d. Pidana Dan Pemidanaan
Dalam empat serangkai undang-undang politik, pidana dirumuskan secara terpisah dari normanya. Bahkan dalam UU No.31 Tahun 2002
ancaman pidananya yang kongrit berada di UU No 27 Tahun 1999, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 28 ayat 6 yang merupakan
ancaman pidananya bahwa pengurus partai yang menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat
5 dituntut berdasarkan UU No 27 Tahun 1999 pasal 107 c, d dan e dan partai partai politik dapat dibubarkan”
Setidaknya ada dua persoalan berkenaan dengan pidana yang diancamkan pasal 28 ayat 6 UU No 31 tahun 2002. Pertama, apa yang
dimaksud dengan “dituntut berdasarkan UU No 27 tahun 1999..” dan kedua, apakah ancaman partai politik dapat dibubarkan juga merupakan
ancaman pidana. Dilihat dari norma yang tercantum dalam pasal 19 ayat 5, maka tindak pidana yang dilarang adalah “menganut, menyebarkan
atau mengembangkan ajaran KomunismeMarxisme-Leninisme”. Sedangkan dalam UU No 27 Tahun 1999 pasal 107 huruf c tidak hanya
sekedar menyebarkan atau mengembangkan saja tetapi juga diikuti dengan timbulnya kerusuhan dalam masyarakat atau menimbulkan
kurban jiwa atau kerugian harta benda. Pada huruf d disertai dengan maksud untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara.
Bagaimana jika akibat tidak terjadi atau tidak ada maksud merubah atau mengganti Pancasila apakah tidak dipidana?
Seyogyanya yang dijadikan dasar untuk menuntut adalah pasal 107 a yang merupakan pasal induk berdasarkan kesamaan unsur-unsur. Huruf
c maupun huruf d bukan pasal yang berdiri sendiri, melainkan pemberatan dari huruf a. Sehingga jika yang dijadikan dasar tuntutan
adalah huruf a, maka apabila perbuatan tidak diikuti akibat disertai maksud tetap dapat dipidana dan apabila ada akibat serta maksud juga
bisa dituntut denga pasal pemberatannya. Dengan mendasarkan tuntutan pada UU No 27 tahun 1999, berarti
tuntutan yang diancamkan hanya satu, yaitu penjara dan dirumuskan secara tunggal. Lalu bagaimana dengan ancaman bahwa partai politik
dapat dibubarkan ? apakah juga merupakan pidana sehingga rumusannya menjadi kumulatif ? Jika dilihat dari penempatannya yang bersama
dengan tuntutan pidana, maka sanksi ini merupakan jenis sanksi pidana. Oleh karena dalam KUHP tidak dikenal, maka sanksi pembubaran partai
dapat dikatakan sebagai jenis pidana khusus. Jika demikian, maka ancaman pidana dalam pasal 28 UU No 31 tahun 2002 tidak lagi tunggal,
melainkan kumulatif karena dirumuskan dengan kata “dan” di antara ancaman pidana menurut UU No 27 tahun 1999 dan ancaman bahwa
partai politik dapat dibubarkan. Menurut Pasal 20 huruf c yang berwenang membubarkan partai
politik adalah Mahkamah Konstitusi. Di sini muncul persoalan, apakah sanksi pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi termasuk
saksi pidana atau perdata. Menurut UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 68 prosedur pembubaran partai politik
adalah melalui permohonan yang diajukan oleh pemerintah. Istilah permohonan jelas bukan istilah pidana, melainkan perdata. Dalam
PERMA No 2 tahun 2002 digunakan istilah gugatan untuk mengajukan permohonan pembubaran parpol. Istilah gugatan juga bukan istilah
pidana, melainkan perdata. Pasal 41 ayat 2 UU Mahkamah Konstitusi menggunakan istilah “pihak yang berperkara” bagi pihak yang terlibat
dalam permohonan pembubaran partai. Dengan alasan demikian penulis
berpendapat bahwa partai politik dapat dibubarkan bukanlah jenis sanksi pidana. Hanya persoalannya mengapa dijadikan satu dan dirumuskan
secara komulatif bersama dengan ancaman pidana. Sedangkan dalam tiga undang-undang lainnya, pidananya sama.,
dengan menggunakan pola minimum dan maksimum khusus. Jenis pidananya ada dua macam, yaitu penjara dan denda yang diancamkan
secara kumulatif alternatif. Ancaman pidananya adalah pidana penjara paling singkat 3 tiga bulan atau paling lama 18 delapan belas bulan
danatau denda paling sedikit Rp. 600.000,- enam ratus ribu atau paling panyak Rp. 6000.000,- enam Juta rupiah.
C. KEBIJAKAN LEGISLATIF DALAM RANGKA PERLINDUNGAN IDEOLOGI DAN KONSTITUSI NEGARA DENGAN HUKUM PIDANA
DI MASA MENDATANG 1. Perlindungan Ideologi Dan Konstitusi Negara dalam Konsep KUHP
dan KUHP Asing
Sebagai bahan perbandingan untuk merumuskan kebijakan hukum pidana dalam rangka perlindungan ideology dan konstitusi negara pada
masa yang akan datang perlu dikaji Konsep KUHPdan KUHP asing. Dalam penelitian ini konsep KUHP yang dikaji adalah Konsep tahun 2004, sebagai
RUU KUHP terakhir dan kiranya juga termutahir. Kajian perbandingan dengan kebijakan negara asing semakin penting seiring dengan
perkembangan dunia yang semakin mengglobal, seolah-olah tidak ada batas antar negara lagi, termasuk dalam kebijakan hukum. Apalagi menyangkut
kejahatan ideologis, sesuatu yang abstrak, batas antar negara sangat tipis. Dalam penelitian ini KUHP asing yang akan dijadikan perbandingan adalah
KUHP Jerman, China, Korea dan Thailand.