Pasal 209 ayat 2 yang menyatakan bahwa larangan sebagaimana dimaksud Pasal 209 ayat 1 dikecualikan apabila perbuatan itu untuk
kegiatan ilmiah. Ketentuan ini semakin memperjelas bahwa kegiatan- kegiatan yang bersifat ilmiah, seperti pengajaran di perguruan tinggi,
seminar ilmiah, pblikasi karya ilmiah dan sebagainya tidak dilarang, karena keghiatan-kegiatan demikian bersifat obyektif, tidak untuk
propaganda. Sedangkan tindak pidana yang lain adalah mendirikan
organisasi yang patut diduga menganut ajaran Komunisme, mengadakan hubungan atau membantu oraganisasi yang berasaskan
Komunis dan menyatakan keinginan meniadakan atau mengganti Pancasila sama dengan UU No 27 tahun 1999, yakni dalam bentuk
delik dolus. Kata-kata yang digunakan sama seperti,kecuali pada Pasal 211 ayat 1 yang menggunakan istilah “patut diduga keras”.
Sedangkan pada UU No 27 Tahun 1999 Pasal 107 e huruf istilah yang digunakan adalah “patut diduga”.
2. Pertanggungjawaban Pidana
Salah satu kemajuan dalam konsep 2004 adalah subjek yang dipertanggungjawabkan selain orang dalam arti manusia natural
person, juga korporasi. Artinya korporasi dapat dituntut dan dijatuhi
pidana, berbeda dengan KUHP yang hanya mempidana pengurusnya saja. Kemajuan demikian sangat relevan dengan semakin
meningkatnya peranan korporasi dalam tindak pidana. Hal itu diatur secara tegas dalam Buku Satu paragrap 6 Pasal 44 sampai Pasal
50,.selengkapnya sebagai berikut :
Pasal 44 : Korporasi merupakan subyek tindak pidana Pasal 45 : Tindak pidana dilakukan oleh korporasi apabila dilakukan
oleh orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi,berdasarkan
hubungan kerja atau hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pasal 46: Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi
danatau pengurusnya. Pasal 47 : Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk danatau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut masuk dalam
lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang
bersangkutan.
Pasal 48 : Pertanggunganjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional
dalam struktur organisasi korporasi. Pasal 49 : Ayat 1 : Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana
, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada
menjatuhkan pidana terghadap suatu korporasi.
Pasal 50 : Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk danatau atas nama
korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang
didakwakan kepada korporasi.
Mengenai kedudukan sebagai pembuat pidana dan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi terdapat beberapa
kemungkinan sebagaimana disebutkan oeh Penjelasan Pasal 47 sebagai berikut :
1. Pengurus koperasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu penguruslah yang bertanggungjawab;
2. Korporasi sebagai penbuat tindak pidana dan pengurus yang bertanggungjawab
229
; atau 3. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang
bertanggungjawab
229
Klausul ini agak membingungkan, karena sebagaimana di nyatakan oleh pasal 45 bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang termasuk pengurus-pen. untuk dan atas nama korporasi
atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain , dalamlingkup uusaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama adalah tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi, bukan tindak pidana yang dilakukan pengurus. Apabila pengurus melakukan tindak pidana yang tidak untuk atau atas nama atau untuk kepentingan
korporasi, berarti pengurus tersebut bertindak sebagai pribadi, bukan sebagai pengurus korporasi. Menurut hemat penulis kemungkinannya hanya dua, yaitu angka 2 dan 3.
Oleh karena itu jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya
dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya atau pengurusnya saja.
Hal baru lain adalah dicantumkannya asas kesalahan secara eksplisit. Dalam KUHP asas kesalahan tidak tercantum, meskipun
berlakunya asas tersebut tidak disangkal. Ketentuan mengenai asas kesalahan itu terdapat pada pasal 35 ayat 1 yang dengan tegas
menyatakan bahwa “Tidak seorangpun dapat dipidana tanpa kesalahan”. Maka pertanggungjawaban dibebankan secara individual
berdasarkan kesalahannya. Namun demikian berlakunya asas culpabilitas tidak menutup
kemungkinan adanya pertanggungjawaban yang bergeser dari asas tersebut. Pergeseran dimaksud adalah:
a. Pertanggungjawaban yang ketat strick liability untuk tindak pidana tertentu apabila telah terpenuhi unsur-unsurnya secara
obyektif. Hal ini di sebutkan oleh ayat 2 yang menyatakan bahwa “Bagi tindak pidana tertentu , undang-undang dapat menentukan
bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan
adanya kesalahan” b. Pertanggungjawaban pengganti vicarious liability, yaitu bahwa
seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain dalam tindak pidana tertentu. Ketentuan
ini disebutkan dalam ayat 3 yang menyatakan bahwa “Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak
pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang.
c. Hapusnya alasan penghapus pidana, yaitu bahwa seseorang yang melalkukan tindak pidana tidak dibebaskan dari
pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan penghapus pidana jika orang tersebut patut dipersalahkan sebagai penyebab terjadinya
keadaan yang menjadi penyebab terjadinya alasan hapus pidana pasal 53 atau jika orang tersebut telah dengan sengaja
menyebabkan keadaan yang dapat menjadi alasan penghapus pidana tersebut.
3. Pidana Dan Pemidanaan