Ta ta Ku a s a , Ke lo la d a n P ro d u ks i H u ta n P ro d u ks i Te rb a ta s P e ru m P e rh u ta n i

Ta ta Ku a s a , Ke lo la d a n P ro d u ks i H u ta n P ro d u ks i Te rb a ta s P e ru m P e rh u ta n i

S e j a r a h K u a s a -K e lo la -P r o d u k s i H u t a n d i J a w a : Primitive Accumulation Masa Kolonial

Sejarah pengelolaan sumber daya hutan pada masa kolonial, dapat dilihat ketika dimulainya pengelolaan hutan jati (Tectona grandis) di Jawa dan Madura pada pertengahan abad ke-19, setelah lebih dari 200 tahun lamanya hutan alam jati dieksploitasi secara besar-besaran oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memasok bahan baku industri-industri kapal kayu milik pengusaha Cina dan Belanda, yang tersebar di sepanjang pantai utara Jawa mulai dari Tegal, Jepara, Juwana, Rembang, Tuban, Gresik, sampai Pasuruan (Peluso, 1990, 1992: Simon, 1993, 1999).

Sampai akhir abad ke-18 kondisi hutan jati di Jawa mengalami degradasi serius. Ketika pemerintah kolonial Belanda mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda pada awal abad ke-19 (14 Januari 1808), salah satu tugas yang dibebankan pada Daendels adalah merehabilitasi kawasaan hutan. Daendels kemudian membentuk Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan), yang merencanakan reforestasi dan mengeluar- kan peraturan kehutanan yang membatasi pemberian ijin penebangan kayu jati dan memberi sanksi pidana bagi

9 Desa Neglasari adalah tetangga desa Sindangasih, terletak di sebelah selatan Kampung Sinagar, di sebelah selatan blok hutan yang

direklaiming oleh petani di Sinagar, karena satu blok, dan berbeda wilayah adminstratif, maka dideklarasikan juga sebagai satu OTL yang mandiri dari Kajarkajar.

Pemangkuan hutan sebagai domein Negara dan semata- mata dilakukan untuk kepentingan Negara.

- Penarikan pemangkuan hutan dari kekuasaan Residen dan dari jurisdiksi wewenang Mahkamah Peradilan yang ada.

- Penyerahan pemangkuan hutan pada dinas khusus di bawah Gubernur Jenderal, yang dilengkapi dengan we- wenang adminsitratif dan keuangan serta wewenang menghukum pidana.

- Areal hutan pemerintah tidak boleh dilanggar, dan perusahaan dengan eksploitasi secara persil dijamin keberadaannya, dengan kewajiban melakukan refores- tasi dan pembudidayaan lapangan tebangan.

- Semua kegiatan teknis dilakukan rakyat desa, dan me- reka yang bekerja diberikan upah kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

- Kayu-kayu yang ditebang pertama-tama harus diguna- kan untuk memenuhi keperluan Negara, dan kemudian baru untuk memenuhi kepentingan perusahaan suasta.

- Rakyat desa diberikan ijin penebangan kayu menurut peraturan yang berlaku.

Kebijakan Daendels merupakan kebijakan awal penge- lolaan hutan, dengan menggunakan teknik kehutanan dan kelembagaan modern, terutama setelah adanya Dienst van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan). Peraturan hukum menge- nai pengelolaan hutan di Jawa dan Madura untuk pertama kali dikeluarkan tahun 1865 yang dinamakan Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865), kemudian disusul dengan peraturan agraria Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa tanah

diti eksport 10 . Sementara itu, kebutuhan kayu jati untuk pem- buatan kapal kayu, membangun gudang-gudang pengeringan tembakau, pabrik gula, dan membangun barak-barak pekerja dan perumahan pegawai perkebunan, terus meningkat pada periode cultuurstelsel (Schuitemaker, 1950. seperti dikutip Simon, 993:31).

Pada tahun 1873 Jawatan Kehutanan membentuk organisasi teritorial kehutanan. Berdasarkan Staatsblad No. 215, kawasan hutan Jawa dibagi menjadi 13 Daerah Hutan yang masing-masing seluas 70.000 sampai 80.000 hektar untuk kawasan hutan jati dan lebih luas dari 80.000 hektar untuk daerah hutan non jati. Di masing-masing daerah hutan dibentuk unit-unit pengelolaan hutan. Pada setiap unit penge- lolaan hutan dilakukan penataan kawasan hutan (Boschin- richting ), dengan membuat petak-petak hutan dan peman- cangan pal-pal batas kawasan hutan. Kemudian, untuk kepen- tingan perencanaan hutan, dibentuk unit-unit perencanaan yang disebut Bagian Hutan (Boschafdeling) dengan luas wilayah kerja masing-masing antara 4000 sampai 5000 hektar, atau maksimal seluas 10.000 hektar.

Dalam Staatsblad No. 2 Tahun 1855 ditegaskan bahwa Gubernur Jenderal harus memberi perhatian dan memfokus-

10 Jika di Utara hutan nya habis karena penebangan jati, maka di jawa barat (priangan) hutannya habis untuk perkebunan kopi. (lihat Noer

Fauzi.2008 Sketsa 3 Abad Penguasasan tanah di Tatar Priangan)

Pada tanggal 14 April 1874 diundangkan Reglemen Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura . Hal penting yang diatur dalam Reglemen Hutan 1874 ini adalah: -

Pengaturan mengenai pemisahan pengelolaan hutan jati dengan hutan rimba non jati.

- Hutan jati dikelola secara teratur dan ditata dengan pengukuran, pemetaan dan pemancangan pal-pal batas, serta dibagi dalam wilayah distrik-distrik hutan.

- Eksploitasi hutan jati diserahkan pengusahaannya pada pihak swasta.

- Pemangkuan hutan rimba yang tidak dikelola secara teratur diserahkan pada Residen di bawah perintah Direktur Binnelands Bestuur, dan dibantu seorang Houtvester.

Selanjutnya, Reglemen Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan Jawa dan Madura 1874 melalui Ordonansi 6 Mei 1882, Ordonansi 21 November 1894, Ordonansi Kolonial 9 Februari 1897, Reglemen Pemangkuan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura 1874, diperbarui dengan Boschreglement 1897 (Reglemen Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1897 ), diteruskan Dienstreglement 1897 (Reglemen Dinas)

21 yang secara khusus memuat peraturan pelaksanaan Bosch- reglement 1897 dan pengaturan organisasi Jawatan Kehutanan. Setelah berlaku lebih dari 16 tahun lamanya, dengan perubahan berulangkali dalam beberapa ordonansi, maka ber- dasarkan Ordonansi Kolonial tanggal 30 Juli 1913 Reglemen Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1897 (Bosch- reglement 1897) diganti dengan Reglemen untuk Pemangkuan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1913 , tetapi baru diberlaku- kan mulai tanggal 1 Januari 1914.

Untuk mengantisipasi perkembangan kependudukan di Jawa, maka pada tahun 1927 Boschreglement van Java en Madoera 1913 diganti dengan Reglement voor het Beheer der bossen van den Lande op Java en Madoera 1927 (Peraturan Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1927), atau disingkat Boschordonantie voor Java en Madoera 1927 (Ordonansi Hutan untuk Jawa dan Madura 1927). Boschordonantie 1927 diundangkan dalam Staatsblad Tahun 1927 No. 221, kemudian diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 No. 168, dan terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1934 No. 63. Sedangkan, peraturan pelaksanaan dari Boschordonantie 1927 dituangkan dalam Boschdienstregelement voor Java en Madoera 1927, kemu- dian diganti dengan Boschverordening voor Java en Madoera 1932 , dan menyusul diperbarui dengan Boschvererdening tahun 1935, tahun 1937, dan tahun 1937.

Bentuk Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan H u t a n d i J a w a M a s a K o lo n i a l

Tahun 1873, Buurman van Vreeden berhasil memper- kenalkan sistem taung ya (tumpang sari) dalam penanaman hutan di Jawa. Keberhasilan ini dipuji banyak pihak sebagai metode reboisasi yang murah dan efisien. Dalam sistem tumpang sari ini menggunakan menggunakan tenaga petani untuk menanam kembali tanaman pokok hutan, dengan

Bentuk Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan H u t a n d i J a w a P a s c a K o lo n i a l

Hingga akhirnya pada tahun 1974, wewenang penge- lolaan hutan Jawa diserahkan ke Perum Perhutani yang kemu- dian mengembangkan Pendekatan Kesejahteraan (Prosperity Aproach ) dengan menggulirkan program Ma-Ma (Mantri- Lurah) dan beberapa model-model proyek sosial lain, seperti intensifikasi massal tumpang sari, intensifikasi khusus tumpang sari, proyek magersaren, proyek checkdam, kaptering air, lebah madu, tegakan kayu bakar, tanaman obat-obatan, tanaman rumput gajah, ulat sutera, wanawisata, dan peng- hijauan. Tetapi berbagai program tersebut tetap menyisakan sejumlah persoalan. Aspek sosial masyarakat masih terabai- kan, dan model ideal yang direncanakan, ketika di lapangan terbentur banyak hal dengan persoalan teknis dan etik, mulai dari sosialisai yang tidak jalan hingga perilaku korup mandor- mandor Perhutani.

Perubahan terjadi lagi pada tahun 1978 setelah diadakan- nya Konggres Kehutanan Dunia ke VIII di Jakarta yang mengambil tema Forest for People, yang merupakan kelanjutan dari tema konggres sebelumnya di Seatle, yaitu Multiple Use of Forest Land. Tema Forest for People dalam konggres tesebut melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan hutan, yaitu

Tahun 1985 dibentuk tim penelitian untuk mencari sistem pengelolaan hutan yang mampu memecahkan per- masalahan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan. Dari hasil penelitian tersebut dirumuskan program baru yang dinamakan Perhutanan Sosial (PS) yang menerapkan pola tanam jati dengan jarak tanam 6 x 1 m, dan di sela tanaman jati tersebut ditanam buah-buahan atau tanaman pertanian. Pada periode ini mulai dikenal konsep agro forestry dalam pengelolaan hutan

Di samping program PS, juga dicarikan berbagai bentuk alternatif, seperti yang dilakukan di wilayah KPH Madiun atas kerjasama Fakultas Kehutanan UGM dengan Direksi Perum Perhutani sejak tahun 1991 dengan proyek “Pilot Project Pengelolaan Hutan Jati Optimal untuk Perhutani dan Masyarakat”—atau dikenal dengan proyek Management Re- gime (MR). Program MR ini mempertimbangkan jarak kawasan hutan dari pemukiman penduduk, jumlah tenaga kerja yang tersedia, dan kondisi fisik hutan yang ketiganya berpengaruh pada intensitas tekanan penduduk terhadap kawasan hutan.

Pasca reformasi Departemen Kehutanan kembali berusaha memperhatikan dan mengadopsi perkembangan dan perubahan paradigma state based menjadi community based, program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Menteri Kehutanan

Dengan dipengaruhi oleh berkembangnya diskursus tentang pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, mendorong Perhutani untuk mengembangkan konsep baru bernama “Penanaman Hutan Berbasis Masyarakat” (PHBM) yang berdasar pada Keputusan Direksi Perum Perhutani No: 268/KPTS/DIR/2007. Skema PHBM ini dikembangkan terus-menerus oleh Perhutani dengan memakai prinsip keber- samaan dalam melakukan pengelolaan hutan. PHBM dimak- sudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional dan profesional. PHBM bertujuan untuk meningkatkan peran dan tanggungjawab Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan, melalui pengelolaan sumberdaya hutan dengan model kemitraan.

Desa Sindangasih adalah salah satu desa yang menjadi wilayah diterapkannya PHBM. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan banyak kontradiksi. Dalam penerapan konsep PHBM ini, banyak ketidakjelasan kesepakatan-kesepakatan, hingga problem teknis pelaksanaan yang sebenarnya hanya sekedar menjalankan kegiatan saja dan tujuan pemberdayaan sebagai visi-misi PHBM sendiri menjadi kabur.

P e r h u t a n i , a n t a r a P e r u m a t a u P T: R e p r o d u k s i P r i m i t i v e Ac c u m u l a t i o n

Persoalan di atas akibat dari tidak jelasnya pengelolaan yang diembankan dari pusat hingga ke lapangan, penelusuran

No Ciri Pokok

Persero Makna Usaha,

Perum

Public Service dan

1. tujuan

Profit sebagai titik perusahaan

Profit

Seimbang/kondision

berat

al Badan hukum berdasarkan UU 19

Badan hukum 2. Status Hukum Th. 1960 dan

berdasarkan KUHD

Peraturan

dan PP pendirian

Pemerintah/pendiria

(dgn akte notaris)

n.

Hubungan

Berdiri sendiri 3. dengan

Berdiri sendiri

sebagai kesatuan

sebagai kesatuan

organisasi yang pemerintah

organisasi yang

terpisah (otonom)

terpisah (otonom) Dapat sepenuhnya

Pemilikan/

atau sebagian yaitu penguasaan

Sepenuhnya dan

melalui pemilikan 4. oleh

tidak langsung yaitu

saham secara pemerintah

melalui penanaman

modal negara yang dipisahkan

kesluruhan atau sebagian.

Pimpinan adalah

Pimpinan adalah pemerintah

Pengurusan 5. oleh

suatu direksi yang

diangkat oleh

suatu direksi yang diangkat oleh RUPS.

pemerintah Melalui pejabat atau badan yang berfungsi

Pengawasan

Melalui dewan 6. oleh

seperti komisaris.

komisaris yang pemerintah

Pemeriksaan oleh

akuntan negara dan

diangkat oleh RUPS.

neraca disahkan oleh menteri.

Dari kekayaan

Dari kekayaan

negara yang

negara yang

dipisahkan dan merupakan modal

7. Kekayaan atau

dipisahkan dan

Permodalan

merupakan modal

dasar persero, untuk keseluruhan atau

dasar Perum. Modal tidak terbagi saham.

sebagian. Modal persero terbagi dalam saham-saham.

Pegawai perusahaan

8. Kepegawaian

Status

negara berdasarkan

Pegawai perusahaan

UU tersendiri.

swasta biasa.

Pada umumnya usaha-usaha penting,

9. Ruang lingkup Seperti pada kegiatan usaha

berupa public

perusahaan biasa.

utilities/services .

Tabel 7. Ciri-ciri Pokok Usaha Negara Menurut UU No.9 Tahun 1969

(Sumber : Ibrahim R, hal.288-289)

Secara umum, perbedaan mendasar Perum dengan PT adalah pada tujuan yang mau dicapai. Perum lebih ke pela- yanan publik sementara PT mandatnya untuk mencari ke- untungan. Oleh karena itu, bila Perhutani menjadi PT, tugas utamanya adalah mendapatkan keuntungan dari pengelolaan hutan di Jawa. Demikian juga sahamnya bisa dijual ke publik sehingga berkemungkinan menjadi perusahaan swasta (privatisasi). Sebaliknya, dengan status Perum, tugas utama Perhutani adalah pelayanan publik. Meskipun badan hukum Perum diperbolehkan untuk mendapatkan keuntungan, sifat- nya kondisional atau profit seimbang, yakni profit yang di- dapat dan dipergunakan untuk mendukung tugas pelayanan publik yang diembannya.

Perubahan Perhutani dari Perum menjadi PT menimbul- kan dilema. Dengan badan hukum PT, menurut Dr. San Afri Awang, ada peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Menurut perkiraannya, dengan berbentuk PT, rakyat mendapat bagian 25% sedangkan Perhutani masih

Perubahan Perhutani menjadi PT menjadi kontroversi. Pada tanggal 22 Juni 2001, Ir. Djamaludin Soerjohadikusumo bersama sejumlah pakar dan praktisi kehutanan mengajukan permohonan keberatan hak uji materiil (judicial review) atas PP No. 14/2001 tersebut. Kemudian tanggal 7 Maret 2002, Mahkamah Agung memutuskan memberikan kemenangan pada penggugat. Dengan demikian, Perhutani harus kembali menjadi Perum. Akan tetapi keputusan judicial review tidak dieksekusi sepenuhnya. Buktinya hingga saat ini de facto badan hukum Perhutani masih berbentuk PT.

Di balik perbedaan pendapat antara Perum dan PT terdapat persoalan yang jauh lebih besar, yaitu makna usaha BUMN yang belum tuntas. Apakah BUMN berfungsi sebagai sarana pencari uang bagi negara atau BUMN berfungsi sosial dalam pelayanan publik, jika jawaban atas misteri ini ditemu- kan, maka konsep tata guna, tata produksi, dan kelola ter- hadap hutan pun dengan gamblang akan dapat dicari jalan penyelesaiaannya.