Hukum Pidana bersifat kejam

Keterbatsan hukum pidana antara lain : a. Hukum pidana tidak dapat menjangkau keseluruhan sebab-sebab kejahatan yang komplek b. Hukum pidana merupakan “kureiren simpton” , oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan pengobatan simtpmatik dan bukan pengobatan kausatif. c. Hukum pidana hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosialyang tidak mungkin mengatasi masalaha kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat komplek. d. Sanksi pidana merupakan remidium yang mengandung sifat kontradiktifparadoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek samping yang negatif. e. Sistem pemidanaan bersifat fregmentairdan individual, tidak bersifat strukturalfungsional. f. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang kaku dan imperatif. g. Bekerjanya hukum pidana memerlukan sarana yang bervariasi dan menuntut biaya tinggi. 95

2. Hukum Pidana bersifat kejam

Sebagaimana hukum pada umumnya, hukum pidana berpotensi menimbulkan ketidakadilan, baik kepada kurban maupun pelaku kejahatan. Ketidakadilan yang ditimbulkan oleh hukum pidana akan dirasakan lebih kejam dibandingkan hukum yang lain. Hal itu disebabkan hukum pidana mempunyai sifat yang keras. Menurut Sudarto sebagaimana telah 95 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Op. Cit, hal. 47 dikemukakan pada latar belakang, penerapan hukum pidana bagaikan mengiris daging sendiri. Sanksi pidana seringkali dirasakan lebih berat dibandingkan dengan perbuatan pidananya. Misalnya pencuri seekor ayam dapat dipidana penjara beberapa bulan. Kerasnya hukum pidana sudah tercermin dari makna hukum pidana itu sendiri. Menurut Sudarto, hukum pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan pada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. 96 Pidana adalah penderitaan yang dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. 97 Pidana merupakan sanksi yang dapat berupa pidana pokok dan atau tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana mati, penjara, kurungan dan denda. Sedangkan pidana tambahan terdiri atas pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim. Penderitaan yang diakibatkan oleh pidana bisa jadi tidak hanya dialami oleh pelaku kejahatan itu sendiri, tetapi juga orang lain, terutama keluarganya. Misalnya seorang bapak yang dikenai pidana penjara, maka yang menderita tidak hanya si bapak, namun juga keluarganya. Mungkin keluarganya akan mengalami kesulitan ekonomi karena tidak ada yang mencari nafkah. Mungkin juga keluarganya merasa tidak aman, karena orang yang diharapkan dapat melindungi barada di penjara. Paling tidak kelaurganya akan mendapat stigma sebagai keluarga penjahat. Menurut Hoefnagels, stigmatisasi pada dasarnya mmenghasilkan segala bentuk sanksi negatif, yang berturut-turut menghasilkan stigma lagi. Menurutnya seseorang yang dipidana penjara misalnya, akan menerima 96 Ibid, hal 9 97 Ibid konsekwensi kehilangan pekerjaan, selanjutnya pidana tersebut menempatkannya di luar jangkauan teman-temannyadan kemudian menyingkirkannya dari orang-orang yang benar. Stigma meningkatkan sanksi negatif dan sanksi negatif tersebut memperkuat stigma. 98 Mengingat kerasnya hukum pidana, maka selain harus ditempatkan sebagai ultimum remidium, hendaknya hukum pidana tidak digunakan secara sembarangan. Jika hukum pidana digunakan secara sembarangan, maka sebagaimana dikemukakan oleh Packer diatas, hukum pidana justru akan menjadi pengamcam kebebasan manusia. Jika hukum pidana menjadi pengancam, maka ia telah menjadi sumber kejahatan itu sendiri. Oleh karena itu penggunaan hukum pidana tidak boleh melanggar kode etik sebagai berikut : a. Jangan menggunakan hukum pidana secara emosional untuk melakukan pembalasan semata-mata. b. Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas kurban dan kerugiannya. c. Hukum pidana jangan digunakan untuk mencapai suatu tu7juan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan sarana lain yang sama efektifnya. d. Jangan menggunakan hukum pidana jika kerugian yang ditimbulkan oleh pemidanaanlebih besar dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana yang akan dirumuskan. e. Hukum pidana jangan digunakan apabila hasil sampingan yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding perbuatan yang akan dikriminalisasikan. f. Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya tidak didukung secara kuat oleh masyarakat. g. Jangan mengggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak efektif. h. Hukum pidana harus rasional. i. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan kurban kejahatan. j. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serempak dengan sarana pencegahan yang bersifat non penal. 99 Berdasarkan kode etik di atas, penggunaan hukum pidana harus selektif. Pada dasarnya hukum pidana digunakan untuk mencegah 98 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cet.2 , Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, hal. 3 99 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Op. Cit, hal. 102-103 perbuatan-perbuatan tercela. Namun tidak semua perbuatan tercela dijadikan tindak pidana. Menurut Sudarto hukum pidana dapat dikatakan menyaring sekian banyak perbuatan yang tercela, yang tidak susila atau yang merugikan masyarakat. 100 Selanjutnya Sudarto bahwa salah satu cara untuk menentukan suatu perbuatan tercela sebagai tindak pidana adalah dengan melalui penelitian, dengan tujuan untuk mendapatkan masukan, sehingga menghasilkan hukum pidana yang efektif. 101 Menurut laporan simposium pembaharuan hukum pidana nasional pada bulan Agustus tahun 1980 di semarang, kriteria umum kriminalisasi adalah sebagai berikut : 102 1. Apakah perbuatan itu dibenci atau tidak disukai oleh masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan, mendatangkan kurban atau dapat mendatangkan kurban. 2. Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai. Artinya biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh kurban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan tertip hukum yang akan dicapai. 3. Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum atau tidak. 4. Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat. Keharusan untuk berhati-hati dalam menggunakan hukum pidana sebenarnya telah diisyaratkan oleh hukum pidana itu sendiri, yaitu adanya asas legalitas. Makna asas legalitas dapat ditemukan dalam KUHP Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan bahwa “tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Menurut Barda nawawi Arief, asas 100 Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Op. Cit, hal. 36 101 Kesimpulan dari seminar hukum nasional III tahun 1874. Lihat Ibid 102 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, op. Cit, hal. 34-35 legalitas bertolak dari ide kepastian hukum. 103 Dengan adanya kepastian hukum, kesewenang-wenangan penguasa dapat dihindari. Asas legalitas mencakup aspek-aspek sebagai berikut : 104 1.tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana berdasarkan undang-undang 2. tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi 3. tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan 4. tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas 5. tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana 6. tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang 7. penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang

D. IDEOLOGI DAN KONSTITUSI NEGARA 1. Ideologi