15
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan dari reformasi agraria yang hendak dicapai oleh UUPA dapat dilihat di dalam konsidern UUPA yang merumuskan tujuannya sebagai berikut:
1
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang
akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka
masyarakat adil dan makmur; 2.
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Dalam pembangunan, peranan tanah untuk pemenuhan berbagai keperluan
akan meningkat baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha.
2
Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan mengenai jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Pendaftaran tanah, sebagai pelaksanaan Pasal 19
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian hukum.
Jaminan kepastian hukum tersebut meliputi : jaminan kepastian hukum mengenai orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak subyek hak atas
1
Antje M. Ma’moen, 1996, Pendaftaran Tanah Sebagai Pelaksana UUPA Untuk Mencapai Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Kota Madya Bandung,
Disertasi, Universitas Pajajaran Bandung, hlm. 2.
2
Yulia Mirwati, 2000, Konflik-konflik Mengenai Tanah Ulayat Dalam Era Reformasi di Daerah Sumatra Barat,
Disertasi, Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 3.
1
Universitas Sumatera Utara
16
tanah; jaminan kepastian hukum mengenai letak, batas, dan luas suatu bidang tanah obyek hak atas tanah; dan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanahnya.
3
Jaminan kepastian hukum mengenai obyek hak atas tanah sangat erat kaitannya dengan kegiatan pengukuran dan pemetaan tanah yang menghasilkan data
fisik. Data fisik yang dihasilkan dari pengukuran bidang-bidang tanah tersebut kemudian dipetakan ke dalam Peta Dasar Pendaftaran ataupun Peta Pendaftaran. Oleh
karena itu, peta-peta yang dihasilkan harus dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai letak bidang-bidang tanah yang tergambar didalamnya terhadap bidang-
bidang tanah yang ada dalam satu wilayah. ”Bahwa pemetaan hasil pengukuran pada peta pendaftaran bertujuan untuk
mendapatkan kepastian letak bidang tanah terhadap bidang-bidang tanah yang ada disekitarnya. Hal ini untuk menghindari terjadinya tumpang tindih
batas-batas bidang tanah baik sebagian maupun seluruhnya terhadap bidang tanah yang lain yang sudah terlebih dahulu diukur dan dipetakan”
.
4
Selama ini, masalah pertanahan khususnya yang terkait dengan kegiatan pengukuran dan pemetaan tanah sangat mudah terjadi. Salah satu penyebab
permasalahan tersebut adalah banyaknya peta yang digunakan oleh suatu kantor pertanahan untuk memetakan bidang-bidang tanah yang terdaftar sehingga kepastian
letak suatu persil atau bidang tanah menjadi tidak terjamin. Permasalahan tersebut dapat diatasi apabila ada kepastian data mengenai bidang-bidang tanah yang terdaftar
3
A. P. Parlindungan, 1993, Komentar Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Mandar Maju, hlm. 15.
4
Soeprapto Hadimoeljono, Jaminan Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah,
Bahan Kuliah Kapita Selekta Pertanahan pada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yokyakarta, 2003, hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
17
pada kantor pertanahan. Untuk menciptakan kepastian mengenai bidang-bidang tanah yang terdaftar tersebut harus dibangun satu sistem peta pendaftaran secara tunggal.
Dengan peta tunggal, setiap bidang tanah yang terdaftar hanya akan dipetakan pada satu peta untuk satu wilayah dalam lokasi yang bersangkutan.
Eko Budi Wahyono mengemukakan bahwa ‘sudah saatnya dalam satu kantor pertanahan mempunyai Peta Pendaftaran dalam satu sistem dan semua kegiatan
pengukuran dan pemetaannya mengacu pada satu peta Peta Pendaftaran Sistem Tunggal tersebut’.
5
Azwan Pangihutan Tarigan, dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa sejak penggunaan peta tunggal, sengketa-sengketa pertanahan yang terjadi tidak terkait
dengan ketidakpastian letak. Hal ini terjadi karena peta tunggal dapat memberikan jaminan kepastian mengenai letak bidang-bidang tanah yang terdaftar.
6
Berikut, dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih kita kenal
dengan singkatan UUPA, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 direvisi dengan Peraturan Pemerintah PP Nomor 24 Tahun 1997 yang dalam masyarakat
lebih dikenal dengan singkatan PP 241997 yang mempunyai kedudukan sangat strategis dan menentukan, bukan hanya sekedar sebagai pelaksana ketentuan Pasal 19
Undang-Undang Pokok Agraria UUPA, tetapi lebih dari itu ia menjadi tulang
5
Eko Budi Wahyono, Alternatif Pemanfaatan Citra Satelit IKONOS Untuk Peta Pendaftaran Sistem Tunggal, Makalah Untuk Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia,
tidak dipublikasikan , Yogyakarta, 2005, hlm. 66.
6
Azwan Pangihutan Tarigan, Manfaat Peta Pendaftaran Sistem Tunggal dalam Kaitannya dengan Sengketa Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kota Jakarta Barat,
Skripsi, Yokyakarta, 2004, hlm. 69.
Universitas Sumatera Utara
18
punggung yang mendukung berjalannya administrasi pertanahan dan hukum pertanahan.
7
Ketentuan ini sebenarnya sudah cukup jauh menjabarkan berbagai prinsip politik hukum pertanahan, sehingga melalui peraturan tersebut diharapkan akan dapat
terwujud adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Namun, semenjak ditetapkan pada tanggal 25 Maret 1961 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah hingga saat ini masih belum berjalan
efektif untuk seluruh wilayah Indonesia. Penetapan berlakunya yang dibuat secara bertahap untuk berbagai daerah di Indonesia kelihatannya lebih banyak bersifat
formal, sedangkan dalam realita ternyata tidak semulus yang dibayangkan orang, masih terdapat banyak persoalan problematik kepastian hukum kepemilikan atas
tanah yang telah bersertifikat hak milik. Apakah problematik tersebut memang disebabkan oleh substansi peraturan
yang banyak tidak sesuai lagi dengan kondisi dan situasi masa kini, ataukah termasuk administrasi pertanahannya. Hal ini penting untuk diperhatikan, karena
bagaimanapun baiknya ketentuan penyempurnaan dibuat, akan tetapi belum ada dukungan positif, katakanlah dalam sistem administrasi pertanahan misalnya,
peraturan ini juga akan mengalami nasib yang sama dengan Peraturan Pemerintah PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang ingin direvisi sekarang.
7
Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-Undangan Agraria, Jakarta: Akademika Presindo, 2003, hlm. 1994.
Universitas Sumatera Utara
19
Seiring dengan umurnya yang menginjak ke-13 tahun, secara detail isi dari Peraturan Pemerintah PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
memang banyak yang sudah tidak sesuai lagi, akan tetapi secara prinsip sebenarnya masih ada hal yang perlu dipertahankan mengingat banyak berkaitan dengan sendi
dasar hukum pertanahan yang digariskan dalam Undang-Undang Pokok Agraria UUPA. Selain dari pada itu, apapun perubahan yang dilakukan diharapkan tidak
akan mempersulit warga masyarakat yang ingin mendapatkan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanahnya.
8
Satu hal yang cukup menarik di sini, bahwa dalam perkembangan hukum di tanah air Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, keberadaan Peraturan
Pemerintah PP Nomor 24 Tahun 1997 sebagai peraturan pendaftaran tanah tidak lagi hanya terkait dan merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pokok Agraria
UUPA semata, namun sudah harus dibandingkan dan disandingkan dengan berbagai ketentuan lain seperti ketentuan perwakafan, rumah susun, ketentuan tentang lembaga
jaminan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, perlu juga dipertimbangkan bahwa dasar konsepsional masing-masing lembaga, sehingga tidak menimbulkan konflik dalam
pelaksanaannya dan untuk keperluan tersebut diperlukanlah beberapa kejelasan sehingga tidak mengandung timbulnya salah tafsir.
Walaupun sudah dilakukan berbagai upaya didalam memberikan kepastian hukum terkait pada objek pertanahan, namun masih ada saja sengketa yang terjadi,
yang dalam hal ini dapat dilihat di dalam kasus-kasus pertanahan. Untuk daerah
8
Imam sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1978, hlm. 23.
Universitas Sumatera Utara
20
Pekanbaru saja, banyak sudah problem tanah yang terjadi antaranya kasus tanah gedung DPRD Riau
9
, kasus penyerobotan lahan warga Kota Pekanbaru
10
, kasus tanah warga Tebing Tinggi Okura Pekanbaru dengan PT Arara Abadi
11
, lalu kasus tanah hasil lelang BPPN dan PT Nice Punty Propetindo
12
. Untuk lebih fokus dalam tesis ini, akan dicermati suatu kasus pertanahan
melalui studi kasus dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 2725 KPDT2008 terkait dengan kepastian hukum atas tanah yang telah bersertifikat hak milik.
Bahwa Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 30Pdt2008PTR tanggal 17 Juni 2008 yang telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru
Nomor 43PDT.G2007-PN.PBR tanggal 10 Desember 2007, dibatalkan pula oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan dikeluarkannya putusan MARI Nomor
2725 KPdt2008.
13
Pengadilan Negeri Pekanbaru telah mengambil putusan, yaitu putusan No. 43PDT.G2007PN.PBR, tanggal 10 Desember 2007 yang amarnya yaitu menolak
Eksepsi Tergugat I dan Tergugat II dan Tergugat III untuk seluruhnya; menyatakan Penggugat adalah pemilik yang sah atas tanah seluas lebih kurang 9.360 M
2
yang terletak di Jalan Arifin Ahmad, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru;
menyatakan sah secara hukum Surat Keterangan ganti Kerugian No. 593118TT2006 tanggal 13 Desember 2006 dan surat berharga lainnya; menyatakan
9
http: www.pemprov riau.com.html, diakses Senin 23 Agustus 2010.
10
http: riau bisnis.com. html, diakses Senin 23 Agustus 2010.
11
http: antara.com. html, diakses Selasa 24 Agustus 2010.
12
http: pekanbaru bicara.com.html, diakses Selasa 24 Agustus 2010.
13
Putusan MARI Nomor 2725 KPdt2008.
Universitas Sumatera Utara
21
tidak berkekuatan hukum atas Sertifikat Hak Milik Tergugat I dan Tergugat II Sertifikat No. 501 dan Sertifikat 7941 tanggal 30 Juli 2002; memerintahkan kepada
Tergugat III untuk mencoret dari Register Buku Tanah Sertifikat Hak Milik Tergugat I dan Tergugat II No. 501 dan No. 7941; menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah
melakukan perbuatan melawan hukum; menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan atas tanah seluas lebih kurang 9.360 M
2
yang terletak di Jalan Arifin Ahmad, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru; memerintahkan
kepada Tergugat I dan Tergugat II atau pihak lain yang menguasai objek perkara untuk mengosongkan objek perkara; menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk
membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini; menghukum Tergugat I dan Tergugat II KonvensiPenggugat Rekonvensi untuk membayar biaya yang timbul
dalam perkara ini sejumlah Rp 1.799.000,- satu juta tujuh ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah;
Namun, dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat I dan Tergugat IIPembanding I dan II putusan Pengadilan Negeri tersebut telah dibatalkan oleh
Pengadilan Tinggi Pekanbaru dengan putusan No. 30Pdt2008PTR. tanggal 17 Juni 2008 yang amarnya sebagai berikut: Menerima permohonan banding dari
PembandingTergugat I dan Tergugat II; Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru tanggal 10 Desember 2007 No. 43PDT.G2007PN.PBR., yang
dimohonkan banding tersebut; Lalu dengan Putusan Mahkamah Agung, maka Putusan Pengadilan Tinggi
Pekanbaru Nomor 30Pdt2008PTR tanggal 17 Juni 2008 yang membatalkan putusan
Universitas Sumatera Utara
22
Pengadulan Negeri Pekanbaru Nomor 43PDT.G2007-PN.PBR tanggal 10 Desember 2007, dibatalkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan
dikeluarkannya putusan MARI Nomor 2725 KPdt2008. Berdasarkan paparan di atas, maka penulis ingin mengadakan suatu penelitian
yang akan dituangkan kedalam bentuk Tesis dengan judul:
“Tinjauan Yuridis Atas Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Yang Telah Bersertifikat Hak Milik Study Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2725KPdt2008.”
B. Perumusan Masalah