BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja merupakan periode kehidupan manusia yang selalu menarik untuk dibahas. Masa ini merupakan masa transisi dari masa anak ke masa dewasa,
oleh karena itu juga disebut sebagai masa pancaroba yang penuh gejolak dan pemberontakan Munandar, 1996. Masa yang penuh gejolak dan pemberontakan
ini berbagai masalah dan perubahan mulai muncul dari yang bersifat fisik maupun psikis. Masa ini diakui sebagai masa yang penting dalam rentang kehidupan,
suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas dan ambang dewasa. Banyak remaja mengalami kesulitan dengan diri sendiri dan
juga dengan orang lain, orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya, sering melakukan perbuatan dengan tidak memikirkan akibatnya sampai pelanggaran
yang lebih berat seperti mencuri, membunuh, dan pelanggaran hukum lainnya Papalia, 2001
Fenomena belakangan ini menunjukkan bahwa cukup banyak remaja yang melakukan pelanggaran. Berdasarkan hasil survei Haryadi, 2003, 54 remaja
mengaku pernah berkelahi, 87 pernah berbohong, 8,9 pernah mencoba narkoba, dan 28 merasa kekerasan sebagai hal yang biasa.
Berdasarkan hasil survei oleh Federasi Kesehatan Mental Indonesia Haryadi, 2003 yang dilaksanakan di 10 kota besar di Indonesia, yaitu di Medan, Padang,
Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, Denpasar, dan
Universitas Sumatera Utara
Ujung Pandang menjelaskan bahwa remaja sudah mulai mengenal tempat maksiat, perilaku minum-minuman keras, merokok, dan narkoba. Haryadi 2003
menambahkan indikasi perilaku remaja bermasalah tersebut telah mengalami percepatan yaitu sudah muncul pada masa remaja awal sekitar usia 11-14 tahun.
Perilaku remaja bermasalah juga sering muncul pada berita-berita di berbagai media seperti televisi, koran, dan radio, akhir-akhir ini banyak diberitakan
mengenai remaja yang mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahannya. Baru-baru ini Fifi Kusrini 14 siswi SMP 10 Bekasi.
mengakhiri hidup dengan menggantung dirinya di kamar mandi rumahnya Astuti, 2007. Kasus-kasus diatas merupakan contoh dari cara-cara tidak realistis yang
dilakukan remaja dalam mengatasi persoalan hidup yang mereka hadapi. Menurut WHO usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejadian-
kejadian seperti diatas adalah dengan memberikan pendidikan kecakapan hidup. Salah satunya adalah dengan meningkatkan harga diri yang berguna untuk
menumbuhkan rasa percaya diri remaja agar remaja yakin dengan kemampuannya, dapat mengendalikan kehidupannya, dan yakin akan
kemampuannya mengerjakan apa yang diinginkan, direncanakan serta diharapkannya, sehingga remaja tersebut memiliki harapan yang realistik, dan
walaupun harapan tidak tercapai remaja tetap akan positif dan menerima dirinya Astuti, 2007.
Berdasarkan uraian diatas, harga diri merupakan hal yang dibutuhkan oleh remaja yang sedang berkembang Gabarino Benn dalam Andayani
Koentjoro, 2004. Harga diri mengacu pada penilaian secara keseluruhan
Universitas Sumatera Utara
seseorang sebagai individu. Jika individu merasa bahwa secara keseluruhan dirinya baik, maka ia akan memiliki harga diri yang tinggi Wayne Margaret,
2006. Harga diri adalah evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk sikap dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang
mampu, penting, dan berharga Coopersmith, dalam Berns, 2004. Harga diri yang tinggi akan membangkitkan rasa percaya diri, ingin tahu,
mandiri, percaya pada ide-idenya, menyukai tantangan-tantangan baru dan memprakarsai aktifitas yang baru dengan penuh percaya diri, mendeskripsikan
dirinya secara positif dan bangga pada hasil kerjanya, cepat menyesuaikan diri dengan baik, tidak mudah frustasi, gigih dalam mencapai tujuan, dan dapat
menerima kritikan. Seseorang yang harga dirinya rendah akan menggambarkan dirinya secara negatif, tidak percaya pada ide-idennya sendiri, kurang percaya diri,
kurang bangga pada hasil kerjanya, kelihatan tertekan, duduk memisahkan diri dari anak yang lain, menarik diri, cepat putus asa pada saat frustasi, dan kurang
dewasa dalam menghadapi stress Papalia, Olds Fieldman, 2001. Bagi sebagian remaja yang harga dirinya rendah hanya akan menyebabkan
ketidaknyamanan emosional Damon dalam Santrock, 1998, dan bagi sebagian remaja lain yang harga dirinya rendah dapat menjadi suatu masalah seperti
depresi, bunuh diri, anorexia nervousa, deliquency dan masalah penyesuaian diri Dubois, Felner Brad, Zimmerman, Copeland Shope dalam Santrock, 1998.
Universitas Sumatera Utara
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi harga diri remaja antara lain keluarga, sekolah, teman sebaya, dan masyarakat Berns, 2004. Keluarga
merupakan lingkungan pertama bagi individu yaitu tempat individu belajar memahami dirinya sendiri. Orangtua sebagai pengendali keluarga, memegang
peranan dalam membentuk hubungan keluarga dengan anak-anak mereka. Orangtua merupakan orang yang paling dekat dengan remaja, mengenal keadaan
diri remaja, dan sebagai tempat aman bagi remaja untuk berbagi masalah, informasi, dan berbagi kasih sayang Maharani Andayani, 2004
Coopersmith dalam Berns, 2004 melakukan penelitian tentang peranan orangtua dalam perkembangan harga diri, dan menemukan empat bentuk perilaku
yang dianggap penting bagi perkembangan harga diri remaja yaitu perasaan dan penerimaan yang ditunjukkan oleh orangtua, pembatasan standar perilaku yang
jelas, penetapan disiplin dan kontrol melalui penjelasan dan bukan dengan cara kekerasan dan paksaan, serta sikap orangtua yang melibatkan pendapat anak
dalam menentukan keputusan keluarga. Tahun-tahun terakhir ini, tokoh ayah mulai mendapat perhatian dalam
kaitannya dengan pendidikan anak. Figur ayah menjadi terlihat penting dan dibutuhkan bukan sekedar karena alasan pada saat ini perempuan lebih memiliki
kesempatan untuk mengembangkan dirinya dengan bekerja di luar rumah, sehingga waktunya untuk mengurus anak semakin menipis, akan tetapi terlepas
dari hal tersebut, peran ayah memang dirasakan benar-benar penting, dan tidak kalah pentingnya dibandingkan peran ibu Lamb Dagun, dalam Maharani
Andayani, 2003. Ayah akan mempengaruhi anak secara berbeda dengan para ibu,
Universitas Sumatera Utara
terutama di bidang-bidang seperti hubungan anak dengan teman sebaya dan prestasi akademis Gottman DeClaire, dalam Maharani Andayani, 2003.
Gottman dan Declaire dalam Andayani Koentjoro, 2004 menyebutkan bahwa ayah memanfaatkan kelakiannya dalam permainan yang cenderung lebih
bersifat fisik dan melibatkan gerak motorik kasar. Hal ini akan memberikan pengalaman emosional yang berbeda pada anak dibandingkan ketika berinteraksi
dengan ibunya yang cenderung lebih bersifat lembut dan mengeksplorasi kegiatan yang cenderung lebih intelektual.
Inayati dalam Maharani Andayani, 2003 menjelaskan bahwa dalam konteks keluarga, ibu dan ayah mempunyai peran yang berbeda namun saling
mendukung. Peran ibu selama ini didefinisikan begitu lengkap dan detail, sedangkan peran ayah kurang diperhatikan. Hal ini menunjuk adanya
kecenderungan anggapan bahwa ayah hanyalah pencari nafkah dalam keluarga. Inayati dalam Maharani Andayani, 2003 mengemukakan bahwa masyarakat
kurang menyadari peran ayah selain mencari nafkah masih ada peran yang lebih besar berkaitan dengan proses pengasuhan anak. Ayah yang terlibat dalam proses
pengasuhan akan mencurahkan perhatian dan pikirannya pada perkembangan anak seperti kegiatan perencanaan, pengambilan keputusan, dan mengorganisasi
Lamb, dalam Andayani Koentjoro, 2004. Keterlibatan ayah tersebut membuat remaja dapat mengerti apa yang terjadi disekitarnya, remaja merasa diterima,
dihargai, dan dibutuhkan sebagai anggota keluarga Goldstein, dalam Maharani Andayani, 2004. Hal ini sejalan dengan Maharani dan Andayani 2003
menjelaskan bahwa keterlibatan ayah sangat mempengaruhi proses perkembangan
Universitas Sumatera Utara
individu, dimana ayah yang memberikan perhatian dan dukungan pada anak akan memberikan perasaan diterima, diperhatikan dan memiliki rasa percaya diri,
sehingga proses perkembangan anak tersebut dapat berjalan dengan baik. Menurut Bloir 2002 peran ayah penting bagi perkembangan pribadi anak,
baik sosial, emosional, maupun intelektualnya. Pada diri anak akan tumbuh motivasi, kesadaran diri, identitas skill serta kekuatan dan kemampuan sehingga
memberi peluang untuk kesuksesan belajarnya, identitas gender yang sehat, perkembangan moral dan nilai positif, serta penyesuaian diri yang positif dan
sukses dalam keluarga dan kerja atau karirnya kelak. Penelitian yang dilakukan oleh Frank dalam Maharani Andayani, 2003
menunjukkan bahwa remaja yang mendapatkan dukungan dan adanya komunikasi yang intensif dengan ayahnya memiliki kebebasan yang lebih besar untuk
berusaha, bereksplorasi, untuk menjadi dirinya sendiri terhadap pilihan-pilihan yang dibuat, dan mempertimbangkan kemungkinannya menghadapi orang lain
dalam merencanakan masa depannya. Menurut Dubowitz 2001 remaja yang merasakan dukungan dari ayah atau
merasa ayahnya makin dekat maka harga diri remaja tersebut akan makin baik, apapun jenis kelaminnya.
Fontana dalam Ali Asrori, 2004 mengatakan bahwa dalam interaksi remaja dan orangtua, remaja cenderung menggunakan unsur subjektif. Unsur
subjektif yaitu keadaan nyata yang dipersepsi oleh remaja pada saat interaksi berlangsung. Misalnya orangtua yang bertindak agak keras terhadap remajanya
justru dipersepsi oleh remaja sebagai memarahinya, sehingga dalam menentukan
Universitas Sumatera Utara
terlaksananya peran ayah terhadap pengasuhan dan perkembangan remaja dengan baik perlu memperhatikan persepsi dari remaja terhadap ayah tersebut.
Berdasarkan uraian diatas remaja membutuhkan peran ayah dalam proses perkembangan harga dirinya. Perasaan diterima, perasaan dihargai, dan perasaan
dibutuhkan merupakan aspek-aspek yang terdapat dalam harga diri, maka peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara persepsi terhadap peran ayah dengan harga
diri remaja.
B. Rumusan Masalah