Ke m is kin a n d a n Ko n flik Agra ria : Mu n c u ln ya P e rla w a n a n Te ro rga n is ir
Ke m is kin a n d a n Ko n flik Agra ria : Mu n c u ln ya P e rla w a n a n Te ro rga n is ir
Ketidakadilan agrarian akan berlanjut dengan muncul- nya konflik. Tulisan ini ingin menguak misteri tata kelola, kuasa dan produksi di dalam kawasan hutan, dengan studi kasus pada kampung Sinagar dan Kajarkajar, desa Sindang- asih, Kecamatan Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya. Wilayah kampung Sinagar dikelilingi oleh kawasan Hutan Produksi dan Produksi Terbatas yang dikelola oleh Perum Perhutani KPH Tasikmalaya seluas 2995 Ha, sebagai blok Tonjong dan blok Cibadodon. Masyarakat sudah turun-temu- run menempati dan mengambil hasil kayu dan non-kayu dari hutan dalam penguasaan Perhutani.
Berangkat dari kejadian sehari-hari di sekitar kampung Kajarkajar, konflik ini terjadi karena 3 hal, pertama, meningkat- nya kebutuhan rakyat tak bertanah akibat melonjaknya harga kebutuhan pokok setiap tahunnya di Indonesia, sementara tidak ada sumber pendapatan di desa karena tanah yang ada tidak dapat diakses. Ketika mereka migrasi ke kota, mereka hanya jadi buruh yang dibayar murah karena tidak memiliki ijazah dan keterampilan yang memadai (non-skill labour). Kedua , meningkatnya kebutuhan konsumsi domestik petani terhadap barang-barang kebutuhan pokok yang tidak dapat mereka produksi sendiri karena kondisi terpisahnya petani dari alat produksi dan relasi produksinya dalam mengelola hutan sebagai efek domino dari ditutupnya kawasan hutan dan dibatasinya akses mereka terhadap hutan. Ketiga, mening- katnya represi dalam “penjagaan” hutan terhadap petani sekitar desa hutan, dan kegagalan pemerintah daerah dan pusat dalam menegosiasikan kewenangan Perhutani sebagai
Agent of Timber Management di kawasan hutan yang ada. Persoalan kemiskinan ini bukan suatu hal yang muncul begitu saja, tentu ada sebab-sebab dalam prakondisi tertentu hingga kemiskinan muncul dan menyebar. Kantong-kantong kemiskinan di Indonesia, banyak terdapat di wilayah-wilayah dengan penguasaan sumberdaya alam yang terpusat di satu pengendali, misalnya BUMN atau Swasta.
Dari data Potensi Desa 2003, sebaran kemiskinan di Tasikmalaya misalnya, terpusat di sekitar hutan produksi dan hutan produksi terbatas yang dikuasai Perhutani. Argumentasi bahwa pengelolaan sumberdaya skala luas akan memberikan efek kesejahteraan yang lebih banyak terhadap masyarakat di sekitar sumberdaya itu, terpatahkan dengan data sekunder tersebut, justru penguasaan skala besar yang berujung penu- tupan akses hutan atas masyarakat yang mengakibatkan munculnya sebaran Rumah Tangga Miskin di sekitar kawasan hutan.
Di Sindangasih terdapat 2 areal besar yang dikuasai masing-masing oleh PTPN VIII Bagjanegara (Kampung Cieceng) dan Perhutani KPH Tasikmalaya (Kampung Sinagar), pada tahun 2000, terjadi gejolak, buruh-buruh perkebunan ingin mengambil alih lahan-lahan perkebunan Bagjanegara karena banyak areal perkebunan yang ditelantarkan setelah krisis moneter 1998, tanah-tanah terlantar ini kemudian dibiarkan tidak tergarap 3 tahun oleh perusahaan perkebunan, semen- tara rakyat di sekitar perkebunan yang sebagian besar adalah buruh-buruh perkebunan pun tidak boleh menggarap dengan leluasa, akhirnya muncul perlawanan terbuka mengokupasi 6
6 Aksi okupasi tanah (land occupation) atau yang biasa disebut re- klaiming lahan, adalah aksi yang dilakukan atas tanah-tanah yang pernah
menjadi tanah garapan penduduk pada rentang waktu yang lama, tapi akibat praktek-praktek politik ekonomi yang menindas, tanah tersebut menjadi bagian dari perkebunan besar atau konsesi pemanfaatan hutan yang besar, di Indonesia bentuknya bisa berupa HPH, perkebunan swasta,
Aksi yang terjadi di Kampung Cieceng sebagian juga diikuti oleh beberapa orang masyarakat yang dari Sinagar. Gejolak pengambil alihan lahan di Cieceng menyebar ke Sinagar, beberapakali bahkan, rapat-rapat untuk aksi reklaim- ing ini dilakukan di Sinagar, selain alasan keamanan agar tidak digrebebg oleh petugas perkebunan yang menyewa preman- preman untuk meneror petani-petani, juga karena alasan ingin mendapatkan bantuan dari petani-petani lain agar bersama membantu petani Cieceng mengambil alih lahan perkebunan yang ditelantarkan itu.
Pada tahun 2003, setelah perjuangan melelahkan yang terjadi di Cieceng, terjadi beberapa kali penyerangan pre- man hingga oknum polisi yang berpihak pada Perhutani. Namun akhirnya lahan Cieceng tetap berhasil direbut petani, yang kemudian mendeklarasikan Organisasi Serikat Petani Pasundan OTL Cieceng.
Sementara itu, pengalaman beberapa orang di Sinagar yang ikut berproses dalam perjuangan petani di Cieceng, menginspirasi mereka untuk melakukan hal serupa di Sinagar. Pada tahun 2004, dimulailah aksi-aksi okupasi dan reklaiming oleh petani-petani yang mendapatkan pengalaman belajar di Cieceng ini. Tahun 2004, OTL Sinagar yang kemudian di-