama. Organisasi rakyat banyak yang sudah mengarahkan programnya pada pemberdayaan ekonomi.

Singkatnya, berdirinya organisasi rakyat di berbagai tempat tidak sepantasnya dipandang dengan penuh kecurigaan. Bahkan, merupakan bentuk paling nyata bagaimana rakyat Indonesia secara sadar dan sukarela memberdayakan diri mereka sendiri. Dengan berorganisasi itulah mereka mewujudkan peribahasa “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.

Persaingan antara sesama nelayan kecil dengan beragam tingkat teknologi penangkapan ikan berlangsung pada banyak kawasan yang sempit. Persaingan itu diperburuk lagi oleh munculnya pengusaha besar yang umumnya berasal dari etnik Cina dibeberapa tempat. Mereka menggunakan peralatan penangkapan ikan yang lebih maju tetapi sekaligus lebih rakus mengeruk ikan dan udang. Kehadiran


(31)

pengusaha Cina itu sangat berperan dalam memperkecil jumlah potensi ikan udang yang bisa diperebutkan nelayan kecil atau nelayan tradisional. Sekalipun kehadiran mereka turut memperburuk keadaan sumber kehidupan laut yang berarti turut menyebabkan kemiskinan, tapi kehadiran mereka lebih karena faktor-faktor struktural yang nanti masih akan dijelaskan.

Di samping kepadatan penduduk dan persaingan pada paras teknologi penangkapan ikan di kawasan yang terbatas, di pantai Timur Sumatera Utara sekarang terjadi kehancuran ekosistem hutan bakau (mangrove). Kehancuran hutan mangrove atau dalam istilah setempat dikenal dengan nama hutan bakau bagaimanapun berpengaruh buruk terhadap pengeluaran ikan dan udang dan industri arang, maka dapat diperkirakan kemorosotan sumber daya alam yang dialami kawasan ini. Seperti juga pengusaha Cina yang mengoperasikan kapal-kapal penangkapan ikan yang rakus, pengusaha kolam ikan dan industri arang ini juga merupakan kekuatan struktural dari atas yang menghancurkan sumberdaya setempat. (Ramly dalam Azhari: 64-65).

Dalam dimensi struktural dari kemiskinan nelayan di pantai Timur Sumatera Utara berlangsung melalui mekanisme yang sulit dipahami oleh nelayan setempat. Beroperasinya alat-alat penangkap ikan besar (pukat harimau) sudah sejak lama, setidak-tidaknya di Asahan sejak tahun 1967, menimbulkan konflik antara pengusaha besar dan nelayan kecil (Sinaga, 1984). Persaingan antara dua kekuatan yang tidak seimbang untuk memperebutkan sumber daya yang sama, mudah diduga selalu dimenangi oleh pihak yang kuat.

Gerakan-gerakan protes nelayan atas ketidakadilan itu sudah muncul sejak tahun tujuh puluhan. Protes-protes itu membuahkan hasil dalam arti mendapat


(32)

perhatian pemerintah. Mula-mula pemerintah melarang kapal-kapal itu beroperasi di daerah pantai. Memang alat yang menguras habis ikan sampai ke anak-anaknya itu mula-mula hilang dari daerah pantai, tetapi hanya sebentar. Pembatasan daerah operasi pukat harimau sama sekali tidak efektif karena laut mempunyai batas yang bisa dijadikan pegangan.

6. KERANGKA KONSEP

Akses

Akses adalah sebuah peluang untuk memperoleh atau mengelola dan Pendayagunaan sumberdaya-sumberdaya kelautan dan wilayah pesisir . Masyarakat

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berintegrasi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontiniu dan terkait oleh suatu rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1980: 146).

Masyarakat nelayan

Masyarakat nelayan adalah suatu komunitas yang berdomisili di daerah pesisir pantai dan menggantungkan hidupnya dari alam sekitarnya guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Nelayan

Defenisi nelayan yang dipakai dan diterima hingga saat ini khususnya dalam statistik perikanan yang diterbitkan oleh direktorat jendral perikanan, adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam beroperasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Sementara orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring,


(33)

mengangkut alat-alat perlengkapan kedalam perahu, kapal, tidak digolongkan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin dan juru masak yang bekerja diatas kapal penangkap ikan di masukan sebagai nelayan walaupun mereka secara tidak langsung melakukan penangkapan ikan (Dirjen Perikanan, Deptan, 1987).

Sumber daya

Sumber daya adalah pemanfaatan terhadap pengelolaan keseluruhan sumberdaya-sumberdaya kelautan yang ada dalam lingkungan masyarakat pesisir.

Sumber daya ekonomi

Sumber daya ekonomi adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang ada di sekitar alam lingkungan hidup.

Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu kondisi dimana tingkat pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti atas pangan, sandang, papan kesehatan, perumahan, pendidikan, pekerjaan, tanah, sumber daya air bersih dan sanitasi, rasa aman serta hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik dan proses pembangunan dan lain-lain.

Kemiskinan struktural

Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena faktor eksternal atau struktur yang ada di laur individu seperti lembaga pemerintahan dengan dan berbagai kebijakan, lembaga ekonomi/pasar, bank, koprasi, struktur dalam masyarakat seperti patron klien.


(34)

Patron-Klien

Patron-klien adalah hubungan yang merupakan pola hubungan nelayan kaya disatu pihak yang berperanan sebagai patron dan nelayan miskin di lain pihak yang berperanan sebagai klien. Nelayan kaya pada musim tidak ada kegiatan menangkap ikan memberi atau diminta bantuannya oleh nelayan miskin untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Nelayan miskin sebagai penerima atau peminta bantuan, memberi tenaganya untuk membawa perahu-perahu nelayan kaya menangkap ikan, atau nelayan miskin merelakan ikan hasil tangkapannya dibeli oleh nelayan kaya dengan harga pembelian ditentukan sendiri oleh nelayan kaya. Dengan adanya pola hubungan patron-klien ini, kesulitan-kesulitan yang sewaktu-waktu dapat mengancam keluarganya paling tidak dapat di atasi. (Ramly dalam Zulkifli: 46-47).

7. Metode Penelitian 7.1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah merupakan penelitian lapangan yang bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau sekelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala hubungan antara dua gejala atau lebih (Suhartono, 1995: 34). Dalam penelitian deskriptif diusahakan untuk dapat mendeskripsikan hal-hal yang berhubungan dengan objek yang diteliti dilapangan, dan mengemukakan gejala-gejala secara lengkap agar jelas keadaan dan kondisi dari fakta-fakta yang ada ditemukan dilapangan.


(35)

7.2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada tahap awal dilakukan dengan studi kepustakaan dan penelitian dilapangan, disini dimaksudkan untuk kepentingan teoritis dan konsep-konsep yang relevan sebagai paradigma berfikir yang dilihat dalam menganalisa fenomena yang akan diteliti. Studi kepustakaan dilaksanakan terhadap buku-buku, makalah, jurnal ilmiah atau peneliti sebelumnya yang mempunyai hubungan dengan masalah yang akan diteliti.

Data yang di kumpulkan dilapangan adalah data-data skunder dan data primer.

1. Data Primer : data yang diperoleh langsung dari masyarakat nelayan di lokasi penelitian yang merupakan sumber data utama dalam penelitian.

2. Data Skunder : data yang direncanakan di peroleh dari intansi-intansi terkait, seperti dari Kantor Kepala Desa, Kantor Camat. Dari hasil data-data tersebut dapat menunjang dan melengkapi hasil penelitian.

Pengumpulan data primer di peroleh dari :

7.2.1. Teknik Wawancara

Wawancara yang akan digunakan adalah wawancara bebas dan mendalam (Depth Interview), maupun dengan para informan yang telah ditentukan terdiri dari informan pangkal, informan kunci dan informan biasa.

Yang pertama sekali menjadi informan pangkal adalah para Perangkat Desa (Kades, wakil atau sekretarisnya), yang mengerti tentang aspek-aspek yang diteliti. Tidak terlepas kemungkinan diantara mereka itu beberapa orang yang akan dijadikan informan kunci (key informan), sebab dianggap memiliki


(36)

pengetahuan banyak dan menguasai tentang fenomena di desa tersebut berkenaan dengan masalah yang akan diteliti.

Tetapi informan kunci lebih di prioritaskan pada orang-orang yang terkait langsung pada aktivitas pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) laut mereka itu adalah para keluarga masyarakat nelayan, yang ada di kawasan pesisir laut. Mereka terdiri dari nelayan pemilik modal, nelayan buruh ( juragan/tekong dan anak buah). Untuk memperkuat penjelasan dan memperkompleks kevaliditas data di wawancarai juga informan biasa yang terdiri dari masyarakat desa setempat yang memiliki perhatian terhadap sumber daya laut baik dari kalangan nelayan maupun toko-toko masyarakat lainnya.

7.2.2. Teknik Observasi

Yaitu pengamatan langsung kelapangan untuk mendapatkan data-data yang mendukung hasil dari wawancara. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan dimana peneliti berusaha menelusuri kehidupan setiap informan, yaitu keluarga masyarakat nelayan. Hal-hal yang telah di observasikan dalam hal ini adalah akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya ekonomi, baik kehidupan ekonomi serta kehidupan sosial sehari-hari dengan keluarga masyarakat nelayan lain, baik secara individu maupun dalam komunitas sosial keluarga nelayan.


(37)

8. Analisa Data

Data yang diperoleh di lapangan akan di edit ulang kembali yang akhirnya ditujukan untuk memeriksa kelengkapan hasil wawancara. Hasil wawancara itu diperlakukan adanya tanpa mengurangi dan menambahi yang dapat mempengaruhi keaslian data tersebut dan pada akhirnya data-data ini akan dianalisa secara kualitatif. Analisa data secara kualitatif keseluruhan data diperoleh dari observasi, wawancara dan sumber kepustakaan disusun berdasarkan pemahaman serta fokus penelitian dan tujuan penelitian dilapangan.


(38)

BAB II

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

2.1. Profil Wilayah

2.1.1. Letak Wilayah

Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 2° 57° Lintang Utara, 3° 16° Lintang Selatan, 98° 27° Bujur Barat dengan luas wilayah 1.900,22 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut sebelah Utara dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah Timur dengan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun, serta sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Deli Serdang. Dengan ketinggian wilayah berkisar 0–500 meter di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 11 kecamatan, 237 desa dan 6 kelurahan.

2.1.2. Iklim

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki iklim tropis yang kondisi iklimnya hampir sama dengan kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk. Pengamatan stasiun Sampali menunjukkan rata–rata kelembapan udara perbulan sekitar 84 %, curah hujan berkisar antara 30° sampai dengan 34° mm perbulan dengan periodik tertinggi pada bulan Agustus–September 2004, hari hujan perbulan berkisar 8–26 km dengan periode hari hujan yang besar pada bulan Agustus–September 2004. Rata–rata kecepatan udara berkisar 1.10/dt dengan tingkat penguapan sekitar 3.74 mm/ arih. Temperatur udara per bulan minimum 23.7° C dan maksimum 32.2° C.


(39)

Kabupaten Serdang Bedagai mempunyai tangkapan sungai yang digunakan untuk perikanan. Tangkapan dan perikanan budidaya dengan teknologi yang diterapkan adalah Budi Daya Keramba yang potensinya dapat dikembangkan, disamping itu panjang garis pantai adalah sepanjang 95 km merupakan potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Apabila dilihat dari luas wilayah kabupaten Serdang Bedagai dibandingkan dengan sistem penggunaan tanah, maka masih banyak lahan–lahan yang dapat dikembangkan di berbagai sektor pembangunan.

Untuk membiayai pembangunan daerah diupayakan dengan menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi berbagai objek pemungutan/retribusi sesuai dengan peraturan perundang–undangan dan ketentuan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bukan semata-mata merupakan sumber keuangan yang penggunaannya sesuka hati, tanpa memperhatikan kaidah ekonomi politik, oleh karena itu perlu bahwa PAD mengandung unsur adanya hak memungut yang diberikan pemerintah (Local Taxing Power) dan kemampuan masyarakat untuk membayar pajak (ability to pay and willingness to pay) dengan tidak menciptakan hal-hal yang berdampak negatif. Oleh karena itu, harapan dan upaya pemerintah kabupaten Serdang Bedagai ke depan adalah menetapkan kebijakan yang dapat memberikan iklim usaha yang kondusif, sehingga sumber daya ekonomi daerah ini akan dapat berkembang dan akhirnya masyarakatlah yang akan menikmatinya.

Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2002 adalah 5.13 % meningkat menjadi 5.44 % pada tahun 2003. Sumbangan yang terbesar dari pertumbuhan


(40)

ekonomi diperoleh dari sektor pertanian yaitu sebesar 55.71 %. diikuti dengan sektor industri 17.11 %, perdagangan, dan sektor jasa sebesar 5.14 % serta lainnya 8.41 %.

2.1.3. Pemerintahan

Kabupaten Serdang Bedagai memilki luas wilayah 1.900.22 km persegi, terbagi dalam 11 kecamatan dan 237 desa dan 6 kelurahan, didiami oleh pemerintah dari beragam etnik/suku bangsa, agama dan budaya. Suku tersebut antara lain Karo, Melayu, Tapanuli, Simalungun, Jawa, dan lain–lain. Potensi sumber daya alam di kabupaten Serdang Bedagai yang paling menonjol diantaranya : Sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan serta sektor pariwisata.

Sejak terbentuknya pemerintahan daerah yang baru, Sei Rempah merupakan ibukota kabupaten sebagai pusat pemerintahan, jaraknya dengan kota-kota kecamatan sawn gan bervariasi antara 7 km s.d 51 km. Disamping kecamatan Sei Rempah sebagai pusat kota kecamatan Perbaungan yang merupakan kota pusat perdagangan di kabupaten Serdang Bedagai yang diandalkan kedua kecamatan ini menjadi indikator keberhasilan pertumbuhan pembangunan yang dilaksanakan.

Kota-kota kecamatan yang letaknya relatif jauh di atas 50 km, antara lain kecamatan Dolok merawan, kecamatan-kecamatan lain yang jaraknya berkisar 7 sampai dengan 32 km. Adanya wacana pemekaran wilayah kecamatan, dimungkinkan beberapa kecamatan yang masih memiliki wilayah cukup luas berpeluang untuk dimekarkan. Di antaranya kecamatan Perbaungan, Sei rempah


(41)

dan Dolok Masihul. Hal ini sejalan dengan upaya percepatan proses pelaksanaan pembangunan daerah.

2.1.4. Kependudukan

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan kabupaten baru yang merupakan hasil pemekaran dari wilayah kabupaten Deli Serdang. Jumlah penduduk kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2004 berjumlah 588.263 jiwa, dengan komposisi jumlah penduduk laki–laki 295.806 jiwa dan perempuan 297.457 jiwa. Sedangkan jumlah rumah tangganya mencapai 137.042 KK.

Kepadatan penduduk kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2004 sebesar 310 jiwa / km2. Kepadatan penduduk terbesar adalah di kecamatan Perbaungan yaitu sebesar 567 jiwa / km2 disusul kecamatan Tanjung Beringin 527 jiwa/km2, Teluk Mengkudu 489 jiwa/km2. Sedangkan dengan kepadatan penduduk terendah adalah kecamatan Sipispis 139 jiwa/km2, dan kecamatan Kotarih 141 jiwa/km2. Ditinjau dari segi persebaran penduduk jumlah penduduk terbesar adalah di kecamatan Perbaungan yaitu sebesar 120.193 jiwa atau sebesar 19.47 % dari seluruh penduduk kabupaten Serdang Bedagai. Kecamatan–kecamatan lain di antaranya kecamatan Sei Rempah 102.766 jiwa, kecamatan Tebing Tinggi 78.134 jiwa dan kecamatan Dolok Masihul 71.301 jiwa.


(42)

2.2. Desa Sialang Buah

Desa Sialang Buah terletak di Kecamatan Teluk Mengkudu, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara. Dengan luas daerah 70, 84 Hektar. Desa ini berada pada ketinggian 0-2 M dari permukaan laut, dengan curah hujan rata-rata 0-278 mm, keadaan suhu rata-rata 21-30° C pertahun. Jarak Desa ke pusat pemerintahan kecamatan adalah 1 km, dan jarak ke ibukota Kabupaten adalah 70 km, sementara jarak dari desa ke ibukota Propinsi yaitu 120 km.

Berdasarkan data statistik dari kantor kepala desa Sialang Buah tahun 2006, penduduk Desa Sialang Buah Kecamatan Teluk Mengkudu berjumlah 3.523 jiwa yang terdiri dari 766 kepala keluarga (KK), dan jumlah masyarakat nelayannya berjumlah 370 orang.

Mengingat wilayah Desa Sialang Buah masih merupakan pedesaan, selain itu juga masih terdapat banyak lahan kosong yang begitu luas, maka kita dapat melihat bahwa penduduk desa yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan petani. Sementara itu, sebagian kecil masyarakat membuka usaha sampingan yaitu dengan beternak disekitar rumah mereka. Di samping itu, masyarakat desa Sialang Buah ada juga yang bekerja sebagai wiraswasta, pedagang, PNS, dan lain sebagainya.

Namun sebagai masyarakat pesisir (pantai) mata pencaharian utama mereka tetaplah sebagai nelayan. Kondisi tempat tinggal penduduk secara umum bisa dikatakan masih cukup jauh syarat sehat karena masih banyak rumah yang kondisinya memperhatinkan. Memang sudah cukup banyak rumah semi permanen, tetapi kalau dilihat lingkungannya tetap tidak mendukung. Sudah sering lingkungan perumahan penduduk digenangi air sehingga halaman rumah


(43)

berlumpur. Menurut pengakuan beberapa informan di desa tersebut, dulu desa mereka tidak pernah kebanjiran, sehingga rumah penduduk selalu terjaga kebersihannya. Namun sejak pohon-pohon bakau dan pohon si api-api di sekitar pantai ditebangi oleh pemilik tambak, air pasang mulai mencapai lingkungan mereka, sehingga pemukiman penduduk selalu tergenang air laut.

Walaupun kondisi perumahan belum memenuhi syarat kesehatan, sebagian besar rumah penduduk dihiasi oleh peralatan elektronik seperti tape recorder dan TV bahkan sudah ada yang memajang barang-barang mewah seperti sofa, lemari dan lain-lain. Karena banyak juga rumah yang sebetulnya lebih membutuhkan perbaikan fisiknya ketimbang isinya. Fasilitas umum yang telah tersedia di desa ini berupa sarana penerangan (listrik) dan sarana air bersih. Sedangkan sarana transportasi umum bisa dikatakan masih agak sulit karena terbatasnya angkutan yang melayani penduduk desa ini.

Masyarakat desa Sialang Buah memiliki adat-istiadat yang berbeda dikarenakan masyarakatnya bersifat heterogen, yaitu terdiri dari Suku Melayu, Suku Jawa, Suku Banjar, Suku Aceh dan Suku Batak. Oleh karena itu, istiadat yang ada di desa Sialang Buah juga beragam. Pada saat peranan adat-istiadat di desa ini sudah tidak begitu kuat lagi. Sehingga didalam kehidupan bermasyarakat penggunaan norma-norma adat sudah tidak begitu menjadi keharusan lagi. Walaupun dalam hal ini masyarakatnya masih menggunakan norma-norma lainnya, seperti norma agama dan norma sosial.


(44)

2.3. Desa Lubuk Saban

Desa Lubuk Saban adalah sebuah desa yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan-petani atau nelayan yang juga bertani. Namun sebagai masyarakat pesisir (pantai) mata pencaharian utama mereka tetaplah sebagai nelayan. Berdasarkan data statistik dari kantor kepala desa Lubuk Saban tahun 2006, penduduk Desa Lubuk Saban Kecamatan Pantai Cermin berjumlah 2.459 jiwa yang terdiri dari 659 kepala keluarga (KK). Jumlah masyarakat nelayan di Desa ini berjumlah 483 orang. Kegiatan bertani hanya menjadi selingan sepulang dari melaut atau ketika musim badai besar yang biasanya nelayan tidak bisa turun melaut. Dengan kata lain kegiatan bertani adalah kegiatan sampingan. Sebagian besar warga Desa Lubuk Saban adalah memeluk Agama Islam dan sebagaian kecil lagi ada yang memeluk Agama Kristen biasanya etnis Batak yang merantau ke desa ini. Sedangkan yang Muslim sebagian besar adalah etnis Jawa, Melayu, dan Banjar.

Masyarakat desa Lubuk Saban pada dasarnya merupakan masyarakat yang heterogen mengingat disana terdapat bermacam-macam suku, agama, maupun adat istiadatnya. Mereka biasanya hidup berkelompok dan membentuk perkampungan-perkampungan kecil, dimana masyarakat yang tinggal disatu kampung/dusun terdiri dari mayoritas satu mata pencaharian sehingga cenderung pekerjaan dari masyarakat homogen didalam satu dusun. Misalnya pada desa Lubuk Saban dusun IV, dusun V, dan dusun VI adalah dusun yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sabagai nelayan.

Sementara kondisi tempat tinggal penduduk secara umum masih sama seperti desa Sialang Buah yang bisa dikatakan masih cukup jauh syarat sehat


(45)

karena masih banyak rumah yang kondisinya memperhatinkan. Memang sudah cukup banyak juga rumah semi permanen, tetapi kalau dilihat lingkungannya tetap saja tidak mendukung. Sudah sering lingkungan perumahan penduduk digenangi air sehingga halaman rumah berlumpur. Walaupun kondisi perumahan belum memenuhi syarat kesehatan, sebagian besar rumah penduduk dihiasi oleh peralatan elektronik seperti tape recorder atau TV bahkan sudah ada yang memajang barang-barang mewah seperti sofa, lemari dan lain-lain. Karena banyak juga rumah yang sebetulnya lebih membutuhkan perbaikan fisiknya ketimbang isinya. Fasilitas umum yang telah tersedia di desa ini berupa sarana penerangan (listrik) dan sarana air bersih. Sedangkan sarana transportasi umum bisa dikatakan masih agak sulit karena terbatasnya angkutan yang melayani penduduk desa ini.

2.4. Desa Beringin

Masyarakat desa Beringin merupakan masyarakat heterogen, dimana daerah ini dihuni oleh berbagai suku bangsa yakni Suku Melayu, Suku Jawa, Suku Banjar dan Batak. Meskipun masyarakatnya majemuk, namun suasana kekeluargaan dan kekerabatan sampai sekarang masih cukup tinggi. Tidak ada perbedaan antara penduduk asli dengan pendatang dalam kehidupan sehari-harinya sehingga kehidupan berdampingan berjalan dengan baik.

Desa Beringin merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai, yang masyarakatnya mayoritas berpenghasilan dari laut, pertanian, PNS, Pedagang, dan lain sebagainya. Nelayan di desa Beringin menghadapi masalah yang secara garis besar menjadi masalah yang dihadapi nelayan tradisional atau nelayan kecil di seluruh Pantai Serdang


(46)

Bedagai, di perairan Selat Malaka. Seperti desa Beringin, Sialang Buah, dan Lubuk Saban yakni ulah trawl atau pukat harimau dan sejenisnya.

Alat tangkap nelayan Desa Beringin masih tergolong tradisional antara lain jaring udang satu lapis, jaring tiga lapis, jaring bawal, dan jaring aso-aso/kembung. Nelayan Jaring Bawal dan jaring aso-aso sering kali terjadi bentrok dengan pukat harimau, karena begitu seringnya pukat-pukat itu menabrak Jaring Bawal dan jaring kembung yang dilabuh. Padahal jaring bawal dan jaring kembung yang dilabuh pada malam hari itu sudah dilengkapi tanda lampu di awal dan di ujung yang panjangnya sekitar 900 meter untuk 15 kepala jaring bawal. Sedang penghasilan nelayan rata-rata dalam satu kali menjaring sebelum pukat harimau dan sondong beroperasi bisa mencapai Rp. 300.000,- tetapi semenjak pukat harimau dan sondong beroperasi di wilayah tangkapan nelayan, penghasilan dalam satu kali menjaring maksimal Rp. 100.000,-. Dengan penghasilan sebesar itu ditambah gaji dua orang ABK dan membeli minyak solar dan belanja yang lainnya, tentunya uang yang dapat dibawa pulang kian menyusut.

Pukat harimau dan sondong yang berasal dari Belawan dan Kabupaten Asahan tepatnya di Batu Bara dan Tanjung Balai, sering beroperasi di wilayah tangkapan nelayan pada waktu malam hari, tetapi jarang sekali mereka beroperasi siang hari. Sebab apabila mereka menarik pukatnya siang hari, resiko yang di tanggung juga tinggi. Selain mudah dikenali, mereka juga takut massa nelayan akan menangkap mereka. Hal inilah yang menjadi pertimbangan para juragan dan ABK pukat harimau dan sejenisnya, sehingga mereka memilih menarik pukatnya pada malam hari.


(47)

Di desa Beringin, hutan mangrove dulunya tumbuh dan berkembang dengan sangat subur, tetapi hutan mangrove tersebut banyak ditebang untuk dijadikan lahan pertambakan udang windu sekitar tahun 1980-an, yang mengakibatkan abrasi makin tinggi.


(48)

BAB III

GAMBARAN SUMBER DAYA ALAM DAN SUMBER DAYA EKONOMI

3. 1. Sumber Daya Alam

3.1. 1. Hutan Bakau (Mangrove)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Tampubolon, sejauh ini meninjauh bahwa di sepanjang pantai Serdang Bedagai hutan bakau (mangrove) sudah musnah karena ditebang oleh orang-orang yang mempunyai modal seperti orang-orang Cina dan pengusaha lainnya untuk dijadikan tambak udang, kayu bakar dan arang. “Kami dan Delegasi (SNSU) melakukan peninjauan di sepanjang pesisir pantai Serdang Bedagai dan sekarang kami mencoba melakukan penanaman kembali sebagai langkah awal dalam pengelolaan ekosistem hutan bakau untuk melestarikan pesisir pantai Serdang Bedagai, guna untuk mengantisipasi naiknya ombak besar pengendali banjir bahkan dapat juga memperkecil arus air laut yang disebabkan oleh Tsunami”. Dalam hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Tampubolon (wawancara 4 November 2007) sebagai ketua Serikat Nelayan Sumatera Utara (SNSU).

Dalam melakukan wawancara kepada salah satu informan yang bernama Bapak M. Yusuf, mengatakan bahwa keadaan hutan bakau (mangrove) yang berada di Serdang Bedagai ini tidak lagi sebanyak jumlah yang dahulu pernah ada. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa berkurangnya jumlah hutan bakau (mangrove) ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu ; banyaknya warga menjadikan lahan hutan bakau menjadi lahan tambak dan kayu bakar. Masalah


(49)

ini tentunya akan merusak ekosistem yang ada pada hutan bakau (mangrove) itu sendiri, misalnya burung-burung yang terbang dari daerah lain tidak dapat lagi singgah di ranting hutan mangrove sehingga mengakibatkan ikan yang biasanya mendapatkan makanan dari kotoran burung ini tidak lagi datang ke tempat tersebut dan akan berdampak pada hasil tangkapan kami. Padahal disamping itu juga hutan bakau menjadi salah satu lokasi masyarakat desa beraktivitas untuk mencari biota-biota laut, menjaring ikan dan lain sebagainya, demi kebutuhan hidup. (wawancara 3 November 2007 dengan Bapak M. Yusuf,).

Pada saat waktu yang hampir bersamaan dengan salah seorang informan yang bernama Bapak Sofian, menambahkan bahwa : “hutan bakau (mangrove) juga sangat berfungsi bagi kami masyarakat yang berada di sekitar pantai, untuk menambah penghasilan nelayan. Sebagai penjaga antara lautan dan daratan yang dalam hal ini tentunya akan dapat menghindari abrasi laut, selain itu hutan mangrove juga berfungsi sebagai memperluas daratan, sebagai pelindung pantai, penahan angin, pengendali banjir bahkan dapat juga memperkecil arus air laut yang disebabkan oleh Tsunami”. (wawancara 3 November 2007 dengan Bapak Sofian).

Adapun manfaat dan fungsi dari mangrove antara lain :

• Sebagai peredam gelombang dan angin, pelindung dari abrasi, penahan intrusi air laut ke darat, atau disebabkan oleh Tsunami.

• Penghasil sejumlah besar detritus (hara) bagi plankton yang merupakan sumber makanan utama biota laut.


(50)

• Daerah asuhan tempat mencari makan, dan daerah pemijahan, berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya.

• Penghasil kayu konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang

• Pemasok larva (nener) ikan, udang dan biota laut lainnya.

• Habitat bagi beberapa satwa liar, seperti burung, reptilia (biawak, ular), dan mamalia (monyet).

• Sebagai tempat ekowisata.

Menurut data dari landset Sumatera Utara tahun (1989), di wilayah pantai Sumatera Utara luas hutan mangrove adalah 85.393 Ha (Inhutani, 1995) dan keadaan hutan tersebut pada umumnya tidak virgin lagi. Penyebab kerusakan hutan mangrove diperkirakan karena eksploitasi yang berlebihan atau perambahan hutan, terutama disebabkan potensi ganda yang dimilikinya, baik dari aspek ekonomi dan aspek lainnya. Serta kegiatan lainnya seperti penebangan hutan untuk dijadikan kayu bakar dan industri arang. Kerusakan lain yang banyak menimbulkan penurunan kualitasnya adalah pembukaan hutan mangrove yang dijadikan lahan pertambakan udang (BLKT Dephut, 1993).(http://www.sumutpro v.go.id/lengkap.php?id=463).

Dari data yang dijelaskan diatas, menurut pengamatan dan hasil wawancara dengan Bapak Ruslan Rangkuti yang mengatakan “Pada masa hutan bakau masih ada banyak dari para nelayan kadang-kadang beralih profesi dari menangkap ikan di laut berubah menjadi pembuat arang, sedangkan pada saat hutan bakau telah musnah oleh para nelayan kembali ke profesinya yaitu menangkap ikan di laut”.


(51)

Sedangkan Undang-undang yang di keluarkan oleh Pemerintah mengenai lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan (pasal 1 butir 2). Dalam kaitan tersebut pemerintah Propinsi Sumatera Utara, pada puncak peringatan Hari Bumi 2006 bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten Langkat menggelar kegiatan dan pencanangan Gerakan Konservasi Mangrove Terpadu Berbasis Masyarakat. Thema yang diangkat “Bahwa kita hanya punya satu bumi “(Only One Earth). Melalui pendekatan metode pemberdayaan masyarakat kawasan pantai, proyek percontohan penanaman bibit pohon Mangrove seluas 5 hektar, dimulai dari kawasan pantai Kabupaten Langkat, Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Dan direncanakan sebagai langkah awal dalam pengelolaan ekosistem pantai Timur Sumatera Utara yang berkelanjutan. (http://www.sumutpr ov.go.id/lengkap/php?id=463).

3.1. 2. Sumber Daya Ikan

Kegiatan penangkapan ikan di daerah perairan Sialang Buah dan daerah lainnya di perairan Serdang Bedagai, sudah mendekati kondisi yang sangat kritis. Hal ini dilihat dari keterangan yang diperoleh dari Bapak Ruslan Rangkuti, yang menyatakan: “Tangkapan ikan sekarang hanya bisa memenuhi kebutuhan dapur saja, tidak bisa lagi menjadi mata pencaharian hidup saya”. Nelayan (tradisional) di desa Pantai Cermin Pekan sering manghasilkan tangkapan kepiting, desa Pantai Cermin Kiri dan Kanan sampai desa Kuala Lama adalah udang, dan desa Sialang Buah, sering manghasilkan tangkapan ikan seperti ikan


(52)

Gembung, ikan Bawal dan Kepiting yang kemudian dijual kepasar tradisional di desa Sialang Buah, secara pribadi jika tangkapan itu dalam skala kecil, tetapi jika tangkapannya dalam jumlah yang lumayan besar di atas 3-5 kg maka para nelayan tersebut menjualnya kepada toke di desa Sialang Buah (Wawancara 3 November 2007 dengan Bapak Ruslan Rangkuti sebagai Ketua Serikat Nelayan Merdeka).

Tingginya tekanan penangkapan khususnya dipesisir pantai telah menyebabkan menurunnya stok sumberdaya ikan dan meningkatnya kompetisi antara alat penangkapan ikan yang tidak jarang menimbulkan konflik diantara nelayan. Sebagai akibat dari menurunnya pendapatan, nelayan melakukan berbagai macam inovasi dan modivikasi alat penangkapan ikan untuk menutupi biaya operasi penangkapannya.

“Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Jali, Ramlan dan Irfan M Nur, nelayan kepiting dan nelayan udang, sumberdaya ikan pada saat ini sangat kian terpuruk (kurang), baik itu kepiting, udang maupun ikan yang sering kami tangkap. Karena alat tangkap pukat harimau dan sejenisnya sampai saat sekarang ini masih merajalela di daerah tangkapan kami. Seharusnya alat tangkap seperti itu daerah tangkapannya diatas 4 mil yang sesuai dengan peraturan hukum pemerintah. Dengan masuknya pukat harimau, maka hasil tangkapan kami pun kian berkurang dari Rp. 50.000 menjadi Rp. 10.000/hari bahkan sama sekali tidak mendapatkan hasil. Sehingga kami (nelayan kecil) dengan pukat harimau dan sejenisnnya sering terjadi bentrok, karena pukat harimau menjarah wilayah tangkapan kami (nelayan kecil) sehingga tentu saja kami tidak mau membiarkan hal itu terjadi, apalagi jaring kami sering ditabrak


(53)

sampai hilang bahkan sampai nyawapun hilang. Pukat harimau sangat meresakan (nelayan kecil) dan merugikan kami”. (Wawancara 17 Desember 2007).

Pelanggaran penggunaan alat tangkap dan metoda penangkapan ikan bukan berita baru lagi dalam kegiatan penangkapan ikan. Salah satunya adalah pelanggaran penggunaan trawl (pukat harimau) secara illegal dibeberapa wilayah perairan. Bila kita menengok sejarah pengelolaan sumberdaya ikan, fakta menunjukan bahwa kegagalan pengelolaan beberapa stok sumberdaya baik secara regional baik dunia berpangkal dari kesalahan kita dalam perencanaan antisipasi awal terhadap dampak pengoperasian alat tangkap ikan dan dinamikannya. Namun dibalik itu, pengembangan alat tangkap yang tak terencana dan dinamika perubahannya yang tanpa kontrol telah menyebabkan punahnya sumberdaya ikan. (Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, 1998,).

Menurut Bapak Tampubolon, Nasib nelayan tradisional saat ini di daerah sepanjang pantai Serdang Bedagai dan juga di beberapa daerah lainnya, kian terancam oleh beroperasinya kapal jaring pukat harimau (trawl). Di samping itu merusak habitat ikan di laut, pukat harimau (trawl) sering menabrak kapal nelayan tradisional sehingga di laut rawan menimbulkan bentrokkan antara nelayan tradisional dengan nelayan pukat harimau (trawl). Penggunaan alat tangkap seperti pukat harimau (trawl) dan sejenisnya masih merajalela di pinggiran tempat penangkapan nelayan tradisional di desa Sialang Buah dan juga di beberapa daerah lain di sepanjang pantai Serdang Bedagai. Pukat harimau sering menabrak jaring bawal, jaring gembung dan juga jaring lainnya serta perahu nelayan yang sedang dipasang dilaut, sehingga nelayan kecil tewas


(54)

dalam tragedi itu. Pada tahun 2002 pukat harimau menabrak perahu nelayan tradisional sehingga mengakibatkan nelayan tradisional 5 orang tewas hanyut dilaut, sehingga nelayan tradisional melawan pukat harimau hingga membakar kapal pukat harimau dan pada tahun 2003 nelayan pukat harimau balas dendam mengakibatkan 3 orang anggota Serikat Nelayan Merdeka tewas dalam tragedi itu. (Wawancara dengan Bapak Ketua SNSU).

Demikian pula dengan penemuan pukat harimau, yang diyakini sebagai alat tangkap yang produktif, ternyata juga mempunyai dampak negatif terhadap biota lain yang tak termanfaatkan dan lingkungan sekitarnya. Disisi lain sejarah juga mencatat bahwa kesalahan dalam mengantisipasi dinamika alat tangkap juga telah mengakibatkan punahnya sumberdaya ikan.

Hal ini dapat peneliti rasakan ketika salah seorang informan yang bernama Bapak Rahmat Sayuti, mengelukan nasibnya yang kalah saing dengan pukat harimau atau sejenisnya.

“Jika sudah pukat harimau turun, kami ini nelayan kecil (tradisional) tidak lagi dapat bagian dalam tangkapan dan hanya pukat harimau tersebutlah yang menguasai tangkapan tersebut”.

Keputusan untuk pengoprasian alat tangkap (termasuk teknologinya) harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan diperlukan evaluasi mendalam sebelumnya. Karena, setiap pengoperasian unit penangkapan ikan akan berdampak baik terhadap sumberdaya ikan yang ditangkap maupun lingkungannya, sehingga perlu dikaji sejauh mana dampaknya dan bagaimana cara meminimalkan dampaknya. Disamping mengevaluasi dampak pengoperasian alat tangkap, pemanfaatan sumberdaya juga harus mempertimbangkan aspek


(55)

dinamika upaya penangkapan ikan. Kesalahan mengantisipasi dinamika upaya penangkapan ikan akan berdampak pada apa yang dinamakan sebagai berlebihnya kapasitas perikanan.

Oleh sebab itu, penggunaan alat tangkap ikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan harus benar-benar memperhatikan keseimbangan dan meminimalkan dampak negatif bagi biota lain yang kurang termanfaatkan. Hal ini penting dipertimbangkan mengingat hilangnya biota dalam ekosistem laut akan mempengaruhi secara keseluruhan ekosistem yang ada. Disamping teknologi itu sendiri, adalah penting bagi pemanfaatan sumberdaya ikan untuk memahami pengelolaan penangkapan ikan yang meliputi perencanaan, pengoperasian, dan optimalisasi pemanfaatan ikan. Rekayasa alat tangkap harus mempertimbangkan aspek-aspek sumberdaya ikan yang ada, habitat ikan, peraturan perundang-undangan, dan optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan agar supaya alat teknologi yang diciptakan tidak mubazir atau bahkan merusak semberdaya ikan dan lingkungannya. (Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, 1998).

3.1. 3. Tambak

Di dalam buku statistik perikanan Indonesia, Departemen Pertanian Direktorat Jendral Perikanan tidak menggunakan istilah petambak. Melainkan petani ikan, yang diartikan sebagai ”anggota RTP (Rumah Tangga Perikanan) maupun buru yang secara langsung melakukan pekerjaan pemeliharaan ikan/binatang air lainnya. Dengan demikian perbedaan utama antara nelayan dan petambak adalah bahwa kalau nelayan melakukan pekerjaan penangkapan, maka petambak melakukan pekerjaan menambak atau budidaya. ”budidaya adalah


(56)

kegiatan memelihara ikan/binatang air lainnya atau tumbuhan air dengan menggunakan fasilitas buatan. Pada dasarnya budidaya dilakukan diperairan yang dikelilingi galengan seperti tambak dan kolam.

Menurut pandangan dan Bapak Sutrisno dan Bapak Temon di sekitar desa Lubuk Saban dan di desa-desa lainnya yang ada dilingkungan Serdang Bedagai, puluhan hektare tambak udang di terlantarkan oleh pemiliknya. Masalahnya, biaya produksi tidak sebanding dengan keuntungan dan kondisi pasar udang yang sangat tidak mendukung. Untuk memproduksi 1 kg udang saja dibutuhkan Rp. 27 ribu tak termasuk biaya pengolahan. Saya pikir merosotnya kegiatan areal tambak udang karena terjadi pengrusakan lingkungan hutan bakau (mangrove). Kalau bakau (mangrove) itu sudah rusak, otomatis udang di tambak akan gampang di serang penyakit. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Sutrisno sebagai kepala Desa dan Bapak Temon sebagai Sekdes Lubuk Saban (wawancara 16 Desember 2007).

Setelah melakukan penelitian di lapangan, peneliti menemukan bahwa para petani tambak di lokasi penelitian sangat mengeluhkan masalah modal yang sampai saat ini menjadi faktor utama para petani tambak tidak lagi mengelola tambaknya, bahkan meninggalkan tambak tersebut dan memilih untuk mencari usaha lain yang dianggap lebih mudah dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Tampubolon (wawancara 4 November 2007) sebagai ketua Serikat Nelayan Sumatera Utara (SNSU), yang mangatakan bahwa sebahagian besar masyarakat meninggalkan tambak-tambaknya karena ketidakmampuan modal untuk mengelola tambak tersebut. Akibatnya, mereka lebih memilih menjadi buruh dari tambak milik toke/tengkulak


(57)

atau mencari usaha lain yang sifatnya bisa memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.

Selain hal di atas, para petambak tersebut sebenarnya memiliki keinginan untuk mengelola kembali tambaknya, dengan harapan mendapatkan bantuan dari pemerintah. Keinginan para petambak tersebut untuk mengelola kembali tambaknya telah mendapatkan perhatian dari Serikat Nelayan Sumatera Utara, yang telah berupaya meminta bantuan modal kepada Dinas Perikanan Kabupaten Serdang Bedagai, untuk membangun koperasi agar para petambak yang tidak memiliki modal dapat terbantu dan demi meningkatkan kesejahteraan ekonomi masayarakat. Namun yang menjadi masalah saat ini adalah bahwa pemerintah setempat tidak merespon dengan baik permintaan dari para nelayan yang mengusulkan bantuan modal untuk kelancaran usahanya. Hal ini langsung diutarakan oleh Bapak Tampubolon, (wawancara 4 November 2007) bahwa ”kami telah berusaha mengusulkan dan meminta kepada pemerintah agar memberikan bantuan modal untuk para nelayan kecil, namun sampai saat sekarang ini, kami belum mendapatkan dana bantuan modal tersebut”. Selain Bapak Tampubolon, hal senada juga diutarakan oleh beberapa orang informan yang berhasil dikonfirmasi oleh penulis pada saat dilapangan.

Oleh karena itu, para nelayan yang tergabung dalam Serikat Nelayan Sumatera Uutara (SNSU) tersebut sangat mengharapkan perhatian dari pemerintah untuk mendapatkan bantuan modal. Setidaknya pemerintah membantu dalam hal pengadaan koperasi di lingkungan mereka.


(58)

3.1. 4. Pertanian

Menurut keterangan dari Bapak Tampubolon, ketua Serikat Nelayan Sumatera Utara, dari Sektor pertanian mempunyai potensi yang sangat strategis bagi penghasilan masyarakat di desa Kuala Lama dan pada umumnya di Serdang Bedagai. Masyarakat yang ada di Serdang Bedagai ini, untuk mengelola tanah sampai pada panennya meminjam atau mengutang kepada pemilik modal/tengkulak, artinya memakai uang dari tengkulak demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Komoditas sektor pertanian yang mempunyai peranan penting bagi perekonomian masyarakat adalah tanaman padi, dan sayur-sayuran. Wilayah Serdang Bedagai memiliki potensi sumberdaya pertanian yang cukup besar.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Sabena, sebagai ketua kelompok tani mengatakan bahwa, petani padi pada masyarakat Serdang Bedagai ini merupakan salah satu aktivitas yang sangat penting bagi kami (petani), karena sebagai salah satu mata pencaharian utama kami (petani). Di samping itu dengan bertani dapat memenuhi kebutuhan hidup petani dan kebutuhan hidup masyarakat yang ada di Sumatera Utara ini. Karena hasil dari bertani kami jual demi keberlangsungan hidup ekonomi masyarakat. Menurut Ibu Sabena, sebagian masyarakat juga menanam sayur-sayuran dan akan dijual ke pasar sebagai tambahan penghasilan dan kebutuhan hidup. (Wawancara 17 Desember 2007).

Kegiatan pertanian yang meliputi budaya bercocok tanam dan memelihara ternak merupakan kebudayaan manusia paling tua. Tetapi dibandingkan dengan sejarah keberadaan manusia, kegiatan bertani ini termasuk masih baru. Sebelumnya, manusia hanya berburu hewan dan mengumpulkan bahan pangan


(59)

untuk dikonsumsi. Sejalan dengan peningkatan peradaban manusia, pertanian pun berkembang menjadi berbagai sistem. Mulai dari sistem yang paling sederhana sampai sistem yang canggih dan padat modal. Berbagai teknologi pertanian dikembangkan guna mencapai produktivitas yang diinginkan.

Dari lokasi penelitian saya, pertanian juga menjadi salah satu sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat, hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya petani padi dan sayur-sayuran seperti sayur bayam, sawi dan sebagainya. Selain itu juga banyak yang menanam jagung sebagai tambahan penghasilan bagi masyarkat setempat.

Kemajuan ilmu dan teknologi, peningkatan kebutuhan hidup manusia, memaksa manusia untuk memacu produktivitas menguras lahan, sementara itu daya dukung lingkungan mempunyai ambang batas toleransi. Sehingga, peningkatan produktivitas akan mengakibatkan kerusakan lingkungan, yang pada akhirnya akan merugikan manusia juga. Berangkat dari kesadaran itu maka muncullah tuntutan adanya sistem pertanian berkelanjutan. Kepentingan dalam sistem pertanian alternatif ini sering dimotivasi dengan suatu keinginan untuk menurunkan tingkat kesehatan lingkungan dan kerusakan lingkungan dan sebuah komitmen terhadap manajemen sumberdaya alam yang berkeadilan. Tetapi kriteria yang paling penting untuk kebanyakan petani dalam mempertimbangkan suatu perubahan usaha tani adalah keingingan memperoleh hasil yang layak secara ekonomi.


(60)

3.2. Sumber Daya Ekonomi 3.2.1. Toke/Juragan

Kajian mengenai patron tidak hanya terjadi di tengah-tengah masyarakat Dunia Ketiga, namun juga berlangsung di kalangan masyarakat maju, hal itu sudah merupakan suatu fenomena sosial. Walaupun hubungan patron-klien ini muncul dalam berbagai bentuk yang lain dengan berbagai variasinya. Gejala kepatronan ini hampir ada pada setiap masyarakat, baik itu pada masyarakat nelayan, petani yang tinggal di pedesaan dan juga dalam komunitas masyarakat kota yang hidup dari luar mata pencaharaian bertani, misalnya sektor informal, perdagangan maupun jasa.

Menurut Bapak Abdul Sani, sebagian besar nelayan di desa Lubuk Saban ini menyatakan bahwa mereka memiliki masalah khususnya dibidang sosial ekonomi. Masalah yang dihadapi nelayan kebanyakan karena kurang terpenuhinya kebutuhan hidup yang disebabkan penghasilan yang mereka peroleh tidak sebanding dengan biaya hidup yang dibutuhkan. Sehingga untuk mengatasinya, nelayan selalu berhutang kepada toke untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Para tengkulak-tengkulak di desa Lubuk Saban ini sangat berperan didalam meningkatkan pendapatan nelayan. Hal ini disebabkan karena mayoritas masyarakat nelayan di desa ini dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya. Hal ini mereka lakukan karena mereka merasa terbantu dengan modal yang diberikan oleh para tengkulak tersebut. (Wawancara 18 Desember 2007 dengan Bapak Abdul Sani, seorang Toke.

Dalam pengamatan saya dilapangan ketika melakukan penelitian ada beberapa orang di desa tersebut menjadi salah seorang penadah dari


(1)

Gambar.4

Hasil tangkapan nelayan

Gambar. 5


(2)

Gambar. 6

Penanaman kembali hutan bakau oleh masyarakat setempat

Gambar. 7


(3)

Gambar. 8

Lokasi penanaman kembali bakau di Desa Sentang

Gambar. 9


(4)

Gambar. 10

Ketua Serikat Perempuan Nelayan Sumatera Utara

Gambar. 11


(5)

Gambar. 12

Salah seorang nelayan tampak memperbaiki perahu/sampannya

Gambar. 13


(6)

Gambar. 14