Tindak Pidana KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM RANGKA PERLINDUNGAN IDEOLOGI DAN KONSTITUSI NEGARA DENGAN HUKUM PIDANA

a. Perlindungan Ideologi dan Konstitusi Dalam Konsep KUHP

Bila dibandingkan dengan KUHP, beberapa kemajuan terlihat dalam konsep 2004. Di antaranya adalah, pertama, pembagian buku menjadi Buku Kesatu tentang Ketentuan Umum dan Buku Kedua tentang Tindak Pidana. Konsep 2004 tidak lagi mengenal pembagian tindak pidana menjadi kejahatan maupun pelanggaran, melainkan hanya ada satu, yaitu tindak pidana. Perincian lebih lanjut dari Buku Kesatu dan Kedua ke dalam Bab-bab, Subbab-subbab dan kemudian ke dalam Bagian danatau Paragrap menjadikan permasalahan lebih jelas. Kemajuan kedua adalah perubahan substansi, baik tindak pidana, Pertannggungjawaban maupun pidananya. Namun yang jelas mengenai perlindungan Konstitusi negara secara eksplisit juga tidak terlihat dalam Konsep 2004.

1. Tindak Pidana

Berbicara tentang tindak pidana tidak hanya menganai perbuatan, namun juga tidak bisa dilepaskan dari smber yang menjadi legitimasi bahwa suatu perbuatan termasuk tindak pidana. Dalam Konsep tahun 2004 sumber legitimasi bukan hanya hukum yang tertulis saja, melainkan juga hukum yang hidup di masyarakat living law. Dengan kata lain asas legalitas yang dianut tidak semata-mata legalitas formal, tetapi juga legalitas material. Hal ini diatur dalam Buku Kesatu Pasal 1 Ayat 3 yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tyidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Yang dimaksdu dengan ketentuan ayat 1 adalah ketentuan mengenai asas legalitas formal. Kriteria hukum yang hidup di masyarakat dijelaskan oleh ayat 4 yang menyatakan bahwa berlakunya hukum yang hidup di masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila danatau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa. Mengenai tindak pidana Konsep merumuskan 4 empat macam seperti dalam UU No 27 tahun 1999, yaitu menyebarkan dan mengembangkan ajaran KomunismeMarxisme Leninisme, mendirikan organisasi yang berasaskan KomunismeMarxisme- Lninisme, mengadakan hubungan danatau memberi bantuan kepada organisasi yang berasaskan KomunismeMarxisme-Leninisme dan menyatakan keinginan meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Tindak pidana menyebarkan atau mengembangkan ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme dibedakan menjadi 3 tiga macam, yaitu menyebarkan atau mengembangkan ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme dengan maksud untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara Pasal 209 ayat 1, Menuimbulkan kerusuhan dalam masyarakat Pasal 210 ayat 1, menimbulkan kurban jiwa atau kerugian harta benda Pasal 210 ayat 2. Pasal-pasal yang berkaitan dengan perbuatan menyebarkan atau mengembangkan ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme dirumuskan dalam bentuk delik dolus Pasal 209 dan delik materiil Pasal 210. Berbeda dengan UU No 27 tahun 1999 yang merumuskannya sebagai delik formil. Hal baru mengenai larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunismeMarxisme-Leniniseme adalah Pasal 209 ayat 2 yang menyatakan bahwa larangan sebagaimana dimaksud Pasal 209 ayat 1 dikecualikan apabila perbuatan itu untuk kegiatan ilmiah. Ketentuan ini semakin memperjelas bahwa kegiatan- kegiatan yang bersifat ilmiah, seperti pengajaran di perguruan tinggi, seminar ilmiah, pblikasi karya ilmiah dan sebagainya tidak dilarang, karena keghiatan-kegiatan demikian bersifat obyektif, tidak untuk propaganda. Sedangkan tindak pidana yang lain adalah mendirikan organisasi yang patut diduga menganut ajaran Komunisme, mengadakan hubungan atau membantu oraganisasi yang berasaskan Komunis dan menyatakan keinginan meniadakan atau mengganti Pancasila sama dengan UU No 27 tahun 1999, yakni dalam bentuk delik dolus. Kata-kata yang digunakan sama seperti,kecuali pada Pasal 211 ayat 1 yang menggunakan istilah “patut diduga keras”. Sedangkan pada UU No 27 Tahun 1999 Pasal 107 e huruf istilah yang digunakan adalah “patut diduga”.

2. Pertanggungjawaban Pidana