PERUBAHAN NOL dan NILAI UANG DALAM MONETER ISLAM
D. PERUBAHAN NOL dan NILAI UANG DALAM MONETER ISLAM
Kebijakan yang mirip dengan redenominasi pernah terjadi pada dinasti al-Ayyubiyah. Pencetakan fulus, mata uang terbuat dari tembaga yang dimulai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad al-Kamil Ibn al-‘Adil al-Ayyubi, yang dimaksud sebagai alat tukar terhadap
barang-barang yang tidak signifikan dengan rasio 48 fulus untuk setiap Dirhamnya. 31 Pasca pemerintahan Sultan al-Kamil, pencetakan uang tersebut terus berlanjut hingga pejabat di
propinsi terpengaruh dengan laba yang besar dari aktifitas ini. Kebijakan sepihak mulai diterapkan dengan meningkatkan volume pencetakan fulus dan menetapkan rasio 24 fulus per Dirham yang mengakibatkan rakyat menderita kerugian besar karena barang-barang yang
dahulu berharga setengah Dirham lalu menjadi satu Dirham. 32
Dikenalkannya fulus sebagai mata uang juga memberi inspirasi beberapa pemerintahan Bani Mamluk untuk menambah jumlah uang. Berbeda dengan dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan perak, pencetakan fulus ini relatif lebih mudah dilakukan karena tembaga lebih mudah didapat. Sayangnya pemerintah terlena dengan kemudahan pencetakan uang baru. Keadaan semakin memburuk ketika Sultan Kitbagha dan Zahir Barquq mulai mencetak fulus dalam jumlah yang sangat besar dengan nilai nominal melampaui kandungan tembaganya. Fulus banyak dicetak, namun masyarakat lebih banyak menolak kehadiran fulus tersebut. Menyadari kekeliruannya, Sultan Kitbagha kemudian menyatakan bahwa fulus ditentukan nilainya dari
beratnya dan bukan dari nominalnya. 33
Keleluasaan pencetakan uang fulus yang dilakukan oleh kesultanan al-Ayyubiyyah dan Kitbagha didukung oleh alasan-alasan kemudahan memperoleh bahan yang digunakan untuk fals dibandingkan untuk memperoleh bahan dinar dan dirham serta pencetakannya tidak
30 Somoye dan Onakoya, “Macroeconomic Implication of Currency, 19 31 Al-Maqrizi, Ighatah al-Ummah bi Kashf al-Ummah (Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa
an-Nashr, 1940), 67 lihat juga Abdul Azim Islahi, Economics Concepts of Ibn Taymiyyah (London: the Islamic Foundation, 1988), 43.
32 Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2008), 422, Is- lahi, Economics Concepts of Ibn Taymiyyah, 43
33 Nasution, Mustafa Edwin, dkk, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. (Jakarta: Kencana, 2010), 255.
JURNAL EkonomiKa
(Suatu Kajian Islam)
membutuhkan biaya yang banyak, di samping kepentingan politik di mana kesultanan mendapat keuntungan yang luar biasa dari hasil pencetakan uang fals dari hasil seignorage dibandingkan dengan mencetak Dinar dan Dirham yang tidak seberapa.
Ahmad dan Hassan menegaskan bahwa sebagai alat tukar, uang merupakan cara mendefinisikan nilai dari suatu hal namun ia tidak memiliki nilai dalam dirinya sendiri, karena
itu tidak seharusnya menciptakan lebih banyak uang lagi melalui pembayaran bunga tetap (fixed Interest payment). 34 Riba selain menimbulkan inflasi, spekulasi terhadap nilai uang akan
semakin tinggi yang mendorong lebih besarnya perdagangan uang dari pada barang, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara sektor keuangan dengan sektor riil dan antara pasar barang dan pasar uang. Ketidakseimbangan inilah yang menimbulkan krisis dalam perekonomian. 35 Konsep makro ekonomi Al-Qur’an adalah keadilan sosial yang melahirkan apa yang disebut perbankan Islam bebas bunga. 36
Status uang kertas sebagai riba akan lebih jelas dipahami dengan melihat uang kertas ansich, yang pada mulanya sebagai janji utang, atau promissory note dengan aset (umunya emas) di baliknya. “dengan kata lain , pembayaran dengan uang kertas – dalam perspektif muamalat – masih merupakan utang tidak kontan dan transaksi bersangkutan akan jadi sah sebagai jual beli ketika aset (emas) di belakangnya telah diserahkan. Kini uang kertas adalah uang fiat yakni bernilai nominal karena keputusan politik negara, melalui hukum mata uang law of legal tender yang bahkan tidak lagi berupa kertas melainkan sinyal elektronik. Pembayaran uang kertas adalah pembayaram tunda yang dalam perspektif Islam hanya dibenarkan untuk kontrak utang piutang, bukan jual beli; itu pun tetap dengan syarat kesetaraan nilai yang hanya dapat dipenuhi oleh mata uang yang terbuat dari aset. Salah satu yang mengakibatkan krisis moneter dan tidak stabilnya nilai mata uang adalah permainan spekulasi uang. oleh karena itu
Islam menolak segala sesuatu yang yang berhubungan dengan spekulasi mata uang. 37 Sebagai contoh, akibat dari spekulasi yang mengakibatkan krisis moneter tahun 1998, maka bank sentral pada tahun 1999 harus mengeluarkan denominasi mata uang kertas dalam sejarah yaitu Rp. 100.000 pada tahun 1999 sebagai kompensasi inflasi dan tingkat nilai upah. Sampai saat ini
mata uang Indonesia berada di kisaran 13.000 per Dollar AS dengan mata uang tertinggi adalah 100.000 tersebut.
Pembebanan bunga pada dasarnya merupakan seignorage dan sesuatu yang tidak adil dan menganiaya. Ketidakadilan alokasi sumber daya dalam sistem keuangan berbasis bunga konvensional saat ini secara luas telah diakui. Selanjutnya, margin bunga yang tinggi memiliki beberapa implikasi yang merugikan bagi perekonomian yaitu menghambat tabungan
dan investasi. 38 Suatu kewajaran jika alasan utama pendukung ekonomi dan keuangan Islam
34 Abu Umar Faruq Ahmad and M. Kabir Hassan, “Riba and Islamic Banking”, Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, Volume 3, number 1 (January- July 2007), 16.
35 Amri Amir, “Redenominasi Rupiah dan Sistem Keuangan”, Jurnal Paradigma Ekonomika, Vol.1, No.4 Oktober (2011), 83
36 Frederick V. Perry, J.D., dan Scherazade S. Rehman, “Globalization of Islamic Finance: Myth or Reality?”, International Journal of Humanities and Social Science Vol. 1 No. 19; December (2011), 107.
37 Zaim Saidi, “Islam, Kapitalisme, dan Filantropi”, Galang: Jurnal Filantrofi dan Masyarakat Madani, Vol. 2 no. 2 April (2007), 54
38 Idrees Khawaja, “Interest Margins and Banks Asset Liability Composition”, The Lahore Journal of Economics, Vol 16: SE September (2011), 256.
JURNAL EkonomiKa
(Suatu Kajian Islam)
bahwa bunga merupakan zulm – ketidakadilan dan eksploitasi. Islam menentang segala jenis eksploitasi dan memperjuangkan keadilan oleh karena itu argumen tradisional tentang bunga
dalam segala bentuknya merupakan kekejian dan dilarang. 39 Maka suatu keniscayaan jika Hifzur Rab mengatakan “interest is killer for the economy.” Ia menegaskan bahwa penipuan, korupsi
dan manipulasi adalah bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari sistem bunga. 40