1. Strategi Perlawanan Masyarakat Nelayan

BAB V STRATEGI MASYARAKAT NELAYAN DALAM

MENGAKSES SUMBER DAYA EKONOMI

5. 1. Strategi Perlawanan Masyarakat Nelayan

Pengurus Serikat Nelayan Merdeka SNM Pak Manurung dan perwakilan jaring kepiting, jaring udang dan jaring bawal, di Sepanjang pantai Serdang Bedagai meminta pihak Pemerintah, agar Pemda mengajak nelayan untuk berembuk guna menetapkan jalur penangkapan ikan di wilayah nelayan tradisional. Sebab pada dasarnya cara kerja “pukat layang” sama dengan cara trawl pukat harimau, oleh karenanya khawatirkan kerusakan pesisir dan wilayah tangkap nelayan tradisional yang dengan alat tangkap sederhana akan terganggu. “Jika pihak pemerintah tidak segera kembali bersama masyarakat nelayan untuk menetapkan dan pengaturan jalur-jalur tangkap, maka banyak nelayan terutama nelayan jaring udang, nelayan jaring kepiting dan lain-lain akan terganggu dan merasa dirugikan oleh beroperasinya pukat layang ini. Lagi pula pukat layang ini cara kerjanya seperti pukat harimau. Makanya lingkungan laut pun akan ikut dirusak olehnya. Perlawanan yang dilakukan masyarakat nelayan tradisional dibeberapa daerah, dalam berbagai cara, misalnya protes dan unjuk rasa terhadap pihak- pihak yang berwenang seperti Bupati, Kamla, Gubernur dan lain sebagainya, sayangnya, protes kami kurang ditanggapi dan seringkali dengan janji-janji yang mengecewakan nelayan kecil. Apalagi ketika para nelayan berhasil menangkap pukat trawl dan menyerahkannya kepada pihak berwenang. Tak lama kemudian, Universitas Sumatera Utara pukat tersebut sudah berkeliaran kembali lagi di wilayah alat tangkap nelayan kecil nalayan tradisional. Akhirnya kami pun sangat kecewa dan putus asa, dan mulailah kami melakukan penangkapan pukat yang sedang beroperasi, kemudian kami bakar. Akan tetapi pembakaran tesebut tidak membuat pukat lainnya berhenti. Bahkan pukat tesebut seringkali balas dendam pada nelayan kecil. Sehingga sering terjadi konflik terus menerus sampai saat ini. Setelah keindahan daratan sirna karena lenyapnya hutan pemberi kesejukan dan kehidupan di Bumi ini, tumpuan masa depan Bangsa Indonesia kini beralih kelaut yang dianggap masih belum dimanfaatkan. Secara optimal pembangunan di sektor kelautan pada masa lalu sudah meninggalkan berbagai masalah. Hal itu terjadi akibat praktik pengambilan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan berupa penangkapan ikan berlebihan di sepanjang pantai hingga menimbulkan pencemaran laut dan degradasi fisik habitat pesisir seperti terumbu karang dan hutan bakau mangrove. Selain itu, karena pembangunan tidak mengikuti tata ruang yang ada, muncul pula konflik kepentingan di wilayah pesisir, terutama kawasan berpenduduk padat dan sekaligus jadi kawasan industri seperti di pantai Timur Sumatera Utara. Penguasaan terhadap wilayah perairan, telah ditafsirkan sebagai bentuk pengaplingan laut yang ternyata kemudian juga mendatangkan penafsiran lain yang bermacam-macam. Ada dua regulasi dalam pengolaan sumber daya perikanan yaitu peraturan akses terbuka dan akses terkontrol. Peraturan yang pertama membiarkan para nelayan menangkap ikan kapan saja dan di mana saja, berapa pun jumlah dan alat apa saja, sehingga regulasi ini mirip hukum rimba dan pasar bebas. Secara empiris regulasi ini menimbulkan dampak negatif baik berupa kerusakan sumber daya Universitas Sumatera Utara perikanan maupun konflik antara nelayan kecil tradisional dan nelayan pukat harimau. Gagalnya regulasi tersebut mendorong munculnya regulasi lain, yakni akses control. Dalam regulasi tersebut, diatur soal pembatasan masukkan input dan keluaran output. Pembatasan output membatasi jumlah tangkapan berdasarkan kuota. Sedangkan pembatasan input yang menyangkut jumlah pelaku, jumlah dan jenis kapal, serta jenis alat tangkap, selama ini merupakan instrumen kebijakan yang masih sering digunakan. Salah satu formulasi pembatasan input menekankan pada penggunaan fishing right hak pemanfaatan sumber daya perikanan pada suatu wilayah tertentu dalam batas yurisdiksi yang jelas. Dalam sistem ini, hanya pemegang fishing right yang berhak melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara pihak yang tidak memiliki hak tersebut tidak diizinkan beroperasi di sana. Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur waktu dan alat yang digunakan. Sistem ini menurut seorang panelis, menjurus pada bentuk pengaplingan laut. Pengaplingan itu dianggap penting untuk menjaga kepentingan nelayan kecil yang hanya beroperasi di wilayah pantai pesisir serta kepentingan kelestarian sumber daya. Hal yang diatur dalam UU No 221999 sebenarnya merupakan entry point bagi ditetapkannya sistem hak pemanfaatan wilayah teritorial tersebut, meskipun dalam undang-undang itu beserta peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah PP No 252000, pelaksanaannya belum diatur secara detail. Dirjen Perikanan, Deptan, 1987. Menyinggung soal traditional fishing right, seorang panelis berpendapat penerapannya di Indonesia harus dilakukan secara gradual dan berbeda satu daerah dengan daerah lain, karena kondisi sosial dan ekosistem masing-masing Universitas Sumatera Utara memang berbeda. Di tingkat nasional perlu secepatnya dilembagakan model pengelolaan sumber daya perikanan berdasarkan prinsip otonomi daerah. Prinsip kelestarian sumber daya semakin mungkin dilakukan dengan otonomi daerah karena daerah sendiri yang akan mengatur perairannya. Dengan menjadikan wilayah perairan sebagai aset daerah, maka seharusnya daerah akan mati-matian menjaga kelestariannya. Pembangunan kelautan dan perikanan memang harus berbasis daerah apabila tujuannya untuk menggerakkan pembangunan ekonomi daerah, khususnya daerah kepulauan atau terpencil dan sulit dijangkau. Dengan pembangunan yang berbasis daerah, maka perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan pembangunan menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat di daerah. Hal seperti ini akan memberikan insentif bagi daerah untuk sepenuhnya melakukan pengelolaan perikanan melalui peningkatan efektivitas pengawasan sehingga usaha perikanan bisa berjalan optimal dan berkelanjutan. Untuk itu pengelolaan wilayah pesisir harus diatur dalam suatu produk hukum secara spesifik. Dalam hal ini potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir masih dilihat sebagai aset sektoral. Padahal konstitusi mengisyaratkan aset tersebut merupakan aset bangsa yang tunduk di bawah otoritas negara. Artinya potensi sumber daya dan jasa lingkungan pesisir selayaknya dikelola secara terpadu untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Pada akhirnya penguasaan sumberdaya perikanan lebih banyak dinikmati oleh segelintir orang. Sebaliknya perlindungan Negara terhadap masyarakat nelayan tradisional justru tidak ada, bahkan turut menjadi bagian yang menindas melalui praktek pembangunan dengan kolaborasi penguasa dan militer. Sekalipun Universitas Sumatera Utara pemerintah menyatakan penghapusan pukat trawl melalui Keppres No. 39 Tahun 1980, namun kebijakan tersebut terbukti tidak mampu melindungi masyarakat nelayan tradisional. Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan kemajuan yang berarti di banding dengan masyarakat lainnya. Kebijakan yang diambil oleh masyarakat nelayan tradisional dalam rangka membangun gerakkan sosial, kaum masyarakat nelayan misalnya, bisa dikatakan tidak masuk hitungan sebagai kelas yang memiliki kesejarahan dalam perubahan sosial. Apalagi sejarah perlawanan nelayan sangat jarang atau bahkan tidak ada dalam literatur sejarah perlawanan rakyat maka perlawanan nelayan kurang relevan dikaitkan dengan pertukaran produksi tersebut. Namun adanya konflik sebagai konsekuensi perebutan atas faktor produksi penting sumberdaya ikan bisa dianggap menjadi salah satu pemicu munculnya perlawanan nelayan. Permasalahan pokok dalam pengelolaan sumberdaya kelautan selama ini adalah bahwa laut diperlakukan terlepas dari ekosistem. Laut dilihat sebagai sumberdaya alam yang berdiri sendiri-sendiri termasuk kekayaan gas alam dan minyak di bawah laut dianggap lepas dari ekosistem kelautan. Hutan bakau dan terumbu karang diperlakukan sebagai kekayaan alam terrestrial lepas dengan kaitannya dengan di laut. Sehingga yang terlihat adalah kerusakan laut, dasar laut, hutan bakau dan terumbu karang. Sementara itu visi sektoral pengelolaan sumber daya alam dan jasa lingkungan pesisir, telah mendorong departemen atau instansi berlomba membuat peraturan perundang-undangan sendiri untuk mengelola sumber daya alam atau jasa lingkungan pesisir sesuai kepentingan masing-masing. Demikian pula, ada kecenderungan daerah membuat peraturan daerah berdasarkan kepentingan daerah Universitas Sumatera Utara masing-masing. Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir yang demikian ini telah dan akan melahirkan ketidakpastian hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir. Bagi kalangan pemerintahan, ketiadaan pengaturan pengelolaan wilayah pesisir telah menyebabkan tumpang-tindihnya kewenangan antar departemen atau instansi. Di pesisir hampir semua sektor mempunyai kewenangan di situ, mereka mendesain kebijakan berdasarkan kepentingan sektornya. Hal ini perlu dibenahi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan di masa depan. Kalau itu terus dibiarkan, dengan kebijakan apapun investasi tidak akan bisa aman. Karena akibat dari tumpang-tindih kewenangan seperti itu para investor kita bingung harus ke mana. Bagi dunia usaha, hal itu menyebabkan ketidakpastian berusaha dan birokrasi yang berbelit-belit sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Sedangkan bagi masyarakat pada umumnya, hal itu telah menyebabkan terbatasnya akses dan tidak terjaminnya hak atas pemilikan dan penguasaan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir. Di masa depan sudah saatnya dilakukan desentralisasi pengelolaan wilayah laut. Meski begitu tetap diperlukan satu kebijakan di tingkat nasional, tetapi kebijakan tingkat nasional itu harus dirancang dalam proses yang sangat demokratis. Dalam hal ini ada contoh bagus yang dilakukan Departemen Kelautan dan Perikanan dalam menyusun RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir yang sejak awal sudah melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat daerah. Dirjen Perikanan, Deptan, 1987. Universitas Sumatera Utara

5. 2. Gerakan dan Perlawanan Nelayan Tradisional