Distribusi Zakat

3. Distribusi Zakat

Sebagaimana diketahui, tujuan Allah menetapkan zakat sebagai salah satu rukun Islam adalah selain menyucikan harta kekayaan dan diri setiap muslim, juga dimaksudkan agar terciptanya kesejahteraan dan keadilan sosial di masyarakat. Dalam konteks ini, zakat fitrah dimaksudkan agar setiap muslim/muslimah, dari bayi sampai kakek-kakek/nenek-nenek, menyucikan dirinya. Sedangkan zakat harta adalah salah satu bentuk penyucian harta milik

muslim/muslimah yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Agar zakat – baik zakat fitrah maupun zakat mal – fungsional, muzakki dan amil zakat perlu

memiliki organisasi dan sistem distribusi yang baik, profesional, dan transparan. Disebabkan Indonesia bukan negara Islam, maka Presiden dan jajarannya tidak memiliki otoritas untuk memerintahkan umat Islam menyerahkan zakat mereka ke BI atau ke Kementerian Agama. Dalam konteks ini, setiap muslim/muslimah harus mengerti kedudukan hukum zakat dan

syarat-syarat yang harus dipenuhi, baik dalam status sebagai muzakki maupun mustahik sebagaimana diterangkan di bagian sebelumnya. Maknanya, setiap muzakki (wajib zakat) dapat menyerahkan langsung zakatnya kepada delapan asnab yang ditetapkan ayat al-Qur’an di atas (QS At Taubah: 60).

Persoalannya, tradisi di kampung-kampung, zakat biasa diserahkan kepada anak yatim, janda, dan guru ngaji. Padahal, ketiga golongan ini tidak termasuk dalam delapan asnab yang ditetapkan dalam al-Qur’an. Memang, ketiga golongan tersebut, khususnya anak yatim dan janda, perlu mendapat pertolongan sesama umat Islam. Hanya saja, bantuan keuangan kepada mereka tidak berbentuk zakat, tetapi ia berupa infak atau sedekah. Lainnya halnya kalau anak yatim, janda, dan guru ngaji tersebut memenuhi syarat sebagai fakir, miskin, orang yang berhutang atau sedang dalam perjalanan di jalan Allah yang kehabisan bekal.

Selain itu, zakat yang diserahkan kepada mustahik – baik oleh amil zakat maupun mujakki sendiri – betul-betul fungsional, yakni, tahun berikutnya orang tersebut tidak lagi berstatus mustahik. Artinya, zakat yang diserahkan ke seorang mustahik dapat dijadikan sebagai modal usaha dalam melakukan kegiatan wira usaha, apakah sebagai penjual goreng-gorengan, warung makanan atau pengrajin rumah tangga (home industry). Sebab, Rasulullah saw melarang menyerahkan zakat kepada peminta-minta yang sehat karena dengan kesehatan tubuhnya, dia harus bekerja mencari nafkah yang halal.

Dalam konteks di atas, eksistensi baitulmal menjadi sangat penting karena: Pertama, mereka yang terkategori sebagai mustahik, jelas dan konkrit, tidak fiktif apalagi disusun

berdasarkan KKN atau konspirasi di antara pengurus baitulmal dengan kawan-kawan atau orang sekampung, seormas, atau separpol. Sebab, mereka yang dapat menjadi anggota amil zakat adalah orang yang beriman, bertakwa, dan mengerti hukum-hukum zakat.

Kedua, daftar nama para mustahik yang ada di amil zakat atau baitulmal, diperoleh melalui pendataan yang akurat dan objektif melalui suatu sensus sebagaimana dilakukan Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah dalam rangka distribusi zakat dan ghanimah. Ketiga, distribusi zakat dilakukan berdasarkan suatu program jangka panjang yang sistematik, strategis, dan komprehensif dalam rangka mencerdaskan, mensejahterakan, dan merukunkan umat Islam dalam suatu masyarakat madani.

JURNAL EkonomiKa

Kesejahteraan Yang Diberkahi

Keempat, program distribusi zakat, khususnya zakat harta diprioritaskan kepada sektor- sektor:

a. Mencerdaskan anak-anak keluarga miskin dengan cara memberi beasiswa – setidaknya sampai program diploma - agar mereka bertauhid, pandai membaca al- Qur’an, rajin shalat, berketerampilan, dan berakhlak mulia.

b. Melahirkan jiwa wirausaha para mustahik dengan cara memberi pelatihan dan modal awal agar dengan keterampilan yang diperoleh, mereka dapat menjadi pengrajin atau pengusaha home industry.

c. Meningkatkan kualitas keimanan dan keislaman para muallaf berupa dana pendidikan khusus agar mereka menjadi da’i yang mendakwakan keluarga besar atau orang sekampung agar mau masuk Islam. Program ini lebih difokuskan ke para muallaf yang berasal dari keturunan China sehingga dalam jangka waktu tertentu, mayoritas nonpribumi di Indonesia memeluk Islam. Program yang sama dilakukan juga terhadap muallaf di Papua dan Papua Barat agar mereka dapat mengislamkan seluruh penduduk asli di daerah tersebut.