Baitul Mal

4. Baitul Mal

Secara historis, baitul mal mulai dikenal dalam sejarah Islam ketika selesai perang Bad’r. Pada waktu itu, umat Islam memeroleh kemenangan dan mendapatkan ghanimah (pampasan perang) dalam jumlah yang banyak. Pampasan perang tersebut dibagi-bagikan Rasulullah saw kepada perajurit yang mengikuti perang Badr serta umat Islam lain di Madinah yang dinilai layak menerimanya. Tentu, disebabkan hal ini baru pertama kali terjadi di kalangan umat Islam, ada yang merasa kurang puas atas pembagian tersebut. Tidak berapa lama kemudian, turun wahyu yang menjelaskan status hukum ghanimah dan cara pembagiannya. Allah berfirman:

Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: ”harta rampasan itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikan hubungan di antara sesamamu dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu adalah orang yang beriman. (QS Al Anfaal: 1).

Asbabun nuzul ayat ini berkenaan dengan sahabat, Sa’ad bin Malik yang membunuh salah seorang tentera Quraisy pada perang Badr, kemudian mengambil pedang milik orang yang terbunuh tersebut. Sa’ad lalu membawa pedang itu ke Rasulullah saw dan memintanya untuk dirinya. Tetapi, Rasulullah saw menolak. Sa’ad meninggalkan Rasulullah dengan perasaan sedih, apalagi pada waktu itu, salah seorang saudaranya meninggal dalam perang

tersebut. Tidak berapa lama kemudian ayat 1 surah Al-Anfaal ini diturunkan Allah swt sebagai ketentuan mengenai pembagian harta yang berasal dari pampasan perang. Akhirnya, Sa’ad pun memeroleh pedang yang diinginkan tersebut. Ketika menyerahkan pedang itu, Rasulullah

mengatakan kepada Sa’ad: “Engkau tadi meminta kepadaku pedang ini, padahal ia bukan milikku dan sesungguhnya

sekarang pedang itu telah diberikan kepadaku, jadi pedang ini kuberikan kepadamu.” (HR Imam Ahmad).

Berdasarkan ayat al-Qur’an dan al-Hadits di atas, dapat disimpulkan:

46 JURNAL EkonomiKa

Kesejahteraan Yang Diberkahi

a. Ghanimah atau pampasan perang adalah milik Allah dan Rasul-Nya;

b. Nabi Muhammad diberi otoritas untuk membagikan pampasan perang tersebut kepada para prajurit sesuai dengan prestasi masing-masing mereka;

c. Sebelum dibagi, seperlima dari pampasan dipisahkan untuk keperluan Rasulullah saw dan keluarganya. Namun, fakta sejarah menunjukkan, ketika

meninggal dunia, baju perang Rasulullah saw masih tergadai padahal beberapa perang besar yang dimenangkan umat Islam dengan pampasan perang sangat banyak. Hal ini menunjukkan, seperlima pampasan perang yang menjadi hak Rasulullah saw digunakan untuk membantu umat Islam yang memerlukan serta pembiyaan pengembangan syiar Islam di jazirah Arab.

Sedangkan pembagian ghanimah, menurut Imam Mawardi, ada empat cara, yakni:

a. An-nafl (pemberian atau tambahan dari ghanimah) yang tidak dibagi khumusnya, yaitu as-salb (rampasan khusus atau pribadi seperti pedang musuh yang diambil Sa’ad bin Malik dari orang yang dibunuhnya);

b. An-nafl yang diambil dari ghanimah setelah dikeluarkan seperlima dari. Misalkan khalifah mengirim pasukan ke medan perang lalu pasukan itu kembali dengan membawa banyak ghanimah, maka pasukan itu mendapatkan

seperempat atau sepertiga dari ghaniman tersebut setelah dikeluarkan seperlima darinya;

c. An-nafl yang terambil dari seperlima itu sendiri, yaitu seluruh ghanimah dikumpulkan, lalu dibagi lima, setelah yang seperlima ada di tangan khalifah,

kemudian khalifah menaflkan (menghadiahkan) sebagiannya kepada pihak lain, sesuai dengan kadar yang beliau sendiri setujui;

d. An-nafl dari seluruh ghanimah sebelum dibagi lima, yaitu sesuatu yang diberikan kepada para penunjuk jalan, penggembala dan penuntun hewan

gembalaan itu. Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan, ghanimah adalah salah satu sumber keuangan

dalam sistem Islam. Dengan demikian, sumber keuangan dalam pemerintahan Islam berasal dari zakat, infah, sedekah, hibah, pajak tanah, dan ghanimah. Kesemua sumber keuangan tersebut disimpan di dalam apa yang disebut sebagai baitul mal (rumah harta) atau dalam istilah Indonesia sekarang, kas negara.

Pada masa Rasulullah saw, kas negara yang berasal dari zakat, infak, sedekah, dan ghanimah, habis digunakan, baik untuk keperluan prajurit, fakir miskin, anak yatim, serta perbelanjaan, baik pembiyaan peperangan maupun dana dakwah dan penyiaran agama Islam.

Ketika pemerintahan Abu Bakar, ghanimah mulai dikumpulkan dalam bentuk baitul mal di rumahnya setelah dikeluarkan hak-hak mereka yang mesti memerolehnya.Namun, ketika Abu Bakar meninggal dunia, Umar sebagai khalifah kedua hanya menemukan satu dinar di rumah Abu Bakar. Artinya, Abu Bakar benar-benar meneladani Rasulullah saw dalam penggunaan hak

miliknya (1/5 dari pampasan perang) untuk kepentingan umat, bukan untuk diri sendiri. Para ahli sejarah Islam mencatat, pada tahun pertama pemerintahannya, Abu Bakar menyerahkan setiap

JURNAL EkonomiKa

Kesejahteraan Yang Diberkahi

penduduk Madinah sebanyak sepuluh dirham yang berasal dari ghanimah. Pada tahun kedua, mereka memeroleh dua puluh dirham. Wajar kalau ketika meninggalnya, hanya ditemukan sisa satu dinar di rumahnya, tak ubahnya Rasulullah saw yang ketika meninggal, baju perangnya masih tergadai di rumah orang lain.

Ketika Umar menjadi khalifah, wilayah kekuasaan Islam sangat luas di mana ghanimah, zakat, infak, sedekah, dan pajak sangat banyak yang masuk ke baitul mal. Pada waktu itu, Iran, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan lain-lain negeri sudah masuk ke dalam wilayah pemerintahan Islam. Berdasarkan kondisi itu, asas-asas baitul mal yang dirintis Rasulullah saw yang kemudian dilanjutkan Abu Bakar, dijadikan Umar bin Khattab sebagai lembaga negara resmi yang dipimpin oleh Abdullah bin Arqam. Selain itu, Umar juga melantik Abdurrahman bin Ubaydi Al-Qary dan Mu’ayqib sebagai pembantu yang kalau di BI sekarang, mereka berstatus sebagai deputi. Umar pun memerintahkan dibentuk baitul mal di setiap ibu kota wilayah yang berada di bawah kekuasaan khilafah Islam.

Ahli sejarah juga mencatat, pada pemerintahan Ubar bin Khattab, khilafah Islam sudah tertata secara administratif dengan baik dengan dibentuknya beberapa kementerian dan lembaga negara, antara lain: Kepolisian, Pertahanan, Baitulmal (Kas Negara), dan PU. Biaya pengelolaan kementerian dan lembaga negara tersebut, termasuk gaji para pegawai, dikeluarkan dari baitulmal. Bahkan, ketika itu Umar sudah membayar gaji dan tunjangan pegawai serta pihak- pihak yang berhak dalam bentuk cek yang kemudian mereka menukarnya dengan gandum di baitulmal di mana gandum diimpor dari Mesir.

Dari uraian singkat di atas, dapat dikatakan, jika zakat, infak, sedekah, dan ghanimah dijadikan sebagai sokoguru ekonomi Islam dengan pengelolaan baitulmal yang profesional, umat Islam dapat mencapai kesejahteraan serta pada waktu yang sama, diberkahi Allah swt. Dalam konteks kekinian, beberapa hal dapat dilakukan agar umat Islam tidak dijajah perekonomiannya, baik oleh kapitalis barat maupun sosialis komunis di belahan timur dunia, antara lain:

(a) Ormas-ormas dan parpol Islam mendirikan bank-bank syariah yang cabang- cabangnya berada di setiap kecamatan seluruh Indonesia. Di Indonesia, bank syariah ini dikenal dengan nama bak Muamalat;

(b) Setiap muslim/muslimah hanya menyimpan uangnya di bank syariah milik umat Islam. Jadi bukan di bank-bank konvensional yang ada di Indonesia yang membuka

kaunter khusus syariah. Sebab, bank-bank tersebut (BI, BNI, BCA, Mandiri, Permata, BJB, dan lain-lain), modal yang digunakan untuk membukan kaunter khusus syariah, berasal dari dana bank itu sendiri yang bersumberkan riba;

(c) Bagi mereka yang sudah terlanjur menyimpan uangnya di luar bank Muamalat, segera menarik simpanannya tersebut (tanpa ribanya) dan menyimpannya di bank Muamalat;

(d) Mendorong pemerintah dan legislatif agar melahirkan undang-undang dan kebijakan supaya BI dijadikan statusnya sebagai baitulmal. Konsekwensi logisnya,

tidak ada lagi sistem riba di BI. Disebabkan salah satu tugas BI adalah mengawasi dan mengkordinasi bank-bank yang ada di Indonesia, maka setiap bank yang akan dibuka di Indonesia, baik milik warganegara Indonesia maupun bangsa asing, tidak

48 JURNAL EkonomiKa

Kesejahteraan Yang Diberkahi

boleh menerapkan sistem riba. Dengan demikian, bank asing yang boleh dibuka perwakilannya di Indonesia hanyalah bank dari negara-negara Islam;

(e) Jika bank syariah yang murni hanyalah bank Muamalat sementara pemerintah dan legislatif tidak atau belum menetapkan keharaman riba bagi BI, maka disarankan

agar didirikan BMT di setiap kecamatan. BMT ini dapat dirintis pendiriannya oleh ormas, orpol atau aktivis Islam agar umat Islam dapat menyimpan atau memeroleh modal usaha secara syar’i.

llllllll

JURNAL EkonomiKa