Mustahik Zakat
2. Mustahik Zakat
Memerhatikan jenis harta dan zakatnya seperti dijelaskan di atas, dapat disebutkan, Islam bukan sekedar agama ritual atau ajaran yang berorientasi ke kehidupan akhirat saja, tetapi ia meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, di dunia dan akhirat. Kehidupan di dunia itu sendiri dalam konsep Islam, meliputi seluruh aspek kehidupan, mulai dari keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, baik yang berkenaan dengan masalah politik, ekonomj, sosial budaya, pendidikan, hukum, kesehatan, maupun militer.
Persoalan strategis dalam masalah zakat, sebagaimana judul bagian ini – zakat, sokoguru ekonomi Islam – jika dikelola distribusi dan fungsionalisasinya dengan baik, masalah kemiskinan, pengangguran, dan ketidak-adilan sosial di mana pun di dunia ini, dapat teratasi secara tuntas. Tentu, persoalan distribusi yang pertama diperhatikan, baik oleh muzakki (wajib zakat), maupun amil zakat (pengumpul dan pembagi zakat), siapa yang berhak menerima zakat, baik zakat fitrah maupun zakat harta. Dalam konteks ini, sesuai dengan kesempurnaan Islam, Allah sendiri yang menetapkan, siapa yang berhak menerima zakat, seperti teruntai dalam ayat al-Qur’an berikut:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS At-Taubah: 60).
Dari ayat al-Qur’an di atas, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan, ada delapan golongan yang berhak menerima zakat, termasuk zakat harta, yakni:
1) Golongan Fakir Siapakah yang tergolong fakir sehingga berhak menerima zakat.? Menurut Ibnu
Jarir yang dikutip pendapatnya oleh Ibnu Katsir, fakir adalah seseorang memerlukan bantuan keuangan, tetapi tidak mau meminta-minta. Sedangkan menurut Qatadah, fakir adalah orang yang memerlukan dan memiliki penyakit menahun.
Dari dua pendapat ini, dapat disebutkan, fakir adalah seseorang yang tidak memiliki harta atau uang, bukan karena malas berusaha, tetapi disebabkan penyakit menahun yang diderita yang menghalangi dia untuk bekerja. Disebabkan golongan ini berhak menerima
40 JURNAL EkonomiKa
Kesejahteraan Yang Diberkahi
zakat sesuai dengan ketentuan Allah, padahal mereka tidak meminta-minta, maka pemerintah bertanggung jawab atau pro aktif dalam mengdistribusikan zakat kepada mereka. Tentu hal ini dimulai dengan sensus atau pendataan warga, mulai dari tingkat RT sampai tingkat nasional, siapa yang berstatus fakir. Dengan demikian, Amil zakat tidak boleh menyerahkan zakat kepada seseorang atas dasar hubungan kekeluargaan atau hubungan emosional lainnya.
2) Golongan Miskin Mereka yang tergolong miskin adalah mereka yang menurut Ibnu Jarir dalam
tafsir Ibnu Katsir, memerlukan bantuan keuangan, kemudian meminta-minta. Sedangkan menurut Qatadah – juga dalam tafsir Ibnu Katsir, orang miskin adalah mereka yang memerlukan, tetapi badannya sehat. Jadi, berbeda denga golongan fakir yang memang menderita penyakit menahun. Dalam konteks orang sehat yang meminta-minta, Ubaidillah bin Adi bin al-Khiyar meriwayatkan, bahwasanya ada dua orang yang memberitahunya, bahwa keduanya telah datang ke Rasulullah saw untuk meminta bagian zakat. Maka Rasulullah memandangi keduanya dengan saksama dan melihat keduanya sebagai orang yang kuat, lalu berkata:
“Jika kalian mau, aku akan memberi kalian, akan tetapi zakat tidak diberikan kepada orang kaya dan orang masih kuat yang mampu mencari penghasilan.” (HR Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasaai).
Hadis ini dengan jelas menunjukkan kalau selama ini, kita salah karena menyerahkan zakat kepada orang yang tidak berhak, yakni mereka yang masih sehat dan bisa mencari kerja. Sebab, Abu Hurairah meriwayatkan, sesungguhnya Rasulullah bersabda:
“Orang miskin bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta, lalu diberi sesuap atau dua suap, satu buah kurma atu dua buah.” Maka mereka bertanya, ”kalau
begitu, siapakah orang miskin itu Rasulullah.?” Beliau menjawab: “orang yang tidak memiliki sesuatu yang dapat kebutuhannya, dan kondisinya tidak dikatahui sehingga diberi sedekah. Maka dia diberi zakat. Dan dia tidak meminta-minta.” (HR Bukhari dan Muslim).
3) Mualaf Mualaf adalah orang yang baru masuk Islam. Menurut Ibnu Katsir, golongan
ulama membagi mualaf menjadi dua golongan, yakni: mereka yang diberik zakat atau hadiah agar seseorang mau masuk Islam seperti yang dilakukan Rasulullah saw terhadap safwan bin Umayyah. Kelompok kedua, mereka yang baru masuk Islam, diberi zakat agar keimanannya terus bertambah seperti yang dilakukan Rasulullah saw terhadap pembesar dari orang-orang Thulaqa di mana beliau memberikan kepada mereka masing-masing seratus ekor unta dari pampasan perang Hunain.
Dalam sahih Bukhari dan Muslim disebutkan riwayat dari Abu Said,bahwasanya Ali mengirimi Rasulullah saw emas dari Yaman, lalu beliau membaginya kepada empat orang: al Aqra bin Habis, Uyaina bin Badr, Alqamah bin Alatsah, dan Zaid al-Khair. Beliau bersabda: “Aku berusaha melunakkan hati mereka.”
JURNAL EkonomiKa
Kesejahteraan Yang Diberkahi
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, para fuqaha berbeda pendapat, apakah muallaf, khususnya yang belum memeluk Islam, mendapatkan zakat setelah wafatnya Rasulullah saw. Segolongan berpendapat, disebabkan Islam sudah tegak dengan meluasnya umat Islam di mana-mana, maka para muallaf maupun mereka yang belum masuk Islam, tidak perlu diberi hadiah atau zakat. Sebaliknya, golongan kedua berpendapat, muallaf (yang belum masukIslam) tetap diberikan hadiah atau zakat karena amalan itu pernak dilakukan Rasulullah saw.
4) Orang yang Berhutang Orang yang berhutang yang boleh memeroleh zakat, menurut Ibnu Katsir dalam
tafsirnya, adalah seseorang yang mempunyai tanggungan denda atau hutang yang harus dipenuhi, sedangkan untuk memenuhinya, dia harus menguras habis harta kekayaannya, atau dia harus berhutang kepada orang lain, atau berhutang dan melakukan maksiat lalu dia bertobat. Hal ini sesuai hadis yang diriwayatkan sendiri oleh Qubaishah bin Mukhariq al-Hilali, dia berkata: ”aku memiliki tanggungan denda, maka aku datang kepada Rasulullahsaw untuk meminta bagian zakat, lalu beliau berkata: ”Tinggallah, hingga datang kepada kami zakat, lalu kami akan memberimu dari zakat tersebut.” Setelah itu beliau bersabda: ”Hai Qubaishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak dibolehkan, kecuali satu dari tiga macam orang: Seseorang yang memiliki tanggungah, maka dia dibolehkan meminta-minta sehingga dia dapat hidup normal, lalu dia mengentikan pekerjaan meminta-mintanya. Seseorang yang terkena musibah besar yang memusnahkan kekayaannya, maka diperbolehkan baginya meminta-minta sehingga dia dapat hidup normal (memeroleh penopang hidup). Dan seseorang yang ditimpa kefakiran sehingga ada tiga orang berakal dari kaumnya yang menjadi saksi atas kefakirannya, maka dia diperbolehkan meminta-minta sehingga dia bisa hidup normal. Hasil meminta-minta yang bukan dari ketiga macam ini adalah harta haram yang dimakan oleh orang itu.” (HR Muslim).
5) Pembebasan Budak Budak atau hamba sahaya adalah seseorang yang menurut Ibnu Katsir dengan
mengutip pendapat beberapa sahabat, mengatakan, adalah hamba sahaya yang melakukan perjanjian bebas. Maksudnya, jika seorang hamba sahaya menerima zakat, dia akan menebus diri dari tuannya untuk menjadi orang merdeka, baik dia sudah beragama Islam maupun baru mau masuk Islam. Hampir semua imam mazhab, menurut Ibnu Katsir, menyetujui zakat diberikan untuk membebaskan seorang hamba sahaya agar menjadi seorang manusia merdeka.
Masalahnya, bagaimana hal ini diterapkan pada masa sekarang di mana sudah tidak ada lagi sistem perbudakan. Hemat saya, jika zakat tidak lagi dikeluarkan bagi golongan hamba sahaya, maknanya, ada ayat al-Qur’an yang out of date, tidak fungsional lagi. Padahal, al-Qur’an senantiasa up to date, kapan dan di mana saja, selama dunia belum kiamat. Oleh karena itu, para fuqaha melalui ijtihad yang serius dan ikhlas sehingga lahir suatu ijma’ di dunia Islam bahwa sampai kapan pun budak atau hamba sahaya itu tetap ada. Misalnya, pembantu rumah tangga dari Indonesia yang dipekerjakan di Arab Saudi, sering mengalami pelbagai pelecehan karena ada di antara majikan yang menganggap PRT itu sebagai hamba sahaya. Konsekwensinya, pemerintah Indonesia tidak boleh mengirim
42 JURNAL EkonomiKa
Kesejahteraan Yang Diberkahi
TKW ke luar negeri karena selain menjadikan status mereka sebagai hamba sahaya, hal itu juga bertentangan dengan syariah Islam. Sebab, seorang muslimah yang menjalankan suatu perjalanan atau berada di luar rumahnya melebih tiga hari tanpa muhrim, termasuk perbuatan dosa. Atau, seseorang, disebabkan tekanan ekonomi dan tiadanya lapangan kerja, terpaksa bekerja di perusahaan orang kafir di mana dia tidak bebas melaksanakan ajaran Islam, misalnya shalat, mengaji, atau shaum ramadhan. Dalam kasus seperti ini, pemerintah, dalam hal ini Kemenag perlu menerbitkan kebijakan agar salah satu bagian zakat diserahkan kepada muslim yang mengalami hal seperti di atas dalam bentuk modal sehingga dia dapat berwira usaha. Dengan demikian, tidak ada lagi – secara bertahap – umat Islam menjadi budak dari perusahan kafir atau menjadi hamba sahaya di luar negeri.
6) Ibnu Sabil Menurut Ibnu Katsir, ibnu sabil adalah seorang musafir di suatu negeri yang
bekalnya tidak cukup untuk dipakai pulang ke negerinya, maka dia diberi zakat yang mencukupi untuk pulang ke negerinya. Begitu juga dengan orang yang ingin bepergian, akan tetapi tidak memiliki bekal, maka dia diberi dari bagian zakat untuk perbekalannya pergi dan pulang. Menurut Ibnu Katsir, pedapatnya ini, selain ayat al Qur’an di atas, ada hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah, bahwa Rasululullah berkata,
“Zakat tidak dihalalkan bagi orang kaya, melainkan untuk lima orang: ”amil, orang yang memberli harta zakat dengan hartanya, gharim (orang yang berhutang), orang yang berperang di jalan Allah. Orang miskin yang diberi bagian zakat lalu dia menghadiahkan kepada orang kaya.”
7) Orang yang Berjihad di Jalan Allah Ibnu Katsir dalam tafsirnya berpendapat, orang yang berjihad di jalan Allah, di
antaranya adalah orang-orang yang dalam peperangan, tetapi tidak digaji. Mereka ini berhak menerima zakat. Sedangkan menurut Imam Ahmad, al-Hasan, dan Ishaq, mereka
yang sedang menunaikan haji juga tergolong jihad fi sabilillah. Menurut Imam Al Mawardi, jihad terdiri dari empat jenis di mana mereka yang ikut
serta dalam jihad tersebut berhak memeroleh zakat. Keempat jenis jihad tersebut adalah:
a. Jahid melawan Musyrikin.
b. Jihad Melawan orang-orang Murtad
c. Jihad melawan Pemberontak
d. Jihad melawan Pengacau Kemanan Dalam kesempatan ini, saya hanya mengkomunikasikan secara selintas jenis jihad
kedua, yakni, jihad melawan orang-orang murtad. Sebab, selama penjajahan Portugis, Belanda, sampai Indonesia merdeka, terjadi pemurtadan puluhan juta umat Islam di Indonesia. Tragisnya, hampir seluruh umat Islam di Indonesia, termasuk pejabat, elit politik, dan ulama bersikap biasa-biasa saja. Sebab, mereka hanya menganggapnya sebagai konsekwensi logis dari kebodohan dan kemiskinan umat yang dimanfaatkan oleh misionaris Yahudi dan Nasrani di Indonesia. Padahal, menurut Rasulullah saw, orang murtad harus dibunuh seperti yang disampaikan dalam hadis pendek berikut:
JURNAL EkonomiKa
Kesejahteraan Yang Diberkahi
“barangsiapa berganti agama, bunuhlah dia.” (HR: Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Pernyataan Rasulullah tersebut dibuktikan dengan dieksekusinya Ummu Ruman, seorang perempuan yang murtad ketika Nabi Muhammad saw masih hidup. Berdasarkan hadis dan tindakan Rasulullah saw itulah, Abu Bakar sebagai khalifah pertama, menyerang Musailamah dan kaumnya yang murtad karena mengaku sebagai nabi baru.
Disebabkan Indonesia negara sekuler, artinya, bukan negara Islam, maka eksekusi hukuman mati terhadap orang murtad, tidak dapat dilakukan oleh pemerintah. Tetapi, bagi cendekiawan muslim, apalagi golongan ulama, pembiaran ini akan dipertanggung- jawabkan di akhirat kelak.Oleh karena itu, beberapa hal perlu dilakukan keluarga, ormas, dan aktivis dakwah Islam, antara lain:
(a) Jangan bertetangga dengan keluarga nonmuslim (b) Jangan membiarkan anak-anak kita berkawan akrab dengan anak-anak non-
muslim; (c) Jangan menyekolahkan anak-anak di sekolah swasta yang bukan sekolah
Islam; (d) Jangan berobat di rumah sakit swasta, poliklinik atau dokter praktik yang
non-muslim; (e) Jangan bekerja di perusahaan swasta yang pemiliknya non-muslim; (f) Jangan bermitra dagang dengan pengusaha non-muslim; (g) Jangan berbelanja di toko atau mal yang pemiliknya non-muslim. (h) Jangan menjadi anggota atau mengikuti kegiatan yang dilakukan ormas,
LSM, atau parpol yang tidak berasas Islam.
8) Amil Zakat Amil Zakat adalah orang mengelola pengumpulan dan pembagian zakat dan mereka
berhak mendapatkan bagian zakat. Menurut Ibnu Katsir, Amil zakat tidak boleh berasal dari kerabat Rasulullah saw karena mereka tidak berhak menerima zakat. Dalam konteks ini, syariat Islam menetapkan, amil zakat atau petugas pemungut zakat ditetapkan dan diangkat oleh khalifah (kepala negara Islam).
Menurut Imam Mawardi, syarat seseorang dapat menjadi anggota Amil Zakat atau pemungut zakat adalah:
a. Seseorang yang tidak berstatus hamba saya;
b. Seorang muslim;
c. Memiliki sifat-sifat adil; dan
d. Memahami hukum-hukum zakat;
44 JURNAL EkonomiKa
Kesejahteraan Yang Diberkahi